Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 17

ABSTRACT

Marriage is a process of unifying personality and mind between two couples, therefore before
carrying out the marriage the two prospective couples must have physical and mental maturity which
will later be used to live a domestic relationship, so that there is no dispute between the two which in
the future will end in a bad ending such as divorce. Thus, when divorced, both have obligations and
rights that must be exercised such as the obligation of a husband to give mutah when the ex-wife
undergoes the iddah period, the problem is when the husband is reluctant or unknown whereabouts,
then that is where there is no legal certainty for women who have been divorced to get what is their
right.

In this paper, there are at least two formulations of the problem, what are the various iddahs and
what are the mut'ahs for a woman?, and what is the legal certainty for a woman?.

The method used in writing this scientific paper uses a literature review where the author will
read in full and widely on various primary sources to obtain appropriate data. Based on this
formulation, it can be concluded that an ex-husband has an obligation, namely, to give a proper mutah
to his former wife, either in the form of money or objects, unless the former wife is qabla al dukhul (in
a state still not interspersed by the former husband), gives a living, maskan (temapat stay) and kiswah
(daily clothes) to the former wife during the iddah (waiting period), unless the former wife has been
sentenced to talak ba'in or in a state of nusyuz (disobedience to the husband) and is not pregnant,
paying off the dowry that is still owed in full and half the dowry if the wife of qabla al dukhul (has not
been interred), gives hadhanah (childcare) fees for her children who have not reached the age of 21
years. At least for judges in deciding cases, especially divorce, they do not have to think and dig
perosedurally (normatively), but there is a need for legal breakthrough efforts as a legal discovery step
so that it can include a framework of thinking and substantive justice. The purpose of law is to achieve
legal certainty and the expediency of law and justice, both in the context of law enforcement and in
legal discovery. The protection of women is also an effort to create gender justice which in the
Religious Courts themselves is now quite a concern, one of which is by determining the period of
payment of mutah in divorce cases. However, it is an obligation to pay attention to and comply with
the rules in this study concerning the provisions of SEMA number 3 of 2015, so that the system in the
judicial institutions, especially the Religious Court, runs harmoniously.

Keywords: Mutah, Iddah, Legal Certainty for Women.


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci, murni dan sakral, yang pastinya
setelah adanya pernikahan mewajibkan bagi seorang suami untuk memenuhi beberapa
hak yang seharusnya didapatkan oleh seorang istri dan seluruh anggota keluarga. Di
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan
“pernikahan adalah hubungan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang maha esa”1, dan juga disebutkan dalam Kompilasi Hukum
Islam bahwa, “pernikahan menurut Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqan
ghalizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah”.2
Hikmah dari pensyariatan pernikahan sendiri yang ditetapkan oleh Allah Swt.
terdapat hikmah-hikmah yang banyak, orientasi-orientasi yang luhur dan tujuan-tujuan
suci yang terdapat di dalamnya, seperti tidak terdapatnya kerancuan nasab, demi
kelangsungan hidup yang layak dan lain sebagainya.3 Pernikahan merupakan proses
penyatuan kepribadian dan pikiran antara dua pasangan, oleh karena itu sebelum
melaksanakan pernikahan kedua calon pasangan tersebut harus mempunyai kematangan
fisik dan mental yang nanti akan digunakan untuk menjalani sebuah hubungan rumah
tangga, agar tidak terjadi perselisihan antara keduanya yang di kemudian hari akan
berakhir dengan akhir yang buruk seperti perceraian.
Dalam Islam perceraian merupakan perkara halal namun hal ini sangat tidak
disenangi oleh Allah.4 Rasulullah Saw sangat melarang keras terhadap terjadinya
perceraian, karena ketika adanya perceraian tidak hanya suami dan istri yang dirugikan,
namun ada pihak-pihak lain yang akan sangat dirugikan sebab adanya perceraian
tersebut, seperti halnya jika suami istri sudah mempunyai buah hati kemudian
melakukan perceraian, maka akibat dari perceraian itu akan berimbas kepada anak juga.
1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.
2
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2, Permata Press, hal 2.
3
Muhammad Ahmad bin Umar As-Syatiri, Syarhu al-Yaqutu an-Nafis, (Bairut, Dar al-Minhaj, t.th.) hal
579.
4
Abu Zakariyya Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, (Beirut,
Dar Ihya’u at-Turats al-Arabi, 1392) , juz 10, hal 61.
Apabila suami dan istri telah melakukan perceraian maka seorang suami bukan berarti
melepaskan istri sepenuhnya, namun masih ada kewajiban yang harus dilakukan oleh
seorang suami yaitu mut’ah (memberikan nafkah) selama istri masih dalam masa iddah,
baik dalam hal kebutuhan pokok atau yang lainnya.
Apabila perceraian suami dan istri tersebut melewati perceraian secara yuridis
(hukum) di Pengadilan Agama, maka keduanya masih mempunyai kewajiban yang
harus dilaksanakan, bagi suami wajib mut’ah (memberikan nafkah) selama istri
menjalani masa iddah, sementara istri mempunyai kewajiban untuk menjalani masa
iddah. Kewajiban suami yang dimaksud disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam
bahwa “suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau
mantan istri yang masih dalam masa idah”.5 Hal ini menunjukkan berarti seorang
suami masih mempunyai kewajiban yang dibebankan kepadanya yang harus diterima
oleh sang istri, bukan justru meninggalkan istri sepenuhnya.
Namun yang menjadi problem adalah penetapan SEMA Nomor 3 Tahun 2015
tanggal 29 Desember 2015, tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan,
khususnya pada bagian hasil rapat pleno kamar agama dalam poin 12 disebutkan
“dalam amar putusan cerai talak, tidak perlu menambahkan kalimat “memerintahkan
Pemohon untuk membayar atau melunasi beban akibat cerai sesaat sebelum atau
sesudah pengucapan ikrar talak” karena menimbulkan eksekusi premature”. Dalam
penetapan ini memang mantan suami masih memiliki kewajiban untuk memenuhi
nafkah seorang mantan istri, namun jika mantan suami tidak memberi maka mantan istri
tidak boleh menuntut untuk diberi nafkah agar tidak menimbulkan eksekusi premature.
Bukan berarti penulis menentang akan ketetapan tersebut namun selayaknya
seorang wanita yang dicerai suaminya diberikan sebuah kepastian hukum atas hak dari
pembayaran mut’ah kepadanya, sehingga diperlukan pemikiran hukum oleh Hakim,
baik berupa terobosan hukum yang merupakan hasil ijtihad atas dasar kemaslahatan
umat dalam hal ini perempuan sebagai sebuah pembaharuan hukum demi menjaga hak-
hak perempuan yang selama ini banyak dirugikan.
B. RUMUSAN MASALAH.
1. Apa saja macam-macam iddah dan apa saja mut’ah bagi seorang perempuan?
2. Bagaimana kepastian hukum bagi seorang perempuan?
C. MOTEDE PENELITIAN.
5
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 81 ayat 1, Permata Press, hal 26.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
dilaksanakan dengan cara menelusuri dan meneliti bahan pustaka (library
research) yang relevan6, semisal kitab, makalah dan semacamnya. Ada beberapa
pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini, di antaranya:
Pertama, Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu
pendekatan yang menggunakan legislasi (taqnin) dan regulasi.7 Salah satu
pendekatan yang harus digunakan dalam penelitian hukum normatif adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach), karena yang menjadi fokus
sekaligus tema sentral adalah norma hukum (dalam hal ini hukum keluarga di
Indonesia). Alasan menggunakan pendekatan ini adalah karena yang diteliti adalah
perundang-umdangan dalam bentuk hukum.
Dalam hukum Islam, kerja penelitian mempunyai tujuan untuk menemukan
preskripsi (istinbath) dan sekaligus menerapannya (tathbiq) di tengah-tengah
masyarakat. Tujuan penerapan hukum di tengah masyarakat sangat memerlukan
legislasi (taqnin) sehingga produk hukum yang telah disusun tidak sekedar wacana
belaka, akan tetapi bisa diaplikasikan dan ditaati oleh masyarakat. Dengan tujuan
seperti ini maka pendekatan perundang-undangan mutlak dibituhkan dalam kerja
penelitian hukum.8
Dalam penelitian hukum normatif peneliti harus mengetahui dan memastikan
bahwa norma hukum mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
mempunyai keterkaitan secara logis antara yang satu dengan yang lainnya.
b. All-inclusive yaitu bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
mewadahi permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak dikhawatirkan ada
kevakuman hukum
c. Systematic bahwa di samping adanya persambungan antara satu norma
dengan yang lain, norma-norma hukum juga harus tersusun secara hirarkis.9
6
Soerjo seokanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 13-14.
7
Pater Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), 103.
8
Dr. Abu Yasid, M.A., LL.M, Aspek-Aspek Penelitian Hukum; Hukum Islam –Hukum Barat,
(Yogyakarja: Putaka Pelajar, 2010), 87.
9
Dr. Johnny Ibrahim, SH, M.Hum, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia publishing, 2006), 302-303.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Mutah dan iddah dalam Islam.


Secara bahasa nafkah dan iddah diambil dari bahasa arab. Kata nafkah berasal
dari kata ‫ النفقة‬yang bermakna ‫ المصروف‬yaitu biaya dan belanja, dan juga bermakna ‫اإلنفاق‬
yang berarti pengeluaran.10 Namun kata nafkah jika diarahkan dalam bingkai pernikahan
yaitu memiliki makna “menyerahkan sesuatu yang bisa dikatakan nafkah kepada orang
yang berhak menerimanya (istri) dan digunakan hanya untuk kebaikan” 11, yang
dimaksud dengan nafkah istri yakni termasuk termasuk kewajiban suami terhadap
istrinya seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, mencarikan pembantu dan obat-
obatan, apabila suaminya kaya.12
Kata iddah secara bahasa diambil dari kata ‫ العدد‬yang bermakna sejumlah atau
perhitungan.13 Sementara jika diarahkan kepada pernikahan dan secara istilah syara’
adalah suatu masa tertentu yang digunakan untuk menunggu bagi seorang perempuan
dengan tujuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya, li at-ta’abudi (tidak diketahui
alasannya mengapa mengunggu) atau karena seorang istri masih dalam masa kesedihan
ditinggal pergi oleh suaminya.14 Oleh karena itu, jika perempuan sudah dicerai oleh
suaminya maka perempuan tersebut wajib menjalani masa iddah, baik karena tercerai
lantaran suamianya mati atau tidak, dalam keadaan hamil atau tidak, dan dalam keadaan

10
Ahamad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya, Pustaka Progressif,
1997), hal 1449.
11
Syamsu ad-Din Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathu al-Qarib al-Mujib, (t.t., Dar al-
Hijrah, 2016), hal 124.
12
Syamsu ad-Din Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathu al-Qarib al-Mujib, (t.t., Dar al-
Hijrah, 2016), hal 125.
13
Ahamad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya, Pustaka Progressif,
1997), hal 903.
14
Muhammad Ahmad bin Umar As-Syatiri, Syarhu al-Yaqutu an-Nafis, (Bairut, Dar al-Minhaj, t.th.)
hal 649.
haid atau suci. Untuk permasalahan nafkah dan iddah sebenarnya tentang
kelegalitasannya sudah dijelaskan dalam Alquran dan hadis, diantaranya adalah:
1. Alquran, Surat atThalaq ayat 1:

‫ٰٓيَاُّيَه ا الَّنُّيِب ِاَذا َطَّلْق ُتُم الِّنَس ۤاَء َفَطِّلُقْوُه َّن ِلِعَّد ِهِتَّن َوَاْحُص وا اْلِع َّد َۚة َواَّتُق وا الّٰل َه َرَّبُك ْۚم اَل ْخُتِرُج ْوُه َّن ِم ْۢن ُبُيْو ِهِتَّن َواَل‬
‫ّٰل‬ ‫ّٰل ِه‬ ‫ّٰل ِه‬ ‫ِت ِح ٍة ٍۗة ِت‬ ‫ِا‬
‫ْخَيُرْج َن ٓاَّل َاْن َّي ْأ َنْي ِبَف ا َش ُّم َبِّيَن َو ْل َك ُح ُد ْو ُد ال ۗ َوَمْن َّيَتَع َّد ُح ُد ْو َد ال َفَق ْد َظَلَم َنْف َس هٗۗ اَل َتْد ِرْي َلَع َّل ال َه‬
‫ْحُيِد ُث َبْع َد ٰذ ِلَك َاْم ًرا‬

Artinya: hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu
menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu idah itu serta bertwakkallah kepada
Allah Tuhanmu, janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri, kamu
tidak mengetahui barangkali Allah menhadakan sesudah itu sesuatu hal
yang baru.15

2. Alquran, surat atThalaq ayat 6:

‫ْس ِكُنْوُه َّن ِم ْن َحْيُث َس َك ْنُتْم ِّم ْن ُّوْج ِدُك ْم َواَل ُتَض ۤاُّرْو ُه َّن ِلُتَض ِّيُقْوا َعَلْيِه َوِاْن ُكَّن ُاواَل ِت ْمَحٍل َف َاْنِف ُقْوا َعَلْيِه َّن‬
‫َّۗن‬

‫َح ىّٰت َيَض ْع َن ْمَحَلُه َّۚن َفِاْن َاْرَضْع َن َلُك ْم َفٰاُتْوُه َّن ُاُجْوَرُه َّۚن َوْأِمَتُرْو ا َبْيَنُك ْم َمِبْع ُرْو ٍۚف َوِاْن َتَعاَسْرْمُت َفَس ُتْرِض ُع َل ٓٗه ُاْخ ٰرۗى‬

Artinya: tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal


menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya
hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-
anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika
kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak
itu) untuknya.16
15
Alquran Terjemah, (Jakarta, Departemen Agama RI, 2009).
16
Alquran Terjemah, (Jakarta, Departemen Agama RI, 2009).
3. Hadis.

‫ أنه طلقها زوجها يف عهد النيب صلى اهلل عليه وسلم وكان أنفق عليها نفقة‬:‫حديث فاطمة بنت قيس‬

‫ واهلل ألعلمن رسول اهلل ص لى اهلل عليه وسلم فإن كان يل نفقة أخذت ال ذي‬:‫ فلم ا رأت ذل ك ق الت‬،‫دون‬

‫ النفقة‬:‫ فذكرت ذلك لرسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم فقال‬:‫ قالت‬.‫ وإن مل تكن يل نفقة مل أخذ شيئا‬،‫يصلحين‬

‫ إمنا السكىن والنفقة على من له عليها رجعة‬:‫ ويف رواية‬.‫والسكىن‬

Artinya: hadis yang diriwayatkan dari jalur Fatimah binti Qais, ia berkata “bahwa
dia (Fathimah) telah ditalak oleh suaminya pada masa Nabi Saw. sedang
suaminya memeberinya nafkah sedikit sekali. Setelah merasakan keadaan
demikian, ia pun berkata “wallahi, aku akan beritahukan kepada
Rasulullah Saw. jika ak berhak memperolehnya , aku tidak akan
mengambilnya barang sedikit pun. Fathimah berkata “kemudian
kusampaikan kepada Rasulullah Saw. lalu beliau bersabda “engkau tidak
berhak memperoleh nafkah maupun tempat tinggal. Dalam riwayat lain
diredaksikan “tempat tinggal dan nafkah itu hanya menjadi kewajiban
suami yang masih berhak merujuk mantan istrinya”.17

Bisa dipahami dari ayat Alquran dan hadis di atas, bahwa seorang suami wajib
memberikan nafkah atau kebutuhan hidup seorang istri selama masa iddah berlangsung,
sementara istri juga memiliki kewajiban menjalani masa iddah dengan cara tidak keluar
rumah dan tidak menerima pinangan orang lain selama di masa iddahnya. Istri yang
telah dicerai oleh suaminya terbagi menjadi tiga macam:

1. Istri yang tertalak raj’i.


Yang dimaksud dengan perempuan yang tertalak raj’i adalah perempuan
yang ditalak oleh suaminya melepaskan ikatan pernikahan, dengan hitungan talak
selain talak ba’in, menggunakan cara-cara tertentu.18 Oleh karena itu, bagi seorang
suami boleh kapan saja kembali kepada istrinya menjalin hubungan pernikahan
tanpa adanya akad baru, selama istri masih dalam masa iddah.

17
Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iu al-Bayan, (Beirut, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, 2017), juz 2,
hal 574.
18
Muhammad Ahmad bin Umar As-Syatiri, Syarhu al-Yaqutu an-Nafis, (Bairut, Dar al-Minhaj, t.th.)
hal 624.
2. Istri yang tertalak bain shugra dan bain kubra.
Yang dimaksud dengan istri yang tertalak ba’in shugra perempuan yang
tertalak namun ketetapannya sama dengan perempuan yang tertalak raj’i sehingga
suami boleh kembali kepada istrinya meskipun belum menjalani pernikahan
dengan laki-laki lain, sementara perempuan yang tertalak ba’in kubra adalah
perempuan yang tertalak namun suami tidak bisa kembali begitu saja kepada
istinya sebagaimana perempuan yang tertalak raj’i, melainkan istri harus menikah
terlebih dahulu dengan orang lain, kemudian setelah istri ditalak dari pernikahan
yang dua dan menjalani masa iddah dari talak yang kedua, maka suami pertama
baru bisa kembali kepadanya.19
3. Istri yang tertalak sebab suaminya mati.
Yang dimaksud dengan istri yang tertalak sebab suaminya mati adalah
ketika suaminya mati maka istri tersebut tertalak dan harus menjalani masa iddah
selama 4 bulan 10 hari dan tidak boleh bersolek selama menjalani masa iddah.

Adapun mut’ah (pemberian nafkah istri ketika masa iddah) secara bahasa
memiliki makna kenikmatan atau kesenangan. 20 Namun, secara istilah syara’ adalah
nama untuk sebuah harta yang wajib diberikan oleh seorang suami kepada istrinya
dikarenakan perceraian, baik suaminya seorang muslim atau seorang kafir dzimmi.21
Dari perbedaan pembagian perempuan tertalak yang telah dijelaskan di atas, tentunya
mut’ah yang diberikan kepada perempuan juga berbeda dengan mempertimbangkan
perbedaan di atas. Berikut macam-macam mut’ah yang didapatkan oleh perempuan
yang tertalak:

1. Bagi perempuan yang tertalak raj’i hak yang wajib didapatkan dari seorang suami
adalah tempat tinggal yang layak, nafkah harian, dan pakaian harian.
2. Bagi perempuan yang tertalak ba’in hak yang wajib didapatkan dari seorang
suami adalah hanya tempat tinggal yang layak, kecuali jika perempuan tersebut
hamil, maka suami wajib memeberikan nafkah kepadanya dikarenakan
kehamilannya.22

19
Abu al-Hasan al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, (Beirut, Dar al-Fikr, t.th.), juz 10, hal 381.
20
Ahamad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya, Pustaka Progressif,
1997), hal 1307.
21
Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 3, hal 219.
3. Bagi perempuan yang tertalak sebab suaminya mati tidak mendapatkan mut’ah
atau hak sedikitpun, namun hal yang wajib dilakukan oleh perempuan tersebut
adalah tidak boleh bersolek dan berhias selama masa iddah.23

Pemberian mutah merupakan perintah Allah Swt. kepada para suami agar selalu
mempergauli istrinya dengan prinsip imsak bil ma’ruf aw tasrihu bi ihsan
(mempertahankan ikatan perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan/ menceraikan
dengan kebajikan). Anjuran ini mempunyai tujuan yaitu apabila hubungan pernikahan
terpaksa diputuskan, maka hubungan baik dengan mantan istri dan keluarganya harus
tetap dijaga dan dipertahankan meskipun harus memberikan mutah, pemberian tersebut
harus dilakukan dengan iklas dan sopan tanpa menunjukkan kegusaran hati atau
penghinaan terhadap mantan istri. Kelegalitasan mutah telah termaktub dalam firman
Allah Swt.:

‫ِق‬ ‫ِف‬ ‫ِت‬ ‫ِل‬


‫َو ْلُم َطَّلَق ا َم َتاٌع ِباْلَم ْع ُرو َح ًّقا َعَلى اْلُم َّت َني‬

artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh


suaminya) mutah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa.24

Dari sekilas pengertian serta legalitas nafkah idah dan mutah di atas, dapat
dipahami bahwa nafkah idah dan mutah merupakan nafkah yang diberikan mantan
suami kepada mantan istri dan yang masih memiliki hak rujuk, sehingga nafkah idah
dan mutah tersebut secara fungsi merupakan sesuatu yang bisa digunakan setelah
terjadinya perceraian. Oleh karena itu prinsip utama dari nafkah idah dan mutah adalah
waktu penggunaanya (dipergunakan saat masa idah) bukan waktu pembayaraannya.
Bisa jadi kedua belah pihak sama-sama berkeinginan kuat untuk bercerai terlepas dari
mana awal sebab perselisihan dan pertengkaran maupun sebabnya. Namun menjadi
masalah justru suami sudah bersedia membayar nafkah idah dan mutah ternyata setelah
berikrar pergi tak diketahui rimbanya, atau tidak dibayar justru biaya pendaftaran
eksekusi di pengadilan setengah atau bahkan hampir sama dengan nafkah idah dan
mutah yang diperolehnya.
22
Syamsu ad-Din Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fathu al-Qarib al-Mujib, (t.t., Dar al-
Hijrah, 2016), hal 121.
23
Sulaiman bin Umar al-Jamal, Hasyiyyah al-Jamal, (t.t., Syirkatu al-Kudsi, t.th.) juz 4, hal 462.
24
Alquran Terjemah, (Jakarta, Departemen Agama RI, 2009).
B. Mutah dan iddah dalam UU Nomor 1 Tahun 1974.
Sebelum membahas tentang mutah dan iddah dalam undang-undang, perlu
diketahui bahwa dua hal ini terjadi sebab adanya sebuah perceraian antara pasangan
suami istri, adapun penyebab putusnya hubungan antara suami dan istri telah dijelaskan
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 113 BAB XVI, di antaranya adalah:
1. Kematian.
2. Perceraian.
3. Putusan pengadilan.25

Dari macam-macam penyebab terjadinya perceraian antara suami dan istri,


pastinya untuk iddah (masa tunggu) sendiri juga berbeda-beda memandang sebab
perceraiannya, seperti yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
pasal 153 ayat 2, bahwa waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

1. Apabila perkawinan putus kerena kematian, walaupun qabla al dukhul (sebelum


disenggama) waktu tungggu ditetapkan 130 hari.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid
ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak
haid ditetapkan 90 hari.
3. Apabila perkawinan putus kerana perceraian sedangkan janda tersebut dalam
keadaan hamil, maka waktu tunggu baginya ditetapkan sampai melahirkan.
4. Apabila perkawinan putus karena kematian sedangkan janda tersebut dalam
keadaan hamil, maka waktu tunggu yang ditetapkan sampai melahirkan.26

Oleh karena itu, bagi mantan istri wajib melakukan iddah (masa tunggu)
sebagaimana yang telah ditetapkan dalam undang-undang, memandang perempuan
tersebut diputus dari ikatan pernikahan disebabkan karena kematian, perceraian, atau
putusan pengadilan. Sebenarnya akibat dari putusnya ikatan pernikahan tidak hanya
mewajibkan seorang mantan istri untuk melakukan iddah (waktu tunggu), namun
perempuan tersebut juga harus mendapatkan hak yang menjadi kewajiban bagi seorang
mantan suami, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 pasal 149 BAB XVII, bahwa di sana dijelaskan, bilamana perkawinan putus
karena talak, maka mantan suami mempunyai kewajiban di antara berikut:

25
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 113, Permata Press, hal 35.
26
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 153 ayat 2, Permata Press, hal 46.
1. Memberikan mutah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul (dalam keadaan masih belum
disenggama oleh bekas suami).
2. Memberi nafkah, maskan (temapat tinggal) dan kiswah (pakaian harian) kepada
bekas istri selama dalam masa iddah (masa tunggu), kecuali bekas istri tersebut
telah dijatuhi talak ba’in atau dalam keadaan nusyuz (tidak taat pada suami) dan
dalam keadaan tidak hamil.
3. Malunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh mahar apabila istri
qabla al dukhul (belum disenggama).
4. Memeberikan biaya hadhanah (pengasuhan anak) untuk anak-anaknya yang
belum mencapai umur 21 tahun.27

Sudah jelas sekali dari semua yang telah dijelaskan di atas, bahwa bagi mantan
suami dan mantan istri keduanya sama-sama memiliki kewajiban yang harus dilakukan,
seperti seorang mantan istri harus menjalani masa iddah (masa tunggu), sementara
mantan suami juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu memenuhi apa-
apa yang dibutuhkan oleh mantan istri selama menjalani masa iddah.

Dengan ini bisa disimpulkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh negara Indonesia
yaitu berupa undang-undang sebenarnya sudah selaras atau sejalan dengan apa yang
dimaksud oleh agama Islam, namun yang menjadi maslah adalah penetapan SEMA
Nomor 3 Tahun 2015 tanggal 29 Desember 2015, tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas Bagi Pengadilan, khususnya pada bagian hasil rapat pleno kamar agama dalam
poin 12 disebutkan “dalam amar putusan cerai talak, tidak perlu menambahkan
kalimat “memerintahkan Pemohon untuk membayar atau melunasi beban akibat cerai
sesaat sebelum atau sesudah pengucapan ikrar talak” karena menimbulkan eksekusi
premature”. Dalam penetapan ini memang mantan suami masih memiliki kewajiban
untuk memenuhi nafkah seorang mantan istri, namun jika mantan suami tidak memberi
maka mantan istri tidak boleh menuntut untuk diberi nafkah agar tidak menimbulkan
eksekusi premature.

C. Kepastian Hukum Bagi Perempuan.

27
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149, Permata Press, hal 45.
Dalam hal ini mengapa penulis ingin sekali membantu dan memeberikan
kepastian hukum kepada seorang perempuan yang telah diputus dari ikatan
pernikahannya oleh seorang suami, karena tidak sedikit dari beberapa undang-undang
yang sudah menentukan bagaimana cara mantan suami membayar mutah kepada
mantan istri dan berapa yang harus diberikan mantan suami kepada mantan istrinya,
namun dari semua undang-undang tersebut belum ada yang menjelaskan atau menjamin
bahwa mantan istri pasti akan mendapatkan hak yang perlu diterima ketika mantan
suami enggan untuk memberikannya atau hilang tidak diketahui keberadaannya.
Belum lagi tidak ada aturan yang menjamin akan dibayarnya nafkah iddah atau
mutah oleh suami (pemohon) kepada istri (termohon), karena tidak sedikit dalam
realitanya setelah selesai pengucapan ikrar talak tersbeut pemohon pergi dan tidak
diketahui kemana perginya, sedangkan mantan istri (termohon) harus menjalani iddah
(masa tunggu) dan kebingungan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya terutama dalam
masa iddah (masa tunggu) yang mengurungnya. Sehingga hal ini membuat mantan istri
bingung dan akhirnya mengadu kepada Pengadilan Agama mempertanyakan hak yang
harus diterimanya berupa nafkah atau mutah ketika menjalani masa iddah (masa
tunggu), bagaimana tidak bingung, sejatinya Pengadilan Agama sudah menetapkan dan
memebebankan kepada mantan suami untuk memberikan dan membayar nafkah atau
mutah kepada mantan suami, namun yang masih belum tegas adalah kepastian hukum
yang harusnya didapatkan oleh mantan istri agar bisa menerima haknya ketika suami
enggan membayarnya atau tidak diketahui keberadaanya.
Dalam Alquran sebenarnnya sudah dijelaskan bahwa mantan istri mempunyai hak
yang harus diterima dari mantan suami, sehingga mantan istri tidak kebingungan dalam
menjalani kehidupannya selama masih dalam masa iddah (masa tunggu), hal ini
sebagaimana yang telah termaktub dalam firman Allah surah AlBaqarah ayat 236:
‫ِس‬
‫{اَل ُج َن اَح َعَلْيُك ْم ِإْن َطَّلْق ُتُم الِّنَس اَء َم ا ْمَل َمَتُّس وُه َّن َأْو َتْف ِرُض وا ُهَلَّن َفِريَض ًة َوَم ِّتُع وُه َّن َعَلى اْلُم و ِع َق َد ُرُه‬
]236 :‫َو َعَلى اْلُم ْق ِرِت َقَد ُرُه َم َتاًعا ِباْلَم ْع ُروِف َح ًّقا َعَلى اْلُم ْح ِس ِنَني } [البقرة‬

Artinya: tidak ada dosa bagimu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu yang
belum kamu sentuh (campuri) atau belum kamu tentukan maharnya. Dan
hendaklah kamu beri mereka mutah, bagi yang mampu menurut
kemampuannya bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu
pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi
orang-orang yang berbuat kebaikan.28
Dari ayat ini jelas sekali bahwa mantan istri berhak mendapatkan mutah atau
nafkah masa iddah, sehingga mantan suami tidak bisa mencari jalan untuk lari
kewajiban yang dibebankan kepadanya. Tidak hanya soal kewajiban bagi mantan suami,
namun Islam sejatinya juga menentukan berapa dan bagaimana cara memberikan mutah
tersebut kepada mantan istri, sebagaimana yang telah termaktub dalam firman Allah
surah AlBaqarah ayat 241:
]241 :‫{َو ِلْلُم َطَّلَق اِت َم َتاٌع ِباْلَم ْع ُروِف َح ًّقا َعَلى اْلُم َّتِق َني } [البقرة‬

Artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh


suaminya) mutah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi
orang-orang yang bertakwa.29

Ayat ini menjelaskan bahwa mantan suami bisa dikategorikan sebagai orang yang
bertakwa, ketika memberikan hak kepada mantan istrinya dengan cara yang ma’ruf ,
dalam artian memberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh mantan istri ketika
menjalani masa iddah, dan tidak boleh enggan dalam menjalani kewajibannya agar
supaya dikategorikan kepada orang-orang yang bertakwa.
Tidak hanya dalam Alquran, jika diteliti kembali sebenarnya undang-undng yang
ada di Indonesia juga sudah menjelaskan bahwa hakim seharunya memutuskan hukum
dengan cara yang adil agar diantara dua orang yang berperkara tidak ada yang namanya
timbang sebelah, seperti yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 pasal 10 ayat 1 bahwa “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksan,
mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya” 30
dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat 1 bahwa “hakim dan hakim
konnstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.31

28
Alquran Terjemah, (Jakarta, Departemen Agama RI, 2009).
29
Alquran Terjemah, (Jakarta, Departemen Agama RI, 2009).
30
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 10 ayat 1 bahwa “pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksan, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Ketentuan ini membuktikan bahwa hakim harus bertindak adil dan harus bisa
memahami nilai-nilai yang terbangun dalam kehidupan masyarakat, dalam artian ketika
ada pasangan suami istri melakukan perceraian, kemudian mantan suami enggan
membayarkan atau memberikan mutah yang seharusnya diterima oleh mantan istri,
maka seorang hakim perlu memahami kasuistik demikian, karena ketika suami pergi
tidak ditemukan keberadaannya atau dalam keadaan enggan untuk memberikan mutah
kepada seoarang istri, maka di sanalah masih ada pihak yang dirugikan yaitu mantan
istri, mengapa dikatakan mantan istri dirugikan, karena ketika setelah prosesi ikrar talak
kewajiban bagi mantan istri adalah menjalani masa iddah (masa tunggu) sementara di
masa tersebut seorang mantan istri tidak boleh menerima pinangan orang lain, dan tidak
boleh unutuk keluar rumah, kemudian bagaimana seoarang perempuan yang tidak
memiliki suami bisa menjalani kehidupannya yang layak selama masa iddah (masa
tunggu) berlangsung.
Oleh karena itu, dari apa yang telah dipaparkan di atas bahwa, setidaknya hakim
dalam memutuskan perkara khususnya perceraian tidak harus berfikir dan menggali
secara perosedural (normatif), akan tetapi perlu adanya upaya terobosan hukum sebagai
langkah penemuan hukum sehingga dapat mencakup sebuah kerangka bergikir dan
keadilan substantif. Tujuan hukum adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum serta keadilan, baik dalam rangka penegakan hukum maupun
dalam penemuan hukum.
Perlingdungan terhadap wanita juga merupakan upaya menciptakan keadilan
gender yang di Pengadilan Agama sendiri kini cukup menjadi perhatian, salah satunya
dengan menentukan masa pembayaran mutah dalam perkara perceraian. Meskipun
demikian sebagai kewajiban juag untuk memperhatikan dan mematuhi aturan yang
dalam kajian ini menyangkut ketentuan SEMA nomor 3 Tahun 2015, agar sistem di
lembaga peradilan khususnya Peradilan Agama berjalan secara harmonis.

31
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat 1 bahwa “hakim dan hakim konnstitusi wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Iddah bagi perempuan yang tertalak terbagi menjadi 4 yaitu: apabila perkawinan
putus kerena kematian, walaupun qabla al dukhul (sebelum disenggama) waktu
tungggu ditetapkan 130 hari, apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu
tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya
90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari, apabila perkawinan putus
kerana perceraian sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu
tunggu baginya ditetapkan sampai melahirkan, apabila perkawinan putus karena
kematian sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu
yang ditetapkan sampai melahirkan. Sementara mutah yang menjadi kewajiban
bagi mantan suami adalah: memberikan mutah yang layak kepada bekas istrinya,
baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al dukhul (dalam
keadaan masih belum disenggama oleh bekas suami), memberi nafkah, maskan
(temapat tinggal) dan kiswah (pakaian harian) kepada bekas istri selama dalam
masa iddah (masa tunggu), kecuali bekas istri tersebut telah dijatuhi talak ba’in
atau dalam keadaan nusyuz (tidak taat pada suami) dan dalam keadaan tidak
hamil, malunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh mahar
apabila istri qabla al dukhul (belum disenggama), memeberikan biaya hadhanah
(pengasuhan anak) untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
2. Setidaknya bagi hakim dalam memutuskan perkara khususnya perceraian tidak
harus berfikir dan menggali secara perosedural (normatif), akan tetapi perlu
adanya upaya terobosan hukum sebagai langkah penemuan hukum sehingga dapat
mencakup sebuah kerangka bergikir dan keadilan substantif. Tujuan hukum
adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum dan kemanfaatan hukum serta
keadilan, baik dalam rangka penegakan hukum maupun dalam penemuan hukum.
Perlingdungan terhadap wanita juga merupakan upaya menciptakan keadilan
gender yang di Pengadilan Agama sendiri kini cukup menjadi perhatian, salah
satunya dengan menentukan masa pembayaran mutah dalam perkara perceraian.
Meskipun demikian sebagai kewajiban juag untuk memperhatikan dan mematuhi
aturan yang dalam kajian ini menyangkut ketentuan SEMA nomor 3 Tahun 2015,
agar sistem di lembaga peradilan khususnya Peradilan Agama berjalan secara
harmonis.
DAFTAR PUSTAKA

Alquran Terjemah, Jakarta, Departemen Agama RI, 2009.


Ali As-Shabuni Muhammad, Rawa’iu al-Bayan, Beirut, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, 2017.
al-Anshari Zakariyya, Asna al-Mathalib, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000.
Abi Abdillah Muhammad bin Qasim al-Ghazi Syamsu ad-Din, Fathu al-Qarib al-Mujib, t.t.,
Dar al-Hijrah, 2016.
al-Hasan al-Mawardi Abu, Al-Hawi al-Kabir, Beirut, Dar al-Fikr, t.th..
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2, Permata Press.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 81 ayat 1, Permata Press.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 113, Permata Press.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 153 ayat 2, Permata Press.
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 149, Permata Press.
Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi Abu Zakariyya, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim,
Beirut, Dar Ihya’u at-Turats al-Arabi, 1392.
Sukmadinata Nana Syaudih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda karya,
2007.
Umar As-Syatiri Muhammad Ahmad, Syarhu al-Yaqutu an-Nafis, Bairut, Dar al-Minhaj, t.th.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan
Umar As-Syatiri Muhammad Ahmad, Syarhu al-Yaqutu an-Nafis, Bairut, Dar al-Minhaj, t.th.
Umar al-Jamal Sulaiman, Hasyiyyah al-Jamal, t.t., Syirkatu al-Kudsi, t.th..
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 10 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat 1 bahwa
Warson Munawwir Ahamad, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, Surabaya, Pustaka
Progressif, 1997.

You might also like