MBS - Meirna Puspita Permatasari - UTS

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

SOCIO-ENTERPRISE: WUJUD TANGGUNG JAWAB SOSIAL BERNAFASKAN ISLAM

Tugas UTS matakuliah Manajemen Bisnis Syariah

Penyusun:

Meirna Puspita Permatasari (186020300111001)

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

1
Tanggung Jawab Sosial: Sebuah Pendahuluan
Pembahasan tentang tanggung jawab sosial sering kali diidentikkan dengan tanggung
jawab sosial yang diemban oleh perusahaan. Kita akrab mengenalnya dengan istilah
Corporate Social Responsibility (CSR). Gagasan tentang CSR diawali dengan perkembangan
peran perusahaan yang semakin masif dalam 200 tahun terakhir. Besarnya sumber daya yang
dikelola menjadikan perusahaan sebagai pemeran penting dalam aktivitas ekonomi dunia
(Gaffikin, 2008).
Perubahan peran tersebut memunculkan konsekuensi baru bagi perusahaan yaitu
tuntutan untuk memperhatikan kebutuhan masyarakat sebagai salah satu stakeholder
perusahaan. Selama ini, perusahaan telah diberikan keistimewaan oleh masyarakat berupa
perlindungan hukum, hak hukum dan ekonomi, dan akses terhadap sumber daya milik
masyarakat. Konsekuensinya, perusahaan sebagai entitas yang terbentuk secara hukum
memiliki tanggung jawab kepada masyarakat luas.
Konsep CSR dijelaskan sebagai perwujudan keseimbangan antara laba (profit),
manusia (people), dan lingkungan (planet). Konsep ini dikenal juga dengan sebutan triple
bottom line atau 3P (Elkington, 1998). Saat ini, tanggung jawab perusahaan bukan hanya
menghasilkan keuntungan bagi para pemilik modal. Lebih dari itu, perusahaan harus
memperhatikan setiap detail operasionalnya agar memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan.
Perkembangan tanggung jawab sosial perusahaan pada awalnya menimbulkan
pertanyaan seperti, “apa guna perusahaan mengorbankan keuntungannya untuk
menyejahterakan masyarakat dan memperhatikan lingkungan? Bukankah tanggung jawab
utama perusahaan adalah menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin bagi para
pemegang saham?” Jawaban atas pertanyaan tersebut dijelaskan melalui beberapa teori
tentang tanggung jawab sosial. Dua yang paling sering digunakan adalah teori legitimasi dan
teori stakeholder.
Teori legitimasi menegaskan organisasi harus meyakinkan masyarakat bahwa
operasional mereka telah sesuai dengan etika dan norma yang berlaku, serta meyakinkan
bahwa aktivitas organisasi telah dilegitimasi oleh pihak eksternal (Deegan & Unerman, 2006).
Saat perusahaan telah dilegitimasi atau diterima keberadaannya, perusahaan dapat
menjamin keberlangsungannya (going concern) dan memperoleh keuntungan yang lebih
besar dan berkelanjutan di masa mendatang.
Teori stakeholder menjelaskan tentang tanggung jawab perusahaan yaitu
menyeimbangkan pemenuhan kepentingan masing-masing stakeholder yang berbeda-beda
(Roberts, 1992). Teori ini menjadi dasar dari upaya perusahaan untuk memenuhi kepentingan
berbagai stakeholder tanpa mengabaikan tujuan utama yaitu laba. Dengan melakukan
pemenuhan kepentingan stakeholder, perusahaan berharap untuk terus memperoleh

2
dukungan dari mereka. Dalam praktiknya, teori stakeholder tidak dapat dipisahkan dari teori
legitimasi untuk menentukan determinan bagi program tanggung jawab sosial perusahaan.
Aplikasi teori legitimasi dan teori stakeholder di masa kini menghadirkan sebuah
konsep baru yang menjadi alasan kesediaan perusahaan untuk melakukan tanggung jawab
sosial yaitu enlightened self-interest (Lawrence & Weber, 2010). Konsep enlightened self-
interest menyatakan bahwa perusahaan bersedia mengorbankan keuntungan jangka pendek
demi keuntungan jangka panjang berupa peningkatan reputasi, loyalitas konsumen, dan
kepuasan karyawan. Caranya adalah dengan menciptakan nilai bagi konsumen, membantu
karyawan untuk berkembang, dan bertindak dengan penuh tanggung jawab sebagai bagian
dari masyarakat global.

Kritik terhadap Tanggung Jawab Sosial Perusahaan


Corporate Social Responsibility (CSR) adalah gagasan dengan tujuan penciptaan
manfaat bagi perusahaan, masyarakat, dan lingkungan. Meskipun terlihat baik-baik saja,
gagasan ini tidaklah berjalan tanpa kritik. Konsep CSR – yang diinisiasi oleh negara barat –
erat kaitannya dengan kapitalisme. Implementasi CSR yang dilakukan berdasarkan
pandangan barat cenderung mengikuti pendekatan materialistis dibandingkan dengan etika
yang seharusnya menjadi inti CSR itu sendiri (Dusuki, 2008). Sisi materialistis dari CSR
terlihat dari konsep enlightened self-interest yang menjadi latar belakang penerapannya.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
pelestarian lingkungan memiliki tujuan agar perusahaan tetap diterima dan menghasilkan
keuntungan secara kontinyu. O’Dwyer (2003) mengungkapkan praktik CSR meliputi
pengukuran nilai moneter dari setiap publikasi tentang kegiatan sosial perusahaan. Publikasi
ini juga dianggap sebagai salah satu alat pemasaran yang dapat meningkatkan reputasi
perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa CSR tidak lepas dari tujuan yang bersifat
materialistis, alih-alih ditujukan sepenuhnya untuk beramal.
Dusuki (2008) menyampaikan kritik terhadap CSR melalui contoh lain yaitu
renegosiasi kontrak sosial. Kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat dapat
berubah apabila terjadi perubahan norma di masyarakat. Perubahan ini berpengaruh
terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial sebab perusahaan harus bergerak mengikuti
nilai yang berlaku di masyarakat. Sementara, perbedaan preferensi nilai dan norma antara
satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain sangat mungkin terjadi.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa konsep CSR yang selama ini dikembangkan
oleh negara barat tidak memiliki dasar normatif yang kuat sehingga mudah berubah mengikuti
kehendak masyarakat. Konsep CSR tidak disertai dengan prinsip absolut tentang moral dan
etika sebagai panduan dalam implementasinya. Humber (2002) bahkan menyatakan bahwa

3
teori tentang moral tidak diperlukan untuk memandu implementasi CSR. Perusahaan
sebaiknya diizinkan untuk menentukan tanggung jawab moral masing-masing.
Kebebasan untuk menentukan tanggung jawab moral tanpa diiringi dengan landasan
moral dan etika yang kuat justru menimbulkan kebingungan bagi para eksekutif perusahaan
dalam menetapkan komitmen dan langkah tanggung jawab sosial yang tepat. Akibatnya,
terdapat beberapa kasus program CSR yang hanya mampu meningkatkan reputasi
perusahaan, tetapi tidak mampu menyelesaikan permasalahan di masyarakat.
Blowfield & Frynas (2005) memberikan penjelasan tentang praktik kebebasan
penentuan stakeholder dari sebuah perusahaan di negara berkembang. Penelitian tersebut
menyatakan bahwa perusahaan menetapkan status prioritas stakeholder tanpa berlandaskan
pada tanggung jawab moral, melainkan pada seberapa besar pengaruh satu kelompok
stakeholder terhadap perusahaan. Sebagai akibatnya, banyak suara pihak-pihak yang
sebenarnya terpengaruh oleh aktivitas perusahaan, menjadi tidak terdengar hanya karena
mereka tidak memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi perusahaan (Khan &
Lund-Thomsen, 2011).

Islam dan Tanggung Jawab Sosial: Sebuah Pendekatan Holistik


Pemahaman terhadap CSR yang dikembangkan oleh barat melupakan satu aspek
penting: Tuhan. Baik teori legitimasi, teori stakeholder, maupun konsep 3P, tidak ada satu pun
yang menempatkan Tuhan sebagai stakeholder. Semua itu sebab pemahaman barat
terhadap kebaikan dan keburukan hanya mengandalkan rasionalitas sehingga hanya aspek
material yang dijadikan acuan. Padahal, saat menentukan apa sesuatu bersifat baik atau
buruk, akal manusia tidak bisa dilepaskan begitu saja tapa adanya panduan yang bersifat
absolut – dalam hal ini diistilahkan dengan syariat (Dusuki, 2008).
Berbeda dengan barat, Islam menawarkan pandangan yang bersifat holistik. Islam
menempatkan Tuhan (Allah) sebagai stakeholder inti dari seluruh aktivitas manusia. Oleh
sebab itu, Al Quran dan hadits menjadi panduan utama dalam menentukan baik dan buruknya
segala sesuatu, termasuk perilaku etis yang menunjukkan tanggung jawab sosial. Pengakuan
Allah sebagai pusat segala aktivitas tanggung jawab sosial adalah cerminan prinsip pertama
dalam Islam yaitu Tauhid (keesaan Allah).
Islam memandang tanggung jawab sosial jauh melebihi batasan keuntungan jangka
panjang sebagaimana diusung oleh konsep enlightened self-interest. Berpegangan pada
prinsip Tauhid sebagai poros, Islam memaknai tanggung jawab sosial sebagai bagian dari
tujuan penciptaan manusia yaitu ibadah, sebagaimana dijelaskan pada ayat berikut:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat:56)

4
Peran manusia sebagai abdullah tergambarkan melalui penggalan surat Adz-Dzariyat ayat 56
di atas. Peran tersebut disertai tugas untuk beribadah kepada Allah melalui seluruh aktivitas,
termasuk pelaksanaan CSR.
Ayat di atas juga menunjukkan konsep tauhid. Konsep ini menyiratkan kesatuan dan
kesetaraan ciptaan Allah dalam hal ibadah. Kesatuan dan kesetaraan juga dimaknai bahwa
seluruh ciptaan Allah saling tergantung (interdependent) dan terhubung (interconnected)
dalam menjalankan tugasnya. Dalam konteks CSR, tauhid menunjukkan bahwa manusia
adalah bagian tak terpisahkan dari alam dan manusia lainnya (Kamla, Gallhofer, & Haslam,
2006). Dengan demikian, manusia bertanggung jawab untuk menjaga keseimbangan dengan
alam dan manusia lain sebab oleh perintah Allah dan kebutuhannya untuk beribadah.
Peran manusia sebagai abdullah juga tidak terpisahkan dari peran lain manusia yaitu
khalifatullah fil ardh (wakil Allah di muka bumi). Penjelasan tentang peran manusia sebagai
khalifatullah fil ardh tercantum dalam ayat berikut:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".” (QS Al Baqarah: 30)

Prinsip Islam kedua yang melekat pada peran manusia sebagai khalifah adalah amanah.
Manusia diberikan amanah untuk menjaga milik Allah yang ada di bumi. Sesungguhnya,
konsep ini mirip dengan teori agensi di mana manusia berperan sebagai agent yang diberikan
amanah untuk mengelola milik principal yaitu Allah. Inilah satu lagi konsep yang tidak
terakomodasi dalam pandangan barat: Allah sebagai principal tertinggi, bukan manusia.
Kesadaran akan amanah memandu manusia untuk tidak berbuat semena-mena
terhadap bumi atas dasar kepentingan pribadi. Prinsip amanah dalam peran khalifah
menghendaki manusia untuk bertindak sesuai dengan kepentingan umat sembari menjaga
kelestarian lingkungan (Taman, 2011). Seluruh sumber daya yang ada di bumi harus
dimanfaatkan untuk memenuhi maqashid syariah sesuai kaidah berikut: (1) penciptaan
kesejahteraan bagi manusia; (2) eliminasi kebencian dan konflik; (3) melindungi populasi
mahkluk di bumi, dan (4) menjunjung keadilan. Inilah kaidah-kaidah yang seharusnya melekat
dalam setiap pelaksanaan CSR.
Prinsip ketiga adalah keadilan. Beekun & Badawi (2005) mendefinisikan keadilan
melalui dua kata yaitu adl dan qist. Keadilan (adl) bermakna merangkul seluruh isi alam
semesta dalam harmoni. Tanggung jawab sosial yang adl mengupayakan agar seluruh
elemen alam semesta terjaga dengan baik sehingga tidak mengganggu kelangsungan

5
kehidupan di bumi. Prinsip adl dapat diterjemahkan ke dalam perhatian terhadap
kelangsungan sumber daya alam dan manfaat yang bisa dihasilkannya untuk umat manusia.
Prinsip yang sama juga berlaku kepada perlakuan terhadap sesama manusia agar tidak ada
yang dirugikan dari proses pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Sementara, keadilan
(qist) bermakna memberikan kepada setiap orang dan setiap makhluk sesuai dengan yang
pantas mereka terima. Tidak kurang dan tidak lebih. Secara keseluruhan, prinsip keadilan
menghendaki manusia untuk menjaga keseimbangan antara raga, jiwa, dan pikiran sembari
mencukupi kebutuhan umat manusia dan makhluk lainnya (Taman, 2011).

Gambar 1. Tanggung Jawab Sosial yang Holistik menurut Islam (data diolah, 2019)

Prinsip
tanggung jawab
sosial dalam
Islam:
1. Tauhid
2. Amanah
3. Adl dan Qist
4. Ihsan

Prinsip keempat adalah kebaikan (ihsan). Kebaikan berarti melakukan lebih dari apa
yang diwajibkan. Kebaikan yang dimaksud tentu tidak diiringi harapan untuk dilihat oleh
manusia lain dan mendapatkan reputasi baik – sebagaimana tersirat dalam konsep
enlightened self-interest. Prinsip ihsan disampaikan oleh Allah melalui ayat berikut:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberik
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dan memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (QS An-Nahl ayat 90)

Kebaikan dimaknai sebagai melakukan segala sesuatu sebab oleh keinginan mendapatkan
ridho Allah dan sebagai wujud cinta kepada Allah. Saat manusia berupaya mencari ridho
Allah, dia akan melakukan segala kebaikan dengan ikhlas, termasuk dalam melaksanakan
tanggung jawab sosial. Manusia akan berupaya untuk memberikan rahmat bagi semesta alam
seisinya melalui tanggung jawab sosial atas dasar kecintaan kepada Allah.
Intisari dari pemaparan sub-bagian ini adalah bahwa tanggung jawab sosial
merupakan ibadah kepada Allah dan bersifat holistik. Tanggung jawab sosial tidak hanya
sebatas pelaksanaan program CSR beserta eksposurnya, namun melekat pada setiap
aktivitas manusia. Dalam konteks bisnis, CSR sebaiknya diwujudkan dalam setiap proses
bisnis yang dilakukan sebab hakikat bisnis dalam Islam adalah sarana ibadah kepada Allah.

6
Socio-enterprise: wujud tanggung jawab sosial bernafaskan Islam
Beberapa tahun terakhir, socio-enterprise muncul sebagai bentuk entitas bisnis yang
populer. Socio-enterprise adalah entitas bisnis yang menitikberatkan pada perspektif sosial
untuk menciptakan nilai sosial bagi masyarakat dan lingkungan (Wiguna & Manzilati, 2014;
Austin, Stevenson, & Wei-Skillern, 2006). Berbeda dari perusahaan yang menjadikan laba
sebagai orientasi utama, socio-enterprise mengutamakan nilai sosial bagi masyarakat dengan
laba sebagai konsekuensi.

Tabel 1. Karakteristik Etika dan Moral Socio-Enterprise (Wiguna & Manzilati, 2014)
No Karakteristik Etika dan Moral Socio-Enterprise
1. Motif pendirian adalah motif sosial
2. Orientasi aktivitas adalah proses dan perilaku dalam menciptakan dampak
sosial
3. Pengukuran kinerja dari kontribusi dan keterlibatan dalam perbaikan kualitas
hidup masyarakat
4. Pengelolaan sumber daya berdasarkan kebutuhan

Socio-enterprise memosisikan manusia sebagai makhluk sosial (homo sociologicus)


yang bertindak sesuai nilai dan norma sosial. Manusia sebagai makhluk sosial akan
memikirkan keberlanjutan sumber daya sehingga menghindari perilaku eksploitasi. Para
pelaku socio-enterprise berpikir bijak dalam mengelola sumberdaya dengan
menggunakannya sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, socio-enterprise dapat menjalankan
aktivitasnya dengan efektif dan efisien.
Tujuan dari socio-enterprise adalah untuk menciptakan nilai sosial bagi masyarakat
(Austin et al., 2006). Dalam menciptakan nilai sosial, socio-enterprise melakukan pendekatan
yang cukup berbeda. Socio-enterprise mengizinkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam
penciptaan nilai sosial. Sehingga, aktivitas yang dilakukan socio-enterprise memiliki sifat
pemberdayaan. Indikator keberhasilan yang digunakan untuk menilai tanggung jawab sosial
bukanlah hasil, melainkan proses yang dilalui untuk menciptakan nilai sosial (Wiguna &
Manzilati, 2014).
Kaidah yang digunakan oleh socio-enterprise seiring dengan pendekatan CSR Islam
yang holistik: tanggung jawab sosial melekat pada setiap unit aktivitas yang diselenggarakan
pada satu entitas bisnis. Infiltrasi prinsip Islam ke dalam tata kelola aktivitas socio-enterprise
berpotensi untuk terjadi. Beberapa poin berikut memberikan contoh sinkronisasi antara prinsip
Islam dengan karakteristik etika-moral socio-enterprise:
a. Tauhid
Socio-enterprise menempatkan tanggung jawab sosial sebagai inti di setiap aktivitas.
Prinsip tauhid dapat memperluas pemahaman socio-enterprise bahwa tanggung jawab
sosial tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi sebagai wujud ibadah

7
kepada Allah. Socio-enterprise yang memegang prinsip tauhid akan termotivasi untuk
meningkatkan kualitas aktivitasnya sebab yang mereka cari tidak lagi kepuasan
masyarakat, melainkan ridho Allah.
b. Amanah
Manajemen socio-enterprise yang menyadari bahwa segala sumber daya yang mereka
kelola berasal dari Allah diharapkan menjadi semakin bijak dalam memanfaatkannya.
Mereka akan memikirkan strategi agar sumber daya terkelola dengan efektif dan efisien
tanpa menimbulkan kerugian bagi alam dan manusia lainnya.
c. Adl & Qist
Prinsip keadilan dapat diterapkan socio-enterprise dalam pengukuran kinerja karyawan
dan dampak yang ditimbulkan kepada masyarakat dan lingkungan. Pengukuran kinerja
yang berorientasi proses dapat disinkronisasi dengan pemahaman bahwa imbalan tidak
hanya bersifat duniawi, melainkan ada imbalan dari Allah yang akan diberikan di akhirat.
Pemahaman ini akan mendorong karyawan untuk belajar dari setiap proses dan menjadi
ikhlas dalam bekerja. Meskipun demikian, socio-enterprise tetap bertanggung jawab untuk
memberikan imbalan yang adil sesuai dengan upaya yang diberikan oleh karyawan. Dalam
konteks dampak kepada masyarakat dan lingkungan, socio-enterprise berupaya untuk
memastikan bahwa setiap stakeholder diperlakukan dengan adil sesuai dengan kebutuhan
masing-masing.
d. Ihsan
Prinsip ihsan berhubungan dengan motif pendirian socio-enterprise yaitu motif sosial.
Socio-enterprise yang meyakini prinsip ihsan akan berusaha untuk memperluas jangkauan
penerima manfaat dari aktivitas bisnisnya. Mereka juga mempromosikan nilai-nilai
kebaikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berkontribusi terhadap
penciptaan dampak sosial.

Kesimpulan
Tanggung jawab sosial bermakna lebih jauh dari sekadar melakukan kebaikan dan
mengikuti norma demi memperoleh keuntungan jangka panjang. Tanggung jawab dalam
Islam bersifat holistik dan melekat dalam setiap unit aktivitas bisnis sebagai wujud ibadah
kepada Allah. Prinsip-prinsip yang diikuti dalam implementasi tanggung jawab sosial adalah
keesaan Allah (tauhid), kepercayaan (amanah), keadilan (adl & qist), dan kebaikan (ihsan).
Sebuah entitas bisnis yang diyakini mampu menerapkan keempat prinsip tersebut adalah
socio-enterprise. Orientasi penciptaan nilai sosial dimasyarakat akan lebih baik jika
menyertakan prinsip Islam di dalamnya. Dengan demikian, tujuan utama socio-enterprise
menjadi semakin tinggi yaitu ibadah kepada Allah melalui penciptaan nilai sosial kepada
masyarakat dan lingkungan.

8
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran dan Terjemahannya Departemen Agama RI. (2001). Semarang: CV. Asy-Syifa.
Austin, J., Stevenson, H., & Wei-Skillern, J. (2006). Social and commercial entrepreneurship: Same,
different, or both? Entrepreneurship: Theory and Practice, 30(1), 1–22.
https://doi.org/10.1111/j.1540-6520.2006.00107.x
Beekun, R. I., & Badawi, J. A. (2005). Balancing Ethical Responsibility among Multiple Organizational
Stakeholders : The Islamic Perspective 1. Journal of Business Ethics, 60, 131–145.
https://doi.org/10.1007/s10551-004-8204-5
Blowfield, M., & Frynas, J. (2005). Setting new agendas: critical perspectives on Corporate Social
Responsibility in the developing world. International Affairs, 81(3), 499–513. https://doi.org/Doi
10.1111/J.1468-2346.2005.00465.X
Deegan, C., & Unerman, J. (2006). Financial Accounting Theory (European E). McGraw-Hill
Education.
Dusuki, A. W. (2008). What Does Islam Say about Corporate Social Responsibility ? Review of
Islamic Economics, 12(1), 5–28. https://doi.org/10.2190/86QB-KKY1-F27L-3KHK
Elkington, J. (1998). Cannibals with Forks: the Triple Bottom Line of 21st Century Business.
Conscientious Commerce. https://doi.org/0865713928
Gaffikin, M. (2008). Accounting Theory: Research, Regulation and Accounting Practice (1st ed.).
Pearson Education Australia.
Humber, J. . M. (2002). Beyond Stockholders and Stakeholders: A Plea for Corporate Moral
Autonomy. Journal of Business Ethics, 36(3), 207–221.
Kamla, R., Gallhofer, S., & Haslam, J. (2006). Islam, nature and accounting: Islamic principles and the
notion of accounting for the environment. Accounting Forum, 30(3), 245–265.
https://doi.org/10.1016/j.accfor.2006.05.003
Khan, F. R., & Lund-Thomsen, P. (2011). CSR as imperialism: Towards a phenomenological
approach to CSR in the developing world. Journal of Change Management, 11(1), 73–90.
https://doi.org/10.1080/14697017.2011.548943
Lawrence, A. T., & Weber, J. (2010). Business and Society: Stakeholders, Ethics, Public Policy (13th
ed.). Mcgraw Hill Higher Education.
O’Dwyer, B. (2003). Conceptions of Corporate Social Responsibility: the Nature of Managerial
Capture. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 16(4), 523–557.
https://doi.org/10.1108/09513570310492290
Roberts, R. W. (1992). DETERMINANTS OF CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
DISCLOSURE : AN APPLICATION OF STAKEHOLDER THEORY. Accounting, Organizations
and Society, 17(6), 595–612.
Taman, S. (2011). THE CONCEPT OF CORPORATE SOCIAL. Indiana International & Comparative
Law Review, 21(3), 481–508.
Wiguna, A. B., & Manzilati, A. (2014). Social Entrepreneurship and Socio-entrepreneurship: A Study
with Economic and Social Perspective. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 115(Iicies

9
2013), 12–18. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.02.411

10

You might also like