Monolog Iswadi FLS2N

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

Naskah Monolog

PERAHU GAZA*)
Oleh Iswadi Pratama

Di sebuah pantai. Pagi. Sebuah perahu nelayan bercadik, dalam ukuran sedang,
tertambat di dekat pohon-pohon bakau di antara karang-karang laut. Di sisi pantai yang
lain, tampak beberapa timbunan kayu bekas perahu yang telah lapuk. Selebihnya sepi.

Sayup suara camar berbaur dengan ombak lautan.

Di perahu itu, seseorang (bisa lelaki atau perempuan), dengan usia belasan, tampak
sedang menata sejumlah barang yang dikemas dalam kotak-kotak kardus—atau apa saja.
Ia berperawakan sedang, berkulit gelap sebagaimana umumnya penduduk yang hidup di
daerah sekitar pantai/pesisir. Ia menutup kepalanya dengan sepotong kain usang. Ia
mengenakan kaos berlengan panjang berwarna abu-abu dan kemeja berwarna gelap di
bagian luarnya, dengan lengan kemeja tergulung serta mengenakan celana panjang yang
longgar yang juga berwarna gelap. Sementara sepasang sepatunya tak kalah usang,
dengan bagian depan yang sedikit mengelupas. Ia juga mendandani wajahnya, seolah
seorang pejuang.

Setelah seluruh barang-barang itu tertata di dalam perahu, ia duduk terpekur di


salah satu ujung perahu seraya merapatkan kedua lengannya di dada; seperti sedang
mendekap erat sesuatu yang jauh di dalam sana. Lalu perlahan dan lirih terdengar lagu
anak-anak—sebaiknya hanya vokal, tanpa instrumen musik--seolah muncul dari balik
cakrawala.

Sebelum lagu itu berakhir, ia bangkit perlahan dari duduknya. Kini ia berdiri di
atas perahu memandang ke arah laut lepas. Kedua matanya tampak basah bekas tangisan.
Suaranya sedikit parau.

Perang. Sebuah kata yang bagi kita di sini terasa mengasyikkan, sebab cuma permainan,
cuma game, yang bisa kita lakukan kapan saja kalau kita mau. Bahkan permainan ini bisa
menghabiskan waktu kita berjam-jam di depan layar ponsel, laptop, atau komputer…sambil
menikmati cemilan dan minuman yang lezat. Sementara bagi saudara-saudara kita di Palestina,
di Gaza, siapa pun mereka, apa pun agamanya, perang telah mengubur seluruh mimpi dan masa
depan mereka.

Sejak perang berkecamuk, belasan ribu anak-anak telah terkubur….(Ia menghela


nafasnya dalam-dalam). Orang-orang dewasa telah mengubah dunia ini menjadi tempat yang
menakutkan dan penuh ancaman…..Bahkan sampai ke dunia rekaan; dunia virtual; ancaman itu
tak berakhir..

1
Ia beranjak dari dalam perahu, lalu berjalan beberapa langkah ke sisi lain yang tak jauh dari
perahunya. Berjongkok, meraih sepotong kayu kering dan menggambar sesuatu di atas pasir
pantai.

Beberapa saat kemudian ia terdiam. Bersimpuh bertelekan kedua lututnya, memandang ke


horison. Ia berkata; separuh meratap.

Mengapa Tuhan tak menciptakan bumi yang lain, tanah yang lain; yang hanya dihuni
oleh anak-anak, dipenuhi dengan tempat bermain, rumah-rumah yang tenteram, makanan yang
cukup, dekap persahabatan dan persaudaraan, taman-taman bunga, kebun-kebun yang selalu
berbuah…..

Ia kembali diam, menunduk seakan merenungi sesuatu. Lalu kembali memandang ke horison,
berbicara dengan suara yang masih agak parau.

Tak mengapa kalau Tuhan ingin menyertakan orang dewasa di sana; asalkan hati mereka
sudah dilimpahi dengan cinta; bukan angkara, amarah, dan kebencian terhadap sesama. Supaya
anak-anak tak tersakiti lagi, suapaya ada yang menjaga mereka di malam-malam yang gelap,
supaya ada yang mendekap mereka ketika kedinginan, supaya ada yang menceritakan
kisah-kisah dan dongeng-dongeng yang indah, supaya ada yang memastikan mulut-mulut mungil
itu tak akan pernah kehausan dan kelaparan…. (Tersenyum sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya seolah minta persetujuan kepada langit)

Ia kembali bangkit dan duduk di atas seonggok kayu bekas perahu.

Aku mendapatkan perahu itu beberapa mil dari sini. Berhari-hari aku menyusuri pantai
mencari perahu nelayan yang tak terpakai lagi dan memintanya untuk kugunakan mengangkut
sauh. Aku beruntung, Pak Nyoman, nelayan tua yang baru saja mendapatkan bantuan perahu
baru, memberikan perahu lamanya itu untukku. Dengan dibantu Pak Nyoman, aku menyusuri
laut dangkal membawa perahu itu hingga ke tempat ini.

Dengan perahu itulah aku….em, maksudku aku dan teman-temanku; Made, Joshua,
Christin, Ali, Butet, Harun, dan Mei-Lin…akan pergi. Jauh…jauh sekali…

Mungkin sekarang kalian diam-diam bertanya; mengapa sekarang aku sendirian? Di


mana teman-temanku itu? Sabarlah, pelan-pelan kalian akan mengenal mereka. Mereka ada,
hanya terkadang seolah-olah tak ada, atau mungkin dianggap tak ada. Aku malahan prihatin
karena tak berhasil menemukan kalian. Aku sudah mencari kalian di rumah-rumah kalian yang
baru; di Kampung Maya itu; mengunjungi alamat kalian satu-satu, meninggalkan pesan, tapi tak
satu pun dari kalian yang menjawab pesanku itu. Tapi tak mengapa; mungkin aku memang
bukan teman yang asyik. Aku kutu buku, introvert, tak pernah update soal-soal kekinian yang
biasa menjadi keseharian kalian di Kampung Maya. Itulah mengapa; aku menyisih ke daerah
pantai ini. Hingga aku menemukan ide sederhana ini: membuat “perahu persaudaraan” yang
akan berlayar ke laut lepas menuju Gaza. Dan saat perahu itu aku tampilkan di sosial media,
menawari siapa saja yang mau berlayar denganku; kalian menertawaiku dan menganggapku
“sakit”.

2
“Makanya, jangan kebanyakan baca novel; bisanya berkhayal melulu...”
“Kasihan, hidup di zaman teknologi, tapi jiwanya masih ‘nenek moyangku seorang
pelaut.”
“Itu perahu buat mancing aja jebol, gimana mau dipakai berlayar.”
“Urusan Gaza, sudah ada yang lebih pantas ngurusnya, jangan ngadi-ngadi…”
“Pelawak! Sayang enggak lucu!”

Ya…begitulah kalian menanggapi ajakanku.

Aku hampir saja merasa memang sudah tak waras dengan ideku ini. Untunglah, pada
suatu malam; Made, Joshua, Christin, Ali, Butet, Harun, dan Mei-Lin, teman-teman lamaku
datang. Mereka mengunjungiku di pantai ini, saat itu aku sedang tertidur di perahu ini.

Idenya sederhana. Bermula dari hobiku memainkan game peperangan, dan rasa kasihan
yang tiba-tiba muncul begitu saja terhadap nasib anak-anak korban perang di Gaza, aku
mengajak teman-temanku berkumpul dan berpikir untuk melakukan sesuatu.

“Bagaimana kalau kita mengumpulkan dana, atau barang, atau pakaian, atau apa saja
selama satu bulan lalu kita bawa berlayar…” Begitu kata Mei-Lin

“Aku akan membuat sebuah lagu cinta untuk anak-anak di Gaza, lagu ini akan kita
sebarluaskan di seluruh akun media sosial. Dari sana, kita bisa dapat empati yang besar dan
sejumlah uang untuk membantu Gaza.”
Ide Joshua ini langsung disetujui oleh Butet. Keduanya memang hobi bermusik. Tapi
Joshua sangat spesial. Meski masih sangat belia, dia sering dipercaya untuk membuat sebuah
komposisi untuk kebaktian di gereja. Kini, aku membayangkan Joshua seperti mewarisi bakat
Amadeus Mozart. (tersenyum).

Lain lagi dengan Ali dan Harun, mereka mengajak kami membiasakan diri makan
secukupnya dan tidak berfoya-foya sebagai rasa hormat dan maaf kami kepada anak-anak yang
kelaparan di Gaza...

Sedangkan Christin menyarankan agar kami menuliskan surat; mengadu pada Tuhan dan
mengirimkannya ke Yerusalem, ke tembok ratapan. Sedangkan aku dan Made, mencari perahu
untuk melayarkan semua harapan itu…

(Diam. Merasa sepi)

Ya…semuanya sudah kulakukan, sebisa-bisaku, semampu-mampuku; demi membuat


sahabat-sahabatku itu berbahagia, juga bangga karena memiliki aku…

Lihat! Di perahu ini telah kami kemas seluruhnya: surat-surat, sajak, sepenggal doa, air
suci dari pura, kuil, dan gereja, benda-benda dari masa kecil yang masih tersimpan, apa
saja….kami mengumpulkannya hari demi hari…dari siapa saja yang ingin melakukan sesuatu
sebagai ungkapan rasa cinta.

3
Aku akan melarungkan perahu itu ke laut lepas; semoga samudera dan cakarawala yang
luas akan menyimpannya sebagai bisikan cinta kepada anak-anak di Gaza. Tuhan pasti akan
menjaganya; mengirimkan gelombang yang akan mengubahnya jadi doa dan bergema di Laut
Mediterania.

Kami tahu, apa pun yang kami lakukan ini hanyalah setetes air di tengah samudera
penderitaan saudara-saudara kita di sana. Tapi kami ingin sekali ada untuk mereka.
Sangat-sangat ingin menjadi bagian dari kebaikan yang dikirimkan Tuhan untuk mereka.
Mungkin kami hanya seperti seekor semut yang membawa setetes air untuk memadamkan api
yang membakar Ibrahim alaihissalam. Air itu hanya akan lenyap, menguap di hadapan kobaran
api. Tapi dengan cara itu, dan memang hanya itu yang bisa kami lakukan untuk mengatakan cinta
dan sayang kami kepada anak-anak yang telah mati di Gaza, atau yang kini sedang bertahan
hidup dengan remah-remah roti di mangkuk-mangkuk karatan mereka….berebut bubur dingin di
panci-panci yang remuk oleh sepatu serdadu…(diam tak mampu melanjutkan kata-kata;
terbayang di benaknya wajah-wajah dan mulut-mulut mungil anak-anak yang kelaparan di
Gaza).

II

Lampu berubah. Musik.


Tiba-tiba ia seperti mendengar suara teman-temannya, datang dari berbagai arah. Ia
melonjak bahagia.

Made? Kau sudah siap? Kita akan melaut. Perahu itu sudah kuperiksa dengan sangat
teliti. Semuanya aman. Bagian-bagian yang rapuh sudah kutambal dengan lem dan seng. Aku
juga sudah membawakan air suci dari pura pesananmu. Kau tak usah khawatir, sahabatmu ini
masih cekatan seperti dulu.

(Memandang ke arah lain)

Hei..Joshua, Christin…kenapa kalian diam saja di situ? Ayo, aku tunjukkan apa yang
sudah kukerjakan. Kalian berdua pasti senang. (Menuju ke perahu lalu membuka sebuah kotak
berisi surat-surat) Lihat! Surat-surat untuk Tuhan sudah kukumpulkan; sebagian sudah
kukirimkan melalui pos, dan ini sisanya akan kita bawa bersama perahu ini. O ya, komik
kesukaan kalian juga sudah kubawa; kalian tinggal duduk manis di sana dan menikmati
ceritanya. Silakan sahabatku yang tampan dan cantik.

(Memandang ke arah lain)

Ali, Harun…maafkan aku sahabatku. Aku tak membawa ketapelmu. Aku pikir kita tak
membutuhkannya lagi. Tidak ada siapa pun yang harus kau hadang dengan senjata batumu itu.
Kita akan ada di tengah lautan; melihat matahari timbul dan tenggelam, langit bersih, dan
bintang-bintang cemerlang di hamparan gelap malam. Kalian pasti akan menyukai semua ini.

4
Kau bisa melukis malammu, Harun….sementara Ali akan mengaji menjaga kita dari segala yang
buruk dan jahat…

(Memandang ke arah lain)

Buteeeeeetttt……horas bah! Rindu kali aku denganmu. Lama tak dengar kau menyanyi
(Ia menyanyikan sebuah lagu batak sambil berjoget riang seakan sedang bernyanyi bersama
sahabatnya itu). Ha..ha..ha. Kau masih saja berlagak macam penyanyi rock n’roll rupanya. O,
ya…tugasmu dalam perjalanan ini adalah menyanyi! Tiap kali kau lihat kami jadi bosan atau
rindu dengan kampung halaman, kau harus menyanyi. Sepakat kan kau? Apa? Catur? Jangan kau
ragukan itu. Aku sudah menyiapkannya di perahu itu. Tapi kau harus janji, kita main catur secara
sportif, jangan kau pakai cara Bang Naga Bonar, ya?!

(Memandang kea rah lain, dan tiba-tiba suaranya menjadi lirih)

Mei-Lin….Ada apa? What? Kamu tak jadi ikut dengan kita? Kenapa Mei-Lin? Kalau kau
tak ikut; siapa yang akan mengatur kebutuhan kita sehari-hari. Kami semua tak pandai
manajemen apalagi akuntansi. Siapa yang akan mewakili kita kalau tiba-tiba ada orang asing
menghampiri perahu kita dan menanyakan ini-itu..? Hanya kau yang menguasai bahasa Inggris,
Perancis, Jerman, Rusia….Ayolah Mei-Lin…..Apa? Kau akan ikut orangtuamu ke Australi?

Diam terpaku. Duduk di tepi perahu.


Lampu Berubah. Musik.

Mei Lin adalah sahabatku, yang tiba-tiba menghilang setelah terjadi sebuah kerusuhan.
Made mati karena Leukimia, dia tak tertolong karena ayahnya hanya seorang nelayan; Pak
Nyoman, yang memberi perahu ini untukku. Butet….juga sudah tidak ada. Dia menjadi korban
saat terjadi perkelahian antara dua kelompok pemuda di kota kami. Ali dan Harun…keduanya
kukenal dalam sebuah olimpiade matematika untuk siswa sekolah dasar. Satu tahun setelah
mereka kembali ke negerinya, aku sempat melihat keduanya tertangkap sebuah kamera dalam
sebuah berita di televisi; keduanya tertembak di dada saat menghadang serdadu dengan
ketapelnya…

Joshua…Christin….mereka ikut terkubur dalam runtuhan gedung yang hancur karena


ledakan bom…

Itulah mereka, sahabat-sahabatku. Orang-orang yang mungkin tak akan pernah kalian
kenal atau kalian anggap tak ada. Tapi bagiku mereka tetap hidup dalam benakku, dalam hatiku.
Mereka tersembunyi dalam catatan kelam.

Satu orang anak yang mati; itu sudah terlalu banyak, terlalu besar dan terlampau berat
ditanggungkan….
(Menghela nafas amat dalam)

5
Dan kini, di Gaza, setiap jam—mungkin setiap menit, selalu ada anak-anak yang mati;
karena lapar, karena peluru, karena mortir, karena amarah….karena selalu ada yang dianggap
sebagai “orang lain” dan harus disingkirkan.

Mengapa amarah dan kebencian tak pernah berakhir…

III

Lampu Berubah.
Ia lalu kembali ke perahu, memeriksa beberapa benda yang tampak dikemas secara
khusus di sana.

Benda-benda ini, aku dapatkan dari sahabat-sahabatku tadi. Made, Ali, Harun, Joshua,
Christin, Butet, Mei Lin…Dengan menyimpannya aku masih bisa merasakan kehadiran mereka.
Di saat aku merasa sangat sendiri dan kerinduanku untuk menemani anak-anak di Gaza dianggap
sebagai “khayalan gila”, mereka mendatangiku dalam mimpi. Di sana, kami memiliki sebuah
perahu yang penuh dengan makanan, selimut, boneka, mainan, buku-buku…Dengan perahu itu
kami menempuh samudera. Kami seperti sebuah titik putih di tengah semesta kegelapan….

Diam. Terisak

Aku ingin sekali ada untuk saudara-saudaraku di Gaza. Aku …sangat-sangat ingin
menemani mereka….

Maka setiap hari, sepulang sekolah, atau di hari libur seperti ini, aku selalu mendatangi
perahu ini, mengumpulkan apa saja yang kuanggap bisa menyenangkan anak-anak di Gaza. Aku
membayangkan, mereka akan tersenyum dan memelukku saat menerimanya…

Setiap hari kutulis surat rinduku untuk mereka, sekadar menanyakan kabar atau
menanyakan mereka ingin makan apa….

Mungkin kalian pun akan menganggapku tak waras. Tapi apa yang bisa kulakukan untuk
sekadar melepas rindu dan rasa cintaku pada mereka; pada anak-anak di Gaza. Ayahku hanya
seorang nelayan….apa yang bisa kuberikan untuk mereka…

Kadang seharian aku hanya membayangkan, seluruh ikan yang ada di lautan ini datang ke
Gaza dan menjadi lauk-lauk yang telah matang di piring anak-anak yang kelaparan…
Hari ini, aku telah menulis surat terakhir untuk mereka. Dan setelah itu, perahu ini akan
kularungkan ke lautan..

Ia meraih salah satu surat dari dalam kotak di perahu, lalu membacanya

Tuhan, tolong kirimkan kedua tanganku ini ke Gaza, agar aku bisa selalu memeluk
saudara-saudaraku di sana. Tolong kirimkan kedua kakiku ini ke Gaza; agar aku bisa selalu

6
menopang saudara-saudaraku yang terkapar di kota-kota yang hancur terbakar. Tolong kirimkan
sepasang mataku ini ke Gaza; agar aku bisa menggantikan mata anak-anak yang menangis
karena ketakutan dan kehilangan. Tolong kirimkan dadaku ini ke Gaza, agar bisa menjadi perisai
bagi anak-anak yang diburu mortir dan peluru. Tuhan, tolong kirimkan tubuhku ini ke Gaza dan
ubahlah menjadi roti yang tak pernah habis agar tak ada lagi mulut-mulut mungil yang kelaparan
di bumimu yang kini penuh angkara…

Di ujung surat itu, ia tersimpuh, tersedu. Setelah beberapa saat, ia kembali bangkit dan kini
mulai mendorong perahu itu menuju laut. Tapi lalu tiba-tiba ia berhenti…

Apa? Kalian menanyakan aku siapa? Namaku Nusantara.

Ia kembali mendorong perahunya ke arah laut.

Lampu Padam.

TAMAT

Bandar Lampung, 7 Maret 2024.


*) Untuk anak-anakku tercinta di Gaza.

You might also like