Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

ATTHULAB:

Islamic Religion Teaching & Learning Journal


Volume ... Nomor ... Tahun ...
http://journal.uinsgd.ac.id./index.php/atthulab/

Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla


Shadra

Fitri Nurkhoiriyah1), Hakim Adila Rusyana2), Hana Nurhaliza3), dan Hilman4)

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jl. Soekarno-Hatta,


Cimincrang, Gedebage, Kota Bandung, Indonesia 40294
1)fitrinurkh207@gmail.com
2)hakimadila2018@gmail.com
3)hananurhaliza20@gmail.com
4)hilmannnn4@gmail.com

Abstract: This research discusses the types and methods of research used in analyzing the
philosophical thoughts of Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, and Mulla Sadra. The method
applied is qualitative, by collecting data from various trusted sources such as scientific books,
journals and philosophy books. The results of the analysis are presented in this article to
understand the unique and significant contributions of these three philosophers in the fields of
philosophy, mathematics, astronomy, theology, and mysticism. This research is qualitative in
nature, aims to understand, explain and explore in-depth understanding of the philosophical
thoughts of the three figures. Data collection methods involve books, articles, papers, journals, the
web, and other related information. The collected data is analyzed descriptively to achieve
appropriate results. The philosophical thoughts of Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, and Mulla
Sadra are the main focus of this research. Even though they lived in different periods, all three
made important contributions in various fields of science and tried to integrate rationality with
the spiritual dimension. Suhrawardi, as a leading figure in the Islamic philosophical tradition,
created a synthesis between philosophical thought and Sufism with the concept of light as the
main symbol. Nashiruddin al-Thusi, a 13th century philosopher, had broad thoughts in various
fields of science and influenced the development of Islamic science and philosophy. Mulla Sadra,
with his thoughts on perception, existence, and the movement of the soul towards perfection, made
a major contribution to Islamic thought. This research was conducted from 04-07 December 2023
at the residence of each researcher. It is hoped that the results will provide deeper insight into the
thoughts of the three philosophers and their contribution to the development of Islamic philosophy.

Keywords:
Thought, Philosophy, God, and Islam

Abstrak: Penelitian ini membahas jenis dan metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis pemikiran filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra.
Metode yang diterapkan adalah kualitatif, dengan pengumpulan data dari berbagai
sumber terpercaya seperti buku ilmiah, jurnal, dan buku filsafat. Hasil analisis
dipresentasikan dalam artikel ini untuk memahami kontribusi unik dan signifikan
ketiga filsuf tersebut dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, teologi, dan
mistisisme. Penelitian ini bersifat kualitatif, bertujuan untuk memahami, menjelaskan,
dan menggali pemahaman mendalam tentang pemikiran filsafat ketiga tokoh. Metode
pengumpulan data melibatkan buku-buku, artikel, makalah, jurnal, web, dan informasi
terkait lainnya. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk mencapai hasil

1
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

yang tepat. Pemikiran filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
menjadi fokus utama penelitian ini. Meskipun hidup pada periode yang berbeda,
ketiganya memiliki kontribusi penting dalam berbagai bidang ilmu dan berusaha
mengintegrasikan rasionalitas dengan dimensi rohaniah. Suhrawardi, sebagai tokoh
terkemuka dalam tradisi filsafat Islam, menciptakan sintesis antara pemikiran filsafat
dan tasawuf dengan konsep cahaya sebagai simbol utama. Nashiruddin al-Thusi,
seorang filsuf abad ke-13, memiliki pemikiran luas dalam berbagai bidang ilmu dan
memengaruhi perkembangan sains dan filsafat Islam. Mulla Shadra, dengan
pemikirannya tentang persepsi, wujud, dan gerak jiwa menuju kesempurnaan,
memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran Islam. Penelitian ini dilakukan mulai
tanggal 04-07 Desember 2023 di kediaman masing-masing peneliti. Hasilnya diharapkan
dapat memberikan wawasan lebih dalam tentang pemikiran ketiga filsuf tersebut dan
kontribusi mereka terhadap pengembangan filsafat Islam.

Kata Kunci:
Pemikiran, Filsafat, Tuhan, dan Islam

PENDAHULUAN
Pemikiran filsafat menjadi landasan intelektual yang kaya dan mendalam,
tercermin melalui pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Suhrawardi, Nasiruddin
Tusi, dan Mulla Shahrastani. Ketiganya memberikan kontribusi yang signifikan
dalam pengembangan filsafat Islam, masing-masing dengan pendekatan unik
dan pandangan mendalam terhadap realitas dan eksistensi.
Suhrawardi, yang dikenal sebagai "Sheikh al-Ishraq" atau Guru Iluminasi,
menonjolkan gagasan tentang 'Hikmat al-Ishraq' atau Filsafat Iluminasi.
Pemikirannya menggabungkan elemen-elemen mistis dengan filsafat, membawa
cahaya ilahi ke dalam domain pemikiran rasional. Konsepnya tentang "al-
Mashreq al-Falsafi" atau Timur Filsafat menjadi pusat perhatian dalam
mengeksplorasi hubungan antara cahaya spiritual dan pengetahuan metafisika.
Nasiruddin Tusi, seorang polymath ulung dari abad ke-13, tidak hanya
mencurahkan perhatiannya pada bidang filsafat, tetapi juga dalam matematika
dan astronomi. Dalam pemikirannya yang sistematis, ia mengembangkan
"Akhlak-i-Nasiri" yang menggabungkan etika dan filsafat politik. Tusi
menawarkan pandangan mendalam tentang hakikat eksistensi dan konsep
kebenaran mutlak, yang menjadi dasar bagi pemahaman moral dan sosial.

Mulla Shahrastani, tokoh penting dalam tradisi filsafat Islam, menyajikan


kerangka pemikiran yang inklusif dan komprehensif dalam karyanya "Al-Milal
wa al-Nihal" atau "Agama dan Masyarakat". Fokusnya terletak pada
pemahaman pluralitas keyakinan dan pandangan filosofis yang beragam dalam
dunia Islam. Kontribusinya menciptakan landasan bagi dialog antaragama dan
pemahaman toleransi dalam kerangka pemikiran Islam.
Melalui pemikiran-pemikiran Suhrawardi, Nasiruddin Tusi, dan Mulla
Shahrastani, terbentang suatu panorama filsafat Islam yang menggabungkan
spiritualitas, logika, dan etika. Dengan menggali lebih dalam ke dalam
pandangan-pandangan mereka, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih

2 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

mendalam tentang kompleksitas dan kekayaan tradisi filsafat Islam yang


membentuk dasar bagi pemikiran intelektual pada masa kini.
Artikel ini akan membahas latar belakang, pemikiran-pemikiran utama,
dan kontribusi ketiga tokoh ini dalam pengembangan filsafat Islam. Dalam
pembahasan ini, akan diuraikan secara sistematis dan komprehensif mengenai
pemikiran-pemikiran utama ketiga tokoh ini, serta bagaimana pemikiran-
pemikiran tersebut berkontribusi dalam pengembangan filsafat Islam.
Diharapkan artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam
mengenai pemikiran-pemikiran filsafat dari ketiga tokoh besar ini, serta
pentingnya pemikiran-pemikiran tersebut dalam konteks sejarah dan
perkembangan filsafat Islam.

METODE PENELITIAN
A. Jenis Dan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini kami menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan cara
pengumpulan data-data dari berbagai sumber terpercaya, seperti buku ilmiah,
jurnal ilmiah dan buku-buku filsafat sebagai titik acuannya. Pengambilan data
dilakukan dengan studi Pustaka yaitu suatu jenis penelitian yang pengkajiannya
secara objektif dan sumber datanya adalah buku-buku. Hasil analisis tersebut
disajikan dalam artikel ini, guna membantu mengetahui pemikiran filsafat
Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
B. Sifat Penelitian
Penelitian yang bersifat kualitatif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk
memahami, menjelaskan, atau menggali pemahaman merdalam tentang
fenomena atau peristiwa.
C. Metode Pengumpulan
Data Metode pengumpulan data diambil dari beberapa sumber data diantaranya
dari buku-buku, artikel, makalah, jurnal, dan web serta beberapa informasi
lainnya yang berhubungan dengan pembahasan. Setelah data terkumpul
selanjutnya metode analisis data, penulis menganalisis.
D. Metode Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang tepat (analisis
deskriptif) data yang dikumpulkan berupa kata lalu dianalisis hingga
menghasilkan kesimpulan.
E. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari hari kamis, tanggal 04-07 Desember 2023, di
kediaman masing-masing.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Biografi Suhrawardhi, Nashiruddin al-Tushi, dan Mulla Shadra
a. Biografi Suhrawardi
Shihab al-Din Yahya al-Suhrawardi, dikenal sebagai Sheikh al-Ishraq,
lahir pada tahun 1155 M di Suhraward, Persia. Pendidikannya dimulai di kota
asalnya, dan kemudian melanjutkan studi di Isfahan dan Baghdad, di bawah
bimbingan para cendekiawan terkemuka pada masanya. Suhrawardi menggali
ilmu-ilmu tradisional Islam dan filsafat Yunani, khususnya Plato dan

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 3
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

Aristoteles. Pencariannya untuk menyatukan filsafat dengan pemahaman mistis


Islam muncul dalam pemikiran awalnya.
Pada usia muda, Suhrawardi pindah ke Baghdad, pusat intelektual pada
zamannya. Di sini, dia mulai merumuskan pemikiran al-Ishraq (Filsafat
Iluminasi), yang menggabungkan elemen-elemen filsafat dan spiritualitas
dalam konsep cahaya sebagai simbol pengetahuan. Beberapa karyanya yang
terkenal termasuk "Hikmat al-Ishraq" atau "Filsafat Iluminasi" dan "Awarif al-
Ma'arif." Dalam karya-karya ini, Suhrawardi membahas konsep-konsep
metafisika dan keberadaan serta mengeksplorasi hubungan antara cahaya
rohaniah dan pengetahuan metafisika.
Suhrawardi, dalam upayanya untuk menyatukan filsafat dan mistisisme,
terlibat dalam konflik dengan para ulama ortodoks. Ia dianggap kontroversial,
dan pada tahun 1191 M, ia dihukum mati di Aleppo, Suriah. Namun, meskipun
kematian tragisnya, warisannya tetap hidup melalui pemikiran iluminatif yang
menginspirasi banyak pemikir setelahnya. Selain itu pemikiran Suhrawardi
memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan filsafat Islam,
terutama dalam upaya memadukan elemen-elemen rasional dan mistis.
Gagasan-gagasannya tentang "Hikmat al-Ishraq" memiliki dampak signifikan
pada perkembangan pemikiran filsafat dan spiritualitas di dunia Islam.
Pemikiran Suhrawardi tetap menjadi objek studi dan inspirasi dalam
lingkup filsafat dan mistisisme Islam saat ini. Banyak sarjana modern
mengapresiasi kontribusinya terhadap perbincangan mengenai hubungan
antara pemikiran rasional dan dimensi rohaniah.
Melalui hidupnya yang singkat tetapi intens, Suhrawardi membawa
terobosan penting dalam pemikiran filsafat Islam, menciptakan jembatan antara
logika dan kebijaksanaan mistis. Meskipun kontroversial pada masanya,
warisannya terus mengilhami dan mewarnai wacana filsafat Islam hingga saat
ini.

b. Biografi Nashiruddin Al-Tushi


Nasir al-Din al-Tusi, lahir pada tahun 1201 M di Tusi, Khorasan (sekarang
Iran). Awalnya, Ia mengejar studi di berbagai bidang ilmu, termasuk
matematika, astronomi, filsafat, dan teologi. Pendidikan dan Perjalanan
Intelektualnya adalah Al-Tusi menimba ilmu di Nishapur, tempat Ia belajar
matematika dan astronomi di bawah bimbingan para cendekiawan terkemuka
pada zamannya. Kemudian, Ia pindah ke Baghdad untuk melanjutkan studi
filsafat dan teologi, memperluas cakupan pengetahuannya.
Kontribusi Al-Thusi dalam bidang keilmuan adalah Al-Thusi membuat
kontribusi besar dalam bidang matematika dan astronomi. Karyanya "Tahrir al-
Majisti" adalah terjemahan dan komentar pada karya Ptolemy, memberikan
pemahaman baru tentang gerak planet. Ia pun mendirikan observatorium di
Maragha, tempatnya melakukan pengamatan astronomi yang akurat.
Kemudian Al-Thusi tidak hanya seorang ahli matematika dan astronomi
tetapi juga seorang pemikir teologis. Karya filsafatnya mencakup risalah
"Akhlak-i-Nasiri" di mana dirinya menggabungkan etika dengan filsafat politik,
mengeksplorasi konsep-konsep moral dan keadilan dalam masyarakat.
Kemudian Al-Thusi memiliki peran signifikan dalam dunia politik. Ia melayani
pemerintahan sebagai penasehat Ilkhan Hulagu Khan dan putranya, Abaqa

4 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

Khan, memegang berbagai posisi dalam pemerintahan dan memberikan


kontribusi besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Karya-karya al-Thusi menjadi sumber inspirasi untuk generasi
berikutnya, baik dalam bidang matematika, astronomi, maupun filsafat.
Pengaruhnya terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pemikiran
di dunia Islam dan Eropa.
Nashiruddin al-Din al-Tusi meninggal pada tahun 1274 M di Baghdad.
Warisannya tidak hanya berdampak pada dunia Islam tetapi juga berkontribusi
pada perkembangan ilmu pengetahuan di tingkat global. Karya-karyanya tetap
menjadi sumber studi yang penting dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui
keberagaman pengetahuannya dan peranannya dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan filsafat, Nasir al-Din al-Tusi menunjukkan bahwa integrasi
antara berbagai disiplin ilmu dapat memunculkan pemikiran yang holistik dan
berkualitas tinggi.

c. Biografi Mulla Shadra


Mulla Sadra, yang memiliki nama lengkap Sadr al-Din Muhammad al-
Shirazi, lahir pada tahun 1571 di Shiraz, Iran. Ia tumbuh dalam lingkungan yang
sarat dengan budaya intelektual dan spiritual, menciptakan dasar kuat untuk
pengembangan pemikirannya yang mendalam. Mulla Sadra menempuh
pendidikan di bawah bimbingan ayahnya sendiri dan mendalami berbagai
disiplin ilmu, termasuk filsafat, teologi, dan mistisisme. Pendidikan tingginya
melibatkan studi di Qom, di mana ia belajar di bawah bimbingan ulama-ulama
terkemuka pada masanya.
Mulla Sadra mengalami transformasi intelektual yang signifikan,
terutama ketika dia mengadopsi dan mengembangkan pemikiran filsafat
Transcendentalisme (Hikmat al-Muta'aliyah). Konsep inti pemikirannya adalah
tentang eksistensi dan konsep Wujud (keberadaan mutlak), yang menjadikan
pemikirannya unik dan mendalam.
Karya-karya Mulla Sadra mencakup "Asfar" atau "Hikmat al-
Muta'aliyah," yang merupakan risalah filsafat utamanya. Dalam karya-karya
ini, ia menyelidiki ontologi, epistemologi, dan konsep-konsep metafisika
dengan pendekatan yang sistematis. Kontribusi Mulla Shadra dalam filsafat
Islam adalah Mulla Sadra dikenal karena menyatukan pemikiran filsafat dan
teologi Islam. Kontribusinya melampaui pemisahan antara eksistensi dan
esensi, membawa gagasan tentang keberadaan sebagai pusat pemahaman
metafisika dalam tradisi Islam.
Pemikiran Mulla Sadra memiliki dampak yang signifikan pada
pemikiran filsafat Islam dan telah menjadi sumber inspirasi bagi banyak sarjana
dan pemikir setelahnya. Pengikutnya, yang dikenal sebagai "Hikmat al-
Muta'aliyah," terus mengembangkan dan merinci konsep-konsep yang
diperkenalkan oleh Mulla Sadra.
Mulla Sadra meninggal pada tahun 1640 di Basra, Irak. Warisannya tetap
hidup melalui karya-karyanya dan pengaruh mendalamnya terhadap
perkembangan filsafat Islam. Melalui perjalanan intelektualnya yang mencolok,
Mulla Sadra tidak hanya menjadi tokoh penting dalam sejarah filsafat Islam
tetapi juga meninggalkan warisan pemikiran yang terus mempengaruhi
diskursus filsafat kontemporer.

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 5
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

2. Pemikiran Filsafat Suhrawardi dan Pengaruhnya


Dalam salah satu perjalanan, Suhrawardi melakukan tur dari Damaskus
ke Aleppo, disanalah ia bertemu Malik Zahir, putra Salahuddin Ayubi –pemimpin
Muslim yang terkenal di Perang Salib. Malik Zahir yang sangat menyukai sufi dan
cendekiawan begitu tertarik pada Suhrawardi yang muda lagi bijak, dan ia lalu
meminta Suhrawardi untuk tinggal di istananya di Aleppo. Suhrawardi yang juga
sangat menyukai pemandangan tersebut, dengan senang hati menerima tawaran
Malik Zahir dan tinggal di istananya. Di kota Aleppo inilah ia menyelesaikan karya
besarnya, yaitu Hikmatul Isyraq. Yang kemudian beliau bicarakan secara eksplisit
kepada seorang cendikiawan yaitu Fakhruddin Mardini. Ceramah Suhrawardi
yang jujur dan langsung dalam mengekspresikan keyakinan esoteris kepada semua
orang, demikian pula kecerdikan dan kecerdasannya yang membuat Suhrawardi
berdebat dengan siapa pun dan memenangkannya, serta kemahirannya dalam
filsafat dan tasawuf, merupakan faktor yang menyebabkan ia bermusuhan dengan
banyak ulama, terutama para fuqaha. Akhirnya, atas dasar tuduhan bertentangan
dengan akidah dan agama, ia dihukum mati oleh Malik Zahir yang terpaksa karena
perintah Salahuddin Ayyubi akibat tuntutan dan tekanan para ulama. Berdasarkan
peristiwa tersebut beliau dijuluki al-maqtul atau yang dibunuh untuk
membedakannya dengan dua tokoh Suhrawardi yang lain. (Abdullah, 2020)
1. Sumber Pemikiran Filsafat Suhrawardi
Sumber-sumber pemikiran yang menjadi latar belakang pemikiran
Suhrawardi yang kompleks Menurut Husein Nasr bersumber dari lima aliran
pemikiran, yaitu sebagai berikut: 1) Pemikiran-pemikiran ahli sufi, seperti
karya-karya al-Hallaj (858-913 M), al-Ghazali (1058- 1111 M) dari karya beliau
yang berjudul Misykat al-Anwar, kitab yang menjelaskan tentang adanya
hubungan Nȗr (cahaya) dan iman yang mempunyai pengaruh langsung pada
pemikiran illuminasi Suhrawardi, 2) Pemikiran paripatetik Islam khususnya
Ibnu Sina tetapi ada kritik dari Suhrawardi terhadap sebagian dari konsep
filsafat Ibnu Sina yang menurut pandangannya menjadi asas penting dalam
memahami keyakinan-keyakinan isyraqi, 3) Pemikiran filsafat pra Islam, yaitu
aliran Pyitaghoras (580-500 M), Platonisme dan Hermenisme yang tumbuh di
Alexandria, 4) Pemikiran Iran Kuno (hikmah),Suhrawardi mencoba
membangkitkan kembali keyakinan-keyakinan baru dan memandang para
pemikir Iran-kuno sebagai pewaris langsung hikmah yang turun sebelum
datangnya bencana taufan yang menimpa kaum nabi Idris (Hermes), 5) ajaran
Zoroaster yang menggunakan simbol cahaya dan kegelapan. Dari
sumbersumber pemikiran tersebut menjelaskan bahwa pemikiran Isyraqi
Suhrwardi bersumber dari berbagai sumber pemikiran yang beragam, yakni
sumber dari pemikiran-pemikiran Islam dan juga pemikiran-pemikiran
nonIslam. Khususnya dalam penggunaan simbolisme cahaya dan kegelapan
serta angelologi (studi tentang kemalaikatan).(Nasir & Khalilurrahman, 2021)
Pemikiran Suhrawardi bersandar pada sumber-sumber yang beragam
dan berbeda, tidak hanya Islam tetapi juga non-Islam, meski secara garis besar
bisa dikelompokkan dalam dua bagian: pemikiran filsafat dan sufisme. Namun,
yang harus menjadi perhatian, hal itu bukan berarti Suhrawardi melakukan
pembersihan terhadap pemikiranpemikiran sebelumnya. Ia justru mengkliam
dirinya sebagai pemersatu antara apa yang disebut hikmah ladûniyah (genius)

6 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

dan hikmah al-atiqah (antik). Menurutnya, hikmah yang total dan universal
adalah hikmah (pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang
Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.
Lebih jauh, Suhrawardi bahkan mengklaim dirinya sebagai pusat pertemuan
dua cabang hikmah dunia. Menurutnya, juga menurut kebanyakan penulis
abad pertengahan, hikmah diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi
Idris (Hermes) sehingga ia dipandang sebagai pendiri filsafat dan ilmu-ilmu
(wâlid al-hukamâ’).
Berbeda dengan kebanyakan penulis, Suhrawardi tidak menganggap
tokoh-tokoh filsafat paripatetik Islam seperti al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina
serta para filosof lainya sebagai seorang filosof melainkan hanya sebagai
perintis sufisme. Ia justru menengok Abu Yazid Bustami (w. 877 M) dan Abu
Muhammad Sahal ibn Abdillah Tustari (815- 896 M), dan menilainya sebagai
seorang filosof dan ahli hikmah yang sesungguhnya. (Soleh, 2011)
2. Filsafat Isyraqi Suhrawardi
Mengulas pemikiran Suhrawardi tidak bisa terlepas dari pembahasan
tentang Isyraqi. Kata isyrâq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan
bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Tegasnya, isyraqi
berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan
sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang
membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang
keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia
menderita. Illuminiation, dalam bahasa Inggris yang dijadikan padanan kata
isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat,
illuminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari
kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan harmoni.Bagi kaum
isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan
perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya
pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada
cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan
dapat dicapai bersama-sama. Karena itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber
pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang itu berupa semacam hads yang
menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah simbol
utama dari filsafat isyrâqi. Simbol cahaya digunakan untuk menetapkan satu
faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang
primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingkat intensitas
pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol cahaya merupakan karakter
dari bangunan filsafat isyrâqi. (Soleh, 2011)
Dalam bahasa Arab, filsafat Illuminasi disebut sebagai hikmah al-isyraq,
yang terdiri dari dua kata yaitu kata hikmah dan kata al-isyraq. Kata hikmah
memiliki kemiripan arti dengan kata falsafah. Kata falsafah lebih dahulu
digunakan oleh filsuf muslim daripada kata hikmah. Kata falsafah berasal dari
bahasa Yunani, yaitu philosophia. Merupakan gabungan dari kata philo yang
berarti cinta dan Sophia yang artinya kebijaksanaan. Maka secara harfiah falsafah
bermakna cinta kebijaksanaan. Kata falsafah berarti sebuah kata hasil Arabisasi
dari kata philosophia sebagai bahasa Yunani, ke bahasa Arab. Kata falsafah
memiliki arti sebagai usaha yang dilakukan oleh filsuf. Para filsuf Muslim
menggunakan istilah hikmah, menurut mereka kata hikmah identik dengan kata
falsafah, maka secara literal hikmah artinya kebijaksanaan. Secara terminologi,

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 7
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

kata hikmah berarti hasil aktifitas sintesis antara rasio dan intuisi manusia dalam
memahami realitas. Pengidentifikasi kata hikmah dan kata falsafah adalah
sebagai upaya penyesuaian ajaran Islam dengan Filsafat. Dalam Alquran kata
hikmah telah disebutkan sebanyak 20 kali, karena kata hikmah diidentikkan
dengan kata falsafah, maka Alquran tidak menolak aktifitas filsafat. Sementara
kata al-isyraq dimaknai sebagai illuminasi, yang memiliki arti sebagai cahaya
pertama pagi hari, yakni cahaya matahari dari Timur. Jadi, Isyraq berarti cahaya
pancaran cahaya. Dengan demikian, hikmah al-isyraq berarti kebijaksanaan
cahaya, kebijakan illuminasi dan kebijaksanaan timur. Inti filsafat illuminasi
adalah ilmu tentang cahaya, baik dari teori sifat maupun cara pembiasan
cahaya.
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, filsafat illuminasi tentu memiliki
beberapa beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran
yang lain, ditinjau dari sudut metodologis, ontologis, dan kosmologis. Berbeda
dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai
metode berpikir dan pencarian kebenaran, filsafat illuminasionis mencoba
memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani), sebagai
pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Suhrawardi
mencoba mensintesiskan dua pendekatan burhani dan irfani dalam sebuah
sistem pemikiran solid dan holistik.Suhrawardi mengklasifikasikan pencari
kebenaran ke dalam tiga kelompok yaitu: pertama, mereka yang memiliki
pengalaman mistik yang mendalam (seperti para sufi) tetapi tidak mempunyai
kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif. Kedua,
mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki
pengalaman mistik yang cukup mendalam. Pengalaman mistik sangat penting
untuk mengenal secara langsung realitas sejati, sehingga tidak hanya bersandar
pada otoritas masa lalu saja, seperti yang dapat ditemukan pada para filosof
peripatetik, dan ketiga, mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik
yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa
diskursif, seperti yang terjadi pada diri Plato di masa lampau dan dirinya
(Suhrawardi) pada masanya.
Manusia yang sudah mencapai derajat tinggi berada pada posisi ketiga,
dimana seseorang sudah mampu menggunakan mata hati dan akal budi dalam
memahami realitas kehidupan. Ditambah lagi dengan pengalaman mistik yang
dimilikinya membuat orang tersebut mampu menyaksikan kebenaran sejati
yang tidak dapat diperoleh dengan cara apapun. Tentu saja seseorang yang
menempati derajat ini akan bertingkah laku mulia jauh dari perbuatan maksiat.
Dengan kemampuan mengenal diri maka sesesorang akan sampai pada
pengenalan sang Khalik yang telah menciptakannya. (Dewi, 2015)
3. Hakekat Tuhan menurut Suhrawardi
Tuhan, menurut al-Suhrawardi. adalah “Nur al-Anwar” (Cahaya dari
segala Cahaya) dan merupakan wujud realitas yang bersifat absolut tidak
terbatas, karena tidak terbatas sehingga atas kehendak-Nya, maka segalah
sesuatu yang ada di dunia ini beserta isinya tercipta.
Nur al-Anwarr adalah Zat Tuhan, yaitu Allah swt. yang memancarkan
cahaya-cahaya (emanasi) terus menerus secara berkesinambungan, dan melalui
sinar-sinar itu maka terciptalah segala wujud dari segala kehidupan. Dalam
pandangannya, bahwa yang mula-mula terpancar dari Nur al-Anwar adalah Nur
alAqrab. Cahaya ini merenung kembali kepada Nur al-Anwar dalam keadaan

8 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

langsung tanpa terhalangi oleh tabir pemisah dan menerima penyinaran


langsung dari pada-Nya. kemudian beliau mengungkapkan kembali
sebagaimana dikutip dalam pandangan Abu al-Wafa yang menjelaskan bahwa
ada tiga alam yang melimpa dan limpahan itu berasal dari hakekat Nur alAnwar
(Tuhan). Pertama, meliputi cahaya-cahaya yang menguasai anatara lain ialah
akal aktif ataupun ruh suci; kedua,. meliputi jiwa-jiwa yang mengendalikan
bintang-bintang di langit maupun manusia; ketiga meliputi tubuh elemnter
yaitu tubuh-tubuh eter yaitu tubuh yang berada dibawah dari benda langit,
kemudian ditambah dengan alam idea yang disebut dengan pengalaman
mistik".
Jadi, dengan keterangan di atas dapat difahami bahwa alSuhrawardi
menggunakan analogi atau pariasi bahasa sangat rumit dimengerti, sehingga
memerlukan kerangka idea atau rasio secara logika untuk memahaminya,
bahwa yang dimaksudkan adalah Tuhan sebagai Nur al-Anwar sebagaimana
dikemukakan Sayed Husein Nasr bahwa yang dimaksudkan al-Suhrawardi
adalah Zat atau cahaya mutlak pertama dari Allah swt., lalu memancarkan
(emanasi) kepada yang dikehendaki-Nya sesuai dengan kekuasaan-Nya.
Untuk mencapai tingkat persatupaduan kembali dengan Tuhan atau
Hakekat Nur al-Anwar, maka manusia harus melalui beberapa station atau maqam.
Di antara maqam itu adalah; taubat, zuhud, ridha tawakal dan mahabbah. Disamping
itu, dia juga harus berpuasa, bangun salat di tengah malam, berzikir, membaca
Alquran sebagai wujud rasa rindu ingin bertemu dan berdialog dengan Tuhan
sebagai sumber dari segala sumber Nur alAnwar.
Apabila seorang sufi telah memasuki alam ketuhanan maka yang dialami
atau dirasakan adalah kenikmatan dan ketenangan batin dengan melalui
tingkatan-tingkatan syahadat sebagai wujud pengakuan terhadap Allah swt.
Adapun tingkatan syahadat yang dimaksudkan al-Suhrawardi adalah;
Pertama, La ilaha illa-Allah (Tiada Tuhan Melainkan Allah). Maksudnya, yang
pertama diikrarkan adalah sifat dasar pengakuan kita terhadap Allah swt. (Nur
al-Anwar), dengan demikian hanya orang berimanlah yang terbuka
kemungkinan bersatu dengan Tuhan-Nya; kedua, La hua illa Hua, yang berarti
hanya Allah (Anwar) yang berhak disebut Dia. Merupakan kesungguhan
sebagai penyebab segala sesuatu atau penyebab timbulnya dari segala cahaya-
cahaya yang ada (pancaran Nura al-Anwar); ketiga, La anta illa Anta, yang berarti
hanya Allah (Nur al-Anwar) yang pantas disebut Engkau. Term Engkau (anta).
dalam kalimat ini menunjukan bahwa, pada saat yang demikian sudah terjadi
syuhud (penyatuan) dalam posisi saling berhadapan, sehingga terbuka dialog
antara manusia dengan Tuhan; keempat, La Ana illa Ana. Maksudnyabahwa
hanya Allah disebut Aku, hal ini berarti bahwa pada tingkatan ini yang
memiliki personaliti atau syakhsyiyah (kemutlakan) hanya Dia Allah, sedangkan
akunya manusia sudah lebur dari kesdarannya karena sudah fana’ dan pada saat
itu sudah tidak ada jarak antara manusia dengan Tuhan, dan percakapan yang
terjadi adalah menolong (yang berbicara pada hakikatnya adalah Tuhan melalui
lidah insaniyah); kelima, Kullu syaihalikun illa wajhahu, selain Allah sudah lebur
dan yang tinggal abadi hanya Dia, karena manusia sudah fana’ fi’ Allah, maka
dia memasuki alam Ilahiyat sehingga kekal bersama Dia. Pada pase inilah
sehingga terjadi kesatuan wujud, karena segala sesuatu telah fana’. Seperti
halnya Abu Yasid al-Bustami dalam konsep kefanaannya. Beliau
mengungkapkan bahwa sirnanya segala sesuatu selain Allah dari

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 9
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

pandangannya, dimana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat


yang satu yaitu Allah swt., bahkan dia tidak lagi melihat dirinya karena terlebur
dalam Dia, dan keadaan seperti inilah terjadi penyatuan dengan yang Maha
Benar. Penyatuan ini tersurat dalam ucapan Abu Yasid al-Bustami : “Aku pun
keluar dari yang Maha Benar dan menuju yang Maha Benar, aku pun berseru,
dan Engkau yang aku dari yang Maha Benar (ibarat cermin ketika hamba
melihat dirinya)”.Berdasarkan pandangan di atas, penulis menilai bahwa
konsep tentang Tuhan al-Suhrawardi dan Abu Yazid al-Bustami, memiliki
kesamaan sebagaimana terlihat dalam ungkapan-ungkapannya, meskipun al-
Suhrawardi menggunakan bahasa-bahasa simbol yang memang memerlukan
analisis secara rasional seperti diungkapkan oleh Sayyed Husein Nasr di atas.
Karena itu, menurut paham ini bahwa hubungan manusia dengan Tuhan
merupakan arus bolak-balik. Maksudnya, ada hubungan yang bersifat dari atas
ke bawah dan dari bawah ke atas, dan kemudian terjadilah ittihad. Berarti segala
sesuatu telah kembali kepada asalnya yaitu Nur al-Anwar yang tiada suara,
bebas dari dimensi ruang dan waktu tidak bergerak tetapi menggerakkan dan
tidak memiliki bentuk. (Ahmad, 2006)
4. Konsep Manusia menurut Suhrawardi
Berbicara tentang manusia, Suhrawardi memiliki pandangan tersendiri,
sebagaimana disebutkannya bahwa manusia tidak diciptakan secara langsung
oleh Allah Swt, karena Allah Swt sebagai al-Nur al-Anwar, hanya memunculkan
satu makhluk saja secara langsung, yakni Nur al-Aqrab (cahaya terdekat).
Suhrawardi berkata maka yang muncul pertama kali dari-Nya adalah cahaya
murni tunggal, yaitu cahaya terdekat dan cahaya teragung. Suhrawardi
menambahkan bahwa tidak ada satu yang muncul dari cahaya maha cahaya
(Allah Swt) selain cahaya terdekat. Dengan demikian, manusia tidak berasal
dari Allah Swt secara langsung, dan manusia bukan ciptaan pertama Allah Swt.
Sebab Allah Swt, hanya memunculkan (yashdur) Nur al-Aqrab secara langsung.
Hal ini dikarenakan manusia memiliki fisik, dan fisik manusia berasal dari
kegelapan, bukan cahaya. Jasad manusia pada awalnya diciptakan dari tanah,
baru kemudian ditiupkan roh, yang menjadikan manusia dapat menikmati
kehidupannya. Kegelapan tidak akan mungkin dipancarkan oleh Cahaya Maha
Cahaya secara langsung, karena alasan itu al-Nur al- Anwar tidak memunculkan
manusia secara langsung, namun memunculkan manusia dengan perantara.
Keyakinan Suhrawardi ini tidak memunculkan paham pluralis
penciptaan, alasannya berkaitan dengan hukum sebab akibat. Bahwa dunia fisik
menjadi alam akibat dari alam cahaya pengatur, jadi alam cahaya pengatur
menjadi sebab bagi keberadaan dunia fisik. Alam cahaya pengatur menjadi
akibat dari alam cahaya pemaksa, sehingga alam cahaya pemaksa menjadi
sebab dari keberadaan alam cahaya pengatur. Sementara alam cahaya pemaksa
menjadi akibat dari al-Nur al-Anwar, dan al-Nur al-Anwar menjadi sebab bagi
eksistensi alam cahaya pemaksa. Dapat dipahami bahwa sebabnya sebab
menjadi sebab bagi akibatnya, atau akibat menjadi akibat dari sebab. Maka
seluruh keberadaan ini dapat dikatakan sebagai akibat-Nya, karena seluruh
sebab selain Allah Swt merupakan akibat-Nya dan mereka menjadi sebab
karena-Nya. Allah Swt sebagai hakiki sebenarnya, sementara sebab-sebab lain
berperan sebagai sebab perantara.
Melanjutkan pembahasan Suhrawardi tentang penciptaan manusia,
maka setelah al-Nur al-Anwar (Allah Swt) memunculkan Nur al-Aqrab secara

10 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

langsung, maka Nur al- Aqrab memainkan peran sebagai penghasil cahaya-
cahaya lain. Karena Nur al-Aqrab memiliki kemandirian eksistensi sebagai
anugerah dari Ilahi, dan Nur al-Aqrab menyaksikan kemuliaan dan keagungan-
Nya, maka Nur al-Aqrab memiliki kemampuan memunculkan cahaya abstrak
lain. Nur al-Aqrab memunculkan cahaya abstrak yang kedua, cahaya abstrak
kedua memunculkan cahaya abstrak ketiga, cahaya abstrak ketiga
memunculkan cahaya abstrak keempat, 21 begitu seterusnya hingga cahaya
terakhir telah melemah, tidak dapat memancarkan cahaya lagi karena telah jauh
dari sumber cahaya. Tiap-tiap cahaya abstrak memunculkan cahaya abstrak
lain, selanjutnya membentuk tatanan vertikal dari cahaya paling tinggi menuju
cahaya paling rendah. Setiap cahya abstrak ini menghasilkan barzakh (alam fisik)
masing-masing. Setiap alam fisik memiliki cahaya pengantur, cahaya-cahaya
pengantur ini dikenal sebagai cahaya agung (al-anwar al-isfahbad). Cahaya-
cahaya pengatur ini berperan sebagai pengatur makhluk-makhluk alam fisik,
dan setiap spesies memiliki cahaya pengatur masing-masing. Urutan proses
penciptaan manusia dari al-Nur al-Anwar menuju manusia sangat panjang
sekali. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak berasal langsung dari
AllahSwt. Namun manusia dimunculkan-Nya secara tidak langsung, sebab
Allah Swt memberikan kuasa kepada alam cahaya pengatur menghasilkan
manusia. Cahaya pengatur seluruh manusia dikenal sebagai al-Anwar
Isfahbadiyyah. Cahaya pengatur seluruh manusia dikenal sebagai Jibril, yang
berperan sebagai cahaya pengatur seluruh manusia.
Suhrawardi menjelaskan tentang insan kamil, jelas dipengaruhi oleh
filsafat illuminasinya. Menurut Suhrawardi seorang manusia dikatakan sebagai
insan kamil, jika manusia tersebut mampu memperoleh pengetahuan sesuai
dengan pengembangan daya dirinya yaitu daya intelektual dan daya intuisi.
MenurutSuhrawardi, seorang filsuf penggabung teosofi (pengguna daya intuisi)
dan filsafat diskursif (pengguna daya rasional) itulah pemangku otoritas, sang
khalifah Allah Swt. Jadi ketika seorang manusia mampu mengembangkan
secara optimal kedua daya tersebut, maka filsuf tersebut menjadi seorang insan
kamil.
Pemikiran Suhrawardi, terdiri atas Hikmah al-Isyraqiyyah, berpengaruh
terhadap perkembangan filsafat Islam dalam beberapa aspek. Berikut ini
beberapa dampak pemikiran Suhrawardi terhadap perkembangan filsafat
Islam:
a. Penggabungan Rasionalitas dan Perasaan Beragama: Pemikiran
Suhrawardi mencoba memadukan rasionalitas Aristotelian dengan
perasaan beragama (dzauq) untuk mencapai pengetahuan tertinggi.
b. Pengaruh Iluminasi: Pemikiran Suhrawardi bersandar pada sumber-
sumber yang beragam dan berbeda, tidak hanya Islam tetapi juga non-
Islam.
c. Pemaksaan Rasionalisme dan Empirisme: Para intelektual Islam tidak
melarang rasionalisme tetapi tidak menyukai rasionalisasi segala
sesuatu, pemak saan diri. Suhrawardi mengklaim dirinya sebagai
anggota jamaah hukama Iran dan mengambil kebijakan 'kebatinan' yang
berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnahyang
tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
d. Pengaruh pada Sufisme: Pemikiran Suhrawardi mempengaruhi
pembentukan tarekat-tarekat Sufi dan sistematisasi pemikiran mistis.

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 11
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

e. Pengaruh di Keseluruhan Islam: Pemikiran Suhrawardi sangat


berkembang di daerah-daerah yang secara historis dan peradaban
memiliki latar belakang intelektual yang sama, seperti Persia dan
kawasan sekitarnya.

3. Pemikiran Filsafat Nashiruddin al-Thusi dan Pengaruhnya


Muhammad bin Muhammad bin al-Hasan at-Thūsī, dia dilhirkan di Thus
pada tahun 1135 dan meninggal pada tahun 1213, Ath Thusi adalah seorang penulis
yang produktif pengetahuannya yang mencakup berbagai bidang keilmuan seperti
Filsafat, Logika, Matematika, Fisika, Astronom, Kedokteran, Mineralogi, Musik,
Sejarah, dan lain-lain, telah mengilhaminya untuk menghasilkan tulisan yang yang
sangat banyak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Ath Thusi juga salah
seorang filsuf ketimbang seorang ilmuwan. Walaupun di dalam filsafat Islam Ath
Thusi dianggap sebagai seorang revivalis (orang yang “sekedar” membangkitkan
kembali) setelah kemunduran pemikiran Islam akibat serangan tentara Hulagu ke
wilayah-wilayah Islam pada awal abad ke-13, itu bukan berarti bahwa ia hanyalah
seorang penjelas dan karenanya tidak mempunyai pemikiran yang orisinal. Ath
Thusi adalah seorang pemikir yang keluasan pengetahuannya sungguh
mengaggumkan. Dia sering dianggap pencetus gagasan trigonometri sebagai suatu
disiplin matematika tersendiri. Dia merupakan seorang Muslim Syiah Dua Belas
Imam.
Selain megomentari dan menjelaskan pemikiran-pemikiran sebelumnya,
Al-Thusi juga memperkaya pemikiran tersebut dengan ide-idenya. Di dalam
pemikiran-pemikirannya, Al-Thusi sangat dipengaruhi oleh Ibn Sina, seperti di
dalam filsafat, metafisika, logika, ilmu sosial, politik, psikologi dan lain-lain.
Meskipun demikian, Al-Thusi juga banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh lain,
seperti Al Farabi, Al Ghazali, Ibn Miskawaih, dan Al Kindi. (Thusi, 2018)
Abad 13 ialah "kekhalifahan" sangat kritis bagi muslim, oleh karena itu
banyak diskusi politik aktif saat itu, bahkan mungkin sulit untuk mengenali debat
politik asli dari periode yang relevan dalam sejarah Mongol. Namun, Al-Thusi
adalah anggota cemerlang yang melakukan perang intelektual juga pemerintahan
pada saat itu. Al-Thusi tidak membuat manuskrip baru; sebaliknya, dia
menggunakan juga mengembangkannya yang telah ada. Iapun belajar asalusul
Yunani juga Islam, terutama melalui tulisan-tulisan Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu
Sina, juga lainnya. Iapun masyhur sebagai penguasa pada teologi juga fikih di kota
Nishapur, berperan sebagai peradaban yang sangat berkesan.
Pada tulisan-tulisan religiusnya, Al-Thusi mengadopsi tulisan-tulisan
Neoplatonis yang menekankan ialah orang yang berakal (disebut "hukama") belum
tentu adalah filsuf. Sebagaimana dinyatakan oleh Nashiruddin Al-Thusi sendiri,
keberadaanya Tuhan tidaklah dapat dibuktikannya, tetapi seperti doktrin, umat
manusia yang memerlukan pendidikan otoritatif selain filsafat. (Tartila, et al., 2023)
Pada tulisan-tulisan politiknya, Al-Thusi tidak pernah lupa
menyebutkan tradisi Aristoteles dan Iran. Ia akan selalu menjalin relasi diantara
Syiah juga filsafat dengan genre nasehat pada raja. Buku ini disebut sebagai buku
"filsafat praktis". Fokusnya adalah pada kepedulian individu, kelompok, dan
komunitas lokal terhadap perkotaan, provinsi, pedesaan atau raja atau ratu. (Tartila,
et al., 2023)
Al-Thusi mengambil keputusan untuk menuntut filsafat dengan fikih
didasarkan keyakinan bahwa perbuatan, baik dengan mengorbankan fitrah

12 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

maupun adat, terkadang menjadi fokus. Fitrah membekali manusia dengan


“prinsip kebijaksanaan” yang dikenal dengan “ilmu batin” dan “kebijaksanaan”.
Sebaliknya, adat mengacu perselisihan komunal ataupun telah diajarkan pada nabi
ataupun imam, dan itu mengacu terhadap hukum yang bentuk fikih. (Murtiningsih,
2012).
Bagi individu, kelompok, dan penduduk daerah atau kota yang terpencil,
semuanya kembali normal. Menurut hal ini, filsafat memiliki seperangkat
keyakinan yang stabil, sedangkan fikih atau bahkan hukum Tuhan dapat berubah
karena revolusi, bencana, perbedaan antara masa lalu dan sekarang, serta terjadinya
dinasti peralihan. Menurut pandangan Ismailiyah, seorang yang menyatakan
tidaklah ada yang namanya suatu bangsa atau sudah tidak ada lagi akhir-akhir ini
adalah salah. Hal ini dibuktikan dengan pembahasan para ahli tentang perubahan
hukum negara yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, imam lainnya. Alhasil, Al-
Thusi menerima syariat menjadi satu kesatuan, tidak berubah. (Black, 2006).
Adapun pada pemikirannya terbagi tiga yakni:
1. Filsafat Metafisika
Pandangan Al-Thusi, metafisika terbagi pada ilmu ketuhanan ('Ilmi
Ilahi), kemudian filsafat pertama (Falsafah Ula). Tuhan, akal, juga jiwa
semuanya termasuk dalam Ilmu Ketuhanan bersama pengetahuan tentang pagi
semesta juga beberapa hal yang terkait pada filsafat pertama, pagi semesta.
Pengetahuan tentang eksistesi juga esensi, kekekalan serta ketidakekakalan,
ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan kemungkinan, kelompok
ketunggalan juga kemajemukannya. Pengetahuan ke-Nabian termasuk sebagai
bagian dari cabang cabang (furu') metafisika (Nubuwwat). Pernyataan tesisnya
menegaskan bahwa metafisika merupakan komponen esensial Islam dan
khususnya penting untuk kategori keyakinan agama tertentu. (Syarif, 1963).
Menurutnya, keberadaan Tuhan sebagai dalil (yang sudah ditegaskan dengan
adanya Allah) membutuhkan tindakan manusia daripada pembuktian.
Kepembuktiannya keberaan Tuhan, ataupun juga wujud Tuhan, pada manusia
ialah mustahil sebab pada pemahannya manusia akan kewujudan tuhan sulit
dipastikan. Walaupun Al-Thusi membahas metafisika Ketuhanan dan filsafat
generasi pertama, ia tidak cukup menjawab pertanyaan ada atau tidaknya
Tuhan sebab ini ialah suatu yang ada pada luar nalar pemahamannya manusia.
Al-Thusi memiliki sudut pandang yang sama dengan filsuf lain yang
mempromosikan teori penciptaan dari ketiadaan, atau ex nihilo, yang
menegaskan adanya sesuatu dari ketiadaan.
2. Filsafat Etika
Adapun filsafat etika ini bertujuan agar dapat menemukannya cara
kehidupan agar mencapai kesejahteraan. Untuk hal itu maka manusia dituntut
agar selalu melakukan kebaikan, yang dimana hal itu merupakan diatas
keadilan juga cinta. Pandangan Plato, ini mencakup semua bentuk komunikasi
yang mencakup keahlian, keberanian, kesederhanaan, serta keadilan. Trinitas
jiwa yang terdiri dari keresahan, akal, dan kemarahan adalah contoh utama dari
hal ini. Tapi Al-Thusi, yang disejajarkan pada Ibnu Maskawaih. Memberi
tempat kebaikan pada keadilan juga kasih sayang di atas kebaikan menjadi
dasar kesatuan alam. Perbuatan jahat sering terusik oleh jahat. Penyakit, selain
kebaikan dan kejahatan, adalah satu-satunya faktor yang mempengaruhi etiket.
Gangguan yang paling signifikan adalah gangguan moral manusia, yang
berfungsi sebagai kelainan jiwa dari keseimbangan. Al-Thusi menjelaskan, ada

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 13
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

empat kemungkinan penyebab kelemahan moral ini: keberlebihan,


keberkurangan, ketidakwajaran akal, juga kemarahan, serta hasrat (Syarif,
1963).
Pada empat sebab itu, Al-Thusi menggolongkan tiga bagian ialah:
a) Kebingungan (hairat) Penyebab dari kebingunngan ialah oleh
ketidadapatan jiwa untuk mendamaikan perselisihan dan kesepakatan
karena adanya orang-orang yang keras kepala dan argumen yang lemah
pada setiap masalah yang diperdebatkan.
b) Kebodohan sederhana (Jahl Basith) Kekurangtahuan manusia memiliki rasa
takdir yang kuat yang akan mengarah pada satu peristiwa tertentu tanpa
menyiratkan ia yang tidak memahaminya. Itu ialah satu masa ia yang
disebut sebagai tumpu dari pencarian pengetahuan, tapi itu sangat fatal jika
terasa puas pada saat itu.
c) Kebodohan fatal (Jahl Murakkab) Disebabkan oleh manusia yang
kekurangtahuan pada suatu hal dan dia tahu akan hal itu. Meski bodoh,
namun ia tidaklah sadar. Menurut Al-Thusi, kondisi yang dimaksud adalah
kondisi yang hampir tidak mungkin untuk diobati, namun dengan pelatihan
matematika yang tepat secara teratur, akan memungkinkan untuk
mengubahnya menjadi kondisi kooperatif. (Suryadi 2009) . Pada Pandangan
Al-Thusi secara gamblang, manusia ialah makhluk sosial, hingga untuk
melindungi kekayaan intelektualnya dari manusia lain, mereka harus
mencapai ambang batas tertentu dari perilaku yang dapat diterima satu
sama lain sampai pada titik kesucian. Tujuan ini dinyatakan dengan hati-
hati. Umat manusia perlu bertahan hidup, jadi sangat menakjubkan bahwa
kita bisa menjalani hidup kita dengan bantuan orang lain juga.
3. Filsafat Jiwa
Dalam pembahasannya tentang jiwa, Al-Thusi menyatakan bahwa itu
adalah realitas yang bisa dibuktikan dengan sendirinya, dan oleh karena itu
tidak perlu pembuktian kepalsuan lainnya. Jiwa juga tidak bisa dibuktikan salah
dengan bahasa biasa. Masalah ini, pemikiran yang terlepas dari keeksistensian
yang dari pada orang itu sendiri ialah satu hal yang mustahil kemusykilannya
yang rasio dalam adanya satu argumentasi penduduk perihal keberadaan
seorang ahli argument juga suatu persoalan di Jiwa.
Demikianlah sosok seorang Nashiruddin Thusi sebagai pemikir dan
filsuf Islam. Kecemerangan pemikirannya tidak terasa di masa hidupnya, tetapi
juga setelahnya melalui murid-muridnya, seperti Qutubuddnya Asy Syirazi dan
Nizam Al’A raj, bahkan pada masa kini, kita dapat menemukan pemikran-
pemikiran Ath Thusi d dalam karya-karya Murtadha Muthahhari. Ath Thusi,
bagi orang persia, adalah seorang guru besar sehingga dijuluki “Ustadza Al
Basyar” (Guru Manusia) dan juga seorang pemikir yang mempunyai wawasan
yang sangat luas sehingga disebut seorang “ensiklopedia” oleh Ivanow, atau
“orang yang paling memahami semua cabang-cabang filsafat” menurut Bar-
Hebraeus. (Thusi, 2018)
“Pengharuh Ath Thusi, khususnya di wilayah Islam bagian timur,
sungguh besar. Mungkin, jika kita melihat semua aspek, Ath Thusi adalah orang
yang lebih bertanggung jawab bagi kebangkitan sains Islam dibandingkan siapa
pun. Usahannya untuk mengumpulkan para pemikir dan saintis di Maraghah
bukan hanya menghidupkan kembali ilmu Matematika dan Astronomi, tetapi
juga membangkitkan kembali Filsafat dan Teologi Islam (Thusi, 2018).

14 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

Nasiruddin Al-Thusi merupakan seorang filosof yang pemikirannya sangat


berpengaruh tidak hanya pada tatanan pemikiran Islam, melainkan juga
mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat non-Islam di Barat. Filsosofi
yang digagas Al-Thusi didominasi oleh pemikiran mengenai alam metafisika
yang diiringi dengan pemahaman fikih. Tujuannya tidak lain adalah sebagai
upaya dalam membentuk kebijaksanaan dalam berpikir. Bagi Al-Thusi hukum
fikih secara adat masih terdapat banyak sekali perselisihan dan usaha yang
dapat dilakukan untuk dapat menyelesaikan persoalan tersebut adalah dengan
mamadukan cara berpikir fiqih dengan filsafat. (Tartila, et al., 2023)

4. Pemikiran Filsafat Mulla Shadra dan Pengaruhnya


a. Pemikiran Filsafat Mulla Shadra
Dalam memahami dan mengenal atau mendapatkan gambaran tentan g
seorang tokoh, salah satu jalannya adalah dengan mengetahui pikiran atau
pemikiran seorang tokoh tersebut, karena sesungguhnya pemikiran dan
pemahaman merupakan cerminan diri seseorang. Menurut Mustamin dalam
tulisannya tentang pokok-pokok Filsafat Mulla Shadra, yang tertuang dalam karya
terbesarnya al-Asfar, bahwa pokok-pokok pemikiran Mulla Shadra terbagi menjadi
tiga poin, yaitu: Persepsi, wujud, dasn gerak jiwa menuju kesempurnaan.
1. Persepsi
Dalam al-Asfar, Mulla Shadra mendefinisikan kata ”persepsi” memulai
dengan makna literal kata persepsi tersebut, sebagaiman dalam kamus bahsa
Arab, persepsi memiliki banyak makna, seperti perolehan (attaining),
pencapaian (reaching),kedatangan (arriving), penangkapan (catching),
penggenggaman (grasping), pemahaman (comprehending), dan kecerdasan
(discerning).
Persepsi dilihat dari sisi ‚yang mempersepsi‛ objek yang diketahuinya
maka persepsi itu mempunyai empat tingkatan, berdasarkan empat keadaan
yang berbedabeda dalam masing-masing “pertemuanya”.
a) Tingkatan persepsi yang pertama adalah: persepsi indra (al-Hissi). Pada
tingkatan ini bentuk objek persepsi mewujud di dalam materi, dan yang
mempersepsi menemukan bentuk tersebut didalam wujud-wujud material
pada dasarnya wujud dari objek-objek tersebut adalah aksiden-aksiden.
Aristotelian, misalnya kuantitas, kualitas, waktu, tempat, dan keadaan.
Didalam eksistensi eksternalnya sebagai sesuatu, bentuk tersebut terpisah
dari atribut-atribut aksidental dan sebenarnya melalui atribut-atribut itulah
kita dapat memahami objek tersebut melalui indra.
b) Tingkatan persepsi yang kedua adalah: imajinasi (khayal, takhayyul) yang
sebenarnya juga mempersepsi objek-objek indrawi dalam semua
karakterisrik dan kualitas. Namun, berbeda dengan persepsi indra,
imajinasi dapat memahami suatu objek tanpa mensyaratkan kehadiran
objek tersebut bagi indera.
c) Tingkatan persepsi yang ketiga adalah: wahm. Para filosof abad
pertengahan menerjemahkan kata ini sebagai ‚estimao‛, tetapi pemikir
modern tidak sependapat dengan makna yang sebenarnya dari kata ini dan
bagaimana menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris (yang tepat). (W.C.
Chittick, ed) sendiri menerjemahkan sebagai ‚intuisi indra‛ (sense intuition),
hanya untuk memaksudkan statusnya sebagai perantara antara akal dan

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 15
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

indra. Menurut Mulla Shadra, wahm adalah sesuatu yang partikuler,


sesuatu yang bersifat indrawi. Di dalam intuisi indra, jiwa memahami
sesuatu yang universal, tetapi masih di dalam suatu partikuler dan bukan
universal.
d) Tingkatan persepsi yang keempat adalah: inteleksi (ta’aqqul), yakni persepsi
terhadap quiditas dan bukan yang lain.
Menurut Mulla Shadra, empat tingkatan persepsi itu dibedakan
berdasarkan derajat keterlepasan (tajarrud) yang dicapai oleh objek-objek
persepsi (perceptibles). Tajarrud dalam pemikir modern diterjemahkan
sebagai ‚abstraksi‛ meskipun demikian, kata ini dianggap mengaburkan
makna tajarrud itu sendiri. Secara umum, di dalam filsafat Islam, beberapa
konsep yang menjelaskan tujuan akhir penyempurnaan manusia, telah
memaknai kata tajarrud ini dengan makna yang lebih signifikan. Didalam
arti yang sebenarnya tajarrud ini dinisbatkan (hanya) kepada Allah, yakni
Wujud Wajib dalam diri-Nya sendiri, karena (hanya) Wujud Wajib yang
tidak memiliki keterhubungan maupun keterikatan dengan apapun selain
diri-Nya sendiri
2. Wujud
Wujud dalam filsafat Mulla Shadra merupakan prinsip dimana filsafat
“al-hikmah al-muta’alliyah” ini dibangun. Menurut S.H. Nasr ada tiga prinsip
dasar teori dalam filsafat Mulla Shadra, yakni: wahdat al-wujud, tasykik al-wujud,
dan ashalat al-wujud. Selain tiga diatas Ahmad Muchammad Fahham
menambahkan satu prinsip lain yaitu al-Harakat al-Jawhariyyah.
Adapun wujud yang menjadi peinsip-prinsip dasar dalam filsafat Mulla
Shadradalah sebagai berikut:
a) Wahdat al-wujud. Menurut Seyyed Hosein Nasr bahwa teori yang
menyatakan bahwa wujud merupakan realitas yang sama di dalam semua
bidang eksistensi. Akan tetapi meskipun merupakan realitas tunggal, wujud
memiliki intesitas gradasi dan tingkatan-tingkatan. Teori ini akan lebih
mudah dipahami dengan melihat wujud cahaya, misalnya cahaya matahari,
cahaya lampu, dan cahaya kunang-kunang, dilihat dari segi subjeknya
ketiga contoh ini memiliki subjek yang sama, yaitu cahaya, tetapi dilihat dari
swig predikatnya ketiga contoh ini memiliki predikat yang berbeda, yaitu
kondisi atau bobot perwujudannya. Begitupun dengan wujud. Ada wujud
Tuhan, wujud manusia, wujud pohon dan seterusnya. Semua adalah satu
wujud atau satu realitas tetapi berbeda tingkatan intensitas perwujudannya.
Menurut Syaifan Nur, pandangan tentang wahdat al-wujud telah
dikemukan oleh berbagai filosof dan kaum sufi di sepanjang abad, dengan
tingkatan kedalaman dan keluasan yang berbeda-beda. Para teolog dan
kaum sufi sejak awal begitu tertarik dengan keesaan (Tauhid), yang
merupakan jantung dari wahyu. Para filosof muslim, baik peripatetik,
Isma’ili, maupun illuminasionis, juga telah membahas persoalan ini secara
luas. Diantara pandangan yang mengungkapkan tentang wahdat al-wujud,
hanya tiga pandangan yang punya arti yang cukup penting dalam
reformulasi filsafat Mulla Shadra tentang wujud, yaitu: pertama, pandangan
para ahli metafisika Isma’ili; kedua, para pengikut filsafat
Isyraqi/illuminasi; dan ketiga, berasal dari para sufi terkemuka terutama
aliran Ibn ‘Arabi.

16 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

Meskipun pandangan tentang wahdat al-wujud telah ada


sebelum Mulla Shadra, tetapi ditangan Mulla Shadra pembahasan ini
mendapatkan wajah baru, karena mendapatkan reformulasi dari hasil
sintesis dari berbagai pandangan sebelumnya, baik dari kaum teolog, sufi,
filosof dan ditambah dengan hasil perenungan dan pengalaman langsung
dari Mulla Shadra sendiri dalam penjelajahan ruhaniahnya.
b) Tasykik al-wujud
Teori tasykik al-wujud merupakan kelanjutan dari teori wahdat al-
wujud Mulla Shadra yang telah disebutkan diatas. Teori wahdat al-wujud
menyatakan bahwa manifestasi wujud yang hadir pada segala sesuatu
adalah satu, walaupun demikian, dilihat dari segi tingkatan kekuatan,
kedalaman dan kelemahan, manifestasi dalam wujud-wujud itu tentunya
berbeda-beda, seperti ada wujud Tuhan, wujud manusia, wujud hewan dan
seterusnya. Kemampuan wujud untuk memanifestasikan diri melalui
banyak corak dalam realitas, menurut Oliver Leaman itulah yang disebut
Mulla Shadra dengan tasykik al-wujud. Menurut Mulla Sadra terjadinya
gerak pada wujud disebapkan oleh adanya proses menguat dan melemah
pada dirinya. Setiap proses penguatan dan pelemahan adalah gerakan di
dalam kualitas. Sebagai mana setiap proses bertambah dan berkurang
adalah gerakan dalam kualitas.15 Berangkat dari prinsip tasykik al-wujud
yang menyatakan bahwa wujud itu bertingkat-tingkat ada wujud
wajib/sumber wujud dan wujud mumkin/wujud terbatas. Wujud mumkin
ini dibedakan dari intensitas kedekatanya terhadap wujud wajib. Semakin
dekat kepada wujud wajib semakin sempurnalah ia dan semakin lepas dari
hal material dan sebaliknya semakin jauh dari wujud wajib semakin tidak
sempurna dan semakin terbatas serta terikat pada hal-hal yang material.
c) Ashalah al-Wujud
Menurut Jalaluddin Rakhmat, Ashalah al-Wujud merupakan
jawaban Mulla Shadra terhadap persoalan wujud (eksistensi) dan mahiyyah
(kuiditas). Terdapat suatu pertanyaan yang perlu dijawab berkaitan dengan
persoalan wujud dan mahiyyah tersebut. Jika perbedan antara wujud dan
mahiyyah itu hanya ada dalam pikiran dan di dunia eksternal hanya satu
realitas, maka manakah dari dua konsep itu yang berkaitan dengan realitas.
Kaum paripatek dan kaum sufi, menurut Jalaludin Rahmat, menyatakan
bahwa mahiyyah hanyalah aksiden atau abstraksi mental, dan yang
berhubungan dengan ralitas eksternal adalah wujud. Sebaliuknya
Suhrawardi menyatakan bahwa wujud hanyalah formulasi abstrak yang
diperoleh pikiran dari substansi eksternal. Oleh karena itu, wujud adalah
aksiden dan yang menjadi prinsip adalah mahiyyah (ashalat al-mahiyyah).
Berbeda dengan Suhrawardi, Mulla Sadra lebih memilih wujud sebagai
yang principal (ashalat al-wujud) daripada mahiyyah.
Sebenarnya Mulla shadra adalah pendukung Ashalat al-
mahiyyah tetapi kemudian berbalik dan membantah pandangan ini. Hal ini
dapat diketahui dari ungkapan Mulla Shadra sendiri sebagai berikut: “pada
mulanya, aku adalah pendukung yang dengan penuh semangat
mempertahankan tesis bahwa mahiyah-mahiyah adalah asli dan wujud
adalah yang i’tibari, sampai Tuhan memberikan petunjuk kepadaku dan
membiarkanku melihat pembuktian-Nya. Secara tiba-tiba, mata batinku
terbuka lebar dan aku melihat dengan jelas bahwa yang benar adalah justru

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 17
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

kebalikan dari yang selama ini dianut oleh para filosof pada umumnya.
Segala puji bagi Tuhan yang melalui cahaya intuisi, membawaku keluar dari
ide yang tanpa dasar tersebut dan menetapkanku di atas tesis yang tidak
pernah akan berubah, baik di dunia sekarang ini maupun di akhirat kelak.
Sebagai akibatnya, sekarang ini aku menganut prinsip bahwa wujud adalah
realitas yang primer, sedangkan mahiyah-mahiyah merupakan a’yan
sabitah, yang tidak akan pernah mencium keharuman wujud. Seluruh
wujud tidak lain adalah sorotan-sorotan sinar yang dipancarkan oleh cahaya
sesungguhnya, yang secara absolut merupakan wujud yang hidup dengan
sendirinya, kecuali bahwa masing-masing mereka ditandai oleh sejumlah
sifat esensial dan konsep-konsep yang bisa dimengerti, yang dikenal sebagai
mahiyah-mahiyyah”.
3. Gerak Jiwa Menuju Kesempurnaan dan al-Asfar al-arba’ah
Salah satu prinsip dasar yang tidak kalah pentingnya dengan prinsip
diatas adalah harakah al-jauhariyyah (gerak substansi). Teori ini menyatakan
bahwa perubahan yang terjadi tidak terbatas pada empat kategori saja
(Aristoteles menganggap hanya tiga yaitu kualitas, kuantitas, dan
lokasi/tempat, dan Ibn Sina menambahkan satu yaitu posisi). Tetapi juga pada
kategori subtansi, jika subtansi tidak berubah, maka keadaan sifat dan
aksidenya tidak berubah. Gerak juga terjadi pada subtansi. Kita dapat lihat
dalam dunia eksternal perubahan benda material terjadi dari keadaan yang satu
kepada keadan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda,
kemudian kuning, kemudian merah. Karena eksistensi aksiden bergantung
pada eksistensi subtansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan
perubahan subtansi juga.
Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari pengerak
pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non material.
Berdasarkan potensialitas fakultas jiwa yang dimiliki, jiwa manusia akan
bergerak menuju titik aktual yaitu manusia sempurna. Jiwa telah ‚menjadi
”akal” atau “akal dalam perbuatan” dimana dalam tingkatan ini manusia telah
sampai pada pengetahuan dan pengalaman langsung akan kuiditas/esensi
sesuatu, dan telah sampai pada tingkatan alam (wujud) yang paling tinggi yaitu
alam akal dan telah sampai pada penyaksian akan cahaya Ilahi, melihat sifat-
sifat, dan nama-nama Allah.
Menurut Mustmin al-Mandari, untuk memahami proses gerak dan
transformasi menuju kesempurnaan, Mulla Shadra menyarankan untuk
memahami terlebih dahulu QS. Al -Ahzab (33): 72. Istilah al-amanah dalam ayat
tersebut ditafsirkan sebagai ‚ketaatan‚ (al-ta’ah) dan ‚kewajiban‛ (al-fara’idh)
didalam kitab-kitab tradisional, ditafsirkan oleh Mulla shadra dalam konteks
sistem pemikiranya sebagai ‚wujud‛ (al-wujud). Menurut Mulla Shadra yang
dimaksud dengan “amanah” didalam ayat ini adalah “wujud” dimana setiap
eksistensi (maujud) selain manusia, memiliki wujud statis (tsabit), tidak
mengalami perubahaan dari satu keadaan ke keadaan yang lain, atau dari
bentuk wujud ke bentuk yang lain.
Sebagai konsekuensi dari kearifan Sang Pencipta, maka segala sesuatu
akan mengalami perjalanan alamiah tertentu yang merupakan evolusi
pendakian menuju “kebaikan terakhir” (al-khair al-aqsa) dan “tujuan terbaik” (al-
maksad al-asna). Mulla Shadra menjelaskan dengan contoh: makanan atau zat
gisi, keduanya melewati berbagai tingkatan perkembangan yang berbeda-beda.

18 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

Pada setiap tingkatan dan alam, makanan akan memasuki tingkatan tersebut
dan akan dinamai dengan sebutan tertentu sehubungan dengan keadaanya.
Pada tingkatan terendah, makanan tersebut hanya berupa unsur saja. Setelah
mengalami perubahan-perubahan, unsur tersebut akan berubah menjadi
senyawa didalam benda-benda mati misalnya biji-bijian, roti, dan minyak.
Selanjutnya, melalui fungsi-fungsi tertentu, senyawa tadi akan berubah menjadi
darah dan cairan lainya. Perubahan selanjutnya, makanan yang berasal dari
unsur tadi menjadi daging, tulang rawan, dan otot yang kemudian menjadi
udara yang sangat halus. Setelah itu, makanan tersebut menjadi sesuatu yang
bisa merasakan, dan menjadi bentuk indrawi; kemudian menjadi bentuk
estimatif dan bentuk intelektif. Bagi Mulla Shadra, proses ini terus berlanjut
terus menerus sampai pada derajat dimana ia dapat menyaksikan cahaya Allah
dan melihat sifat-sifat, dan nama-nama Allah.
Manusia setelah sampai pada penyaksian dan ‚bertemu dengan-Nya dan
merupakan perjalanan yang terakhir jiwa manusia. Dengan keimanan kepada-
Nya dan telah melewati tahapan-tahapan penyempurnaan diri melalui
(‘irfan/sufi) dan perjalanan kepadan-Nya. Akhirnya dia telah menjadi
“Manusia Sempurna” yang merupakan sebaik-baik ciptaan dan hamba.
b. Pengaruh Filsafat Mulla Shadra
Begitu besar pengaruh Mulla Shadra terhadap pemikiran Islam sehingga
apa yang disumbangkan ke dalam konteks pengetahuan dan hikmah Islam
tidak dapat disejajarkan dalam sejarah Islam, sekalipun kelebihan yang
diutamakan dalam periode ini milik al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan
Suhrawardi, apa yang mereka kontribusiskan tidak pernah dapat dibandingkan
dengan perubahan dan perkembangan yang Mulla Shadra munculkan di
medan pemikran Islam. Dalam metodologi, struktur dan konten, dia melakukan
perubahan yang tidak biasa.
Perubahan yang dilakukan Mulla Shadra yang bersifat kontekstual dan
kualitatif adalah lebih baik ketimbang seluruh inovasi yang dibuat dalam
sepanjang tujuh abad dari periode ketiga dan ke empat dari filsafat dan
rasionalitas Islam. Kemunculan Mulla Shadra menampik klaim dari para
orientalis yang mengira bahwa filsafat Islam, setelah memperoleh serangan
sengit dari al-Gazali, atasnya tidak pernah lagi muncul, dan bahkan usaha dari
Ibn Rusyd merupakan usaha-usaha terakhir dan tidak berhasil apa yang
dilakukan oleh para filsuf Muslim untuk membela filsafat, dan bahwa
setelahnya, filsafat Islam tetap mengalami stagnasi/kemandulan. Kehadiran
filsafat Shadrian sudah barang tentu berbarengan dengan renaissans dan
kemunculan filsafat modern di Barat disatu sisi dan mundurnya status ilmiayah
ummat Muslim disisi lain. Karena perbuatan buruk yang memang disengaja
dari Barat dan kelemahan para pengikut Mulla Shadra, filsuf terkemuka ini
tetap dalam ketidakjelasan di Barat.
Apabila ditentukan suatu rekonstruksi suatu mazhab filsafat dan
intelektual sepanjang garis pengetahuan dan tantangan dari zamannya sebagai
usaha memformulasi dan menyunting ulang mazhab itu sembari memelihara
prinsipprinsip pokok dan elemen-elemen fundamentalnya, maka secara tepat
dapat dikatan bahwa gerakan filsafat baru di Iran sebagai ‚mazhab Neo
Shadrian.
Sejarah filsafat Islam mencatat ada dua orang filosof yang mengklaim
dirinya sebagai pemilik burhan al-shiddiqin keduanya adalah Al-Syeikh al-Rais

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 19
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra

Ibn Sina dan Mulla Sadra dengan sedikit radaksi penyebutan, Ibn Sina
menyebut dengan hukum al-siddiqin sementara Mulla Sadra menyebut
buktinya burhan al-shiddiqin. Mulla Sadra menawarkan dalil/argumen
pembuktian adanya Tuhan, berdasarkan konsep-konsep kunci yang telah
dibahas pada pembahasan diatas.

SIMPULAN
Ketiga Filsuf ini yaitu bahwa Suhrawardi, Nashiruddin Al-Tushi, dan Mulla
Shadra adalah tokoh-tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam. Masing-masing dari
mereka memiliki kontribusi unik dan signifikan dalam bidang filsafat, matematika,
astronomi, teologi, dan mistisisme. Meskipun hidup pada periode yang berbeda, mereka
semua berusaha mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan memadukan elemen-
elemen rasional dengan dimensi rohaniah dalam pemikiran mereka.
Pemikiran filsafat Suhrawardi, seorang tokoh terkemuka dalam tradisi filsafat
Islam, mencerminkan pengaruhnya dari berbagai sumber pemikiran, baik dari aliran-
aliran Islam maupun non-Islam. Sumber-sumber pemikirannya melibatkan unsur-unsur
sufi, pemikiran paripatetik Islam, filsafat pra-Islam, pemikiran Iran kuno (hikmah), dan
ajaran Zoroaster. Dengan demikian, Suhrawardi menciptakan sintesis antara pemikiran
filsafat dan tasawuf, dengan klaim sebagai pemersatu antara hikmah ladûniyah (genius)
dan hikmah al-atiqah (antik). Filsafat Isyraqi Suhrawardi menitikberatkan pada konsep
cahaya sebagai simbol utama, yang melambangkan kekuatan, kebahagiaan, dan
kesempurnaan. Konsep ini menjadi landasan bagi pemikiran Isyraqi, di mana
pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai melalui penyinaran cahaya yang
menghubungkan dengan substansi cahaya. Dalam keseluruhan, pemikiran Suhrawardi
memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan filsafat Islam, dengan
menyintesiskan berbagai tradisi pemikiran dan menekankan peran cahaya sebagai
simbol utama dalam pencarian pengetahuan dan kesempurnaan. Meskipun
pemikirannya menyebabkan kontroversi dan konflik dengan beberapa ulama, warisan
pemikiran Suhrawardi tetap menjadi bagian penting dari sejarah filsafat Islam.
Nashiruddin al-Thusi, seorang filsuf Islam abad ke-13, memiliki pemikiran yang
sangat luas dan mendalam dalam berbagai bidang keilmuan seperti Filsafat, Logika,
Matematika, Fisika, Astronomi, Kedokteran, Mineralogi, Musik, dan Sejarah. Meskipun
dianggap sebagai seorang revivalis dalam filsafat Islam, al-Thusi tidak hanya sekadar
membangkitkan pemikiran sebelumnya, tetapi juga memperkaya dengan ide-idenya
sendiri.

Pengaruh al-Thusi terlihat dalam pemikirannya yang mencakup metafisika, etika, dan
filsafat jiwa. Dalam metafisika, ia menggolongkan ilmu ketuhanan sebagai bagian
penting Islam, dengan pengetahuan tentang eksistensi, kekekalan, ketunggalan, dan
kemajemukan. Dalam etika, al-Thusi menekankan pentingnya kebaikan, keadilan, dan
cinta sebagai landasan untuk mencapai kesejahteraan. Filsafat jiwa al-Thusi membahas
realitas jiwa sebagai sesuatu yang tidak memerlukan bukti tambahan dan
menggolongkan masalah-masalah kelemahan moral. Pemikiran al-Thusi tidak hanya
memengaruhi dunia Islam pada masanya, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan
pada perkembangan sains dan filsafat Islam. Keberhasilannya dalam menghidupkan
kembali ilmu matematika, astronomi, filsafat, dan teologi Islam di Maraghah menjadi
bukti nyata pengaruh besar yang dimilikinya. Dengan demikian, Nashiruddin al-Thusi

20 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman

tidak hanya diakui sebagai seorang guru besar, tetapi juga sebagai "ensiklopedia" filsafat
yang sangat memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Pemikiran Mulla Shadra terbagi menjadi tiga poin utama: persepsi, wujud, dan
gerak jiwa menuju kesempurnaan. Persepsi memiliki empat tingkatan, mulai dari
persepsi indra hingga inteleksi. Wujud dalam filsafat Mulla Shadra terdiri dari tiga
prinsip dasar: wahdat al-wujud, tasykik al-wujud, dan ashalat al-wujud. Wahdat al-
wujud menyatakan bahwa wujud merupakan realitas yang sama dalam semua bidang
eksistensi. Tasykik al-wujud menggambarkan bahwa wujud memiliki tingkatan dan
intensitas gradasi yang berbeda-beda. Ashalah al-Wujud menjadi jawaban Mulla Shadra
terhadap hubungan antara wujud dan mahiyyah (kuiditas). Gerak jiwa menuju
kesempurnaan merupakan prinsip penting dalam pemikiran Mulla Shadra. Jiwa
manusia bergerak menuju kesempurnaan, mencapai tingkatan akal, dan akhirnya,
menyaksikan cahaya Ilahi.
Filsafat Mulla Shadra memberikan kontribusi yang besar terhadap pemikiran
Islam. Pengaruhnya menciptakan perubahan kontekstual dan kualitatif dalam tradisi
filsafat Islam, membantah klaim bahwa filsafat Islam mengalami kemandulan. Gerakan
filsafat baru di Iran sering diidentifikasi sebagai "mazhab Neo Shadrian."

REFERENSI

Abdullah, M. (2020). Dasar-Dasar Filsafat Isyraqiyah Suhrawardi. Al-Mutsla, 2(1), 79-


98.

Ahmad, R. (2006). Konsep Isyraqy Dan Hakekat Tuhan (Studi Atas Pemikiran al-
Suhrawardi al-Maqtul). HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 3(4), 389-400.

Dewi, E. (2015). Konsep Manusia Ideal dalam Persepektif Suhrawardi Al-Maqtul.


SUBSTANTIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 17(1), 41-54.

Nasir, M., & Khalilurrahman, K. (2021). FILSAFAT ISYRAQI SUHRAWARDI AL-


MAQTUL (1153-1191)(ANALISIS TOKOH, PEMIKIRAN, DAN PENDIDIKAN).
Tarbiyah Darussalam: Jurnal Ilmiah Kependidikan dan Keagamaan, 5(1).

T. Y., I. H., Adenan, J. H., D. P., & Rusdi, M. Z. (2023). Pemikiran Nasiruddin Al-Thusi
tentang Filsafat Islam. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Thusi, K. N. (2018). Menemui Tuhan. Buttulamba: Rumah Ilmu.

Soleh, A. K. (2011). Filsafat Isyraqi Suhrawardi. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin,

Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 21

You might also like