Professional Documents
Culture Documents
Filsafat Islam
Filsafat Islam
Abstract: This research discusses the types and methods of research used in analyzing the
philosophical thoughts of Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, and Mulla Sadra. The method
applied is qualitative, by collecting data from various trusted sources such as scientific books,
journals and philosophy books. The results of the analysis are presented in this article to
understand the unique and significant contributions of these three philosophers in the fields of
philosophy, mathematics, astronomy, theology, and mysticism. This research is qualitative in
nature, aims to understand, explain and explore in-depth understanding of the philosophical
thoughts of the three figures. Data collection methods involve books, articles, papers, journals, the
web, and other related information. The collected data is analyzed descriptively to achieve
appropriate results. The philosophical thoughts of Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, and Mulla
Sadra are the main focus of this research. Even though they lived in different periods, all three
made important contributions in various fields of science and tried to integrate rationality with
the spiritual dimension. Suhrawardi, as a leading figure in the Islamic philosophical tradition,
created a synthesis between philosophical thought and Sufism with the concept of light as the
main symbol. Nashiruddin al-Thusi, a 13th century philosopher, had broad thoughts in various
fields of science and influenced the development of Islamic science and philosophy. Mulla Sadra,
with his thoughts on perception, existence, and the movement of the soul towards perfection, made
a major contribution to Islamic thought. This research was conducted from 04-07 December 2023
at the residence of each researcher. It is hoped that the results will provide deeper insight into the
thoughts of the three philosophers and their contribution to the development of Islamic philosophy.
Keywords:
Thought, Philosophy, God, and Islam
Abstrak: Penelitian ini membahas jenis dan metode penelitian yang digunakan dalam
menganalisis pemikiran filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra.
Metode yang diterapkan adalah kualitatif, dengan pengumpulan data dari berbagai
sumber terpercaya seperti buku ilmiah, jurnal, dan buku filsafat. Hasil analisis
dipresentasikan dalam artikel ini untuk memahami kontribusi unik dan signifikan
ketiga filsuf tersebut dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, teologi, dan
mistisisme. Penelitian ini bersifat kualitatif, bertujuan untuk memahami, menjelaskan,
dan menggali pemahaman mendalam tentang pemikiran filsafat ketiga tokoh. Metode
pengumpulan data melibatkan buku-buku, artikel, makalah, jurnal, web, dan informasi
terkait lainnya. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif untuk mencapai hasil
1
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
yang tepat. Pemikiran filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
menjadi fokus utama penelitian ini. Meskipun hidup pada periode yang berbeda,
ketiganya memiliki kontribusi penting dalam berbagai bidang ilmu dan berusaha
mengintegrasikan rasionalitas dengan dimensi rohaniah. Suhrawardi, sebagai tokoh
terkemuka dalam tradisi filsafat Islam, menciptakan sintesis antara pemikiran filsafat
dan tasawuf dengan konsep cahaya sebagai simbol utama. Nashiruddin al-Thusi,
seorang filsuf abad ke-13, memiliki pemikiran luas dalam berbagai bidang ilmu dan
memengaruhi perkembangan sains dan filsafat Islam. Mulla Shadra, dengan
pemikirannya tentang persepsi, wujud, dan gerak jiwa menuju kesempurnaan,
memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran Islam. Penelitian ini dilakukan mulai
tanggal 04-07 Desember 2023 di kediaman masing-masing peneliti. Hasilnya diharapkan
dapat memberikan wawasan lebih dalam tentang pemikiran ketiga filsuf tersebut dan
kontribusi mereka terhadap pengembangan filsafat Islam.
Kata Kunci:
Pemikiran, Filsafat, Tuhan, dan Islam
PENDAHULUAN
Pemikiran filsafat menjadi landasan intelektual yang kaya dan mendalam,
tercermin melalui pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Suhrawardi, Nasiruddin
Tusi, dan Mulla Shahrastani. Ketiganya memberikan kontribusi yang signifikan
dalam pengembangan filsafat Islam, masing-masing dengan pendekatan unik
dan pandangan mendalam terhadap realitas dan eksistensi.
Suhrawardi, yang dikenal sebagai "Sheikh al-Ishraq" atau Guru Iluminasi,
menonjolkan gagasan tentang 'Hikmat al-Ishraq' atau Filsafat Iluminasi.
Pemikirannya menggabungkan elemen-elemen mistis dengan filsafat, membawa
cahaya ilahi ke dalam domain pemikiran rasional. Konsepnya tentang "al-
Mashreq al-Falsafi" atau Timur Filsafat menjadi pusat perhatian dalam
mengeksplorasi hubungan antara cahaya spiritual dan pengetahuan metafisika.
Nasiruddin Tusi, seorang polymath ulung dari abad ke-13, tidak hanya
mencurahkan perhatiannya pada bidang filsafat, tetapi juga dalam matematika
dan astronomi. Dalam pemikirannya yang sistematis, ia mengembangkan
"Akhlak-i-Nasiri" yang menggabungkan etika dan filsafat politik. Tusi
menawarkan pandangan mendalam tentang hakikat eksistensi dan konsep
kebenaran mutlak, yang menjadi dasar bagi pemahaman moral dan sosial.
2 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
METODE PENELITIAN
A. Jenis Dan Metode Penelitian
Dalam penelitian ini kami menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan cara
pengumpulan data-data dari berbagai sumber terpercaya, seperti buku ilmiah,
jurnal ilmiah dan buku-buku filsafat sebagai titik acuannya. Pengambilan data
dilakukan dengan studi Pustaka yaitu suatu jenis penelitian yang pengkajiannya
secara objektif dan sumber datanya adalah buku-buku. Hasil analisis tersebut
disajikan dalam artikel ini, guna membantu mengetahui pemikiran filsafat
Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
B. Sifat Penelitian
Penelitian yang bersifat kualitatif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk
memahami, menjelaskan, atau menggali pemahaman merdalam tentang
fenomena atau peristiwa.
C. Metode Pengumpulan
Data Metode pengumpulan data diambil dari beberapa sumber data diantaranya
dari buku-buku, artikel, makalah, jurnal, dan web serta beberapa informasi
lainnya yang berhubungan dengan pembahasan. Setelah data terkumpul
selanjutnya metode analisis data, penulis menganalisis.
D. Metode Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan untuk memperoleh hasil yang tepat (analisis
deskriptif) data yang dikumpulkan berupa kata lalu dianalisis hingga
menghasilkan kesimpulan.
E. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai dari hari kamis, tanggal 04-07 Desember 2023, di
kediaman masing-masing.
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 3
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
4 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 5
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
6 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
dan hikmah al-atiqah (antik). Menurutnya, hikmah yang total dan universal
adalah hikmah (pemikiran) yang jelas tampak dalam berbagai ragam orang
Hindu kuno, Persia kuno, Babilonia, Mesir dan Yunani sampai masa Aristoteles.
Lebih jauh, Suhrawardi bahkan mengklaim dirinya sebagai pusat pertemuan
dua cabang hikmah dunia. Menurutnya, juga menurut kebanyakan penulis
abad pertengahan, hikmah diturunkan Tuhan kepada manusia melalui nabi
Idris (Hermes) sehingga ia dipandang sebagai pendiri filsafat dan ilmu-ilmu
(wâlid al-hukamâ’).
Berbeda dengan kebanyakan penulis, Suhrawardi tidak menganggap
tokoh-tokoh filsafat paripatetik Islam seperti al-Farabi (870-950 M) dan Ibn Sina
serta para filosof lainya sebagai seorang filosof melainkan hanya sebagai
perintis sufisme. Ia justru menengok Abu Yazid Bustami (w. 877 M) dan Abu
Muhammad Sahal ibn Abdillah Tustari (815- 896 M), dan menilainya sebagai
seorang filosof dan ahli hikmah yang sesungguhnya. (Soleh, 2011)
2. Filsafat Isyraqi Suhrawardi
Mengulas pemikiran Suhrawardi tidak bisa terlepas dari pembahasan
tentang Isyraqi. Kata isyrâq mempunyai banyak arti, antara lain, terbit dan
bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Tegasnya, isyraqi
berkaitan dengan kebenderangan atau cahaya yang umumnya digunakan
sebagai lambang kekuatan, kebahagiaan, ketenangan dan hal lain yang
membahagiakan. Lawannya adalah kegelapan yang dijadikan lambang
keburukan, kesusahan, kerendahan dan semua yang membuat manusia
menderita. Illuminiation, dalam bahasa Inggris yang dijadikan padanan kata
isyrâq juga berarti ini, cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat,
illuminationism berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari
kehidupan emosional kepada pencapaian tindakan dan harmoni.Bagi kaum
isyraqi, apa yang disebut hikmah bukan sekedar teori yang diyakini melainkan
perpindahan ruhani secara praktis dari alam kegelapan yang di dalamnya
pengetahuan dan kebahagiaan merupakan sesuatu yang mustahil, kepada
cahaya yang bersifat akali yang di dalamnya pengetahuan dan kebahagiaan
dapat dicapai bersama-sama. Karena itu, menurut madzhab isyrâqi, sumber
pengetahuan adalah penyinaran cahaya yang itu berupa semacam hads yang
menghubungkan dengan substansi cahaya. Lebih jauh, cahaya adalah simbol
utama dari filsafat isyrâqi. Simbol cahaya digunakan untuk menetapkan satu
faktor yang menentukan wujud, bentuk dan materi, hal-hal masuk akal yang
primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingkat intensitas
pengalaman mistik. Jelasnya, penggunaan simbol cahaya merupakan karakter
dari bangunan filsafat isyrâqi. (Soleh, 2011)
Dalam bahasa Arab, filsafat Illuminasi disebut sebagai hikmah al-isyraq,
yang terdiri dari dua kata yaitu kata hikmah dan kata al-isyraq. Kata hikmah
memiliki kemiripan arti dengan kata falsafah. Kata falsafah lebih dahulu
digunakan oleh filsuf muslim daripada kata hikmah. Kata falsafah berasal dari
bahasa Yunani, yaitu philosophia. Merupakan gabungan dari kata philo yang
berarti cinta dan Sophia yang artinya kebijaksanaan. Maka secara harfiah falsafah
bermakna cinta kebijaksanaan. Kata falsafah berarti sebuah kata hasil Arabisasi
dari kata philosophia sebagai bahasa Yunani, ke bahasa Arab. Kata falsafah
memiliki arti sebagai usaha yang dilakukan oleh filsuf. Para filsuf Muslim
menggunakan istilah hikmah, menurut mereka kata hikmah identik dengan kata
falsafah, maka secara literal hikmah artinya kebijaksanaan. Secara terminologi,
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 7
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
kata hikmah berarti hasil aktifitas sintesis antara rasio dan intuisi manusia dalam
memahami realitas. Pengidentifikasi kata hikmah dan kata falsafah adalah
sebagai upaya penyesuaian ajaran Islam dengan Filsafat. Dalam Alquran kata
hikmah telah disebutkan sebanyak 20 kali, karena kata hikmah diidentikkan
dengan kata falsafah, maka Alquran tidak menolak aktifitas filsafat. Sementara
kata al-isyraq dimaknai sebagai illuminasi, yang memiliki arti sebagai cahaya
pertama pagi hari, yakni cahaya matahari dari Timur. Jadi, Isyraq berarti cahaya
pancaran cahaya. Dengan demikian, hikmah al-isyraq berarti kebijaksanaan
cahaya, kebijakan illuminasi dan kebijaksanaan timur. Inti filsafat illuminasi
adalah ilmu tentang cahaya, baik dari teori sifat maupun cara pembiasan
cahaya.
Sebagai salah satu aliran filsafat Islam, filsafat illuminasi tentu memiliki
beberapa beberapa karakteristik yang membedakannya dengan aliran-aliran
yang lain, ditinjau dari sudut metodologis, ontologis, dan kosmologis. Berbeda
dengan aliran peripatetik, yang lebih menekankan penalaran rasional sebagai
metode berpikir dan pencarian kebenaran, filsafat illuminasionis mencoba
memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani), sebagai
pendamping bagi, atau malah, dasar bagi penalaran rasional. Suhrawardi
mencoba mensintesiskan dua pendekatan burhani dan irfani dalam sebuah
sistem pemikiran solid dan holistik.Suhrawardi mengklasifikasikan pencari
kebenaran ke dalam tiga kelompok yaitu: pertama, mereka yang memiliki
pengalaman mistik yang mendalam (seperti para sufi) tetapi tidak mempunyai
kemampuan untuk mengungkapkan pengalamannya itu secara diskursif. Kedua,
mereka yang memiliki kecakapan nalar diskursif, tetapi tidak memiliki
pengalaman mistik yang cukup mendalam. Pengalaman mistik sangat penting
untuk mengenal secara langsung realitas sejati, sehingga tidak hanya bersandar
pada otoritas masa lalu saja, seperti yang dapat ditemukan pada para filosof
peripatetik, dan ketiga, mereka yang disamping memiliki pengalaman mistik
yang mendalam dan otentik, juga memiliki kemampuan nalar dan bahasa
diskursif, seperti yang terjadi pada diri Plato di masa lampau dan dirinya
(Suhrawardi) pada masanya.
Manusia yang sudah mencapai derajat tinggi berada pada posisi ketiga,
dimana seseorang sudah mampu menggunakan mata hati dan akal budi dalam
memahami realitas kehidupan. Ditambah lagi dengan pengalaman mistik yang
dimilikinya membuat orang tersebut mampu menyaksikan kebenaran sejati
yang tidak dapat diperoleh dengan cara apapun. Tentu saja seseorang yang
menempati derajat ini akan bertingkah laku mulia jauh dari perbuatan maksiat.
Dengan kemampuan mengenal diri maka sesesorang akan sampai pada
pengenalan sang Khalik yang telah menciptakannya. (Dewi, 2015)
3. Hakekat Tuhan menurut Suhrawardi
Tuhan, menurut al-Suhrawardi. adalah “Nur al-Anwar” (Cahaya dari
segala Cahaya) dan merupakan wujud realitas yang bersifat absolut tidak
terbatas, karena tidak terbatas sehingga atas kehendak-Nya, maka segalah
sesuatu yang ada di dunia ini beserta isinya tercipta.
Nur al-Anwarr adalah Zat Tuhan, yaitu Allah swt. yang memancarkan
cahaya-cahaya (emanasi) terus menerus secara berkesinambungan, dan melalui
sinar-sinar itu maka terciptalah segala wujud dari segala kehidupan. Dalam
pandangannya, bahwa yang mula-mula terpancar dari Nur al-Anwar adalah Nur
alAqrab. Cahaya ini merenung kembali kepada Nur al-Anwar dalam keadaan
8 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 9
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
10 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
langsung, maka Nur al- Aqrab memainkan peran sebagai penghasil cahaya-
cahaya lain. Karena Nur al-Aqrab memiliki kemandirian eksistensi sebagai
anugerah dari Ilahi, dan Nur al-Aqrab menyaksikan kemuliaan dan keagungan-
Nya, maka Nur al-Aqrab memiliki kemampuan memunculkan cahaya abstrak
lain. Nur al-Aqrab memunculkan cahaya abstrak yang kedua, cahaya abstrak
kedua memunculkan cahaya abstrak ketiga, cahaya abstrak ketiga
memunculkan cahaya abstrak keempat, 21 begitu seterusnya hingga cahaya
terakhir telah melemah, tidak dapat memancarkan cahaya lagi karena telah jauh
dari sumber cahaya. Tiap-tiap cahaya abstrak memunculkan cahaya abstrak
lain, selanjutnya membentuk tatanan vertikal dari cahaya paling tinggi menuju
cahaya paling rendah. Setiap cahya abstrak ini menghasilkan barzakh (alam fisik)
masing-masing. Setiap alam fisik memiliki cahaya pengantur, cahaya-cahaya
pengantur ini dikenal sebagai cahaya agung (al-anwar al-isfahbad). Cahaya-
cahaya pengatur ini berperan sebagai pengatur makhluk-makhluk alam fisik,
dan setiap spesies memiliki cahaya pengatur masing-masing. Urutan proses
penciptaan manusia dari al-Nur al-Anwar menuju manusia sangat panjang
sekali. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak berasal langsung dari
AllahSwt. Namun manusia dimunculkan-Nya secara tidak langsung, sebab
Allah Swt memberikan kuasa kepada alam cahaya pengatur menghasilkan
manusia. Cahaya pengatur seluruh manusia dikenal sebagai al-Anwar
Isfahbadiyyah. Cahaya pengatur seluruh manusia dikenal sebagai Jibril, yang
berperan sebagai cahaya pengatur seluruh manusia.
Suhrawardi menjelaskan tentang insan kamil, jelas dipengaruhi oleh
filsafat illuminasinya. Menurut Suhrawardi seorang manusia dikatakan sebagai
insan kamil, jika manusia tersebut mampu memperoleh pengetahuan sesuai
dengan pengembangan daya dirinya yaitu daya intelektual dan daya intuisi.
MenurutSuhrawardi, seorang filsuf penggabung teosofi (pengguna daya intuisi)
dan filsafat diskursif (pengguna daya rasional) itulah pemangku otoritas, sang
khalifah Allah Swt. Jadi ketika seorang manusia mampu mengembangkan
secara optimal kedua daya tersebut, maka filsuf tersebut menjadi seorang insan
kamil.
Pemikiran Suhrawardi, terdiri atas Hikmah al-Isyraqiyyah, berpengaruh
terhadap perkembangan filsafat Islam dalam beberapa aspek. Berikut ini
beberapa dampak pemikiran Suhrawardi terhadap perkembangan filsafat
Islam:
a. Penggabungan Rasionalitas dan Perasaan Beragama: Pemikiran
Suhrawardi mencoba memadukan rasionalitas Aristotelian dengan
perasaan beragama (dzauq) untuk mencapai pengetahuan tertinggi.
b. Pengaruh Iluminasi: Pemikiran Suhrawardi bersandar pada sumber-
sumber yang beragam dan berbeda, tidak hanya Islam tetapi juga non-
Islam.
c. Pemaksaan Rasionalisme dan Empirisme: Para intelektual Islam tidak
melarang rasionalisme tetapi tidak menyukai rasionalisasi segala
sesuatu, pemak saan diri. Suhrawardi mengklaim dirinya sebagai
anggota jamaah hukama Iran dan mengambil kebijakan 'kebatinan' yang
berdasarkan prinsip kesatuan ketuhanan dan pemilik sunnahyang
tersembunyi di lubuk masyarakat Zoroaster.
d. Pengaruh pada Sufisme: Pemikiran Suhrawardi mempengaruhi
pembentukan tarekat-tarekat Sufi dan sistematisasi pemikiran mistis.
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 11
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
12 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 13
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
14 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 15
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
16 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 17
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
kebalikan dari yang selama ini dianut oleh para filosof pada umumnya.
Segala puji bagi Tuhan yang melalui cahaya intuisi, membawaku keluar dari
ide yang tanpa dasar tersebut dan menetapkanku di atas tesis yang tidak
pernah akan berubah, baik di dunia sekarang ini maupun di akhirat kelak.
Sebagai akibatnya, sekarang ini aku menganut prinsip bahwa wujud adalah
realitas yang primer, sedangkan mahiyah-mahiyah merupakan a’yan
sabitah, yang tidak akan pernah mencium keharuman wujud. Seluruh
wujud tidak lain adalah sorotan-sorotan sinar yang dipancarkan oleh cahaya
sesungguhnya, yang secara absolut merupakan wujud yang hidup dengan
sendirinya, kecuali bahwa masing-masing mereka ditandai oleh sejumlah
sifat esensial dan konsep-konsep yang bisa dimengerti, yang dikenal sebagai
mahiyah-mahiyyah”.
3. Gerak Jiwa Menuju Kesempurnaan dan al-Asfar al-arba’ah
Salah satu prinsip dasar yang tidak kalah pentingnya dengan prinsip
diatas adalah harakah al-jauhariyyah (gerak substansi). Teori ini menyatakan
bahwa perubahan yang terjadi tidak terbatas pada empat kategori saja
(Aristoteles menganggap hanya tiga yaitu kualitas, kuantitas, dan
lokasi/tempat, dan Ibn Sina menambahkan satu yaitu posisi). Tetapi juga pada
kategori subtansi, jika subtansi tidak berubah, maka keadaan sifat dan
aksidenya tidak berubah. Gerak juga terjadi pada subtansi. Kita dapat lihat
dalam dunia eksternal perubahan benda material terjadi dari keadaan yang satu
kepada keadan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda,
kemudian kuning, kemudian merah. Karena eksistensi aksiden bergantung
pada eksistensi subtansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan
perubahan subtansi juga.
Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari pengerak
pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non material.
Berdasarkan potensialitas fakultas jiwa yang dimiliki, jiwa manusia akan
bergerak menuju titik aktual yaitu manusia sempurna. Jiwa telah ‚menjadi
”akal” atau “akal dalam perbuatan” dimana dalam tingkatan ini manusia telah
sampai pada pengetahuan dan pengalaman langsung akan kuiditas/esensi
sesuatu, dan telah sampai pada tingkatan alam (wujud) yang paling tinggi yaitu
alam akal dan telah sampai pada penyaksian akan cahaya Ilahi, melihat sifat-
sifat, dan nama-nama Allah.
Menurut Mustmin al-Mandari, untuk memahami proses gerak dan
transformasi menuju kesempurnaan, Mulla Shadra menyarankan untuk
memahami terlebih dahulu QS. Al -Ahzab (33): 72. Istilah al-amanah dalam ayat
tersebut ditafsirkan sebagai ‚ketaatan‚ (al-ta’ah) dan ‚kewajiban‛ (al-fara’idh)
didalam kitab-kitab tradisional, ditafsirkan oleh Mulla shadra dalam konteks
sistem pemikiranya sebagai ‚wujud‛ (al-wujud). Menurut Mulla Shadra yang
dimaksud dengan “amanah” didalam ayat ini adalah “wujud” dimana setiap
eksistensi (maujud) selain manusia, memiliki wujud statis (tsabit), tidak
mengalami perubahaan dari satu keadaan ke keadaan yang lain, atau dari
bentuk wujud ke bentuk yang lain.
Sebagai konsekuensi dari kearifan Sang Pencipta, maka segala sesuatu
akan mengalami perjalanan alamiah tertentu yang merupakan evolusi
pendakian menuju “kebaikan terakhir” (al-khair al-aqsa) dan “tujuan terbaik” (al-
maksad al-asna). Mulla Shadra menjelaskan dengan contoh: makanan atau zat
gisi, keduanya melewati berbagai tingkatan perkembangan yang berbeda-beda.
18 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
Pada setiap tingkatan dan alam, makanan akan memasuki tingkatan tersebut
dan akan dinamai dengan sebutan tertentu sehubungan dengan keadaanya.
Pada tingkatan terendah, makanan tersebut hanya berupa unsur saja. Setelah
mengalami perubahan-perubahan, unsur tersebut akan berubah menjadi
senyawa didalam benda-benda mati misalnya biji-bijian, roti, dan minyak.
Selanjutnya, melalui fungsi-fungsi tertentu, senyawa tadi akan berubah menjadi
darah dan cairan lainya. Perubahan selanjutnya, makanan yang berasal dari
unsur tadi menjadi daging, tulang rawan, dan otot yang kemudian menjadi
udara yang sangat halus. Setelah itu, makanan tersebut menjadi sesuatu yang
bisa merasakan, dan menjadi bentuk indrawi; kemudian menjadi bentuk
estimatif dan bentuk intelektif. Bagi Mulla Shadra, proses ini terus berlanjut
terus menerus sampai pada derajat dimana ia dapat menyaksikan cahaya Allah
dan melihat sifat-sifat, dan nama-nama Allah.
Manusia setelah sampai pada penyaksian dan ‚bertemu dengan-Nya dan
merupakan perjalanan yang terakhir jiwa manusia. Dengan keimanan kepada-
Nya dan telah melewati tahapan-tahapan penyempurnaan diri melalui
(‘irfan/sufi) dan perjalanan kepadan-Nya. Akhirnya dia telah menjadi
“Manusia Sempurna” yang merupakan sebaik-baik ciptaan dan hamba.
b. Pengaruh Filsafat Mulla Shadra
Begitu besar pengaruh Mulla Shadra terhadap pemikiran Islam sehingga
apa yang disumbangkan ke dalam konteks pengetahuan dan hikmah Islam
tidak dapat disejajarkan dalam sejarah Islam, sekalipun kelebihan yang
diutamakan dalam periode ini milik al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan
Suhrawardi, apa yang mereka kontribusiskan tidak pernah dapat dibandingkan
dengan perubahan dan perkembangan yang Mulla Shadra munculkan di
medan pemikran Islam. Dalam metodologi, struktur dan konten, dia melakukan
perubahan yang tidak biasa.
Perubahan yang dilakukan Mulla Shadra yang bersifat kontekstual dan
kualitatif adalah lebih baik ketimbang seluruh inovasi yang dibuat dalam
sepanjang tujuh abad dari periode ketiga dan ke empat dari filsafat dan
rasionalitas Islam. Kemunculan Mulla Shadra menampik klaim dari para
orientalis yang mengira bahwa filsafat Islam, setelah memperoleh serangan
sengit dari al-Gazali, atasnya tidak pernah lagi muncul, dan bahkan usaha dari
Ibn Rusyd merupakan usaha-usaha terakhir dan tidak berhasil apa yang
dilakukan oleh para filsuf Muslim untuk membela filsafat, dan bahwa
setelahnya, filsafat Islam tetap mengalami stagnasi/kemandulan. Kehadiran
filsafat Shadrian sudah barang tentu berbarengan dengan renaissans dan
kemunculan filsafat modern di Barat disatu sisi dan mundurnya status ilmiayah
ummat Muslim disisi lain. Karena perbuatan buruk yang memang disengaja
dari Barat dan kelemahan para pengikut Mulla Shadra, filsuf terkemuka ini
tetap dalam ketidakjelasan di Barat.
Apabila ditentukan suatu rekonstruksi suatu mazhab filsafat dan
intelektual sepanjang garis pengetahuan dan tantangan dari zamannya sebagai
usaha memformulasi dan menyunting ulang mazhab itu sembari memelihara
prinsipprinsip pokok dan elemen-elemen fundamentalnya, maka secara tepat
dapat dikatan bahwa gerakan filsafat baru di Iran sebagai ‚mazhab Neo
Shadrian.
Sejarah filsafat Islam mencatat ada dua orang filosof yang mengklaim
dirinya sebagai pemilik burhan al-shiddiqin keduanya adalah Al-Syeikh al-Rais
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 19
Pemikiran Filsafat Suhrawardi, Nashiruddin al-Thusi, dan Mulla Shadra
Ibn Sina dan Mulla Sadra dengan sedikit radaksi penyebutan, Ibn Sina
menyebut dengan hukum al-siddiqin sementara Mulla Sadra menyebut
buktinya burhan al-shiddiqin. Mulla Sadra menawarkan dalil/argumen
pembuktian adanya Tuhan, berdasarkan konsep-konsep kunci yang telah
dibahas pada pembahasan diatas.
SIMPULAN
Ketiga Filsuf ini yaitu bahwa Suhrawardi, Nashiruddin Al-Tushi, dan Mulla
Shadra adalah tokoh-tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam. Masing-masing dari
mereka memiliki kontribusi unik dan signifikan dalam bidang filsafat, matematika,
astronomi, teologi, dan mistisisme. Meskipun hidup pada periode yang berbeda, mereka
semua berusaha mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan memadukan elemen-
elemen rasional dengan dimensi rohaniah dalam pemikiran mereka.
Pemikiran filsafat Suhrawardi, seorang tokoh terkemuka dalam tradisi filsafat
Islam, mencerminkan pengaruhnya dari berbagai sumber pemikiran, baik dari aliran-
aliran Islam maupun non-Islam. Sumber-sumber pemikirannya melibatkan unsur-unsur
sufi, pemikiran paripatetik Islam, filsafat pra-Islam, pemikiran Iran kuno (hikmah), dan
ajaran Zoroaster. Dengan demikian, Suhrawardi menciptakan sintesis antara pemikiran
filsafat dan tasawuf, dengan klaim sebagai pemersatu antara hikmah ladûniyah (genius)
dan hikmah al-atiqah (antik). Filsafat Isyraqi Suhrawardi menitikberatkan pada konsep
cahaya sebagai simbol utama, yang melambangkan kekuatan, kebahagiaan, dan
kesempurnaan. Konsep ini menjadi landasan bagi pemikiran Isyraqi, di mana
pengetahuan dan kebahagiaan dapat dicapai melalui penyinaran cahaya yang
menghubungkan dengan substansi cahaya. Dalam keseluruhan, pemikiran Suhrawardi
memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan filsafat Islam, dengan
menyintesiskan berbagai tradisi pemikiran dan menekankan peran cahaya sebagai
simbol utama dalam pencarian pengetahuan dan kesempurnaan. Meskipun
pemikirannya menyebabkan kontroversi dan konflik dengan beberapa ulama, warisan
pemikiran Suhrawardi tetap menjadi bagian penting dari sejarah filsafat Islam.
Nashiruddin al-Thusi, seorang filsuf Islam abad ke-13, memiliki pemikiran yang
sangat luas dan mendalam dalam berbagai bidang keilmuan seperti Filsafat, Logika,
Matematika, Fisika, Astronomi, Kedokteran, Mineralogi, Musik, dan Sejarah. Meskipun
dianggap sebagai seorang revivalis dalam filsafat Islam, al-Thusi tidak hanya sekadar
membangkitkan pemikiran sebelumnya, tetapi juga memperkaya dengan ide-idenya
sendiri.
Pengaruh al-Thusi terlihat dalam pemikirannya yang mencakup metafisika, etika, dan
filsafat jiwa. Dalam metafisika, ia menggolongkan ilmu ketuhanan sebagai bagian
penting Islam, dengan pengetahuan tentang eksistensi, kekekalan, ketunggalan, dan
kemajemukan. Dalam etika, al-Thusi menekankan pentingnya kebaikan, keadilan, dan
cinta sebagai landasan untuk mencapai kesejahteraan. Filsafat jiwa al-Thusi membahas
realitas jiwa sebagai sesuatu yang tidak memerlukan bukti tambahan dan
menggolongkan masalah-masalah kelemahan moral. Pemikiran al-Thusi tidak hanya
memengaruhi dunia Islam pada masanya, tetapi juga memiliki dampak yang signifikan
pada perkembangan sains dan filsafat Islam. Keberhasilannya dalam menghidupkan
kembali ilmu matematika, astronomi, filsafat, dan teologi Islam di Maraghah menjadi
bukti nyata pengaruh besar yang dimilikinya. Dengan demikian, Nashiruddin al-Thusi
20 Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ...
Fitri Nurkhoiriyah, Hakim Adila Rusyana, Hana Nurhaliza, dan Hilman
tidak hanya diakui sebagai seorang guru besar, tetapi juga sebagai "ensiklopedia" filsafat
yang sangat memahami berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Pemikiran Mulla Shadra terbagi menjadi tiga poin utama: persepsi, wujud, dan
gerak jiwa menuju kesempurnaan. Persepsi memiliki empat tingkatan, mulai dari
persepsi indra hingga inteleksi. Wujud dalam filsafat Mulla Shadra terdiri dari tiga
prinsip dasar: wahdat al-wujud, tasykik al-wujud, dan ashalat al-wujud. Wahdat al-
wujud menyatakan bahwa wujud merupakan realitas yang sama dalam semua bidang
eksistensi. Tasykik al-wujud menggambarkan bahwa wujud memiliki tingkatan dan
intensitas gradasi yang berbeda-beda. Ashalah al-Wujud menjadi jawaban Mulla Shadra
terhadap hubungan antara wujud dan mahiyyah (kuiditas). Gerak jiwa menuju
kesempurnaan merupakan prinsip penting dalam pemikiran Mulla Shadra. Jiwa
manusia bergerak menuju kesempurnaan, mencapai tingkatan akal, dan akhirnya,
menyaksikan cahaya Ilahi.
Filsafat Mulla Shadra memberikan kontribusi yang besar terhadap pemikiran
Islam. Pengaruhnya menciptakan perubahan kontekstual dan kualitatif dalam tradisi
filsafat Islam, membantah klaim bahwa filsafat Islam mengalami kemandulan. Gerakan
filsafat baru di Iran sering diidentifikasi sebagai "mazhab Neo Shadrian."
REFERENSI
Ahmad, R. (2006). Konsep Isyraqy Dan Hakekat Tuhan (Studi Atas Pemikiran al-
Suhrawardi al-Maqtul). HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 3(4), 389-400.
T. Y., I. H., Adenan, J. H., D. P., & Rusdi, M. Z. (2023). Pemikiran Nasiruddin Al-Thusi
tentang Filsafat Islam. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Thusi, K. N. (2018). Menemui Tuhan. Buttulamba: Rumah Ilmu.
Atthulab: Islamic Religion Teaching & Learning Journal ... (...) ... 21