Professional Documents
Culture Documents
Uq Kel 1
Uq Kel 1
Historically, the accounting of the Qur'an is not as complex as the recording of Hadith. The
Qur'an is the revelation of Allah as a book or a sheet of paper in it.Information about the
collection of the Koran of the time of Khulafaurrasyidin should be disseminated frequently so as
not to be drowned in the era. This is especially true in the digital age with an interpretative
approach. Library data collection, reading and recording, and data processing are done.
Investigation. The research data came from the library. This research is descriptive and analytical
by analyzing the books of history and the interpretation of the Qur'an. The etymology of the
Jam'ul Qur'an comes from the Arabic word "jama'a yajma'u", which means gathering the
opinions of scholars. The Qur'an has two meanings: the first is to recite the Quran in the heart;
the second is to write letter by letter the signs that Allah has revealed to Muhammad. In order to
perfect the Utsmany mushaf, some attempts were made, such as giving reading marks for points
and syakls, forcing the Muslims to write the mushaf with writing (khat) as beautifully as
possible, making signs to distinguish verses from one another, and more boldly listing surah
names, number of verses, indication that the surah is Makkiyah or Madaniyah, and code that
indicates the beginning of the verses.From time to time, the process of printing the Qur'an
continued to grow to a joyful event, besides the great meaning, that is, when the Quran appeared
in a small, beautiful, and delicate form in Cairo.
Abstrak:
Secara historis, pembukuan Al-Qur'an tidak sekompleks pembukuan hadis. Umat Islam
menganggap Al-Qur'an sebagai wahyu Allah sebagai kitab atau lembaran kertas yang dijilid dan
tertulis di dalamnya.Informasi tentang pengumpulan alquran masa khulafaurrasyidin harus sering
disebarkan agar tidak tenggelam dimakan zaman. Ini terutama berlaku di era digital dengan
pendekatan tafsir. Pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, dan pengolahan data
dilakukan. penyelidikan. Data penelitian ini berasal dari perpustakaan. Penelitian ini bersifat
deskriptif analitis dengan menganalisis buku-buku tentang sejarah dan tafsir al-Qur'an. Etimologi
Jam'ul Qur'an berasal dari kata Arab "jama’a yajma’u", yang berarti mengumpulkan pendapat para
ulama. Menurut seorang ulama bernama Az-Zarqani, Jam'ul Qur'an memiliki dua arti: pertama,
mengfafal Al-Qur'an dalam hati; yang kedua, menulis huruf demi huruf ayat-ayat yang
diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad. Untuk menyempurnakan mushaf Utsmany, beberapa
upaya dilakukan, seperti memberikan tanda baca untuk titik dan syakl, memaksa kaum muslimin
untuk menulis mushaf dengan tulisan (khat) seindah mungkin, membuat tanda untuk membedakan
2 dari 12
ayat satu sama lain, dan semakin berani mencantumkan nama-nama surah, jumlah ayat, keterangan
yang menunjukkan bahwa surah itu Makkiyah atau Madaniyah, dan kode yang menunjukkan
permulaan ayat.Dari waktu ke waktu, proses percetakan Al-Qur'an terus berkembang sampai pada
peristiwa yang menggembirakan, di samping artinya yang sangat besar, yaitu ketika al-Qur'an
dalam bentuk yang mungil, indah, dan halus muncul di Kairo.
1.Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW sebagai
sumber hukum Islam yang pertama. Ayat-ayat yang pertama turun adalah al-Alaq 1-5 pada tanggal
17 Ramadhan dan ayat yang terakhir turun adalah surat al Maidah ayat 3 ketika rasul menjalankan
haji wada‟. Dalam sejarah Al-Qur’an ada istilah pengumpulan Al-Qur’an, yaitu usaha
pengumpulan berkas-berkas Al-Qur’an yang tercecer di tangan para sahabat kemudian berkas-
berkas tersebut disatukan sebagai konteks utuh yang bernama mushaf.
Secara historis pula perjalanan pembukuan Al-Qur'an memang tidak sekompleks pembukuan hadis
(Dimyathi, 2020). Namun bukan berarti bahwa proses kodifikasi Al-Qur'an tidak menarik untuk
dikaji. Selama perjalanannya, Al-Qur'an dianggap oleh umat Islam sebagai wahyu Allah sebagai
sebuah kitab atau lembaran kertas terjilid dan tertulis di dalamnya. Proses kodifikasinya sekarang
tidak lagi normatif, tetapi sangat historis karena berkaitan dengan dengan berbagai macam
pembicaraan dan wacana (politik, sosial, dan lain-lain) yang melingkupinya, sehingga selalu layak
untuk dipertanyakan dan dibahas kapan pun dan oleh siapa pun.Telah kita ketahui bahwa Al-
Qur'an diturunkan secara bertahap. Setelah menerima A1-Qur'an dari malaikat Jibril, Rasulullah
mem-bacakannya dan memerintahkan para sahabatnya untuk mendengarkannya. Pengumpulan
dan penyusunan al-Qur’an dalam bentuk seperti saat ini, tidak terjadi dalam satu masa, tapi
berlangsung beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan berbagai kelompok. Cara lazim dalam
menjaga al-Qur’an pada masa Nabi dan Sahabat adalah dengan hafalan (al-jan’fissudur). Hal ini
selain karena masih banyak sahabat yang buta huruf, juga karena hafalan orang Arab ketika itu
terkenal kuat. Karena alat tulis pada masa itu sangat sederhana dan rentan terhadap kerusakan,
jelas bahwa pencatatan al-Qur'an belum merupakan alat yang dapat dipertahankan. Bahan tempat
menulis berasal dari tulang belulang dan pelepah kurma yang mudah patah, tinta yang mudah
luntur, dan alat tulis yang sangat sederhana. Selama bertahun-tahun, dari masa Rasulullah saw,
hingga Khulafaur Rasyidin, ada berbagai cara dan pendekatan untuk memelihara dan
mengumpulkan al-Qur'an. Ini terutama terkait dengan aspek sejarah proses pengumpulan al-Qur'an
pada masa setelah Rasulullah saw., yaitu pada masa sahabat, dan upaya terus menerus setelah
Khulafaur Rasyidin.
Pentingnya mengetahui informasi tentang pengumpulan alquran masa khulafaurrasyidin harus
sering disebarkan, jangan sampai tenggelam dimakan zaman, terlebih kita sudah masuk era digital,
(Rahmatullah, A. S., et al, 2022) karena semua orang sudah adaptif terhadap dunia digital, minimal
melalui HP, (Syahrani, S., 2021) dengan tetap disebarkannya informasi pengumpulan alquran
masa khulafaurrasyidin, maka dengan begitu menjadi langkah pembinaan dan penyebaran
informasi terkait sejarah kitab suci umat Islam, (Syahrani, S., 2022) sehingga diharapkan informasi
pengumpulan alquran masa khulafaurrasyidin tidak tenggelam termakan zaman, (Syahrani, S.,
2022) dan secara informatika terkesan lebih termanajemen, (Syahrani, S., 2018) terlebih
3 dari 12
2.Hasil Penelitian
Pengertian Jam’ul Qur’an
Secara Etimologi, Jam’ul Qur’an berasal dari bahasa Arab yakni berasal dari kata jamaa
yajmau yang memiliki arti mengumpulkan. Sedangkan secara Termonologi para ulama memiliki
pendapat yang berbeda-beda. Salah satunya adalah menurut seorang ulama bernama Az-Zarqani,
yang mana menurut beliau bahwasannya Jam’ul Qur’an mempunyai dua pengertian yang mana
pada pengertian yang Pengertian Pertama : Jam’ul Qur’an memiliki arti mengfafal Al-Qur’an
dalam hati, sedangkan pada pengertian Kedua memiliki arti menuliskan huruf demi huruf dan dari
ayat satu ke ayat yang lain yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
Di dalam kalangan para ulama, Jam’ul Qur’an mempunyai dua arti yaitu hifzuhu kulluh gi
al-sudur dan kitabatuhu kulluh fi al-sutur (Ibrahim Abd al-Rahman).
1. Jam’ul Qur’an dalam pengertian Hifzuhu.
Periode ini di mulai sejak awal penurunan Al-Qur’an, karena itulah Rasulullah SAW
merupakan orang pertama yang menghafalkan al-qur’an.Allah memberi jaminan bahwa
allah akan mengumpulkan di dada nabi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman
Allah yakni pada (QS Al-Qiyamah 75: 16-19). Ibnu Abbas pernah berkata : ‘’Rasulullah
sangat ingin segera menguasai Al-Qur’an yang di turunkan, ia menggerakkan lidah dan
bibirnya,karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingi segera menghafalkannya,
maka Allah menurunkan ayat diatas, dengan tujuan bahwa kamilah yang
mengumpulkannya didadamu, kemudian kami membacakannya’’. Dan setelah ayat
tersebut diturunkan, apabila Jibril datang, Raulullah akan diam dan mendengarkan apa
yang diucapkan jibril, kemudian setelah jibril pergi barulah Rasulullah akan
membacakannya sebagaimana yang telah di perintah oleh Allah.
2. Jam’il Qur’an dalam pengertian Kitabatuhu.
Yang di maksud dalam pengertian ini yaitu memisahkan ayat dan surat, atau mengurutkan
ayat ayat tersebut, baik surat yang ditulis dalam satu lembaran maupun yang ditulis secara
terpisah, mengurutkan ayat dan surat dalam lembaran yang terkumpul, menyatukan semua
surah, yang sebagaiannya ditulis setelah bagian yang lain. Berdasarkan penjelasan di atas
sebenarnya istilah yang digunakan memiliki maksud yang sama yaitu menjelaskan tentang
bagaimana tahapan atau proses penyampaian wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah,
para sahabat, dari tahap penulisan hingga disatukan dalam satu mushaf yang utuh dan
tersusun dengan berurutan. Secara garis besar, pengumpulan Al-Qur’an dilakukan dalam 2
4 dari 12
periode, periode yang pertama yaitu periode , Nabi Muhammad SAW dan periode
khulafaur rasyidin. Dan pada saat periode nabi terbagi menjadi dua, menurut pendapat
kebanyakan ulama, yaitu (Muhammad Ali Ash-Shabuniy, 1991) : a).pengumpulan dalam
dada, yaitu dengan cara menghafal, menghayati dan mengamalkan, b) pengumpulan dalam
naskah dengan cara menulis pada kitab, atau dibentuk dalam sebuah ukiran.
A. Pada Periode Jam’ul Qur’an Nabi
Pada masa rasulullah pengumpulan al-qur’an dilakukan dengan cara menghafal yang
dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, Penghafalan ini sangat penting mengingat Al-Quranul
Karim diturunkan kepada Nabi yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis) yang diutus di
tengah kaum yang juga ummi.Setelah menerima wahyu, Rasulullah SAW mengumumkannya di
hadapan para sahabat dan memerintahkan mereka untuk menghafalnya. Ada beberapa riwayat
yang mengindikasikan bahwa para sahabat menghafal dan mempelajari al-quran lima ayat,
sebagian meriwayatkan sepuluh setiap kali pertemuan. Mereka merenungkan ayat-ayat tersebut
dan berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya sebelum
meneruskan pada teks berikutnya. Hal ini juga diduga sebagai awal mula tradisi hifz (menghafal)
yang terus berlangsung hingga saat ini (Farid Esack, 2007). Selain itu secara kodrati bangsa Arab
mempunyai daya hafal yang kuat. Keadaan ini mereka gunakan untuk menulis berita-berita,
syairsyair dan silsilah-silsilah dengan catatan di dalam hati. Hal ini mereka lakukan karena
kebanyakan dari mereka adalah ummi. Situasi seperti ini juga sekaligus menjadi bukti atas
kemukjizatan dan keautentikan al-quran. Secara singkat faktor yang mendorong penulisan Al-
Qur‟an pada masa Nabi adalah: 1) Membukukan hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabatnya, 2) Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna.Hal ini karena
hafalan para sahabat saja tidak cukup. Dan sebagian dari mereka ada yang sudah wafat. Adapun
pada masa Nabi ini penulisan al-Qur‟an tidak ditulis pada satu tempat melainkan terpisah-pisah
dengan alasan: 1) Proses penurunan Al-Qur‟an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat
yang turun belakangan menasakh ayat sebelumnya, 2) Penyusunan ayat dan surat Al-Qur‟an tidak
sesuai dengan turunnya.Unit-unit wahyu yang diterima Muhammad SAW pada faktanya,
dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama: 1) Menyimpannya ke dalam dada manusia
(menghafalkannya), dan 2) merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis
(pelepah korma, tulang-belulang, dan lain-lain) (Mannā’ Khalīl al-Qaṭṭān, 1973). Jadi, ketika para
ulama berbicara tentang jam‟ Al-Qur’an pada masa Nabi SAW, maka yang dimaksudkan dengan
ungkapan ini adalah pengumpulan wahyu yang diterima oleh Nabi SAW melalui kedua cara
tersebut, baik sebagian ataupun seluruhnya.
B. Jam'ul Qur'an Pada Masa Abu Bakar dan Umar Bin Khattab:
Sepeninggal Rasulullah SAW, kaum muslimin setuju untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq
sebagai khalifah. Namun, pada awal pemerintahan Abu Bakar, Musailamah al-Kazzab dan
pengikutnya melakukan kekacauan. Mereka menolak untuk murtad dari agama Islam dan tidak
membayar zakat. Gerakan ini segera dihancurkan oleh pasukan Khalid bin Walid. Peristiwa itu
terjadi di Yamamah pada tahun 12 H, dan banyak sahabat mati, termasuk 70 orang yang diyakini
hafal Al-Qur’an (Munir, M. 2021)
5 dari 12
Setelah peristiwa itu, Umar bin Khattab meminta Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq untuk segera
mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur'an dalam sebuah kitab. akhirnya diberi nama mushaf.
Saran ini dibuat karena dia merasa cemas dan khawatir bahwa Al Qur'an secara bertahap akan
hilang karena hanya menghafal, apalagi jumlah orang yang menghafal Al Qur'an semakin
berkurang karena banyaknya orang yang mati dalam medan perang.
Semula, Khalifah Abu Bakar ragu untuk menerima ide Umar bin Khattab karena Rasulullah
Sallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah meminta kaum muslimin untuk mengumpulkan Al-Qur'an.
Jadi, Allah membuka hati Abu Bakar dan menerima ide itu setelah dia memikirkannya secara
menyeluruh. Abu Bakar ra. menyadari bahwa mengumpulkan Al Qur'an, yang disarankan Umar
bin Khattab, adalah cara yang sangat penting untuk melindungi kitab suci Al-Qur'an dari
kerusakan, perubahan, dan kesalahan. Untuk mencapai tujuan ini, dibentuklah sebuah tim yang
dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
Untuk memenuhi tugas dan mandat suci ini, periksa posisinya dalam hal qiraat, hafalan,
penulisan, pemahaman, dan kecerdasan, serta kehadiranya saat membaca. Pada awalnya, Zaid bin
Tsabit menolak perintah Abu Bakar ra. Kemudian terjadi perdebatan panjang hingga Abu Bakar
ra menerima permintaan Zaid bin Tsabit, yang didokumentasikan dalam Shahih Bukhari. Zaid bin
Tsabit mengatakan, "Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban
perang Yamamah (sebelum kematian 70 para pangeran)." Ternyata Umar sudah berada di sana,
seperti yang dikatakan Abu Bakar, "Umar telah datang kepadaku dan mengatakan, bahwa perang
di Yamamah menelan banyak korban dari kalangan penghafal Al Qur'an." Dan dia khawatir bahwa
pembunuhan para penghafal Al-Qur'an mungkin terjadi di tempat lain juga, menyebabkan banyak
dari mereka hilang. Aku diminta untuk meminta seseorang untuk mengumpulkan Al Qur'an.
Kemudian saya bertanya kepada Umar, bagaimana kita bisa melakukan hal-hal yang tidak pernah
dilakukan Rasulullah Sallahu Alaihi wa Sallam? Namun, Umar menjawab dengan bersumpah
untuk melakukan hal yang baik, demi Allah. Zaid berkata lagi, "Abu bakar berkata kepadaku:
"Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemampuanmu, dan Allah
membukakan hatiku untuk menerima usulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar."
Karena Anda telah menulis wahyu untuk Rasulullah Sallahu Alaihi wa Sallam, carilah Al Qur'an
dan kumpulkanlah, kata ZaidMereka berkata, "Demi Allah, meminta mereka untuk memindahkan
gunung akan lebih mudah bagiku daripada meminta mereka untuk mengumpulkan Al Qur'an."
Karena itu, saya menjawab, "Mengapa Anda berdua ingin melakukan sesuatu yang Rasulullah
Sallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah lakukan?" Allah membukakan hatiku sebagaimana Ia
membukakan hati Abu Bakar dan Umar, karena Abu Bakar terus menyemangatiku dengan berkata,
"Demi Allah, itu perbuatan baik." Kemudian saya mulai mencari Al Qur'an. Saya
mengumpulkannya dari pelepah kurma, potongan batu, dan ucapan orang yang menghafal Al
Qur'an. Sampai akhirnya, saya menemukan bahwa akhir surat At Taubah berada pada Khuzaima
al Anshati, yang saya tidak dapatkan dari orang lain. Atas kesediaan Zaid bin Tsabit, dibentuklah
sebuah komite yang dipimpinnya dan terdiri dari Ubay bin Ka'ab, Ali bin Abi Thalib dan Utsman
bin Affan, Zaid bin Tsabit memulai dengan mengacu pada catatan penulis dan hafalan yang ada
dalam hati para qurra'. Kemudian Zaid bin Tsabit mengumpulkan Al Qur'an tersebut sesuai dengan
undang-undang dan peraturan yang ditetapkan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaid bin
Tsabit tidak hanya bergantung pada apa yang ia dengar dan tulis, tetapi juga pada hafalan yang dia
6 dari 12
ingat. Bahkan dalam proses mengumpulkan Al Qur'an, ia menggunakan dua sumber: 1) Al Qur'an
yang ditulis di hadapan Rasulullah Sallahu „Alaihi wa Sallam; dan 2) Hafalan orang yang
menghafal Al Qur'an. Setelah dia meninggal pada tahun 13 H, mushaf-mushaf Itu diambil oleh
Umar sebagai khalifah kedua dan terus dipegangnya hingga dia meninggal. Putri Umar, Hafsah,
kemudian menerima mushaf itu.
Menurut Said Agil Husin Al-Munawar, ciri-ciri penulisan Al-Qur'an pada masa Abu Bakar adalah
sebagai berikut: 1) Seluruh ayat Al-Qur'an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf
berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama; 2) Menjauhkan ayat-ayat yang telah mansukh;
dan 3) Setiap ayat yang ada diakui sebagai mutlak. 4) Tujuh qiraat digunakan dalam bahasa Arab
dalam pembukuan ini.
Menurut Al-Zarqani (1996), mushaf yang dibuat pada masa Abu Bakar hanyalah penulisan urutan
ayat-ayatnya tanpa mengurutkan surah-surahnya. Sangat penting bagi kita semua untuk mengingat
tindakan Abu Bakar Ash Shiddiq dalam mengumpulkan Al Qur'an Ini bukan masalah bid'ah yang
menyesatkan. Meskipun demikian, tindakan ini berakar dari metode yang digunakan Rasulullah
Sallahu Alaihi wa Sallam saat menulis Al Qur'an.
Sejarah tidak mengungkapkan banyak tentang masa pengkodifikasian Umar Bin Khatab. Ide awal
tentang pengumpulan Al-Qur'an berasal dari akan telapi Umar Bin Khatab. Salah satu contohnya
adalah ketika dewan panitia mengerjakan Al-Qur'an, Umar Bin Khattab sempat mengatakan,
"barang siapa yang memiliki apa saja bagian dari Al-Qur'an yang langsung diterima dari
Rasulullah hendaklah ia menyerahkannya kepada dewan." Ini menunjukkan dorongan dan
perhatian kuat Umar Bin Khattab sejak awal gagasan hingga proses penulisan atau pengumpulan
(al-Zarqani, 1996).
Asyari dalam mushafnya yang disebut Lubat al-Qulub. Huzaifah bin Yaman melaporkan
perselisihan tersebut kepada Khalifah Utsman Bin Affan. Setelah mendengar laporan tersebut,
Utsman Bin Affan memutuskan untuk membentuk "panitia empat", terdiri dari Zaid Bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Syaid bin Ash, dan Abdurahman bin Harits. Zaid Bin Tsabit adalah orang
yang paling penting bagi Utsman Bin Affan karena dia adalah penulis dan penyusun Al-Qur'an di
masa Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Syiddiq. Mas'ud dengan kapasitas Zaid Bin Tsabit
seperti itu, dia dapat yakin bahwa Al-Qur'an asli karena tidak mungkin ada kalimat tertentu yang
diubah atau hilang dari nashnya. Salah satu tindakan lain Utsman Bin Affan adalah membentuk
"panitia empat", yaitu membakar semua mushaf yang dibuat sesuai dengan "panitia empat",
sehingga kaum muslimin hanya mengenal satu mushaf, mushaf Utsman Bin Affan. Selain itu, dia
membakar semua mushaf yang dibuat sesuai dengan "panitia empat" karena dia khawatir bahwa
jika mushaf lain beredar, akan menimbulkan fitnah. Menurut Utsman Bin Affan, persyaratan untuk
mushaf yang didistribusikan adalah sebagai berikut: 1) Harus jelas dan tidak tertulis berdasarkan
riwayat ahad; 2) Mengabaikan ayat bacaan yang dinash, yang tidak dianggap dibaca kembali di
depan Nabi Muhammad s.a.w pada saat itu. 3) Kronologi surah dan ayat dalam mushaf Abu Bakar
Syiddiq dan mushaf Utsman Bin Affan berbeda. 4) Sistem penulisan mushaf dapat mencakup
berbagai qira'at sesuai dengan lafadz-lafadz Al-Qur'an ketika dibacakan. 5) Semua yang tidak ada
dalam Al-Qur'an dihilangkan. Misalnya, sebagian sahabat menulis mushaf, tetapi mereka juga
menulis penjelasan nash mansukh atau makna ayat di dalamnya (Kamaludin Marzuki).
Ada beberapa karakteristik unik Mushaf Utsmani: 1) Tiap halaman Al-Qur'an berisi 18 atau 15
baris, tetapi halaman 2 dan 3 hanya berisi 6 baris. Terdapat "ain baik di tengah, di atas, maupun di
bawah" di kanan atau kiri halaman AI-Qur'an. 2) Membagi ayat ke dalam unit Juz terlihat seperti
begitu konsisten dan jelas tentang jumlah ayat yang ada di setiap halaman (Lukman Abdul Qohar
Sumabrata et al., 1991). Dalam 16 halaman, pengetahuan juz format juga sangat konsisten. 3)
Dalam mushaf Utsmani, setiap halaman terdiri dari ayat utuh, yang berarti bahwa halaman dimulai
dengan ayat dan berakhir dengan ayat. Meskipun ada beberapa kasus di mana keteraturan ini tidak
konsisten, seperti pada halaman 484 dari Al-Qur'an, di mana satu ayat terputus oleh pergeseran
halaman; namun, secara umum, keteraturan ini menunjukkan hubungan antara jumlah ayat dan
halaman Al-Qur'an. 4) Tulisan Basmallah digunakan sebagai kop untuk setiap surat, kecuali surat
9 (At-Taubah), di mana ia ditulis dalam dua baris, yaitu pada surat Al-Hijr dan An-Naml. 5) Semua
juz awal dimulai pada halaman sebelah kiri, kecuali juz 1, di mana ada cetak tebal pada beberapa
huruf di ayat awal juz. Untuk juz ini, hanya surat Al-Fatihah (7 ayat) dan Al-Baqarah (4 ayat) yang
memiliki huruf yang dicetak tebal.
Muhammad s.a.w. sampai ia selesai menghimpun Al-Qur'an. Dengan tekad bulat, Ali pun dapat
menghimpun Al-Qur'an dalam waktu tiga hari. Pendapat Ibnu Al-Nadim juga menunjukkan bahwa
Ali Bin Abi Thalib dapat menghimpun Al-Qur'an dalam waktu tiga hari (Kadzim Munir Syahneci,
1992). Ini karena seorang ahli penulis wahyu yang berpengalaman sekalipun tidak akan dapat
menulis isi Al-Qur'an dalam waktu tiga hari. Sahabat Ali Bin Abi Thalib mungkin lebih dulu
menulis ayat-ayat Al-Qur'an saat diturunkan karena perintah Rasulullah s.a.w., atau mungkin juga
sahabat Ali Bin Abi Thalib. menulis hanya beberapa bagian Al-Qur'an, kemudian disimpan dan
dijaga olehnya, seperti kitab-kitab suci yang diwahyukan sebelumnya ( Munir, 2021). Di sisi lain,
salinan Al-Qur'an yang ditulis oleh Khalifah al-Rasyidin yang keempat ini ditemukan di Najaf,
Irak, dan Kufah. Pada tahun 40 Hijriayah, Ali Bin Abi Thalib menuliskannya di atasnya.
Eropa, seni mencetak ini terus berkembang. Penggunaan kertas ini untuk mencetak kitab Al-Qur'an
kemudian mempercepat penerbitan.Memang, Al-Qur'an pernah diambil dari cetakan sebelumnya,
yang dikenal sebagai Blockpoint dan juga beberapa abad kesepuluh, baik dalam lembaran maupun
ukiran kayu (untuk pola cetakannya) masih ditemukan dewasa ini. Bahwa AlQur'an pertama kali
dicetak dengan mesin yang dapat dipindahkan dibuat di Hamburg, Jerman, pada tahun 1694.
Tandabaca digunakan pada skrip (Kamaluddin Marzuki).
Pada tahun 1698, Maraci menerbitkan Al-Qur'an di Padoue. Namun, sayangnya, tidak ada cetakan
pertama, kedua, atau ketiga Al-Qur'an yang tersisa di dunia Islam, dan sayangnya, orang yang
pertama kali menerbitkannya bukan muslim. Penerbitan dimulai dengan label Islam, baru dimulai
pada tahun 1787 Masehi, dan penerbitnya adalah Maulana Utsman. Mushaf ini dibuat di
Petersborg, Rusia, atau Leningrad (Uni Soviet). Pada tahun 1248, Mushaf cetakan Kazan dibuat
kembali di Iran. eheran pernah menjadi tempat penerbit Persia. Lima tahun kemudian, pada tahun
1833, mushaf cetakan terbit lagi di Leipzig (Jerman).
Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus untuk menerbitkan Al-Qur'an di perempatan
pertama abad kedua puluh. Panitia ini didorong oleh para Syeikh al Azhar dan berhasil
menerbitkan mushaf Al-Qur'an dalam cetakan yang bagus pada tahun 1342 H / 1923 M. Salah laku
pertama terbit di Dhabit, menurut riwayat Hafs atau Qira’at `Ashim, di negara Arab. Berjuta-juta
mushaf dicetak di Mesir dan banyak negara lain sejak itu.
Orang-orang semakin tertarik untuk memudahkan penulisan al-Qur'an. Upaya untuk mencapai hal
itu dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti, 1) Menggabungkan titik-titik menjadi gambar
untuk menghias mushaf yang dibuat pertama kalinya, al-Khalil Dia juga orang pertama yang
membuat tanda baca hamzah, tasydid, raum, dan isymam, yang dikenal oleh ahli qira'at sebagai
isyarat bunyi harakat dengan merapatkan bibir. 2) Mushaf menjadi sangat indah pada akhir abad
ketiga Hijriyah. Kaum muslimin berlomba-lomba menulis mushaf dengan tulisan yang disebut
khat dengan cara yang seindah mungkin. Menciptakan tanda baca unik juga sama. Misalnya, huruf
yang dibaca musyadaah diberi tanda yang menyerupai busur. Alif washal diberi lekukan di
atasnya, di bawahnya, atau di tengahnya sesuai dengan harakah huruf sebelumnya, apakah itu
fathah, kasrah, atau dhammah. 3) Setelah banyak orang menggunakan berbagai tanda untuk
membedakan ayat dari satu sama lain, mereka menjadi lebih berani un Pada awal setiap surah, ada
surah Makkiyah atau Madaniyah, bersama dengan kode-kode yang menunjukkan permulaan ayat
dan tanda-tanda waqaf. 4) Membagi ayat-ayat menjadi juz dan hizb. Mereka mencari bukti dari
berbagai sejarah untuk membenarkan tindakan tersebut. Menurut Zarkasyi, "Mengenai
pengelompokan (tahzib) dan pembagian (tajzi'ah) ayat-ayat al-Qur'an, sebelum itu memang sudah
dilakukan orang dan sudah dikenal yaitu dibagi menjadi tiga puluh bagian (juz), sebagaimana yang
berada di tempat-tempat pengajian dan lain-lain." Menurut Aus bin Hudzaifah, yang disebutkan
oleh Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, Rasulullah pernah bertanya kepada para
sahabatnya, "Bagaimana kalian mengelompokkan ayat-ayat al-Qur'an?" Mereka menjawab, "Tiga,
lima, tujuh, sembilan, sebelas, tiga."tuk mencantumkan nama-nama surah, jumlah ayat, dan
keterangan yang menunjukkan (Icsan,M., 2021).
10 dari 12
3.Kesimpulan
Jam’ul Qur’an berarti mengumpulkan lembaran al Qur’an yang berada pada berbagai wadah
seperti pelepah-kurma, lempengan-lempengan batu dan lainnya terkumpul dalam satu tempat. Ada
dua faktor tekodifikasinya Al-Qur’an itu pertama didorong oleh banyaknya para penghafal Al-
Qur’an yang gugur pada perang Yamamah melawan Musailamah Al Kazzab yang terjadi pada
masa Kahalifah Abu Bakar Siddik, Kedua;terjadinya perselisihan umat Islam dalam mambaca al
Qur’an sehingga menimbulkan perselisihan antara satu kaum dengan kaum lainnya dan Khalifah
Usman bin Affan berinisiatif dengan menjadikannya dalam satu jenis bacaan guna menyatukan
umat. Tujuan al Qur’an dikodifikasikan adalah untuk menyatukan al Qur’an yang bertebaran dari
satu lembaran dan dari seluruh hafalan sahabat sebelum ajal menjemput mereka sehingga dapat
diwariskan kepada generasi selanjutnya
Usaha-usaha yang dicapai dalam menyempurnakan mushaf ‘Utsmany adalah sebagai berikut :
1. Pemberian tanda baca titik dan syakl.
2. Kaum muslimin berlomba-lomba menulis mushaf dengan tulisan (khat) seindah mungkin.
Begitu juga dalam hal menciptakan tanda baca yang khas.
3. Membuat tanda untuk memisahkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, lalu mereka semakin
berani mencantumkan nama-nama surah, jumlah ayat, keterangan yang menunjukkan surah itu
Makkiyah atau Madaniyah, pada tiap awal surah, serta kode-kode yang menunjukkan permulaan
ayat dan tanda-tanda waqaf.
4. Pembagian ayat-ayat dalam beberapa bagian (juz) dan kelompok (hizb).
5. Proses percetakan Al-Qur’an dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan sampai pada
peristiwa yang menggembirakan, di samping artinya yang memang sangat besar, yaitu ketika di
Kairo muncul al-Qur’an dalam bentuk yang mungil, indah dan halus.
11 dari 12
Referensi
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis.Bogor: Idea Pustaka Utama. 2020.
Al- Shiddiqi, Hasby. (2019). Sejarah Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta : PT. Bulan Bintang.
Chollisni, A., Syahrani, S., Dewi, S., Utama, A. S., & Anas, M. (2022). The concept of creative
economy development-strengthening post covid-19 pandemic in Indonesia:
Strategy and public policy management study. Linguistics and Culture
Review, 6, 413-426.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ed. Revisi. Surabaya: Mahkota. 1989.
Dimyathi,. (2020). Jam’ul Abiir: Usaha Menghimpun Kitab Tafsir Sepanjang Sejarah.
TheInternational Journal of Pegon: Islam Nusantara Civilization, 4(02), 53-
78
Ichsan, M. (2021). Sejarah Penulisan dan Pemeliharaan Al-Qur'an pada Masa Nabi Muhammad
SAW dan Sahabat. SUBSTANTIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 14(1), 1-8.
Madzkur, Z. A. (2021). Legalisasi Rasm ‘Uthmani dalam Penulisan al-Qur’an. Quran and Hadith
Studies, 1(2), 215.
Marzuki, Kamaludin. (2021) `Ulum al-Qur’an, Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Munir, M. (2021). Metode Pengumpulan al-Qur'an. Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah PGRI
Pasuruan, 9(1), 143-160
Rahmatullah, A. S., Mulyasa, E., Syahrani, S., Pongpalilu, F., & Putri, R. E. (2022). Digital era
4.0: The contribution to education and student psychology. Linguistics and
Culture Review, 6, 89- 107.
Siddiq, Abu Bakar, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Martac NV, 1931, Cet. Ke 1.
Syahrani, S. (2018). Manajemen.,Kelas yang.,Humanis. Al-risalah, .,14(1), 57-74.
Syahrani, S. (2019). Manajemen.Pendidikan dengan.Literatur Qur’an. Darul.Ulum: Jurnal.,
Ilmiah Keagamaan, Pendidikan dan Kemasyarakatan, 191-203
Syahrani, S. (2021). Anwaha's Education Digitalization Mission. Indonesian Journal of Education
(INJOE), 1(1), 26-35.
Syahrani, S. (2022). Kesiapan Santri Dalam Mengikuti Analisis Nasional PKPPS Anwarul
Hasaniyyah (Anwaha) Kabupaten Tabalong. Adiba: Journal of Education,
2(1), 23-31.
Syahrani, S. (2022). Peran.,Wali .,Kelas .,Dalam Pembinaan Disiplin Belajar di Pondok Pesantren
Anwarul.,Hasaniyyah (Anwaha) Kabupaten Tabalong. AlQalam: Jurnal
Ilmiah Keagamaan dan Kemasyarakatan, 16(1), 50-59.
12 dari 12