Professional Documents
Culture Documents
Revalue Food Waste
Revalue Food Waste
Identifikasi Masalah
Pengelolaan sampah menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang
meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Secara spesifik pada pasal 2
ayat 4, disebutkan bahwa sampah terdiri atas sampah mengandung Bahan
Beracun dan Berbahaya (B3) dan limbah B3, sampah yang timbul akibat
bencana, sampah puing bongkahan bangunan, sampah yang secara
teknologi belum dapat diolah, dan/atau sampah yang timbul secara tidak
periodik.
Menurut Waste Management (2021), pengelolaan sampah merupakan
aktivitas untuk mengelola sampah dari awal hingga pembuangan, meliputi
pengumpulan, pengangkutan, perawatan, dan pembuangan, diiringi oleh
monitoring dan regulasi manajemen sampah.
Mendiskusikan permasalahan sampah, tentu kita mengenal istilah “Food
Loss and Waste”. Food Loss adalah sampah makanan yang berasal dari
bahan pangan seperti sayuran,buah-buahan atau makanan yang masih
mentah namun sudah tidak bisa diolah menjadi makanan dan akhirnya
dibuang begitu saja. Sedangkan Food Waste adalah sampah makanan yang
berasal dari makanan yang siap dikonsumsi namun dibuang begitu saja baik
pada proses retail maupun proses konsumsi oleh manusia dan akhirnya
menjadi sampah yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA).
Food Loss menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan bahan
makanan untuk memasak. Penyebabnya yaitu proses panen yang tidak
sesuai dengan kebutuhan pasar, permasalahan dalam penyimpanan,
penanganan, pengemasan, sehingga produsen memutuskan untuk
membuang bahan pangan (buah busuk atau tidak dapat diolah), konsumen
tidak berminat, terlalu lama di Gudang ini berkaitan dengan sistem
pergudangan yang tidak baik, konsumen kurang bijak dalam membeli
makanan.
Food Waste yang menumpuk di TPA akan menghasilkan gas metana
(CH4) dan karbondioksida (CO2) yang dapat menyebabkan dampak negatif
bagi lingkungan dan kesehatan manusia jika konsentrasinya tinggi. Gas-gas
dimaksud akan terbawa ke atmosfer dan berpotensi merusak lapisan ozon.
Padahal kita ketahui bahwa salah satu fungsi lapisan ozon adalah menjaga
kestabilan suhu di bumi. Jika kestabilan suhu terganggu, maka terjadilah
pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut akibat mencairnya es di
bumi.
Food waste menjadi permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dan
banyak negara lain di dunia. Menurut FAO (2011), sekitar 1/3 (satu per tiga)
dari makanan dunia hilang atau terbuang setiap tahun, dan sebesar 1,3 miliar
ton makanan terbuang tiap tahun di seluruh dunia. Berdasarkan Food
Sustainability Index pada tahun 2017, setiap orang Indonesia membuang
makanan 300 kg per tahun atau 87 juta ton dari seluruh penduduk di
Indonesia. Persentase timbulan food waste selama 20 tahun juga cenderung
meningkat, dari 39% pada tahun 2000 menjadi 55% pada tahun 2019,
dengan rata-rata sebesar 44% (Bappenas, 2021).
Indonesia perlu menjamin ketahanan pangan untuk 262 juta penduduk
(proyeksi 319 juta penduduk di tahun 2045) (BPS, 2018). Berdasarkan data
tersebut angka ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia pada
2045 diperkirakan sebesar 53,35%, artinya 100 penduduk usia produktif
menanggung beban 54 penduduk usia tidak produktif. Sehingga peningkatan
populasi harus sejalan dengan peningkatan produktivitasnya. Sementara,
8.47% penduduk mengalami kelaparan dan 9.41% hidup dibawah garis
kemiskinan (BPS, 2020).
Di sisi lain, timbulan FLW di Indonesia mencapai sekitar 115-184
kg/kapita/tahun (Bappenas, WRI, UK AID Foundation & Waste4Change,
2021). Kondisi ini akan berdampak secara ekonomi yaitu sekitar Rp. 213-551
triliun/tahun (Bappenas et al., 2021). Pada aspek lingkungan FLW akan
menghasilkan gas rumah kaca sekitar 1702,9 Mt CO2 antara tahun 2000 dan
2019, setara dengan 7,29% emisi GRK/tahun (Bappenas et al., 2021).
Sedangkan pada aspek Sosial, FLW yang dapat diberdayakan pada tahun
2000 - 2019 akan dapat memberi makan 61-125 juta orang. (Bappenas et al.,
2021).
Jika permasalahan ini tidak ditangani dengan sistematis, maka ”estimasi
FLW dapat mencapai 344 kg/kapita/ tahun pada tahun 2045 (Bappenas et al.,
2021). Selain itu, limbah ini juga dapat mencemari limbah lain yang
seharusnya dapat didaur ulang. Meningkatnya jumlah limbah makanan
mendorong pemerintah untuk mendirikan lebih banyak fasilitas pembuangan
limbah yang perlu dibangun. Selain itu, akan menambah tinggi tumpukan
sampah di TPA. Hal ini akan menambah pekerjaan rumah penataan wilayah
perkotaan di Indonesia.
Permasalahan mendasar pada pengelolaan food waste yaitu kesadaran
atau kepedulian terhadap permasalahan sampah. Direktur Pengelolaan
Sampah, Ditjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun
Berbahaya (PSLB3) KLHK mengungkapkan bahwa sebanyak 72%
masyarakat Indonesia dinyatakan belum peduli terhadap permasalahan
sampah. Padahal dampak dari permasalahan itu sangat berpengaruh
terhadap kehidupan manusia dan lingkungan (mediaindonesia.com).
Sejalan dengan populasi manusia yang jumlahnya terus meningkat,
upaya penting yang harus dilakukan yaitu pengelolaan food waste melalui
tata kelola baik yang menambah keuntungan sehingga memberi dampak
kesejahteraan bagi pelaku dan secara luas bagi masyarakat.
Dalam rangka mencapai keberhasilan pengelolaan sampah, maka
peranan pemerintah dan masyarakat harus saling melengkapi. Pemerintah
bersama-sama masyarakat merumuskan kebijakan, yang akan ditetapkan
Pemerintah. Masyarakat berpartisipasi langsung pada tiap level sesuai
dengan ketentuan peraturan. Keduanya harus mampu saling menciptakan
sinergi. Tanpa melibatkan masyarakat, pemerintah tidak akan dapat mencapai
hasil pembangunan secara optimal.
Partisipasi dalam hal ini berarti berperan serta, ikut serta, keterlibatan,
atau proses belajar bersama saling memahami, menganalisis, merencanakan
dan melakukan tindakan oleh sejumlah anggota masyarakat.
Keterlibatkan masyarakat secara langsung dalam mengurangi
jumlah food loss dan food waste merupakan salah satu cara yang paling
mudah untuk dilakukan. Tujuan pelibatan langusng yaitu adalah membangun
mindful (sadar) dalam konsumsi makanan dan dengan menghabiskan
makanan. Masyarakat masih belum sadar terhadap pola konsumsi yang
menimbulkan permasalahan food waste.
Praktik ekonomi sirkular memberikan pelajaran penting atas anti
hedonisme. Hal ini karena, ekonomi sirkular tidak hanya sekadar daur ulang
sampah. Ekonomi sirkular adalah konsep memaksimalkan nilai penggunaan
suatu produk dan komponennya secara berulang, sehingga tidak ada sumber
daya yang terbuang (resource efficiency).
Terdapat 5 sektor yang memiliki potensi besar untuk mengadopsi
ekonomi sirkular di Indonesia, yaitu makanan dan minuman, tekstil,
konstruksi, grosir dan eceran, elektronik. Kelima sektor ini merepresentasikan
hampir ⅓ dari PDB Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 43 juta orang di
tahun 2019. Sektor ini menyumbang 9,3 persen dari total PDB pada 2019 dan
merupakan subsektor terbesar dari sektor manufaktur. Sektor manufaktur
sendiri merupakan sektor industri terbesar di Indonesia. Ekonomi sirkular
tidak hanya dapat membantu menghindari kehilangan pangan dan limbah
makanan (misalnya, dengan memperpendek rantai pasok), tetapi juga dapat
membantu memanfaatkan kehilangan pangan dan limbah makanan untuk
tujuan yang lebih produktif, seperti pembuatan kompos dan biogas. Rantai
nilai yang lebih terlokalisasi dan agrikultur regeneratif juga dapat
menyebabkan peningkatan keanekaragaman hayati pertanian (lcdi-
indonesia.id, 2023).
Munculnya isu ekonomi sirkular mendorong banyak negara mulai
menetapkan regulasi yang mensyaratkan aktivitas ekonomi termasuk
kegiatan impor, ekspor dan investasi untuk menerapkan pola ekonomi hijau
dan keberlanjutan.
Berdasarkan hasil penelitian dalam Jurnal Teknik Lingkungan Volume 19
(Hal 34-45), permasalahan persampahan yang timbul dalam pengelolaan
sampah sisa makanan meliputi permasalahan teknis, dimana rendahnya
kesadaran pihak pengelola restoran dan hotel untuk melakukan pemilahan.
Hal ini disebabkan karena minimnya komitmen, sarana dan informasi dari
pemerintah dalam melakukan pengelolaan sampah khusus sisa makanan.
Disisi lain, kerja sama antara pengelola restoran, hotel dan timbulan sampah
di perkotaan lainnya dengan pemerintah dalam hal pemilahan dan daur ulang
sampah makanan masih minim.
Permasalahan ini dapat diminimalisasi dengan meningkatkan
pemahaman pentingnya mengelola sampah makanan secara khusus serta
menyediakan sistem solusi pengelolaan sampah baik dan terintegrasi. Selain
itu, juga dapat disediakan unit pengelola sampah makanan yang
menghasilkan income lanjutan, sehingga sistem sirkular ekonomi berjalan.
REKOMENDASI/SOLUSI PENANGANAN MASALAH BERUPA PRODUK/JASA
Deskripsi Produk/Jasa
Inovasi REVALUE merupakan konsep yang ditawarkan untuk
pengelolaan sampah makanan di Sektor Pertanian untuk membangun sistem
pangan yang mendukung peningkatan kesehatan, kesejahteraan, dan
perekonomian yang adil di wilayah perkotaan dalam rantai pasok konsumsi.
REVALUE mengurangi sampah sampai 0 persen, dan meningkatkan
pertumbuhan perekonomian sektor UMKM.
REVALUE terdiri dari Pojok UMKM Food Waste dan Unit Zero Waste.
Diharapkan melalui program ini akan dapat membangun kesadaran
masyarakat dan meningkatkan geliat perekonomian dengan stabil, dan
tumbuhnya UMKM akan mendukung pemulihan perekonomian pasca
pandemi Covid-19.
POIN
DAFTAR PUSTAKA
https://www.fao.org/nutrition/capacity-development/food-loss-and-waste/en
https://lcdi-indonesia.id/wp-content/uploads/2021/06/Report-Kajian-FLW-FINAL-4.pdf
Brigita, Gladys & Rahardyan, Benno. (2013). Analisa Pengelolaan Sampah Makanan
di Kota Bandung, 2(1), 34-45
Witjaksono, Agung & Soewarni, Ida. (2020). Partisipasi Gender Dalam Kegiatan
Bank Sampah, 4(1), 1-2