Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

Thomas Samuel Khun’s Thought: Paradigm and Saintific Revolution

Pemikiran Thomas Samuel Khun: Paradigma dan Revolusi Sains


Aliva Fitria (a), Subakri (b), Lailatul Usriyah (c)
(a) Universitas Islam Negeri KH. Achmad Siddiq Jember, alivafitria81@gmail.com
(b) Universitas Islam Negeri KH. Achmad Siddiq Jember
(c) Universitas Islam Negeri KH. Achmad Siddiq Jember

Abstract
The study of Thomas S. Kuhn’s thought about the scientific revolution and its relevance to Islamic sciences
is important. Although the Kuhn’s thoughts of scientific revolution has fundamental and philosophical
differences considering the historical aspects and the origin of its emergence which do have different
characteristics, these adaptive and accommodative efforts in the history of Islamic scholarship have
occurred. This study aims to describe how Thomas S. Kuhn’s thought about the scientific revolution, its
stages, and its relevance in Islamic science. This study is a literature study, where data is collected by using
documentation technique and analyzed through the data reduction, data display, and concluding. The
scientific revolution assumes that the development of science is drastic and revolutionary. The shifting
paradigm from the old paradigm to the new one is what has led to a science developing radically. The
stages include paradigm I, normal science, anomaly, crisis, scientific revolution, paradigm II. In this case
the main key to the scientific revolution is methodology. So, in the context of the developing Islamic
Sciences, the methodology of how understanding the Islamic teaching must be changed (revolutionized)
according to the times, and not changing the Islamic teaching text itself. So that what happens is the
dynamic of the Muslims paradigm towards religion which has been continuously carried out throughout the
ages.
Keywords: Paradigm, Scientific Revolution, Thomas S. Khun.

Abstrak:
Mengkaji pemikiran Thomas S. Khun tentang revolusi ilmiah serta relevansinya terhadap ilmu-ilmu
keislaman menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan. Meski gagasan revolusi ilmiah Kuhn memiliki
perbedaan yang amat mendasar dan filosofis mengingat segi-segi kesejarahan dan awal mula
kemunculannya yang memang memiliki karakteristik yang berbeda akan tetapi upaya-upaya adaptif serta
akomodatif tersebut dalam sejarah keilmuwan Islam pernah terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk
memaparkan bagaimana pemikiran Thomas S. Kuhn tentang revolusi ilmiah, tahapan-tahapannya, serta
relevansinya dalam ilmu-ilmu keislaman. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan, dimana data
dikumpulkan melalui teknik dokumentasi dan dianalisa melalui tahapan reduksi data, display data, dan
gambaran kesimpulan. Gagasan revolusi ilmiah beranggapan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan
berlangsung secara drastis dan revolutif. Pergeseran dari paradigma lama kepada paradigma baru (shifting
paradigm) inilah yang mengantarkan suatu ilmu pengetahuan berkembang secara radikal. Adapun tahapan-
tahapannya meliputi paradigma I, normal science, anomali, krisis, revolusi ilmiah, paradigma II. Dalam hal
ini kunci utama revolusi ilmiah ada pada metodologi. Jadi, dalam konteks perkembangan ilmu-ilmu
keislaman, metodologi dalam memahami ajaran Islam yang harus dirubah (direvolusi) sesuai dengan
perkembangan zaman, dan bukan merubah teks ajaran Islam itu sendiri. Sehingga yang terjadi adalah
dinamika paradigma umat Islam terhadap agama yang terus menerus dilakukan sepanjang zaman.
Kata Kunci: Paradigma, Revolusi Ilmiah, Thomas S. Khun.

Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
Aliva Fitria (1), Subakri (2), Lailatul Usriyah (3)

Latar Belakang
Ilmu pengetahuan selama ini diposisikan sebagai sesuatu yang bebas nilai, harus
independen, dan empiris. Pandangan ini kemudian ditolak oleh Thomas Samuel Kuhn
yang memahami ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari “paradigma”. Suatu paradigma
berisi suatu pandangan yang dapat dipengaruhi oleh latar belakang ideologi, relasi kuasa
(otoritas), dan fanatisme mendasar tentang apa yang menjadi inti persoalan suatu ilmu. 1
Sehingga, tidak ada satu ilmu pengetahuanpun yang hanya bisa dijelaskan dengan satu
teori yang dianggap lebih kuat, terlebih hanya diperolah melalui pembuktian empiris.
Bagaimanapun, gugatan atas penyimpangan (anomali) ilmu pengetahuan akan selalu ada
secara terus menerus. Anomali terjadi pada saat teori tidak dapat menjawab atau
menjelaskan sebuah fenomena, sehingga muncullah kebenaran baru. Begitu pula setelah
diketemukan kebenaran baru, siapapun tidak bisa menyalahkan kebenaran lama yang
digunakan pada masa lalu, karena itu, sebuah teori dianggap benar pada masanya. Begitu
pula teori baru yang dianggap benar pada masa sekarang belum tentu akan dianggap
benar pada masa yang akan datang.
Gagasan perkembangan ilmu pengetahuan yang dicetuskan oleh Thomas Samuel
Kuhn dikenal dengan sebutan revolusi ilmiah. Gagasan revolusi ilmiah beranggapan
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung secara drastis dan revolutif. Adalah
pergeseran paradigma dari paradigma lama kepada paradigma yang baru secara sebagian
atau keseluruhan sehingga mengakibatkan suatu lompatan-lompatan ilmu pengetahuan
yang radikal bersifat revolusioner. Artinya, dengan bergesernya paradigma (Shifting
Paradigm) inilah yang mengantarkan suatu ilmu pengetahuan berkembang secara radikal.
Pergeseran paradigma itu sendiri terjadi melewati beberapa tahapan sebelum paradigma
baru menggantikan paradigma sebelumnya. Tahapa-tahapan tersebut adalah paradigma
lama, sains normal, anomali sains, krisis, revolusi sains, dan paradigma baru 2. Gagasan
revolusi ilmiah merupakan kritik terhadap pandangan positivisme dan falsifikasi Popper.
Positivisme beranggapan bahwa ilmu pengetahuan berkembang secara evolutif dan
bersifat kumulatif. Artinya, ilmu pengetahuan berkembang terus sebagai akumulasi yang
terjadi sebagai akibat riset para ilmuwan sepanjang sejarah perkembangannya.
Selanjutnya, positivisme juga menetapkan kriteria ilmiah dan tidak ilmiahnya suatu teori
atau proposisi melalui prinsip verifikasi.
Adapun Popper juga menolak prinsip verifikasi (positivisme) ini, dengan
menggantinya dengan falsifikasi. Falsifikasi adalah pembuktian kesalahan suatu teori,
proposisi atau hipotesis. Teori yang dapat dibuktikan salah, secara langsung
menggugurkan teori. Dia beranggapan bahwa suatu perkembangan ilmiah dimulai dari
pengajuan hipotesis kemudian disusul oleh upaya untuk membuktikan kesalahan
hipotesis tersebut. Hal ini berjalan hingga tidak ditemukan lagi kesalahan hipotesis itu.
Jika sudah tidak ditemukan lagi celah kesalahan, maka hipotesis tersebut menjadi tesis
(teori) yang diterima sebagai suatu kebenaran yang tentatif. Artinya, kebenaran teori
diterima sampai ditemukan kesalahan teori itu oleh ilmuwan.

1
Inayatul Ulya dan Nasukhan Abdi, Pemikiran Thomas Khun dan Relevansinya Terhadap Keilmuan Islam,
Jurnal Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol 3, Nomor 2 (Kudus: IAIN Kudus, 2015) hlm 251
2
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, Edisi 1. 2015) hlm
163

Refleksi: Jurnal Filsafat dan Studi Keislaman


Mengkaji pemikiran Thomas Samuel Kuhn tentang revolusi ilmiah dengan
berupaya mengkaji relevansinya terhadap ilmu-ilmu keislaman menjadi suatu yang tidak
mudah. Pasti ada perbedaan yang amat mendasar dan filosofis mengingat segi-segi
kesejarahan dan awal mula kemunculannya yang memang memiliki karasteristik yang
berbeda. Akan tetapi, upaya-upaya adaptif serta akomodatif tersebut dalam sejarah
keilmuwan Islam pernah terjadi. Beberapa filosof muslim seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibnu Rusyd merupakan contoh kaum muslim yang banyak mengemukakan pandangan
yang menarik, khususnya dalam penyebaran filsafat dan penetrasinya dalam studi-studi
keislaman. Sehingga para filosof muslim tersebut menghasilkan afinitas dan ikatan yang
kuat antara filsafat Arab dan filsafat Yunani.3

3
Inayatul, Pemikiran Thomas Khun, hlm 269
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
Aliva Fitria (1), Subakri (2), Lailatul Usriyah (3)

Hasil dan Pembahasan


A. Latar Belakang Thomas Samuel Khun
Filosof yang dikenal dengan jargon “Revoluis Sains” yang bernama
lengkap Thomas Samuel Khun lahir pada 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio dan
meninggal pada tanggal 17 Juni 1996 di Cambridge, Massachusetts USA. Khun
hidup bersama seorang istri bernama Jehane R. Khun dan dua orang puterinya
yaitu Sarah Khun di Massachussets dan Elizabeth Khun di Los Angeles serta
seorang putera yang bernama Nathaniel S. Khun di Arlington.
Khun memperoleh gelar sarjana Fisika di tahun 1943 di Universitas
Havard, dan gelar master Fisika di tahun 1946 di Universitas Havard, dan
menyelesaikan program doktornya di Universitas California, Berkeley di bidang
Fisika. Kemudian di tahun 1948-1956 Khun diterima di Havard sebagai asisten
profesor pada pendidikan umum dan sejarah ilmu, di jangka ini adalah masa
transisi fokus dari Ilmu Fisika ke Sejarah Ilmu Pengetahuan. Dan ditahun 1956
Khun menerima tawaran kerja di Universitas California, Berkeley sebagai dosen
dalam bidang sejarah sains. Dan di tahun 1964-1979 Khun mengajar di
Universitas Princeton dan mendapat gelar Profesor. Dan lanjut di tahun 1979-
1991 Khun mengajar di Institut Teknologi Massachusetts sebagai profesor
Filsafat.4
Kuhn yang dikenal sebagai seorang fisikawan Amerika dan filsuf menulis
secara ekstensif tentang sejarah ilmu pengetahuan dan mengembangkan gagasan
penting dalam sosiologi dan filsafat ilmu. Salah satu karyanya yang amat terkenal
dan mendapatkan sambutan dari para filsuf ilmu dan para ilmuan pada umumnya
yaitu “The Structure of Scientific Revolution” yang terbit pada tahun 1962. 5
Karya The Structure of Scientific Revolution (1962) menjadi karya yang
monumental tentang sejarah dan filsafat ilmu pengetahuan dengan konsep dan
teori besarnya tentang paradigma dan revolusi ilmu. Karya Kuhn tersebut ketika
ia hampir menyelesaikan disertasinya dalam bidang fisika teoretis. Pengalaman
ilmiahnya tentang eksperimen dalam ilmu fisika membawanya pada suatu
kesimpulan bahwa teori dan praktek ilmiah telah usang sehingga secara radikal
telah merobohkan sebagian konsepsi dasarnya tentang sifat ilmu pengetahuan.
B. Pemikiran Thomas Samuel Khun
1. Penolakan Thomas Khun atas Positivisme
Perlu diungkap terlebih dahulu posisi Thomas Kuhn dalam sejarah
filsafat Barat, terutama pasca berlalunya masa positivisme Auguste Comte
yang diikuti filosof di lingkaran Wina dan falsifikasi Karl Popper. Jika
positivisme membagi pengetahuan menjadi dua: meaningfull (meliputi ilmu
yang empirisinduktif dan dianggap pasti) dan meaningless (termasuk di
4
Ensiklopedia Britannica, “Thomas S. Khun American Philosopher and Historian”.
https://www.britannica.com/biography/Thomas-S-Kuhn. Diakses tanggal 10 November 2023.
5
Ulfa Kesuma, Ahmad Wahyu Hidayat. “Pemikiran Thomas S. Khun Teori Revolusi Paradigma”. Jurnal
Pemikiran Islam. Vol. 21 Nomor 2. 2020 hlm 171.

Refleksi: Jurnal Filsafat dan Studi Keislaman


dalamnya agama, metafisika dan seni), dalam makna yang sama, Popper
mengenalkan istilah baru: science untuk yang pertama dan pseudoscience
untuk yang kedua. Berbeda dengan positivisme, Popper meyakini bahwa
keduanya meaningfull.6
Pandangan Kuhn tentang ilmu dan perkembangannya pada dasarnya
merupakan respon terhadap pandangan neo positivisme dan Popper. Menurut
Thomas Kuhn Positivisme memandang perkembangan ilmu pengetahuan
bersifat kumulatif. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan terus sebagai akumulasi yang terjadi sebagai akibat riset para
ilmuan sepanjang sejarah dan perkembangannya. Positivisme juga memvonis
kriteria ilmiah dan tidak ilmiahnya satu teori atau proposisi melalui prinsip
verifikasi. Sedangkan Popper cenderung untuk tidak sepakat dengan prinsip
verifikasi dan menggantinya dengan falsifikasi, maksudnya dapat dibuktikan
salahnya suatu teori, proposisi atau hipotesis. Menurut Popper, perkembangan
ilmiah diawali dengan pengajuan hipotesis yang kemudian dilanjutkan dengan
upaya pembuktian salahnya hipotesis tersebut. Maka sebuah teori ketika telah
terbukti kesalahannya, secara otomatis langsung menggugurkan teori
sebelumnya.
Kuhn menolak pandangan Popper yang terlebih dahulu menguraikan
terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesa untuk kemudian diberlakukan
prinsip falsifikasi (proses eksperimentasi untuk membuktikan salah dari suatu
teori ilmu). Thomas Kuhn yang memandang bahwa tidaklah dapat begitu saja
menggugurkan sebuah teori jika ditemukan ketidaksesuaian antara teori
dengan hasil observasi/eksperimen, karena sebuah teori bukanlah tersusun
atas keterangan tunggal tetapi tersusun dari keterangan yang kompleks,
terlebih lagi jika akan diuji dalam eksperimen maka struktur yang melingkupi
teori tersebut menjadi semakin kompleks.7 Perkembangan dan khususnya
perubahan ilmu pengetahuan menurut Kuhn tidak pernah terjadi berdasarkan
upaya empiris melalui proses falsifikasi suatu teori atau sistem, melainkan
terjadi melalui satu perubahan yang sangat mendasar atau melalui suatu
revolusi ilmiah.
Kuhn memandang ilmu dari perspektif sejarah, dalam arti sejarah
ilmu, suatu hal yang sebenarnya juga dilakukan Popper. Sejarah ilmu
pengetahuan hanya dipergunakan Popper sebagai bukti untuk
mempertahankan pendapatnya, Kuhn justru lebih mementingkan sejarah ilmu
sebagai titik tolak penyelidikan. Filsafat ilmu harus berguru kepada sejarah
ilmu, sehingga dapat memahami kenyataan ilmu dan aktivitas ilmiah yang
sesungguhnya. Kuhn muncul sebagai kritik atas dua aliran filsafat di atas.
Menurutnya, baik Auguste Comte dan Popper terlalu sibuk dengan hal-hal
yang menurutnya termasuk dalam tradisi penyelesaian tekai-teki (puzzle-
6
Mu’ammar Zayn Qudafy, “Refolusi Ilmiah Thomas S. Khun (1922-1996) dan Relevansinya bagi Kajian
Islam”. Jurnal Al-Murabbi Vol. 1 Nomor 1, 2014 hal 48
7
Slamet Subekti, “Filsafat Ilmu Karl R Popper dan Thomas S. Khun serta Implikasinya dalam Pengajaran
Ilmu”. Jurnal Humanika Vol 22, Nomor 2. 2015 hal 228
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
solving tradition) dan melupakan aspek penting dalam ilmu pengetahuan,
yaitu paradigma.
Pandangan Kuhn ini telah membuat dirinya tampil sebagai prototipe
pemikir yang mendobrak keyakinan para ilmuan yang bersifat positivisme.
Pemikiran positivisme lebih menggarisbawahi validitas hukum-hukum alam
dan hukum sosial yang bersifat universal, yang dapat dibangun oleh rasio.
Mereka kurang begitu berminat untuk melihat faktor historis yang ikut
berperan dalam aplikasi hukum-hukum yang dianggap sebagai universal
tersebut.
2. Paradigma Sains Thomas Samuel Khun
Paradigma berarti “pola”, “model” atau “skema” dan “pemahaman”
aspek-aspek tertentu ihwal realitas (kenyataan) yang dikaji. 8 Kuhn memaknai
istilah paradigma untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari
upaya pemecahan teka-teki yang bekerja di dalam ilmu. Menurut Kuhn,
paradigma ilmu adalah suatu kerangka teoritis, atau suatu cara memandang
dan memahami alam yang telah digunakan oleh sekelompok ilmuan sebagai
pandangan dunianya. Paradigma ilmu berfungsi sebagai lensa yang
melaluinya ilmuan dapat mengamati dan memahami masalah-masalah ilmiah
dalam bidang masing-masing dan jawaban-jawaban ilmiah terhadap masalah-
masalah tersebut.
Paradigma ilmu dapat dianggap sebagai suatu skema kognitif yang
dimiliki bersama. Paradigma ilmu tidak lebih dari suatu konstruksi segenap
komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca, menafsirkan,
mengungkap, dan memahami alam. Temuan Kuhn memperkuat alur
pemikiran bahwa sains bukannya value-neutral, seperti yang terjadi dalam
pemecahan persoalan-persoalan matematis, tetapi sebaliknya ilmu
pengetahuan sesungguhnya adalah value laden, yang erat terkait dengan nilai-
nilai sosiokultural, nilai-nilai budaya, pertimbangan politik praktis dan lain
sebagainya.9 Kuhn berpendapat bahwa perkembangan atau kemajuan ilmiah
bersifat revolusioner, bukan kumulatif sebagaimana pendapat sebelumnya.
Revolusi ilmiah itu pertama-tama menyentuh wilayah paradigma, yaitu cara
pandang terhadap dunia dan contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah
konkret. Tanpa disadari, paradigma seringkali menjadi pemain utama dalam
riset-riset ilmiah. Ini dikarenakan seseorang tidak pernah bekerja secara a
priori tetapi berdasarkan paradigmanya, yaitu cara pandang yang terbentuk
oleh pengaruh personal, pertimbangan-pertimbangan kekelompokan, dan cara
pandang sosialnya. Imbasnya, alam seringkali tidak menguraikan dirinya
sendiri. Sang ilmuwan itulah yang memberi makna atas pesan-pesan alam,
berdasarkan teori dan keyakinannya.

8
Slamet, Filsafat Ilmu, hal 166
9
Mohammad Muslih, “Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2008) hal 125
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
Kuhn membuat beberapa klaim terkenal berkaitan dengan kemajuan
pengetahuan ilmiah: bahwa bidang ilmiah berlangsung periodic "paradigm
shifts" ketimbang bergerak maju dalam satu jalur linear dan berkelanjutan;
bahwa paradigm shifts tersebut membuka pendekatan-pendekatan baru untuk
memahami apa yang oleh para ilmuwan tidak pernah dipandang valid
sebelumnya; dan bahwa pengertian tentang kebenaran ilmiah (scientific truth),
pada momen tertentu, tidak dapat dibangun sendiri dengan kriteria objektif
melainkan didefinisikan dengan satu konsensus dari masyarakat ilmiah
(scientific community).10
Paradigma-paradigma yang berkompetisi seringkali incommensurable;
yaitu, mereka berkompetisi pandangantentang realitas yang tidak dapat
direkonsiliasi secara koheren. Oleh karena itu, pemahaan kita tentang ilmu
tidak akan pernahsepenuhnya "objectivity"; kita harus mempertimbangkan
juga perspektif subjektif (subjective perspectives). Sebab itulah masyarakat
ilmiah (scientific community) harus memperbanyak serpihan dari teka-teki
yang telah dikumpulkan. Semakin banyak lingkungan ilmiah dapat
diterangkan oleh suatu komunitas ilmiah semakin besar pula kemajuan yang
dicapaianya. Dengan demikian, paradigma ilmu tidak lebih dari suatu
kontruksi segenap komunitas ilmiah, yang dengannya mereka membaca,
menafsirkan, mengungkap dan memahami alam. Berdasarkan bukti-bukti dari
sejarah ilmu, Kuhn menyimpulkan bahwa faktor historis yakni faktor non-
matematispositivistik, merupakan faktor penting dalam bangunan paradigma
keilmuan secara utuh.11
Kuhn menegaskan bahwa ilmu bukan maju melalui akumulasi linear
dari pengetahuan baru, tetapi berlangsung periodic revolutions, disebut
pula“paradigmshifts” dimana hakikat penyelidikan ilmiah dalam satu bidang
tertentu dalam abruptly transformed. Kuhn memperkenalkan konsep paradigm
shift untuk menandai situasi dalam sejarah ilmu dimana satu teori ditinggalkan
untuk mendukung teori lain, sebagai hasil dari krisis yang didorong oleh
kemunculan sejumlah teka-teki (puzzles) yang tidak dapat dipecahkan dalam
konteks kerangka teori lama (old framework).21 Sementara dijelaskan oleh
muslih bahwa pergeseran paradigma (shifting paradigm), yakni proses dari
keadaan normal science ke wilayah revolutionary science.
C. Revolusi Paradigma Sains Menurut Thomas Samuel Khun
Menurut Kuhn, proses perkembangan ilmu pengetahuan manusia tidak
dapat terlepas sama sekali dari apa yang disebut keadaan “normal science” dan
“revolutionary science”. Semua ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku
adalah termasuk dalam wilayah sains normal.12 Revolusi ilmiah adalah perubahan
yang drastis yang terjadi dalam tahapan perkembangan ilmu pengetahuan.
Perubahan paradigma itu bisa terjadi secara sebagian atau keseluruhan oleh

10
Slamet, Filsafat Ilmu, hal 42
11
Mohammad Muslih, “Filsafat Ilmu : Kajian”, hal 113
12
Muhammad Muslih, “Filsafat Ilmu: Kajian”, hal 129
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
paradigma baru. Namun yang jelas adalah pergantian paradigma ilmiah akan
mengakibatkan munculnya perbedaan yang sangat mendasar antara paradigma
lama dengan paradigma baru (yang menggatikannya). Dengan demikian, jelas,
perkembangan ilmu pengetahuan terjadi melalui lompatan yang radikal dan
revolusioner dengan pergantian paradigma.13
Menurut Kuhn cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat
digambarkan ke dalam tahap-tahap sebagai berikut:
1. Normal science ( sains yang normal)
Sains yang normal berarti riset yang dengan teguh berdasar atas satu atau
lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah
tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi pondasi bagi praktek
selanjutnya. Sains normal bermakna penyelidikan yang dibuat oleh suatu
komunitas ilmiah dalam usahanya menafsirkan alam ilmiah melalui paradigma
ilmiahnya. Sains normal adalah usaha sungguh-sungguh dari ilmuan untuk
mendudukkan alam masuk ke dalam kotak-kotak konseptual yang disediakan oleh
paradigma ilmiah dan untuk menjelaskan diumpamakan sains normal itu dapat
menyelesaikan teka-teki.14
Keberhasilan sebuah paradigma pada mulanya sebagian besar adalah janji
akan keberhasilan yang dapat ditemukan dalam contoh-contoh pilihan dan yang
belum lengkap. Sains yang normal terdiri atas perwujudan janji itu, perwujudan
yang dicapai dengan memperluas pengetahuan tentang fakta-fakta yang oleh
paradigma diperlihatkan sebagai sangat membuka pikiran, dengan menaikkan
tingkat kecocokan antara fakta-fakta itu dengan prakiraan paradigma, dan dengan
artikulasi lebih lanjut tentang paradigma itu sendiri.15
Menurut Kuhn riset ilmiah pada periode normal science terjadi dalam tiga
kondisi. Pertama, ilmuwan melakukan riset ilmiah terhadap sekelompok fakta
yang telah diprediksi oleh paradigm tunggal yang berlaku pada periode tersebut.
Kedua, sekelompok fakta tersebut dapat dibandingkan secara langsung dengan
realita melalui prediksi yang telah ditentukan berdasar teori/konsep/hukum yang
ada pada paradigma tunggal tersebut. Ketiga, riset ilmiah yang terjadi pada
periode normal science berkaitan dengan pengartikulasian paradigma tunggal
yang berlaku
2. Anomali dan krisis
Dalam wilayah normal science bisa saja ada banyak persoalan yang tidak
dapat terselesaikan, dan bahkan inkonsistensi. Inilah keadaan yang oleh Kuhn
disebut anomalies, keganjilan-keganjilan, ketidaktepatan, ganjalan-ganjalan,
penyimpangan-penyimpangan dari yang biasa, suatu keadaan yang sering kali
tidak dirasakan bahkan tidak diketahui oleh pelaksana di lapangan. Anomali
adalah suatu keadaan yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara
13
Akhyar, “Filsafat Ilmu”, hal 164
14
Mohammad Muslih, “Filsafat Ilmu”, hal 130
15
Thomas S. Khun, “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains”, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993) hal 26
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
kenyataan (fenomena) dengan paradigma yang dipakai. Menumpuknya anomali
menimbulkan krisis kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. 16 Satu
produk standar dari kegiatan ilmiah itu tidak ada. Sains yang normal tidak
ditunjukkan kepada kebaruan-kebaruan fakta dan teori, jika berhasil maka tidak
menemukan hal-hal tersebut. Meskipun demikian, gejala-gejala yang baru dan tak
terduga itu berulang kali tersingkap oleh riset ilmiah, dan teori-teori baru yang
radikal terus menerus diciptakan oleh para ilmuan. 17 Jika kesadaran akan anomali
memainkan peran dalam muculnya jenis-jenis gejala baru, maka tidak akan
mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam merupakan
prasarat bagi semua perubahan teori yang dapat diterima.
Anomali tidak dapat dipecahkan secara tuntas dalam wilayah normal
science. Hanya peneliti serius tertentu, pengamat, dan kritikus yang secara relatif
mengetahui adanya anomali tersebut, yang disebut sains luar biasa. Sains luar
biasa berlaku bila dalam perjalanan sains normal suatu komunitas ilmiah mulai
mengumpulkan data yang tidak sejalan dengan pandangan paradigma mereka
terhadap alam. Bila suatu komunitas ilmiah mulai mempersoalkan kesempurnaan
paradigmanya, maka semenjak itu memasuki keadaan krisis. Krisis adalah suatu
mekanisme koreksi diri yang memastikan bahwa kekauan pada fase sains normal
tidak akan berkelanjutan.18
3. Revolusi Sains
Jika anomali yang kecil-kecil terakumulasi dan menjadi terasa begitu akut
sehingga pada saatnya ditemukan pemecahan yang lebih memuaskan oleh para
ilmuan. Artinya suatu komunitas ilmiah kemudian dapat menyelesaikan keadaan
krisisnya dengan menyusun diri di suatu paradigma baru, maka terjadilah apa
yang disebut oleh Kuhn dengan revolusi sains (revolutionary science).
Sesudah suatu komunitas ilmiah mengalami revolusi, maka kemajuan
penyelesaian teka-teki yang dicapai pada fase sains normal haruslah dinilai dari
keadaan baru sebab gambarnya sudah berubah. Bila suatu komunitas ilmiah
menyusun diri kembali di sekeliling suatu paradigma baru, maka ia memilih nilai-
nilai, norma-norma, asumsi-asumsi, bahasa-bahasa, dan cara-cara mengamati dan
memahami alam ilmiahnya dengan cara baru. Inilah proses pergeseran paradigma
terjadi, yakni suatu proses dari keadaan normal science ke wilayah revolusionary
science. Dalam periode revolutionary science hampir semua kosa kata, istilah-
istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian persoalan, cara berpikir,
cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya.
Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan dengan revolusi
dimana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru.
Namun, apa yang sebelumnya pernah revolusioner itu juga dengan sendirinya
akan mapan dan menjadi ortodoksi baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang

16
Rizal Muntasyir dan Misbah Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 154
17
Thomas S. Khun, “Peran Paradigma”, hal 57
18
Muhammad Muslih, “Filsafat Ilmu”, hal 131
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh
sains normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi.19
Teori baru dalam periode scientific revolutions muncul dalam paradigma
yang berbeda dari paradigma sebelumnya, sehingga perkembangan teori pada
periode scientific revolutions berproses non-kumulatif. Hal ini mengakibatkan sisi
inovasi lebih terlihat pada scientific revolutions daripada pada normal science.
Teori yang muncul pada periode scientific revolutions cenderung tidak
mempunyai hubungan langsung dengan teori sebelumnya yang berada di bawah
naungan paradigma lama.20 Suatu teori baru tidak perlu bertentangan dengan teori
manapun yang menjadi pendahulunya. Ia bisa saja menangani semata-mata
gejala-gejala yang tidak dikenal sebelumnya. Juga teori baru itu bisa jadi sekedar
teori yang lebih tinggi tingkatannya daripada yang telah dikenal sebelumnya, teori
yang menjalin erat seluruh kelompok teori tingkat yang lebih rendah tanpa banyak
mengubah yang manapun.21
Pada prinsipnya hanya ada tiga gejala yang disekitarnya bisa berkembang
teori baru, yaitu:
a. Terdiri atas gejala-gejala yang telah diterangkan jelas oleh paradigma-
paradigma yang ada, dan gejala-gejala ini jarang menyajikan motif ataupun
titik tolak bagi penyusunan teori
b. Gejala-gejala yang sifatnya ditunjukkan oleh paradigma yang ada, tetapi yang
rinciannya hanya dapat dipahami melalui artikulasi teori selanjutnya.
c. Anomali-anomali yang diakui, yang karakteristiknya menandai
kebandelannya dalam menolak pengasimilasian kepada paradigmaparadigma
yang ada.
Revolusi ilmiah menurut pandangan Thomas S. Khun dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut22:

19
Muhammad Muslih, “Filsafat Ilmu”, hal 132
20
Sonjuri B. Trisakti, “Thomas Khun dan Tradisi-Inovasi dalam Langkah Metodologi Riset Ilmiah, Jurnal
Filsafat Volume 18 Nomor 3, 2008, hal 224
21
Thomas S. Khun, “Peran Paradigma”, hal 103
22
Rizal Muntasyir, Filsafat Ilmu”,hal 125
Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
Kebenaran sebuah teori, menurut Kuhn bisa diuji baik melalui verifikasi
maupun falsifikasi. Yang penting bahwa kebenaran tersebut tidak selalu
dipengaruhi oleh criteria obyektif melainkan juga subyektif, yaitu komitmen
sosiologis maupun psikologis dari sebuah komunitas ilmiah tertentu. Gattei
mengatakan bahwa kebenaran ilmu adalah berlandaskan diterima atau tidaknya
ilmu tersebut oleh sebuah paradigma ilmiah. Bagi Kuhn, tidak ada paradigm yang
sempurnadan terbebas dari anomali-anomali. Akan selalu ada paradigma baru
yang mengancam kebenaran paradigma lama yang dulunya juga adalah
paradigma baru.
Kesimpulan
Pemikiran Kuhn diatas merupakan respon terhadap pandangan neo positivisme
dan pemikiran Popper. Kuhn menolak pandangan positivisme, falsifikasi, dan refutasi
yang berpijak pada pemikiran positivistik-objektivistik dan proses evolusi, akumulasi dan
eliminasi dalam perkembangan ilmu.
Dalam pandangan Kuhn perkembangan dan kemajuan ilmiah bersifat
revolusioner, buka evolusi atau kumulatif sebagaimana anggapan sebelumnya.
Perkembangan ilmu tidak disebabkan oleh adanya pergeseran paradigma. Paradigma
pada dasarnya adalah hasil konstruksi sosial para ilmuan komunitas ilmiah, yang
merupakan seperangkat keyakinan mereka sebagai cara pandang terhadap dunia dan
contoh-contoh prestasi atau praktek ilmiah konkret.
Cara kerja paradigma dan terjadinya revolusi ilmiah dapat digambarkan secara
umum kedalam tahap-tahap sebagai berikut: pertama, paradigma ilmu membimbing dan
mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Disini para
ilmuan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma sebagai model
ilmiah yang digelutinya secara rinci dan mendalam. Selama menjalankan aktivitas ilmiah
itu para ilmuan menjumpai berbagai fenomena yang tidak dapat diterangkan dengan
paradigma yang digunakan yang dinamakan anomali. Anomali adalah suatu keadaan
yang memperlihatkan adanya ketidakcocokan antara kenyataan (fenomena) dengan
paradigma yang dipakai. Kedua, menumpuknya anomali me nimbulkan krisis
kepercayaan dari para ilmuan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiksa dan
dipertanyakan dan mereka mulai keluar dari jalur ilmu normal. Ketiga, para ilmuan bisa
kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan
suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing
aktiviitas ilmiah berikutnya. Proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru
inilah yang dinamakan revolusi ilmiah.
Bibliography
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta:
Rajawali Pers, Edisi 1. 2015)
Edi Kurniawan Farid, “Paradigma dan Revolusi Ilmiah Thomas S. Khun Serta
Relevansinya dalam Ilmu-Ilmu Keislaman, Jurnal Studi Agama-Agama dan Pemikiran
Islam, Vol 19 No. 1, 2021

Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.
Inayatul Ulya dan Nasukhan Abdi, “Pemikiran Thomas Khun dan Relevansinya
Terhadap Keilmuan Islam”, Jurnal Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol 3, Nomor 2
(Kudus: IAIN Kudus, 2015)
Mohammad Muslih, “Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2008)
Mu’ammar Zayn Qudafy, “Refolusi Ilmiah Thomas S. Khun (1922-1996) dan
Relevansinya bagi Kajian Islam”. Jurnal Al-Murabbi Vol. 1 Nomor 1, 2014
Rizal Muntasyir dan Misbah Munir, “Filsafat Ilmu”, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004)
Slamet Subekti, “Filsafat Ilmu Karl R Popper dan Thomas S. Khun serta
Implikasinya dalam Pengajaran Ilmu”. Jurnal Humanika Vol 22, Nomor 2. 2015
Sonjuri B. Trisakti, “Thomas Khun dan Tradisi-Inovasi dalam Langkah
Metodologi Riset Ilmiah, Jurnal Filsafat Volume 18 Nomor 3, 2008,
Thomas S. Khun, “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains”, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993)
Ulfa Kesuma, Ahmad Wahyu Hidayat. “Pemikiran Thomas S. Khun Teori
Revolusi Paradigma”. Jurnal Pemikiran Islam. Vol. 21 Nomor 2. 2020
Ensiklopedia Britannica, “Thomas S. Khun American Philosopher and Historian”.
https://www.britannica.com/biography/Thomas-S-Kuhn. Diakses tanggal 10 November 2023.

Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives BY-NC-ND: This work is licensed under a Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan
Hadis Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License (https://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/)
which permits non-comercial use, reproduction, and distribution of the work whitout further permission provided the original work is attributed as
spesified on Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis and Open Access pages.

You might also like