Makalah Tasawuf Dan Sufiisme

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

MAKALAH

FAKTOR HISTORIS YANG MELATAR


BELAKANGI KELAHIRAN MISTISISME
DALAM ISLAM (TASAWUF) DAN
KONSEP MAQAM DAN HAL
tugas Mata kuliah : Pemikiran Islam
Dosen Pengampu : Drs. Suharjianto, M.Ag.

Disusun Oleh :
ASMA LAILI HANIFAH ( G100220060 )
DHIYA’ AHSANUL FIKRI ( G100221045 )
FIRMANSYAH ALRIANDA ( G100221072 )
NAADIYAH SYIFAUL UMMAH ( G100221070 )
SHERLY TIARA AMANI ZULFA ( G1002200
ZAKIYAH LAILI MAGHFIROH ( G100220061 )

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN


TAFSIR FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah tuhan semesta alam, yang senantiasa
memberikan nikmat dan hidayahnya kepada kita semua sebagai makhluk dan juga hamba Nya
dan dengan Rahmat Allah Azza wajalla. Kami mampu menyelesaikan penyusunan makalah
tentang ”Faktor Historis Yang Melatar Belakangi Kelahiran Mistisisme Dalam Islam
(Tasawuf) Dan Konsep Maqam Dan Hal”.
Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada baginda kita, manusia yang paling
sempurna yang pernah berjalan dimuka bumi ini beliau suri tauladan kita Nabi
Muhammad Shallahu’alahi wasallam dan kepada para istri – istri beliau, tabi’in, tabi’ut,
tabi’ut taabi’in serta orang orang sholeh yang senantiasa istiqomah berjalan dengan
Sunnahnya.
Kami berterima kasih kepada Bapak Drs. Suharjianto, M.Ag., selaku dosen mata
kuliah Pemikiran Islam dan pihak- pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah
ini.
Dengan selesainya makalah ini berhubungan dengan tugas yang diberikan
kepada kami, dan makalah yang kami buat diharapkan dapat memberikan masukan dan
menambah pengetahuan pembaca.
Karena makalah ini jauh dari kata sempurna, kami mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca untuk memperbaiki penyusunan makalah yang berikutnya.
Dengan ini kami mengucapkan jazakumullah khairan katsiron, semoga makalah
ini bisa bermanfaat dan dapat berguna bagi kita semua.

Sukoharjo, 11 Desember 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................................................5
BAB II..................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN...................................................................................................................................6
A. Latar Belakang Munculnya Mistisme (Tasawuf)..................................................................6
B. Konsep Maqamat.....................................................................................................................7
C. Konsep Ahwal........................................................................................................................11
D. Konsep 3T ( Takhalli,Tahalli dan Tajalli )..........................................................................13
KESIMPULAN..................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Kebanyakan kalangan muslim percaya bahwa salah satu aspek penting untuk
mengetahui keuniversalan ajaran Islam adalah adanya dorongan untuk senantiasa
mencari ilmu pengetahuan dimana saja dan kapan saja umat Islam berada . Dengan
adanya dorongan dari ayat-ayat al-Qur‘an maupun dalam al-Hadits yang menganjurkan
umat Islam agar mencari ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan lahirnya beberapa
disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, dimana salah satu di antaranya adalah lahirnya
ilmu tasawuf . Tasawuf adalah cabang ilmu dalam Islam yang penerapannya
menekankan pada pembersihan diri melalui pembentukan akhlak yang baik.
Tasawuf memegang peranan penting dalam kehidupan rohani Islam, dengan kata
lain bertasawuf itu adalah fitrah manusia dimana dapat membersihkan diri dari segala
kesibukan duniawi yang bertujuan untuk pencapaian hakikat kesucian rohani yang
sesungguhnya, karena sesungguhnya tujuan akhir manusia adalah mengikat lingkaran
rohaninya dengan Allah SWT. Sebagaimna tujuan dari penciptaanya yang semata-mata
untuk mengabdikan diri pada Sang Kholik . Mempelajari tasawuf merupakan solusi
tepat dalam mengatasi krisis-krisis akibat modernisasi untuk melepaskan dahaga dan
memperoleh kesegaran dalam mencari Tuhan.
Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu ia berada
di hadirat-Nya. Terdapat beberapa tujuan kenapa tasawuf perlu dikembangkan dan
disosialisasikan kepada masyarakat, tujuan tersebut antara lain. Menyelamatkan
kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat
kurangnya nilai-nilai spiritual, Memahami tentang aspek asoteris islam, baik terhadap
masyarakat Muslim maupun non Muslim, Menegaskan kembali bahwa aspek asoteris
islam (tasawuf) adalah jantung ajaran islam.
Namun, masih terdapat perdebatan yang menuai pro dan kontra terkait asal usul
lahirnya tasawuf. Di satu sisi ada yang menyatakan bahwa tasawuf bersumber dari
Islam tapi disisi lain menyatakan bersumber dari non Islam. Untuk itulah, pada
kesempatan kali ini, pemakalah akan mengupas mengenai tasawuf.
B. Rumusan Masalah.

1. Bagaimanakah sejarah tasawuf ?


2. Apakah itu 3T ?
3. Bagaimanakah konsep maqamat ?
4. Bagaimanakah konsep ahwal ?
C. Tujuan

1. Mengetahui bagaimana sejarah tasawuf berasal.


2. Mengetahui konsep 3T (tahlili,takhalli,tajalli).
3. Mengetahui konsep maqamat.
4. Mengetahui konsep ahwal.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Mistisme (Tasawuf)

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ada dua teori yang berpengaruh dalam
membentuk tasawuf, yaitu teori yang berasal dari ajaran atau unsur Islam, dan teori yang berasal dari
ajaran atau unsur lain di luar Islam.Para orientalis Barat mengatakan bahwa tasawuf bukan murni dari
ajaran Islam, sementara para tokoh sufi mengatakan bahwa tasawuf merupakan inti ajaran dari Islam.

1. Unsur Islam.
Para tokoh sufi dan juga termasuk dari kalangan cendikian muslim memberikan pendapat
bahwa sumber utama ajaran tasawaf adalah bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Qur’an adalah
kitab yang di dalam ditemukan sejumlah ayat yang berbicara tentang inti ajaran tasawuf. Ajaran-
ajaran tentang khauf, raja’, taubat, zuhud, tawakal, syukur, shabar, ridha, fana, cinta, rindu, ikhlas,
ketenangan dan sebagainya secara jelas diterangkan dalam al-Qur’an. Antara lain tentang mahabbah
(cinta) terdapat dalam surat al-Maidah ayat 54, tentang taubat terdapat dalam surat al-Tahrim ayat 8,
tentang tawakal terdapat dalam surat at-Tholaq ayat 3 dan sebagainya. Sejalan dengan apa yang
dikatakan dalam al-Qur’an, bahwa al-Hadits juga banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah
sebagaimana yang ditekuni oleh kaum sufi setelah Rasulullah. Dua hadits populer yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim : “Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau
tidak melihat-Nya, maka Ia pasti melihatmu” dan juga sebuah hadits yang mengatakan: “Siapa yang
kenal pada dirinya, niscaya kenal dengan Tuhan-Nya” adalah menjadi landasan yang kuat bahwa
ajaran-ajaran tasawuf tentang masalah rohaniah bersumber dari ajaran Islam.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat banyak petunjuk yang
menggambarkan dirinya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke
Gua Hira menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang
Arab menghalalkan segala cara untuk mendapatkan harta. Dikalangan para sahabat pun juga
kemudian mengikuti pola hidup seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Abu bakar Ash-
Shiddiq misalnya berkata: “Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, kefanaan dalam
keagungan dan rendah hati”.
Dari berbagai pendapat di atas dapat dipahami, bahwa teori asal usul tasawuf bersumber dari
ajaran Islam. Semua praktek dalam kehidupan para tokoh-tokoh sufi dalam membersihkan jiwa
mereka untuk mendekatkan diri pada Allah mempunyai dasar-dasar yang kuat baik dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah. Teori-teori mereka tentang tahapan-tahapan menuju Allah (maqomat) seperti
taubat, syukur, shabar, tawakal, ridha, takwa, zuhud, wara’ dan ikhlas, atau pengamalan batin yang
mereka alami (ahwal) seperti cinta, rindu, intim, raja dan khauf, kesemuanya itu bersumber dari ajaran
Islam.

2. Unsur di luar Islam


Menurut teori Ignas Goldziher, bahwa asal usul tasawuf terutama yang berkaitan dengan
ajaran-ajaran yang diajarkan dalam tasawuf merupakan pengaruh dari unsur-unsur di luar Islam.
Goldziher mengatakan, bahwa tasawuf sebagai salah satu warisan ajaran dari berbagai agama dan
kepercayaan yang mendahului dan bersentuhan dengan Islam. Bahkan berpendapat bahwa beberapa
ide al-Qur’an juga merupakan hasil pengolahan “ideology” agama
dan kepercayaan lain. Unsur agama dan kepercayaan lain selain Islam itu adalah unsur pengaruh dari
agama Nashrani, Hindu-Budha, Yunani dan Persia. Pengaruh dari unsur agama Nashrani terlihat pada
ajaran tasawuf yang mementingkan kehidupan zuhud dan fakir. Menurut Ignas Goldziher dan juga
para Orientalis lainnya mengatakan bahwa kehidupan zuhud dalam ajaran tasawuf adalah pengaruh
dari rahib-rahib Kristen. Begitu pula pola kehidupan fakir yang dilakukan oleh para sufi adalah
merupakan salah satu ajaran yang terdapat dalam Injil. Dalam agama Nashrani diyakini bahwa Isa
adalah orang fakir. Di dalam Injil dikatakan bahwa Isa berkata: “Beruntunglah kamu orang-orang
miskin, karena bagi kamulah kerajaan Alah. Beruntunglah kamu orang-orang yang lapar, karena
kamu akan kenyang”.
Selain Ignas Goldziher, pendapat yang serupa juga dilontarkan Reynold Nicholson. Menurut
Nicholson, “Banyak teks Injil dan ungkapan al-Masih (Isa) ternukil dalam biografi para sufi angkatan
pertama. Bahkan, sering kali muncul biarawan Kristen yang menjadi guru dan menasehati kepada
asketis Muslim. Dan baju dari bulu domba itu juga berasal dari umat Kristen”. Di samping pengaruh
dari ajaran Nashrani, Goldziher juga mengatakan, bahwa ajaran tasawuf banyak dipengaruhi oleh
ajaran Budha. Dia mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Budha Sidharta
Gautama dengan tokoh sufi Ibrahim bin Adam yang meninggalkan kemewahan sebagai putra
mahkota. Bahkan, Goldziher mengatakan para sufi belajar menggunakan tasbih sebagaimana yang
digunakan oleh para pendeta Budha, begitu juga budaya etis, asketis serta abstraksi intelektual adalah
pinajaman dari Budhisme. Ada kesamaan paham fana dalam tasawuf dengan nirwana dalam agama
Budha. Begitu juga ada kesamaan cara ibadah dan mujahadah dalam ajaran tasawuf dengan ajaran
Hindu. Menurut Harun Nasution, bahwa paham fana hampir sama dengan nirwana dalam agama
Budha, dimana agama Budha mengajarkan pemeluknya untuk meninggalkan dunia dan memasuki
hidup kontemplatif. Demikian dalam ajaran Hindu ada perintah untuk meninggalkan dunia untuk
mencapai persatuan Atman dan Brahman.
Untuk selanjutnya ada juga teori yang mengatakan bahwa tasawuf juga dipengaruhi oleh
unsur Yunani. Menurut Abuddin Nata, bahwa metode berfikir filsafat Yunani telah ikut
mempengaruhi pola berfikir umat Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Hal ini terlihat dari
pemikiran al-Farabi, al-Kindi, Ibn Sina tentang filsafat jiwa. Demikian juga uraian mengenai ajaran
tasawuf yang dikemukakan oleh Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi dan lain-lain. Menurut
Abuddin Nata, ungkapan Neo Platonis :”Kenallah dirimu dengan dirimu” telah diambil sebagai
rujukan oleh kaum sufi memperluas makna hadits yang mengatakan: “Siapa yang mengenal dirinya,
niscaya dia mengenal Tuhannya”. Dari sinilah munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud dan
Wihdah al-Wujud. Filsafat Emansi Platonis yang mengatakan bahwa wujud alam raya ini memancar
dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Tetapi
dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, maka dari itu roh harus dibersihkan. Penyucian
roh itu adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati diri dengan Tuhan sedekat-dekatnya.
Ajaran inilah yang kemudian mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum Zuhud dan sufi dalam
Islam Kembali pada teori Goldziher, bahwa tasawuf dipengaruhi oleh kepercayaan dan agama di luar
ajaran Islam, maka unsur kepercayaan dari Persia dengan sendirimya juga berarti telah ikut serta
mempengaruhi tasawuf, karena hubungan politik, pemikiran, social dan sastra antara Arab dan Persia
telah terjalin sejak lama. Namun belum ada bukti yang kuat bahwa kehidupan rohani Persia masuk ke
tanah Arab. Tetapi memang ada sedikit kesamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut
agama Manu dan Mazdaq di Persia. Begitu pula konsep ajaran hakekat Muhammad menyerupai
paham Harmuz (Tuhan Kebaikan) dalam agama Zarathustra.
B. Konsep Maqamat.

Maqamat merupakan salah satu konsep yang digagas oleh Sufi yang berkembang paling awal
dalam sejarah tasawuf Islam. Kata maqamat sendiri merupakan bentuk jamak dari kata maqam,
yang secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi atau tingkatan. Dalam al-
Qur’an kata ini maqam yang mempunyai arti tempat disebutkan beberapa kali, baik dengan
kandungan makna abstrak maupun konkrit. Di antara penyebutnya terdapat pada QS al-Baqarah
ayat 125, QS al-Isra ayat 79, QS Maryam ayat 73, QS as-Saffat ayat 164, QS ad-Dukhan ayat 51
dan QS ar-Rahman ayat 46.

Secara historis konsep maqamat diduga muncul pada abad pertama hijriyah ketika para
sahabat Nabi masih banyak yang hidup. Sosok yang memperkenalkan konsep tersebut adalah
menantu Rasulullah saw yaitu sahabat Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditemukan dalam satu
informasi bahwa suatu ketika para sahabat bertanya kepadanya mengenai soal Iman, Ali bin Abi
Thalib menjawab bahwa iman itu dibangun atas empat pondasi yaitu kesabaran (as-sabr), keyakinan
(al-yaqinu), keadilan (al-‘adl) dan perjuangan (al-jihadu). Dan masingmasing pondasi tersebut
mempunyai sepuluh tingkatan (maqamat). Hal ini setidaknya menjadi bukti kuat bahwa sumber
tasawuf sudah dapat dilihat pada masa Nabi Muhammad saw.

Menurut Qusyairi (w. 1027 M), yang terkandung dalam mahakaryanya Ar-risalah
alQusyairiyah maqam adalah tahapan adab atau etika seorang hamba dalam rangka mencapai
(wushul) kepada Allah SWT dengan berbagai upaya, yang diwujudkan dengan suatu pencarian dan
ukuran tugas. Maqam ini merupakan tempat dimana harus dilalui oleh para Sufi secara berurutan.
Oleh karena itu alQusyairi menyaratkan bahwa tidak boleh bagi seorang Sufi melewati satu maqam
sebelum maqam sebelumnya terpenuhi. Orang tidak boleh bertawakal sebelum dia menjadi seorang
yang qona’ah, tidak ada inabah sebelum melakukan taubat.

Sufi lainya yaitu Abu Nasr as-Sarraj (w. 988 M), seorang sufi dari Nisyapur, mempunyai
pandangan yang lebih sistematik dan komprehensif mengenai konsep maqam. Menurutnya, maqam
adalah kedudukan atau tingkatan seorang hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui
serangkaian ibadah, kesungguhan melawan hawa nasfu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah),
latihan-latihan spritual (riyadah), dan mengarahkan segenap jiwa raga sematamata kepada Allah
SWT serta memutuskan pandangan dari selain Allah SWT. Perjuangan menapaki maqamat ini
setidaknya terlukiskan dalam sebuah hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa ruh-ruh itu ibarat
pasukan yang dimobilisir (mujannadah). Kesungguhan hamba dalam melewati maqamat ini yang
kemudian akan menentukan derajatnya di hadapan Allah SWT.

Para sufi secara mayoritas tidak menyatakan sebuah kesepakatan mengenai urutan dan jumlah
maqamat yang ada dalam perjalanan menuju Allah SWT. Terkadang seorang sufi tidak
mencantumkan satu maqam sedangkan sufi lainya mencantumkan maqam tersebut. Perbedaan
mengenai jumlah dan urutan maqamat dapat dilihat dari pendapart para sufi. Al-Kalabazi misalnya
yang membuat urutan maqamat berikut ini: at-taubah, az-zuhud, as-sabr, al-faqr, attawadu, at-
taqwa, at-tawakkul, ar-ridha, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Sedangkan at-Tusi membuat
sistematika berbeda dengan al-Kalabazi: at-taubah, al-wara, az-zuhud, al-faqr, as-sabr, ar-ridha,
at-tawakal dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Qusyairi mempersedikit jumlah maqamat: at-taubah, al-
wara, azzuhud, at-tawakkal dan ar-ridha’.

Perbedaan di antara para sufi dimungkinkan karena pengalaman pribadi para sufi dalam
perjalanan menuju Tuhan yang berbeda-beda, sehingga ketika mengajarkan kepada para
pengikutnya para sufi juga menggunakan cara yang berbeda pula. Hal demikian merupakan suatu
kewajaran dalam dunia tasawuf karena pengalaman mempunyai peranan yang penting dalam
epistemologi tasawuf. Namun setidaknya ada beberapa maqam yang disepakati oleh para sufi yaitu:
at-taubah, az-zuhud, al-wara, al-faqr, as-sabr, at-tawakkal dan ar-ridha.

Untuk mempermudah pembahasan mengenai maqamat, pada makalah ini hanya akan
mencantumkan salah satu konsep urutan maqamat yang diperkenalkan oleh Ibnu ‘Athaillah.
Pertimbangannya adalah bahwa Ibnu ‘Athaillah merupakan salah satu dari tiga guru thariqah
syadziliyyah di mana tarekatnya masih banyak diamalkan oleh pengikutnya baik di Timur Tengah
maupun di Indonesia. Dan yang menjadi menarik dari sistematika Ibnu ‘Athaillah bahwa sebagian
yang disebut sebagai hal, dimasukan kepada tingkatan maqam. Di samping itu maqamat yang
disusun oleh Ibnu ‘Athaillah mencakup maqam yang disepakati oleh kalangan sufi. Sistematika
maqamat yang disusun oleh Ibnu ‘Athaillah ini tercantum dalam salah satu kitabnya at-Tanwir fi
isqath at-Tadbir, yaitu:

1.At-Taubat (taubat)
Taubat merupakan maqam pertama dan paling utama yang harus ditempuh oleh seorang sufi
dalam menapakai jalan menuju Allah SWT. Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian
awal di jalan menuju Allah SWT. Mengenai taubat ini banyak para sufi yang mempunyai definisi
yang bermacam-macam. Al-Junaid mendefinisikan taubat sebagai upaya untuk tidak mengulangi
dosa pada masa sekarang. Sufi lainya seperti Syekh Sahal menyatakan bahwa taubat adalah
hendaknya seseorang ingat akan perbuatan dosa yang telah ia lakukan pada masa lalu sembari
berusaha untuk membersihkan hati dari bisikanbisikan yang mengarahkan kepada perbuatan
dosa.30 Inti dari taubat adalah pengakuan atas segala kesalahan yang telah dilakukan di masa
lampau sekaligus berkomitmen untuk selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah
SWT di masa yang akan datang.
Ibnu ‘Athaillah sendiri menjelaskan bahwa dalam maqam tobat seorang sufi harus kembali
kepada Allah SWT dari segala perbuatan yang tidak diridoi-Nya dan menuju perbuatan yang
diridoi-Nya. Melepaskan pengaturan atas sesuatu yang telah menjadi tanggungan Allah SWT dan
berkonsentrasi pada tanggung jawab yang diberikan oleh Allah SWT kepada dirinya sebagai
manusia.
2.Az-Zuhd (zuhud)
Zuhud merupakan maqam yang penting yang harus dilewati oleh para sufi dalam perjalanannya
menuju Allah SWT. Sebagaimana yang diketahui bahwa maqam zuhud pernah menjadi suatu
gerakan masal umat Islam pada abad pertama hijriyah, sebagai gerakan protes kepada para birokrat
yang kaya. Gerakan zuhud ini dipimpin oleh seorang sufi yang masyhur yaitu Hasan al-Basri. Ada
beberapa definisi mengenai zuhud, di antaranya disebutkan oleh Imam Ali bahwa zuhud adalah
hendaklah seseorang tidak terpengaruh dan iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap
keduniawian, baik dari orang mu’min maupun orang kafir. Sedangkan al-Junaid menyatakan bahwa
zuhud adalah bersifat dermawan sehingga tidak ada yang dimilikinya dan tidak bersifat serakah.
Ibnu ‘Athaillah sendiri membagi zuhud ke dalam dua tahapan, yaitu zuhud lahir yang jelas dan
zuhud batin yang samar. Aplikasi dari konsep ini adalah bahwa ketika seseorang ingin melakukan
zuhud yang lahir, maka seorang harus zuhud terhadap barang halal yang berlebihan, baik berupa
makanan, pakaian, dan sebagainya. Sedangkan pada zuhud batin seseorang harus zuhud terhadap
perasaan hati yang tidak dibenarkan semisal perasaan sombong di depan orang lain, senang diupuji,
syirik, iri hati dan sebagainya.
3.As-Sabr (Sabar)
Maqam selanjutnya adalah sabar, yang didefiniskan oleh al-Kalabadzi sebagai harapan seorang
hamba mengenai kebahagiaan kepada Allah SWT. Sabar merupakan jalan untuk mencapai
kebahagiaan. Kesabaran ini memerlukan suatu usaha yang keras dan pantang menyerah,
memerlukan waktu yang panjang dan sikap yang hati-hati. Ada sebuah ungkapan sufi mengenai hal
ini; “Orang sabar berlaku sabar sampai tercapai kesabaran; maka ia meminta untuk bersabar, sambil
berkata; wahai orang yang sabar tetaplah sabar”.
Menurut Ibnu ‘Athaillah, dalam maqam sabar, seseorang sufi akan selalu berusaha menjauhi dari
sesuatu yang tidak disukai oleh Allah SWT, yang di dalamnya adalah sikap mengatur sesuatu yang
telah diatur oleh Allah SWT. Sabar sendiri menurut Ibnu ‘Athaillah terdapat beberapa macam: sabar
terhadap yang dilarang, sabar terhadap yang wajib, serta sabar terhadap pengaturan dan pilihan-
Nya, dan sabar terhadap keinginan yang bertentangan dengan pengaturan Allah SWT. Sabar yang
dilarang terjadi seseorang dihadapkan pada dosa-dosa yang membawa keuntungan secara singkat,
seperti tindak korupsi yang marak terjadi pada saat ini. Sabar yang wajib berlaku ketika seseorang
dengan sabar melaksanakan kewajiban shalat atau kewajiban-kewajiban lainnya. Sabar terhadap
pengaturan Allah SWT terjadi ketika seseorang mendapati bahwa takdir yang ditentukan oleh Allah
SWT tidak berkesesuaian dengan harapannya. Dan yang terakhir sabar terhadap keinginan nafsu
yang hal itu bertentangan dengan aturan Allah SWT.
4.As-Syukr (syukur)
Al-Mahasibi berkata bahwa syukur adalah kelebihan-kelebihan yang diberikan Allah SWT
kepada seseorang karena rasa terimakasihnya kepada Allah SWT. Artinya bahwa ketika seseorang
berterima kasih atas segala nikmat Allah SWT, maka ia akan diberikan nikmat yang lebih besar.
Dan orang yang telah mampu menjalankan ini secara istiqomah maka ia telah berada pada maqam
syukur. Rasa syukur merupakan pintu untuk memperoleh kebahagiaan yang lebih besar dan lebih
banyak. Allah SWT dengan jelas berfirman dalam al Quran QS. Ibrahim ayat 7: “seandainya kamu
bersyukur, pastilah kami akan menambahkan nikmat kepadamu”.
Dalam menjelaskan apa itu syukur, Ibnu ‘Athaillah mengutip pendapat al-Junaid mengenai
syukur. Al-Junaid mengatakan bahwa syukur adalah kau tidak bermaksiat kepada Allah SWT lewat
nikmat-nikmat-Nya. Oleh karena itu pada maqam ini, seseorang tidak hanya menyatakan rasa
terimakasih atas adanya nikmat dari Allah SWT, namun lebih dari itu seseorang dalam maqam ini
harus selalu menggunakan segala nikmat yang diberikan oleh SWT pada aktivitas yang positif yang
selaras dengan perintah Allah SWT.
5.Al-Khauf & Ar-Raja (rasa takut & rasa berharap)
Al-Khauf atau rasa takut merupakan salah satu maqam penting dalam tasawuf. Ketika seorang
merasa takut kepada Allah SWT, ia akan selalu melaksanakan semua kewajiban dan menjauhi
larangan-Nya. Salah satu Sufi bernama Ruwaym berkata bahwa takut adalah ketika seseorang
merasa takut kepada Allah SWT, karena kebesaran dan kekuasaan-Nya, dan takut kepada dirinya
karena merasa takut terhadap sesuatu yang akan menimpa dirinya. Sedangkan raja’ adalah maqam
dimana orang hanya berharap atas segala kebutuhanya kepada Allah SWT.
Al-Khauf dan ar-Raja’ merupakan dua sikap yan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Syekh
Sahal menyebutkan bahwa rasa takut ibarat laki-laki sedangkan rasa berharap ibarat perempuan.
Keduanya harus selalu bersamaan hingga melahirkan hakikat iman. Syekh Sahal mencontohkan
bahwa seseorang yang takut kepada selain Allah SWT dan mengharap Allah SWT melindunginya,
maka ia belum sampai pada maqam ini. Seharusnya seseorang yang ingin berada maqam ini hanya
takut dan berharap kepada Allah SWT.
Menurut Ibnu ‘Athaillah, seseorang yang berada pada maqam al-khauf akan selalu melaksanakan
perintah Allah SWT dan merasakan takut apabila tidak melaksanakannya. Sedangkan orang yang
berada pada maqam ar-raja’ akan selalu diliputi suka cita kepada Allah dan akan selalu disibukan
oleh hubunganya dengan Allah SWT.
6.At-Tawakkal (berserah diri)
Al-Junaid menyatakan bahwa hakikat tawakal adalah merasa bahwa ada dan tidak adanya
sesuatu itu semata-mata merupakan kehendak dan kekuasaan Allah SWT, dan karena Allah SWT
sesuatu menjadi ada. Syekh Sahal menambahkan bahwa setiap keadaan mempunyai sisi depan dan
sisi belakang kecuali tawakal, karena sesungguhnya tawakal itu hanya mempunyai sisi depan saja
dan tidak mempunyai sisi belakang. Maksudnya, seseorang hendaknya bertawakal hanya karena
Allah SWT bukan yang lainya. Lebih lanjut lagi inti yang terdalam bahwa tawakal adalah
meninggalkan segala usaha yang bukan karena Allah SWT.
Sedangkan bagi Ibnu ‘Athaillah memberikan definisi tawakal sebagai suatu sikap yang
menyerahkan kendali kepada Allah SWT dan bersandar segala urusan kepada-Nya. Sehingga pada
maqam ini, seseorang tidak akan ikut campur dan pasrah atas segala ketentuan-Nya. Namun
demikian Ibnu ‘Athaillah bukan berarti menganjurkan faham jabariyah, namun ia membedakan
bagian yang menjadi tanggung jawab hamba dan tanggung jawab Allah SWT. Maqam tawakal ini
mempunyai hubungan yang erat dengan maqam yang di atasnya yaitu maqam ar-ridha.
7.Al-Hubb (Cinta)
Dalam beberapa sistematika, maqam cinta ada menyebutnya sebagai hal bukan bagian dari
maqamat. Namun Ibnu ‘Athaillah memasukan maqam cinta ke dalam sistematika maqamat. Dalam
maqam cinta ini, seorang pecinta akan tenggelam dalam cintanya dan menyerahkan segala pilihan
kepada kekasihnya. Pilihan sang kekasih adalah pilihannya. Dengan demikian pada maqam cinta ini
seseorang akan selalu menerima segala aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT dan menjauhi apa
yang dibenci oleh Allah SWT.
Seseorang yang berada maqam ini telah merasakan kosong dari segala apapun selain Allah SWT.
Kesenangannya ia peroleh ketika berzikir, memuji dan berdialog dengan Allah SWT. Di antara
sekian banyak sufi yang berada pada maqam ini adalah sufi wanita Rabi’ah alAdawiyah. Dalam
sebuah syairnya yang terkenal ia mengatakan:
“Kekasih hatiku hanya engkaulah yang kucinta Beri ampunlah kepada pembuat dosa yang
datang ke hadirat Mu Engkaulah harapan, kebahagiaan dan kesenangku Hati telah enggan
mencintai selain dari Mu”.
8.Ar-Ridha
Syekh Zunnun al Misri berkata bahwa ridha adalah keadaan hati seseorang yang selalu merasa
bahagia dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas dirinya. Sedangkan bagi Ibnu
‘Athaillah, maqam ridha adalah sikap sesorang dalam menampik sikap ikut campur terhadap
kehendak Allah SWT. Pasalnya, orang yang ridha telah merasa cukup dengan pengaturan Allah
SWT untuknya. Bagaimana mungkin ia akan ikut mengatur bersama-Nya, sementara ia telah
meridhai pengaturanNya. Maqam ini adalah maqam yang paling tinggi dalam sistematika maqamat
menurut prespektif Ibnu ‘Athaillah.

C. Konsep Ahwal
Ahwal adalah jamak daripada kata hal yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang
dialami oleh para ahli sufi dalam menempuh jalan untuk dekat dengan Tuhan. Ada banyak definisi
berkaitan dengan ahwal yang bermunculan di berbagai rujukan sufi, hal demikian memang
dirumuskan oleh para sufi, diantaranya seperti pandangan Al-Thusi yaitu: “Ahwal adalah keadaan
hati yang selalu berzikir, dan bukanlah hal itu dilihat dari metodologi mujahadah dan latihan-latihan
seperti yang telah disebutkan sebagaimana terdahulu. Ahwal tersebu seperti: merasa diawasi Allah
SWT, perasaan dekat dengan Allah SWT, rasa cinta, takut, harap, rindu. tenang, yakin dan lainnya".
Kutipan di atas menerangkan bahwa ahwal adalah suatu kondisi jiwa yang diperoleh lewat kesucian
hati. Ahwal adalah sebuah pemberian Allah SWT dan bukan sesuatu yng diusahakan seperti
maqamat. Karena terjadi di luar usaha manusia maka hal merupakan hibah, anugerah dan hadiah
dari Allah.
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan jiwa, seperti perasaan senang, perasaan
sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al- khauf),
rendah hati (al-tawadhu), ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-Wajd),
berterima kasih (al-syukr).

Sufi lainnya yaitu, Imam Qusyairi menjelaskan: “Maka setiap hal merupakan karunia, dan
setiap maqam adalah upaya. Pada Al-hal, datang dari wujud itu sendiri, sedang maqam, menempati
maqamnya dan orang-orang yang berada dalam hal, bebas dari kondisinya.” Meskipun hal
merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehinya
tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah.

Seperti halnya maqamat, dalam ahwal juga terjadi perbedaan di kalangan para ulama sufi
tentang jumlah dan urutannya. Hal ini mengingat Nabi sendiri sejauh ini, tidak memberikan suatu
sinyalemen tentang macam-macam dan tingkatan-tingkatan ahwal tersebut dalam hadis-hadis
Beliau. Dengan kata lain, ahwal secara umum dapat ditemukan dalam ungkapan ayat Alquran
maupun hadis Nabi, namun tidak dijelaskan secara rinci mana peringkat tertinggi dan terendah dari
ahwal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peringkat ahwal adalah hasil ijtihad dan pemikiran para
ulama sufi.

Di antara sekian banyak nama, yang terpenting dan paling banyak penganutnya adalah: al-
muraqabah, al-khauf, al-raja’, al-syauq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah dan al-yaqin.
Akan tetapi ada juga sebagian sufi menempatkan al- ma’rifah dan al-mahabbah sebagai bagian dari
ahwal. Adapun penjelasan-penjelasan dari tingkatan tersebut adalah sebagi nberikut:

1.Al-Muraqabah
Muraqabah menurut sufi bermakna adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah
dan diawasi oleh-Nya. Kesadaran demikian menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada bahwa ia
sedang diawasi oleh Sang Khaliq. Orang yang memeroleh sikap mental muraqabah ini sudah pasti
akan selalu berusaha menata dan membina kesucian diri dan amalnya. Karena ia selalu merasa
dalam pengawasan Allah serta selalu berhadapan dengan Allah.
2.Al-Khauf
Menurut bahasa berarti takut. Dalam pengertian sufi khauf berarti suatu sikap mental merasa takut
kepada Allah karena merasa kurang sempurnanya pengabdiannya. Takut dan khawatir apabila Allah
tidak senang padanya. Oleh karena adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap
dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Sikap mental seperti ini
membuat seseorang melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi perbuatan maksiat.
3.Raja’
Menurut Ahmad Zaruq, definisi raja’ adalah kepercayaan atas karunia Allah yang dibuktikan
dengan amal. Dalam istilah sufi merupakan sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan
nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba- Nya yang saleh. Perasaan optimis akan member
semangat dan gairah melakukan mujaha- dah demi terwujudnya apa yang diidam- idamkan itu,
karena Allah adalah Maha Pengasih Maha Penyayang.
4.Al-Syauq
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah. Yaitu rasa rindu yang
memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam
terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan
cinta dan akan tumbuh kerinduan. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu ber-
sama Dia. Perasaan inilah yang menjadi pendorong bagi sufi agar selalu berada sedekat mungkin
kepada Allah.
5.Al-Uns
Al-Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu
Allah. Tidak ada yang dirasa, yang diingat, yang diharap kecuali Allah.
6.Tuma’ninah
Tuma’ninah (ketenangan) adalah kondisi spiritual yang tinggi. Ia mampu mengadakan komunikasi
langsung dengan Allah karena sudah dekat kepada-Nya, karenanya ia merasa tenang, bahagia dan
tenteram.
Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan; Pertama, ketenangan bagi
kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang
karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus.
Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas
cobaan- Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan ini
dapat di peroleh karena mengetahui rahasia-rahasia Allah sehingga ia tidak ada lagi rasa gelisah dan
keraguan terhadap Allah Swt.
7.Musyahadah
Kata musyahadah bermakna menyaksikan dengan mata kepala. Tetapi dalam istilah sufi diartikan
menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini, apa yang dicari seorang
sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah swt. Dalam situasi seperti ini pulalah
seseorang memperoleh tingkatan ma’rifat, satu situasi di mana seseorang seakan- akan menyaksikan
Allah dengan seluruh ekspr-esinya atau melalui mata hatinya. Secara mendetail dapat disaksikannya
keadaan Allah, sehingga lahir pula rasa cinta atau mahabbah melalui ruh dan akhirnya dan dapat
dipandang oleh sirr. Dengan demikian terjadilah musyahadah antara sufi dengan yang dicarinya.
8.Yaqin
Secara terminologi yakin adalah yaitu sebuah kepercayaan (Aqidah) yang kuat dan tidak mudah
goyah dengan kebenaran dan pengetahuan yang dimilikinya, karena kesaksiannya dengan segenap
jiwanya dan dirasakan oleh seluruh ekspresi tubuhnya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
Para sufi biasanya membagi yakin dalam tiga bagian: pertama, Ilm al-yaqin: yaitu pencapaian iman
dan ketundukan terkuat yang berhubungan dengan hal-hal yang ingin dicapai dengan
memperhatikan dalil-dalil dan petunjuk yang jelas dan benar. Kedua, ‘Ain al-yaqin: yaitu
pencapaian makrifat melampaui Batasan definisi yang dilakukan oleh ruh melalui
penyingkapan,musyahadah, persepsi dan k esadaran. Ketiga, Haqq al-yaqin: yaitu anugerah yang
berupa bersamaan (ma’iyyah) yang mengandung banyak rahasia, tanpa tirai dan penghalang, yang
melampaui imajinasi manusia serta tanpa kammiyyah ataupun kaifiyyah. Sebagian sufi menafsirkan
yang satu ini sebagai fana’ sang hamba pada seluruh jati diri, ego, diri, dan kebersamaannya kepada
Allah al-Haqq.

D. Konsep 3T ( Takhalli,Tahalli dan Tajalli )

a. Takhalli

Takhali adalah pembebasan diri dari sifat-sifat tercela. Jiwa manusia dapat diibaratkan
sebagai sebidang tanah yang akan ditanami oleh petani. Sebelum petani menanam tanaman di
tanah tersebut, dia harus membersihkan tanah dari segala jenis rumput yang tumbuh diatasnya.

Takhalli adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Implementasi
takhalli dari seorang sufi misalnyanya ia harus menjauhkan diri dari segala etika-etika tercela
seperti penghargaan yang berlebihan terhadap diri sendiri, mengabaikan syariat, memiliki niat
untuk mendorong perbuatan jahat serta kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.
Bagi Mustafa Zahri penafsiran takhalli ialah meluangkan diri dari seluruh sifat-sifat tercela.
Bagi Muhammad Hamdani Bakran adz-Dzaky penafsiran takhalli merupakan tata cara
mengosongkan diri dari kedurhakaan serta pengingkaran (dosa) terhadap Allah swt dengan jalur
melaksanakan pertaubatan yang sebetulnya (nasuha).

Dalam perihal ini manusia tidak diminta untuk secara total menghindar dari permasalahan
dunia serta tidak pula menyuruh melenyapkan hawa nafsu. Namun, senantiasa menggunakan
duniawi hanya selaku kebutuhannya dengan membatasi dorongan nafsu yang bisa mengusik
stabilitas akal serta perasaan. Dia tidak mengikuti kepada setiap kemauan, tidak mengumbar
nafsu, namun pula tidak mematikannya. Dia menempatkan sesuatu dengan proporsinya, sehingga
tidak memburu dunia serta tidak sangat benci kepada dunia.

b. Tahalli

Setelah melalui tahapan pembersihan diri dari semua kualitas mental dan perilaku yang tidak
baik, tahap selanjutnya adalah mengerahkan ikhtiar menuju tahap tahalli. Tahapan tahalli ialah
mengisi dan berhias diri dengan sikap-sikap terpuji. Lebih dalamnya adalah menguji diri sendiri
dengan amalan-amalan terpuji sebagaimana tercantum dalam firman Allah swt di surah an-Nahl
ayat 90:

‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ِباْلَع ْد ِل َو اِاْل ْح َس اِن َو ِاْيَتۤا ِئ ِذ ى اْلُقْر ٰب ى َو َيْنٰه ى َع ِن اْلَفْح َش ۤا ِء َو اْلُم ْنَك ِر َو اْلَبْغ ِي َيِع ُظُك ْم َلَع َّلُك ْم‬
‫َتَذَّك ُرْو َن‬
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS.
[16] An-Nahl : 90)

Pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin disebut
dengan Tahalli. Hati yang demikian ini dapat menerima pancaran Nurullah dengan mudah. Oleh
karenanya segala perbuatan dan tindakannya selalu berdasarkan dengan niat yang ikhlas (suci dari
riya) dan amal ibadahnya itu tidak lain kecuali mencari ridha Allah swt. Untuk itulah manusia
seperti ini bisa mendekatkan diri kepada yang Maha Kuasa. Maka dari itu, Allah swt senantiasa
mencurahkan rahmat dan perlindungan kepadanya.

Amin Syukur mengemukakan kalau penafsiran tahalli merupakan menghias diri dengan jalur
menyesuikan watak serta perilaku dan perbuatan yang baik. Mustafa Zahri mengartikan tahalli
ialah menghias diri dengan sifat- sifat terpuji. Untuk melaksanakan tahalli langkahnya yakni
membina individu, supaya mempunyai akhlak al-karimah, serta tetap tidak berubah-ubah dengan
langkah yang dirintis sebelumnya (dalam takhalli).

Menurut al-Ghazali jiwa manusia dapat diubah, dilatih, dikuasai, dan dibentuk sesuai dengan
kehendak manusia itu sendiri. Kegiatan mulia yang harus ditanamkan dalam hati dalam rangka
untuk menjadi manusia yang dapat berhubungan dengan Tuhan sebagai berikut:

1. Taubat

Taubat merupakan rasa penyesalan yang serius dalam hati serta diiringi dengan permohonan
ampun dan meninggalkan seluruh perbuatan yang bisa memunculkan dosa sehingga cuma Allah
swt yang terdapat dalam ingatan serta jiwanya ataupun dengan kata lain, taubat adalah kembali ke
jalan yang benar yang diridhoi Allah setelah melakukan kesalahan.

2. Cemas dan harap

Cemas serta harap yakni suatu perasaan khawatir yang muncul atas segala perbuatan salah
serta kerap lalai kepada Allah swt ataupun sebab menyadari adanya ketidak sempurnaan dalam
mengabdi kepada Allah swt. Sehingga timbul rasa khawatir atau takut akan kemurkaan Allah swt
disebabkan kelalaian dan bersamaan dengan itu senantiasa mengharap ampunan dari Allah swt.

3. Zuhud

Zuhud artinya perilaku membebaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Karena itu harus pasrah dan rela menerima
dan memadakan saja akan rezeki yang ia terima dari tuhan. Caranya dengan mengendalikan hawa
nafsu, karena hawa nafsu karena hawa nafsu inilah yang mendorong manusia untuk tergantung
pada kelezatan duniawi. Menurut Prof. Dr. Putra Daulay mengemukakan bahwa sifat zuhd
adalah:

a. Menetapkan dunia sebagai implikasi akhirat dan tidak terlalu membanggakan dunia sehingga
mengabaikan akhirat
b. Hidup secukupnya dalam makanan, pakaian, rumah, kendaraan dan sebagainya.
c. Kekayaan menjadi sumber komitmen terhadap ketaatan kepada Allah, disyukuri dan
dipergunakan dengan sah

4. Al-Faqr

Al-Faqr menyiratkan tidak meminta lebih dari apa yang dimiliki sekarang, merasa cukup
dengan apa yang dimiliki sekarang. Alfaqr menggambarkan keadaan seseorang yang bersifat
rendah diri dan tidak memandang dirinya lebih tinggi dari siapapun. Alfaqr dalam tasawuf bahkan
tidak hanya merujuk pada kemiskinan materi, tetapi juga pada keadaan bathiniah yang
mencerminkan sikap rendah diri, penyerahan diri kepada Allah swt dan pemahaman bahwa segala
sesuatu berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya.

5. Ash-Shabru

Toleransi atau ketekunan oleh para sufi disinggung sebagai kondisi jiwa yang kokoh. Jiwanya
tidak goyah posisinya tidak lelah sesulit apapun tantangan yang dialami, ia teguh dan tidak tahu
untuk menyerah, karena semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan dan merupakan seuah ujian.
Oleh sebab itu, bagi seorang sufi sabar merupakan suatu perilaku mental yang sangat fundamental
dalam usaha menggapai tujuan hidup seorang sufi.

Mengingat banyaknya gangguan yang dapat mempengaruhi kestabilan jiwa, maka Imam
Ghazali membedakan sabar dengan beberapa nama, yaitu: apabila ketahanan mental itu
dihadapkan pada penanggulangan hawa nafsu perut dan syahwat maka kemampuan mengatasinya
diseut iffah. Sedangkan kesanggupan menguasai diri agar tidak marah, dinamakan hilm.
Ketabahan hati untuk menerima nasib disebut qana’ah. Dan orang yang bersifat pantang
menyerah dalam menegakkan kebenaran disebut safa’ah.

6. Ridho
Term ridho memiliki makna menerima dengan luas dada serta membuka hati atas segala
sesuatu yang datang dari Allah swt. Menurut Harun Nasution dalam bukunya Filsafat serta
Mistisme dalam Islam mengungkapkan bahwa ridho yakni menerima qada serta qadar dengan
hati tenang. Meninggalkan perasaan benci dari hati sehingga yang tertinggal adalah perasaan
gembira.

Pengertian lebih dalam tentang ridho menurut Haidar Putra Daulay dalam tulisannya
Takhalli, Tahalli dan Tajalli ialah perasaan rela menerima setiap kondisi yang dialami yang
timbul sesudah kejadian itu terjadi. Ini berarti bahwa sebelum kejadian itu terjadi dia tetap
berusaha dengan giat dan sungguh-sungguh kemudian rela dengan hasil bagaimanapun wujud dan
nilainya.

7. Al-Muqarahab

Muqarabah berfokus pada hubungan pribadi antara individu dengan Allah. Ini melibatkan
usaha untuk membersihkan hati, mengendalikan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada
kebenaran ilahi. Praktik muqarabah sering mencakup berbagai metode, seperti dzikir (ingat dan
menyebut nama Allah), tafakkur (meditasi), dan mujahadah (perjuangan diri).

Muqarabah juga terkait dengan konsep maqam, yang merupakan tingkatan-tingkatan spiritual
yang dapat dicapai oleh seorang sufi dalam perjalanan rohaniahnya. Sufi meyakini bahwa dengan
meningkatkan kesadaran spiritual dan mengabdi kepada Allah, seseorang dapat mencapai maqam-
maqam yang lebih tinggi.

Pentingnya muqarabah adalah untuk mencapai cinta dan kesadaran akan kehadiran Allah
dalam setiap aspek kehidupan. Ini bukan sekadar ibadah formal, tetapi juga melibatkan perubahan
batiniah yang mendalam dalam cara seseorang berpikir, merasa, dan bertindak. Muqarabah
menjadi fondasi bagi pengembangan dimensi spiritual dalam Islam.

C. Tajalli

Tajalli bermakna pencerahan atau penyingkapan. Keadaan spiritual ketika seseorang


merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih. Tajalli adalah tersingkapnya tirai penyekap
dari alam ghaib, atau proses mendapat penerangan dari nur ghaib, sebagai hasil dari suatu
meditasi atau latihan yang telah dilakukan sebelumnya.

Tajalli berarti Allah swt menyingkap diri-Nya kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri
Tuhan berupa cahaya bathiniyah yang masuk ke hati. Pada tingkatan tajalli Allah melimpahkan
cahaya-demi cahaya sehingga seorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan.

Sayyid abdul Karim bin Ibrahim Jaelani dalam kitabnya “al Insanul Kamil” mengatakan ada
empat tingkatan tajalli:

1. Tajalli Af’al
Tajalli af’al (perbuatan) ialah lenyapnya af’al seorang hamba dan yang ada hanya af’al Allah swt
karena af’al yang hakiki hanyalah af’al Allah swt. Segala sesuatu yang ada ini pada hakikatnya
adalah hasil af’al Allah, yang dilakukan oleh makhluk merupakan sunnatullah semata.
Sunnatullah yang merupakan sebab akibat.
2. Tajalli Asma’
Tajalli asma’ yaitu fananya seorang hamba disaat sedang beribadah atau sedang bermunajat . Kita
mengetahui ada 99 nama Allah swt yang dinamakkan asmaul husna. Apabila seseorang fana
edalam salah satu asmaul husna, kemudian dia berdoa atau menyeru dengan asma tersebut, maka
Allah akkan menjawab dan memperkenankan doanya. Misalnya bila seorang fana kepada asma
al-‘aliim (Yang Maha Mengetahui) atau ar-Razak (Yang Maha Memberi Rezzeki) kemudian dia
berdoa untuk mendapat suatu ilmu atau rezeki, maka Allah akan memperkenankan doanya
tersebut.
3. Tajalli Sifat
Tajalli sifat ialah menerimanya seorang hamba atas sifat-sifat ketuhanan. Tajalli sifat adalah
seseorang yang fana dan secara haqqul yaqin merasakan keagungan sifat-sifat Allah swt.
4. Tajalli Dzat
Tajalli zat adalah fananya seorang hamba kedalam zat yang wajiul wujud, sehingga terpancarlah
nur bahwa hanya Allah saja yang merupakan wujud yang mutlak.
Ibnu ‘Arabi menyetakan bahwa Tajalli Tuhan dibagi menjadi dua bentuk:
1) Tajalli Ghaib
Tajalli Ghaib merupakan penyingkapan diri dzat dalam diri-Nya sendiri, tampak yang mutlak
penampakan diri pada diri-Nya sendiri. Tajalli ini secara interinsik, hanya terjadi di dalam esensi
Tuhan sendiri. Oleh karena itu wujud-Nya tidak berbeda dengan esensi Tuhan itu sendiri, karena
terjadi lebih dari satu proses ilmu Tuhan di dalam esensi-Nya sendiri.
2) Tajalli Syuhudi
Tajalli Syuhudi adalah manifestasi diri di alam nyata. Penampakan diri secara nyata yang
mengambil bentuk penampakan diri dari citra tertentu. Tajalli syuhudi terjadi ketika potensi-
potensi yang ada di dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam beragai fenomena alam
semesta.
KESIMPULAN

 Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ada dua teori yang berpengaruh dalam membentuk
tasawuf, yaitu teori yang berasal dari ajaran atau unsur Islam, dan teori yang berasal dari ajaran atau
unsur lain di luar Islam.Para orientalis Barat mengatakan bahwa tasawuf bukan murni dari ajaran
Islam, sementara para tokoh sufi mengatakan bahwa tasawuf merupakan inti ajaran dari Islam.
 Maqamat merupakan salah satu konsep yang digagas oleh Sufi yang berkembang paling awal
dalam sejarah tasawuf Islam. Kata maqamat sendiri merupakan bentuk jamak dari kata maqam,
yang secara literal berarti tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi atau tingkatan. Dalam al-
Qur’an kata ini maqam yang mempunyai arti tempat disebutkan beberapa kali, baik dengan
kandungan makna abstrak maupun konkrit. Di antara penyebutnya terdapat pada QS al-Baqarah
ayat 125, QS al-Isra ayat 79, QS Maryam ayat 73, QS as-Saffat ayat 164, QS ad-Dukhan ayat 51
dan QS ar-Rahman ayat 46.
 ada beberapa maqam yang disepakati oleh para sufi yaitu: at-taubah, az-zuhud, al-wara, al-faqr, as-
sabr, at-tawakkal dan ar-ridha.
 Ahwal adalah jamak daripada kata hal yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang dialami oleh
para ahli sufi dalam menempuh jalan untuk dekat dengan Tuhan. Ada banyak definisi berkaitan
dengan ahwal yang bermunculan di berbagai rujukan sufi, hal demikian memang dirumuskan oleh
para sufi.
 Sufi yang terpenting dan paling banyak penganutnya adalah: al-muraqabah, al-khauf, al-raja’, al-
syauq, al-uns, al-thuma’ninah, al-musyahadah dan al-yaqin.
 3T :
1. Takhali adalah pembebasan diri dari sifat-sifat tercela.
2. Setelah melalui tahapan pembersihan diri dari semua kualitas mental dan perilaku yang tidak
baik, tahap selanjutnya adalah mengerahkan ikhtiar menuju tahap tahalli. Tahapan tahalli ialah
mengisi dan berhias diri dengan sikap-sikap terpuji.
3. Tajalli bermakna pencerahan atau penyingkapan. Keadaan spiritual ketika seseorang
merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih. Tajalli adalah tersingkapnya tirai
penyekap dari alam ghaib, atau proses mendapat penerangan dari nur ghaib, sebagai hasil dari
suatu meditasi atau latihan yang telah dilakukan sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Asnawiyah, ‘Maqam Dan Ahwal: Makna Dan Hakikatnya Dalam Pendakian Menuju Tuhan’,
Substantia, 16.1 (2014), 79–85 .

Abdul Wahab Syakhrani, Nadia Nursyifa, and Nurul Fithroti, ‘Konsep Maqomat Dan Akhwal’,
MUSHAF JOURNAL: Jurnal Ilmu Al Quran Dan Hadis, 3.1 (2022), 9–23 .

Norah Niland and others, ‘Maqamat Dan Ahwal Menurut Pandangan Ulama Sufi’, Global Health,
167.1 (2020), 1–5
Wahab Syakhrani, Nursyifa, and Fithroti.
Haidar Putra, Zaini Dahlan, Chairul Azmi, “TAKHALLI, TAHALLI dan TAJALLI”, (PANDAWA:
Jurnal Pendidikan dan Dakwah: 2021), hal. 1

Hamdani Bakran ad-dzaki, “Konseling dan Psikoterapi Islam: Penerapan Metode Sufistik”
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002)

Supriyadi, Miftahol Janah, “Pendidikan Karakter dalam Tasawuf Modern Hamka dan Tasawuf
Transfformatif Kontemporer”, (Halaqa:Islamic Education Journal, 2019), hal. 94

Totok Jumantoro dan Syamsul Munir, “Kamus Ilmu Tasawuf”, (Jakarta: Amzah, 2005)

Amin Syukur dan Masyaruddin, “Intelektualisme Tasawuf”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2022 )

Miswar, “Akhlak Tasawuf Membangun Karakter Islami”, (Medan: Perdana Publishing, 2015)

Devi Tri, dkk, “Takhalli, Tahalli dan Tajalli dalam duni tasawuf” (2020)
Unknown, “Makalah Tajalli”, http://makalahtarbiyah7s.blogspot.com/2014/12/makalah-tajalli.html ,
dibuka tgl 8 desember 2023 pukul 22.30

Maftuhi, Nilasari dan Ahmad Royani, “Takhalli, Tahalli dan Tajalli”, (2019)

You might also like