Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 17

PENCEGAHAN HIV/AIDS MELALUI COLLABORATIVE GOVERNANCE ANTARA PEMERINTAH,

LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT, DAN MASYARAKAT DI PROVINSI DKI JAKARTA

Agung Rheza Fauzi dan Amy Yayuk Sri Rahayu

Universitas Indonesia
Program Studi Administrasi dan Kebijakan Publik
Kampus UI, Cikini
E-mail : agung.rheza@gmail.com, amy.yayuk.sri.rahayu@gmail.com

Abstract

HIV / AIDS cases in Indonesia continue to increase and have spread to all provinces in
Indonesia. As the province with the highest number of HIV cases, DKI Jakarta through
the Provincial AIDS Commission (KPAP) seeks to prevent the increase of HIV / AIDS
cases through collaborative governance between the Government, Non-Governmental
Organizations (NGOs), and the public. This collaborative governance is reinforced
through Governor Regulation No. 231 of 2015 concerning the Organization and Work
Procedure of the Jakarta Capital City Provincial AIDS Commission and the DKI Jakarta
Provincial Regulation Number 5 of 2008 concerning HIV and AIDS Prevention. This
research was conducted to analyze the process of collaboration between the
Government, NGOs and Communities in the DKI Jakarta Province. In addition, this
study aimed to provide strategic recommendations for effective collaborative
governance in the context of HIV / AIDS prevention in DKI Jakarta Province. This study
used descriptive qualitative research methods that described the collaborative process
of preventing HIV / AIDS in DKI Jakarta Province. Therefore, this study used a
collaborative governance theory that focused on the collaborative process. Based on
the research, it was known that collaborative governance has been established
between KPAP, Health Office, NGOs, Working Groups (Pokja), and the Community.
However, it was still not effective because of the lack of roles of working groups and
NGOs that were still dependent on donor agencies in carrying out their activities.

Keywords : HIV/AIDS Prevention, Collaborative Governance, DKI Jakarta

Abstrak

Kasus HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan dan telah menjalar ke


seluruh provinsi di Indonesia. Sebagai provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi yang
dilaporkan, DKI Jakarta melalui Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) berupaya
melakukan pencegahan meningkatnya kasus HIV/AIDS melalui tata kelola kolaboratif
(collaborative governance) antara Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dan masyarakat. Tata kelola kolaboratif ini dikuatkan melalui Peraturan Gubernur
Nomor 231 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Penanggulangan
AIDS Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Nomor 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis proses kolaborasi antara Pemerintah, LSM, dan
Masyarakat di Provinsi DKI Jakarta, Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk

1
memberikan rekomendasi strategis tata kelola kolaboratif yang efektif dalam rangka
pencegahan HIV/AIDS di Provinsi DKI Jakarta.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif yang
menggambarkan proses kolaborasi pencegahan HIV/AIDS di Provinsi DKI Jakarta. Oleh
karena itu, penelitian ini menggunakan teori tata kelola kolaboratif yang berfokus
pada proses kolaborasi. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa tata kelola
kolaboratif sudah terjalin antara KPAP, Dinas Kesehatan, LSM, Kelompok Kerja (Pokja),
dan Masyarakat. Namun, masih belum dikatakan efektif karena kurangnya peran
pokja dan LSM yang masih tergantung dari lembaga donor dalam melakukan
kegiatannya.

Kata kunci : Pencegahan HIV/AIDS, Tata Kelola Kolaboratif, Provinsi DKI Jakarta

1. PENDAHULUAN Sebagai kelanjutan program MDGs


(Millenium Development Goals), SDGs
HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan (Sustainable Development Goals) tetap
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) menempatkan HIV sebagai salah satu isu
menjadi pandemik global dengan berbagai utama dari 17 (tujuh belas) tujuan utama
dampak yang merugikan, tidak saja dengan target mengakhiri epidemi HIV/AIDS
berdampak langsung kepada kesehatan pada tahun 2030. Sejalan dengan hal tersebut
namun juga memberikan dampak sosial Indonesia melalui Rencana Pembangunan
ekonomi, ataupun bidang politik. HIV/AIDS Jangka Menengah Nasional 2015-2019
adalah penyakit menular yang disebabkan (RPJMN) menargetkan prevelansi HIV kurang
oleh Human Immunodeficiency Virus yang dari 0,5 persen pada tahun 2019. Data
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Infeksi tersebut menyebabkan penderita Pengendalian Penyakit Kementerian
HIV/AIDS mengalami penurunan daya tahan Kesehatan Republik Indonesia menunjukan
tubuh sehingga mudah terinfeksi penyakit bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan
lain. Menurut data UNAIDS pada tahun 2017, provinsi dengan jumlah infeksi HIV paling
di seluruh dunia sebanyak 36,7 juta orang banyak yaitu sebesar 51.981 kasus infeksi HIV
hidup dengan HIV dengan 1,8 juta orang baru yang dilaporkan. Hal ini dapat dilihat melalui
terinfeksi HIV (UNAIDS Facts Sheet, 2018). Hal tabel berikut :
ini perlu mendapat perhatian yang serius
mengingat sebanyak 36,7 juta orang hidup
dengan AIDS dan rentan menularkan ke orang
lain.

2
Tabel 1.
Perkembangan Kasus HIV-AIDS di Prov. DKI Jakarta s.d. Tahun 2017

16000 14987

14000
12000
10000
8000 6562
5865 5851
6000 4695 4660
4318 4012 3926
4000
2000 1332 1187 996
130 130 545 576
0
s.d 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

HIV AIDS

Sumber : Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Komisi Penanggulangan AIDS Kota/Kabupaten


melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun (KPAK) pada tingkat Kota/Kabupaten
2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Administrasi. Program pencegahan HIV/AIDS
berupaya untuk menekan laju penularan HIV di Provinsi DKI Jakarta memerlukan peran
dan AIDS serta meningkatkan kualitas hidup serta lintas sektor, sehingga melalui
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan Keputusan Wakil Gubernur Provinsi DKI
penyalahguna NAPZA Suntik. Upaya Jakarta selaku Ketua Komisi Penanggulangan
penanggulangan ini melibatkan pemerintah, AIDS Provinsi DKI Jakarta Nomor 62/KPAP-
masyarakat serta sektor terkait lainnya (Pasal DKI/VIII/07 dibentuklah Kelompok Kerja
5). Peraturan Daerah ini juga menjadi dasar (Pokja) Program Penanggulangan HIV/AIDS di
lahirnya Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Provinsi DKI Jakarta yang terdiri dari :
DKI Jakarta (KPAP) pada tingkat Provinsi dan

Tabel 2.
Kelompok Kerja dalam Struktur KPAP DKI Jakarta

No Nama Pokja Sektor / Instansi


1 Pokja Harm Reduction (HR) Dinas Kesehatan
2 Pokja Remaja Dinas Pendidikan
3 Pokja Transmisi Seksual Dinas Sosial
4 Pokja Masyarakat Umum Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan
dan Keluarga Berencana (BPMPKB) – sekarang
Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan
Pengendalian Penduduk
5 Pokja PMTCT (Pencegahan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan
Penularan Ibu ke Anak) dan Keluarga Berencana (BPMPKB) – sekarang
Dinas Pemberdayaan Perlindungan Anak dan
Pengendalian Penduduk
6 Pokja Tenaga Kerja Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
7 Pokja Lapas & Rutan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM
8 Pokja Pelabuhan Tanjung Priok Administrator Pelabuhan Utama Tj. Priok

3
9 Pokja Agama Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta

Sumber : KPA Provinsi DKI Jakarta strategi pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS di masyarakat dengan membentuk
Pokja – Pokja ini bertugas untuk Warga Peduli AIDS (WPA). Warga Peduli AIDS
membantu mengembangkan program yang adalah kelompok masyarakat yang terdiri dari
sesuai dengan kebutuhan, membantu berbagai komponen dalam lingkungan
menggerakan stakeholder / pemangku masyarakat hingga tingkat kelurahan (KPAN,
kepentingan dalam mengaplikasikan 2010). Peran Warga Peduli AIDS adalah
kebijakan daerah untuk suatu program, sebagai penggerak masyarakat untuk ikut
membantu melaksanakan mentoring, dapat terlibat secara langsung dalam upaya
motivasi, advokasi, fasilitasi dan supervisi, pencegahan HIV dan AIDS di dalam
serta melaporkan hasil kegiatan kepada Ketua lingkungan masyarakat.
KPAP melalui Sekretaris KPAP secara periodik.
Pembiayaan kegiatan pokja ini bersumber dari
anggaran hibah Pemerintah Provinsi DKI 2. TUJUAN PENELITIAN
Jakarta kepada KPAP DKI Jakarta. Pokja-pokja
Untuk mengetahui dan menganalisis
tersebut juga diharapkan memasukan
“Pencegahan HIV AIDS Melalui Collaborative
kegiatan program pencegahan HIV/AIDS
Governance antara Pemerintah, Lembaga
kedalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Swadaya Masyarakat, dan Masyarakat di
(DPA) sesuai dengan tupoksinya. Selain pokja-
Provinsi DKI Jakarta.
pokja tersebut, KPAP DKI Jakarta juga
melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat 3. METODE PENELITIAN
dalam melakukan penjangkauan populasi Penelitian ini merupakan penelitian
kunci, hal ini menjadi penting mengingat deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian ini
penularan terbesar HIV/AIDS adalah melalui adalah Provinsi DKI Jakarta, dimana jumlah
hubungan seksual beresiko. kasus HIV/AIDS tertinggi secara nasional.
Adanya keterlibatan Lembaga Swadaya Pengumpulan data dilakukan menggunakan
Masyarakat dalam penanggulangan HIV dan data primer melalui wawancara dengan
AIDS tampak pada peran penyediaan layanan, informan dari Komisi Penanggulangan AIDS
advokasi serta pendidikan dalam komunitas, Provinsi, Dinas Kesehatan, LSM, dan Warga
di Indonesia termasuk didalamnya Provinsi Peduli AIDS. Wawancara ini menggunakan
DKI Jakarta peran tersebut diwujudkan lebih alat perekam, catatan tertulis dan juga
dominan kepada kegiatan promosi dan tinjauan literatur yang terkait dengan
pencegahan pada populasi kunci (Pusat penelitian (Gabrielian, 1999:187). Data primer
Kebijakan dan Manajemen Kesehatan UGM, didapat melalui wawancara langsung pada
2017). LSM memiliki peran untuk menjangkau informan, yaitu para stakeholder yang terkait
populasi kunci dan memiliki kelebihan untuk dalam pencegahan HIV/AIDS, yang terdiri dari
memberikan respon terkait penanggulangan unsur pemerintah, LSM, dan masyarakat.
HIV dan AIDS (Alliance et al, 2007; Asthana Pemilihan informan dilakukan secara
and Oostvogels, 1996; Global Fund, 2014; purposive yaitu pihak yang dianggap
WHO, 2001; UNAIDS, 2008). representatif dengan pertimbangan relevansi
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS juga antara pengetahuan dan informasi yang
perlu menyentuh faktor sosial dimiliki informan dengan topik yang diteliti.
kemasyarakatan sehingga diharapkan dapat Selain itu, teknik keabsahan data
melibatkan masyarakat sebagai bagian menggunakan triangulasi, yaitu dengan
pencegahan dan penanggulangan HIV dan memeriksa derajat kepercayaan,
AIDS. Mengacu kepada kebijakan Komisi ketergantungan, dan kepastian (Moleong,
Penanggulangan AIDS, maka diperlukan 2005:234).

4
masyarakat, serta bergabung dengan
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian pengaturan pemerintah dan bersifat hybrid,
Tempat : Komisi Penanggulangan AIDS seperti kemitraan publik-swasta dan
Provinsi DKI Jakarta kemitraan swasta dan sosial. Hal ini juga
Waktu : Agustus – November 2018 termasuk beberapa tindakan kolaboratif
berbasis masyarakat yang terlibat dalam
4. HASIL DAN PEMBAHASAN pengelolaan sumber daya bersama serta
struktur kolaboratif antar pemerintah.
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Emerson dan Nabatchi (2015) memberikan
Governance) definisi Collaborative Governance lebih luas
lagi, yaitu tata kelola kolaboratif merupakan
Emerson dan Nabatchi (2015) suatu proses dan struktur perumusan
menyatakan bahwa tata kelola kolaboratif kebijakan publik, pengambilan keputusan dan
adalah proses dan struktur pengambilan manajemen publik yang melibatkan
keputusan kebijakan publik dan manajemen masyarakat dan badan publik, tingkatan
yang melibatkan aktor secara konstuktif pada pemerintah, swasta, dan ranah publik untuk
batas lembaga publik, pemerintahan dan mencapai tujuan publik (keseejahteraan) yang
masyarakat, swasta dan sipil untuk belum terselesaikan. Framework collaborative
melaksanakan kepentingan umum yang tidak Governance memiliki berbagai dimensi, yaitu
bisa diacapai jika hanya dilakukan satu pihak system context, Collaborative Governance
saja. Hal ini bisa dimaknai sebagai Regime (CGR), dan dinamika kolaborasi
“Governance multipartner” yaitu tata kelola seperti yang tergambar dalam gambar berikut
yang mampu mencakup kemitraan antar :
negara, swasta, serta masyarakat sipil dan

Gambar 1.
Model Collaborative Governance menurut Emerson dan Nabatchi

Sumber : Emerson dan Nabatchi (2015)

Emerson menggunakan konsep “rejim” Framework collaborative Governance


untuk melingkupi mode khusus atau sistem menjelaskan mengenai perspektif tata kelola
untuk pengambilan kebijakan publik dimana yang bersifat multilevel tentang struktur dan
terjadi kolaborasi antar sektor yang mewakili proses kebijakan publik, pengambilan
pola yang terkait perilaku dan aktivitas. keputusan yang melibatkan masyarakat

5
secara konstruktif lintas batas badan motivasi bersama (shared
pemerintah, dan/atau publik, swasta dan motivation), dan kapasitas untuk
ruang publik dalam rangka mencapai tujuan melakukan aksi bersama (capacity for
publik. Framework ini terdiri dari beberapa joint action). Tiga komponen ini
dimensi, yaitu : bekerja bersama-sama dalam sebuah
cara yang interaktif dan berulang-
1. Dimensi pertama disebut dengan ulang untuk menghasilkan aksi
konteks sistem. Tata kelola
kolaboratif atau langkah yang diambil
kolaboratif dimulai dan berkembang dalam rangka pengimplementasian
dalam suatu sistem dimana terdapat tujuan bersama. Aksi dalam CGR ini
pengaruh politik, hukum, sosial
dapat memberikan dampak internal
ekonomi, maupun lingkungan.
dan eksternal dalam CGR itu sendiri.
Konteks eksternal ini menciptakan
peluang, kendala serta pengaruh pada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI
berjalannya CGR. Namun tidak Jakarta yang selanjutnya disebut dengan KPA
menutup kemungkinan dampak yang Provinsi DKI Jakarta merupakan Lembaga Non
dihasilkan oleh tindakan kolaboratif Struktural di Daerah yang berkedudukan
dalam CGR mempengaruhi konteks dibawah dan bertanggungjawab kepada
Gubernur. Pembentukan KPA Provinsi DKI
tersebut. Konteks sistem bukan
Jakarta dan KPA Kota Administrasi bertujuan
merupakan kondisi awal namun sebagai upaya penanggulangan HIV dan AIDS
sebagai ruang tiga dimensi, hal ini untuk melindungi masyarakat dan mencegah
dikarenakan kondisi eksternal terjadinya penularan melalui upaya
(pemilihan umum, krisis ekonomi, pencegahan dan penanggulangan HIV dan
atau peraturan baru) bisa AIDS secara intensif, menyeluruh,
memberikan pengaruh pada dinamika terkoordinasi, dan terpadu.
KPA Provinsi DKI Jakarta bertugas untuk
dan kerja kolaborasi yang tidak hanya
menyusun Strategi dan Rencana Aksi Provinsi
terjadi pada awal, namun dapat Penanggulangan HIV dan AIDS, menyusun
mempengaruhi setiap waktu selama kebijakan dan program pelaksanaan upaya
CGR berlangsung. penanggulangan HIV dan AIDS, melaksanakan
2. Dimensi kedua, terdiri dari dinamika kerjasama dengan sektor terkait dalam rangka
kolaborasi dan aksi kolaborasi yang penanggulangan HIV dan AIDS,
mengkoordinasikan, memantau,
membentuk kualitas secara
mengendalikan, memfasilitasi kegiatan
keseluruhan pada CGR sehingga dapat
Penanggulangan HIV dan AIDS. Pemerintah,
berlangsung secara efektif. Lembaga Swadaya Masyarakat, dan
3. Dimensi ketiga, merupakan proses Masyarakat memiliki peran masing-masing
kolaboratif yang terdiri dari tiga yang saling bersinergi satu sama lain dalam
komponen, yaitu keterlibatan rangka pencegahan HIV dan AIDS di Provinsi
berprinsip (principal engagement), DKI Jakarta yang tersaji dalam tabel berikut :

6
Tabel 3.
Peran Pemerintah, LSM, dan Masyarakat dalam rangka Pencegahan HIV dan AIDS
di Provinsi DKI Jakarta

Pencegahan HIV dan AIDS di Provinsi DKI Jakarta


Pemerintah LSM Masyarakat
1. Dinas Kesehatan sebagai 1. Melakukan 1. Memberikan penyuluhan
leading sector dalam bidang penjangkauan, kepada masyarakat untuk
kesehatan dan pencegahan asistensi, dan berperilaku sehat
HIV AIDS memiliki program sosialisasi 2. Mendorong setiap warga
sesuai dengan Tupoksinya, pencegahan HIV yang beresiko penularan HIV
yaitu pelayanan Voluntary kepada populasi untuk VCT
Counseling Test (VCT), kunci sebagai 3. Mencegah stigma dan
Program Harm Reduction sasaran penting diskriminasi terhadap Orang
melalui program Layanan pencegahan HIV Dengan HIV dan AIDS
Alat Suntik Steril (LASS), dan AIDS. Peran Utama WPA adalah
serta program Dokter 2. Mendampingi menggerakan masyarakat untuk
Keliling (Dokling). Sosialisasi Dinas Kesehatan, ikut serta secara langsung dalam
dan Komunikasi Informasi KPAP, dan upaya pencegahan dan
Edukasi biasanya dilakukan instansi terkait penanggulangan HIV AIDS dan
bersamaan dengan dalam rangka bekerja sama dengan
program-program tersebut. intervensi Pemerintah dan LSM.
2. KPAP DKI Jakarta bertugas program kepada
sebagai koordinator, populasi kunci
fasilitator, dan advokasi misalnya dalam
terkait penanggulangan HIV pendampingan
dan AIDS melalui program- VCT dan Layanan
program pencegahan dan Alat Suntik Steril.
pemberian dana hibah 3. Memberikan
kepada pokja-pokja untuk dukungan sosial
melaksanakan program kepada kelompok
pencegahan sesuai dengan dampingan
tupoksinya. KPAP juga rutin
melaksanakan rapat
koordinasi dengan Pokja,
LSM, dan Masyarakat

Sumber : Olahan Peneliti

Pencegahan HIV/AIDS melalui Collaborative pada tahun 2015 Gubernur Provinsi DKI
Governance di Provinsi DKI Jakarta Jakarta telah menandatangani Paris
Kolaborasi terkait pencegahan HIV AIDS di Declaration (Deklarasi Paris) yang berisi
Provinsi DKI Jakarta didasari dengan adanya tentang Fast Track Cities : Ending the AIDS
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2008 Epidemic (Cities Achieving 90-90-90 Targets by
tentang Penanggulangan HIV AIDS serta 2020), yang artinya DKI Jakarta juga berupaya
Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengakhiri epidemic AIDS di tahun 2020. Hal
Nomor 26 Tahun 2012 yang diperbaharui ini mengindikasikan bahwa HIV AIDS
dengan Keputusan Gubernur Nomor 231 merupakan permasalahan yang memerlukan
Tahun 2015 tentang Komisi Penanggulangan perhatian khusus dan memerlukan kolaborasi
AIDS (KPA) Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, antar pemangku kepentingan. Para aktor

7
menyadari bahwa diperlukan pendekatan pencegahan HIV AIDS, serta menghasilkan
kolaboratif pencegahan HIV AIDS, namun suatu kesepakatan bersama dengan
permasalahan yang muncul adalah kurangnya pembentukan kesepakatan bersama.
komitmen para aktor dalam rangka Keterlibatan berprinsip diartikan sebagai
pencegahan HIV AIDS pada masing-masing suatu ketaatan, komunikasi, dan bersifat
pokja/instansi. inklusif. Pertemuan-pertemuan yang
dilakukan menjadi sarana untuk saling
Proses Kolaborasi (Collaborative Dynamics) menyampaikan informasi, kritik, dan saran
Pencegahan HIV AIDS membutuhkan untuk program pencegahan HIV kedepannya.
peran antar stakeholder, sehingga perlu Pertemuan rutin tidak hanya dilakukan
adanya kolaborasi antara pemerintah, LSM, melalui tatap muka, namun juga dilakukan
dan Masyarakat. Proses kolaborasi melalui teknologi seperti email atau aplikasi
merupakan inti dari kolaborasi yang chatting seperti whatsapp.
menggambarkan secara terperinci mengenai Dari informasi yang diperoleh dapat
komponen yang membentuk kolaborasi diketahui bahwa sudah tercipta penggerakan
bersifat dinamis yang berputar dalam seluruh prinsip bersama melalui forum pertemuan
komponen dan saling mempengaruhi satu yang diadakan oleh KPA Provinsi DKI Jakarta
sama lain. yang dibentuk dan diperkuat melalui proses
interaktif dari penemuan, pendefinisian,
a. Principled Engagement (Keterlibatan deliberasi dan determinasi dalam pencegahan
Berprinsip) HIV AIDS.

b. Shared Motivation (Motivasi Bersama)


Keterlibatan berprinsip merupakan hal
yang muncul seiring dengan waktu, dapat
Sikap saling percaya ditujukan Yayasan
melalui dialog tatap muka, rapat umum,
Srikandi Sejati, Yayasan Pesona Jakarta, dan
hubungan antar organisasi atau setting yang
Yayasan Kusuma Buana pada KPA Provinsi DKI
berbeda lainnya (Emerson dan Nabatchi, Jakarta, melalui program yang melibatkan
2015). Melalui keterlibatan berprinsip ini, yayasan dan masyarakat, salah satu
para aktor dengan latar belakang yang contohnya adalah program pemetaan
berbeda dapat bekerjasama untuk populasi kunci yang diadakan oleh KPA
memecahkan masalah atau menciptakan Provinsi DKI Jakarta dengan melibatkan
suatu nilai. Emerson dan Nabatchi (2015) yayasan untuk memetakan dan menganalisis
mengartikan keterlibatan berprinsip sebagai wilayah yang terdapat populasi kunci.
suatu komunikasi terbuka dan bersifat inklusif Hasilnya adalah Laporan Pemetaan Populasi
yang terjadi seiring berjalannya waktu melalui Kunci Tahun 2014 dan Laporan Pemetaan
empat proses dasar, yaitu discovery Populasi Kunci Tahun 2016 yang sudah
(penemuan), definition (definisi), deliberation dipublikasi melalui website KPAP DKI Jakarta.
(musyawarah), dan determination Rasa saling percaya dapat muncul karena
(penetapan). Melalui proses tersebut maka adanya pertemuan bersama yang diadakan
kolaborasi dapat berjalan dan dapat oleh KPA Provinsi, selain itu melalui
mendorong motivasi dan aksi bersama untuk pelaksanaan program, ataupun evaluasi
mencapai goal (tujuan). Dalam rapat rutin kegiatan, dan pengambilan keputusan.
tahunan yang disebut dengan Rapat Kerja Melalui pertemuan bersama terjalin rasa
Daerah (Rakerda) KPA Provinsi DKI Jakarta percaya antara aktor satu dengan aktor
turut mengundang lintas sektor, termasuk lainnya. Membangun kepercayaan menjadi
didalamnya LSM Peduli AIDS, perwakilan suatu hal yang penting, karena dengan
tokoh agama dan tokoh masyarakat, pokja, adanya rasa percaya dapat memberikan
dan instansi lainya. Tujuan dari Rakerda ini manfaat kolaborasi antar aktor, misalnya
adalah sebagai sarana pertemuan formil, pemerintah membutuhkan LSM dan
Focus Group Discussion (FGD), menerima masyarakat untuk melakukan penjangkauan
masukan dari peserta terkait program populasi kunci dan masyarakat umum, LSM

8
juga membutuhkan legitimasi untuk Swadaya Masyarakat, dan masyarakat yang
mendapatkan bantuan dari pemerintah. dikoordinasikan melalui lembaga KPA Provinsi
Setelah adanya rasa saling percaya antar aktor ataupun KPA Kota Administrasi. Prosedur dan
maka akan menghasilkan rasa saling kesepakatan institusi kelompok kerja
memahami (shared understanding). Dari diformalisasikan melalui Surat Keputusan
informasi yang diperoleh, dapat diketahui Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
bahwa sudah tercipta motivasi bersama Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 031
mengenai pencegahan HIV AIDS. Motivasi Tahun 2009 tentang Penetapan Kelompok
bersama tercapai melalui adanya kepercayaan Kerja (Pokja) Program Penanggulangan HIV
bersama, saling memahami, legitimasi dan AIDS.
internal, dan komitmen. Namun, pada unsur Landasan hukum tersebut tidak
saling memahami dan komitmen belum sepenuhnya dibuat dalam proses kolaborasi,
merata pada seluruh aktor, beberapa pokja namun merupakan penurunan dari Pergub
melakukan kegiatan pencegahan HIV hanya Nomor 56 Tahun 2005 tentang Organisasi dan
jika diberikan anggaran melalui dana hibah Tata Kerja KPA Provinsi DKI Jakarta, yang
KPA Provinsi DKI Jakarta, sedangkan sudah diperbaharui melalui Pergub Nomor 231
dua tahun ini pokja tidak diberikan anggaran Tahun 2015, dimana dalam satu pasal
terkait pencegahan HIV dan AIDS melalui dikemukakan bahwa untuk membantu
KPAP, dan Pokja juga tidak menganggarkan pelaksanaan tugas KPAP maka ketua KPAP
untuk kegiatan pencegahan HIV di instansi dapat membentuk kelompok kerja KPAP yang
masing-masing. Sedangkan LSM Peduli AIDS jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
dan Warga Peduli AIDS tetap melakukan dimana susunan dan uraian tugas kelompok
kegiatan pencegahan HIV AIDS dengan kerja ditetapkan oleh Ketua KPAP.
populasi sasaran seperti populasi kunci dan Sedangkan, keterlibatan masyarakat dalam
masyarakat umum. Hal ini akan program pencegahan HIV AIDS dikuatkan
mempengaruhi tahapan dinamika kolaborasi melalui Surat Keputusan dari Walikota dan SK
berikutnya yaitu kapasitas untuk melakukan Sekretaris KPA Kota Administrasi.
aksi bersama. Pembentukan prosedur dan kesepakatan
institusi ini telah terbentuk sesuai dengan
c. Capacity for Joint Action (Kapasitas Untuk yang dikemukakan oleh Emerson dan
Nabatchi (2015) yaitu adanya struktur
Melakukan Aksi Bersama)
berjejaring dan self managed system.
Ketika suatu kelembagaan kolaboratif
Tujuan kolaborasi adalah untuk menghasilkan sudah terbentuk maka diperlukan konsep
hasil yang diinginkan bersama yang tidak kepemimpinan kolaboratif. Kepemimpinan
dapat diselesaikan secara terpisah. merupakan suatu kapabilitas untuk
Himmelman (1994) dalam Emerson dan mendorong arah kesamaan visi, dimana
Nabatchi (2015) menjelaskan bahwa pemimpin merupakan individu yang
kolaborasi terlibat dalam aktivitas bersama membantu individu lain untuk mencapai
untuk meningkatkan kualitas kapasitas dalam tujuannya (Kreitner & Kinicki, 2014). KPA,
mencapai tujuan bersama. Kapasitas untuk baik KPA Provinsi maupun KPA Kota
melakukan aksi bersama merupakan aspek Administrasi merupakan pemimpin kolaborasi
ketiga dari dinamika kolaborasi yang yang berfungsi sebagai koordinator. Namun
merupakan hasil dari keterlibatan berprinsip tiap anggota merupakan pemimpin dalam
dan motivasi bersama. Kapasitas untuk melaksanakan program pencegahan HIV.
melakukan aksi bersama terdiri dari elemen Pentingnya kepemimpinan dalam tata kelola
seperti prosedur dan kesepakatan institusi kolaboratif secara jelas digambarkan oleh
(procedural and institutional arrangements), Ansell & Gash (2008). Kepemimpinan dapat
kepemimpinan (leadership), pengetahuan menjadi pendorong kolaborasi, unsur utama
(knowledge), dan sumber daya (resources). dalam kolaborasi itu sendiri, dan
Dalam kolaborasi pencegahan HIV AIDS, pertumbuhan yang signifikan dari kolaborasi.
melibatkan kelompok kerja, Lembaga

9
Termasuk didalamnya peran pemimpin komponen yang saling mempengaruhi
sebagai pendukung (sponsor), fasilitator, jalannya kolaborasi.
mediator, perwakilan dari organisasi,
advokasi, dan peran lainnya. Pada proses Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap
kolaborasi, pengetahuan banyak Proses Collaborative Governance
didistribusikan melalui pertemuan bersama. Pencegahan HIV AIDS di Provinsi DKI Jakarta
Pertemuan tersebut terdapat penyampaian
a. System Context (Konteks Sistem)
hasil capaian yang dilakukan oleh para aktor,
yang kemudian menjadi bahan diskusi. Proses
ini dapat membangun pengetahuan tiap Collaborative Governance diinisiasi dan
aktor. Tiap aktor memiliki karakteristik berkembang didalam konteks yang berlapis
pengetahuan yang berbeda-beda, misalnya antara politik, kerangka hukum, keadaan
Dinas Kesehatan melalui sistem pelaporan sosial ekonomi, lingkungan dan pengaruh
ODHA dari setiap puskesmas dan layanan lainnya (Borrini-Feyerabend 1996 dalam
kesehatan, LSM dengan laporan pemetaan Emerson dan Nabatchi 2015). Konteks sistem
populasi kunci, serta pokja yang dalam hal ini antara lain adanya kondisi
menyampaikan laporan terkait program dan sumber daya yang perlu ditingkatkan,
cakupannya di instansi masing-masing. kerangka hukum, adanya kegagalan untuk
Namun, distribusi pengetahuan ini mengalami mengatasi permasalahan, dinamika politik,
kendala antara lain perwakilan aktor berganti- adanya hubungan antara unsur masyarakat
ganti terutama pada Pokja atau instansi dan pemerintah, derajat hubungan antar
karena mutasi ataupun lain hal sehingga aktor jejaring, adanya konflik antar aktor, serta
yang menghadiri pertemuan kolaborasi pun kondisi sosial ekonomi.
tidak selalu sama.
 Pelayanan Publik atau Kondisi
Dari informasi yang diperoleh tersebut
Sumber Daya (Public Services or
dapat diketahui bahwa kapasitas melakukan
Resources Condition)
aksi bersama sudah berjalan melalui kegiatan
Sebelum terbentuknya Komisi
yang dilakukan bersama melalui prosedur dan
Penanggulangan AIDS Provinsi,
kesepakatan bersama, namun terdapat
kegiatan pencegahan HIV sudah
beberapa permasalahan yang terjadi
dilakukan melalui Dinas Kesehatan
terutama terkait sumber daya pendanaan
selaku leading sector penanggulangan
yang mempengaruhi kegiatan pencegahan
HIV AIDS, selain itu LSM juga telah
pada pokja, sedangkan tidak memiliki
melakukan kegiatannya terkait
pengaruh terhadap LSM dan masyarakat
Masyarakat juga menjadi mitra yang
karena sumber pendanaan mereka secara
penting dalam kolaborasi ini, untuk
mandiri tidak seperti pokja yang pendanaan
mengintervensi populasi kunci
kegiatannya melalui dana hibah KPA Provinsi.
dibutuhkan peran dukungan sebaya
Kapasitas aksi bersama sangat dipengaruhi
melalui LSM yang dapat secara
dari keterlibatan berprinsip dan motivasi
langsung menyentuh populasi kunci
bersama, dimana terdapat kelemahan pada
sedangkan masyarakat melalui Warga
unsur pemahaman bersama pada pokja yang
Peduli AIDS juga menjadi pendamping
tidak menganggarkan kegiatan melalui
bagi masyarakat yang berada di
instansinya dan mengandalkan melalui dana
lingungan sekitar. Selain itu sesuai
hibah dari KPA Provinsi. Kesimpulan dari
dengan pernyataan dari informan
dinamika kolaborasi ini adalah berjalan atau
disebutkan bahwa KPA dan LSM
tidaknya dinamika ditentukan oleh tiga unsur
bekerjasama untuk pembagian
yaitu penggerakan prinsip bersama, motivasi
kondom gratis sebagai upaya
bersama, dan kapasitas untuk melakukan aksi
pencegahan penularan HIV pada
bersama. Dinamika kolaborasi berbentuk
populasi kunci seperti Wanita Pekerja
siklus yang didalamnya terdiri dari komponen-
Seks (WPS), Waria, Lelaki Seks Lelaki
(LSL), dan populasi kunci lainnya.

10
Program Voluntary Counseling Test Hal ini menunjukan bahwa unsur
(VCT) selain melibatkan puskesmas adanya masalah sosial budaya,
sebagai layanan kesehatan juga ekonomi, dan kesehatan dalam
melibatkan LSM dan masyarakat konteks sistem menurut Emerson dan
untuk penjangkauan sasaran. Dari Nabatchi (2015) memberikan
pernyataan yang dikemukakan oleh pengaruh terhadap proses kolaborasi
informan, terlihat bahwa LSM dan pencegahan HIV AIDS di Provinsi DKI
masyarakat membutuhkan peran Jakarta.
KPAP dan KPAK karena mereka tidak  Karakteristik Jaringan (Network
memiliki kekuasaan untuk Characteristic)
menjalankan program secara mandiri, Karakteristik jaringan mengacu
namun membutuhkan kolaborasi kepada hubungan antara struktur
didalamnya. Keberadaan institusi kelembagaan yang memiliki
yang mengintegrasikan proses ketergantungan antar organisasi.
kolaborasi dalam hal ini KPA Mengacu pada konteks tata kelola
memberikan pengaruh terhadap kolaborasi pencegahan HIV AIDS,
proses kolaborasi yang akan terdapat pola relasi antar aktor
berjalan.penjangkauan dan intervensi khususnya pada pola relasi antara
program pencegahan kepada pemerintahan dan non pemerintahan
kelompok dukungan sebaya. (LSM dan Masyarakat).
 Kerangka Hukum (Policy and Legal Keterhubungan jaringan antar aktor
Framework) dapat mendorong ataupun
Program pencegahan HIV AIDS di menghambat proses kolaborasi.
Provinsi DKI Jakarta didasarkan pada Keterhubungan jejaring ini
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun diindikasikan dari adanya kerjasama
2008 yang secara jelas mengatur antar aktor serta adanya aktor yang
mengenai peran serta KPA dan memiliki visi yang sama. Kerjasama
seluruh pemangku kepentingan antar aktor paling erat terjalin pada
terkait dengan penanggulangan HIV masyarakat baik masyarakat umum
AIDS dengan ruang lingkup mencakup ataupun LSM pada Dinas Kesehatan
promosi, pencegahan, pengobatan, dalam hal ini Puskesmas. Sedangkan
dan perawatan serta dukungan. Ini kerjasama antar aktor yang lemah
merupakan dasar tata kelola terdapat pada kerjasama antar pokja.
kolaborasi yang melibatkan unsur Sehingga kolaborasi yang telah
pemerintah, LSM, dan masyarakat. berjalan yaitu antara Dinas Kesehatan
Hal ini merupakan kerangka hukum dengan LSM Peduli AIDS dan Warga
yang mendasari adanya aspek Peduli AIDS. Hal ini dikuatkan dari
koordinatif, integrative, dan MoU antara Puskesmas dengan LSM
kolaboratif terkait pencegahan HIV untuk bekerjasama dalam
AIDS. pencegahan HIV pada populasi kunci,
 Kesehatan, Sosial Ekonomi, dan Unsur karakteristik jaringan mengacu
pada sejarah kerjasama atau struktur
Budaya (Socio-economic/culture,
kelembagaan yang memiliki
health & Diversity) ketergantungan antar organisasi. Pola
HIV AIDS identik dengan masalah relasi yang kuat terdapat pada relasi
kesehatan, namun hal ini juga tidak KPA Provinsi dengan LSM dan
terlepas dari kondisi sosial ekonomi, masyarakat, sehingga hal ini
budaya, dan juga faktor lainnya. mendorong inisiasi kolaboratif. Secara
Seperti yang telah dijelaskan pada spesifik tiap unsur dalam lingkup
subbab sebelumnya bahwa kolaboratif pencegahan HIV AIDS di
pencegahan HIV AIDS membutuhkan Provinsi DKI Jakarta saling memiliki
peran serta pemangku kepentingan.

11
ketergantungan, baik pemerintah Kesehatan dan Dinas Sosial, selain itu
dengan unsur masyarakat maupun hingga saat ini belum terjadi konflik
unsur masyarakat dengan antar aktor yang mempengaruhi
pemerintah. Namun, pola relasi yang proses kolaborasi.
lemah terdapat pada pokja dengan
KPA maupun unsur masyarakat. Berdasarkan unsur yang telah dijelaskan
 Dinamika Politik (Political Dynamics menunjukkan bahwa keenam aspek tersebut
and Power Relations) memiliki pengaruh pada pembentukan
Dalam lingkup pencegahan HIV AIDS, maupun hambatan pada tata kelola
dinamika politik dapat mempengaruhi kolaboratif, baik mendorong upaya
proses kolaborasi. Saat ini KPA
kolaboratif ataupun mempengaruhi dinamika
Nasional sudah mengakhiri masa
tugasnya, melalui Peraturan Presiden kolaborasi yang telah berjalan.
Nomor 124 Tahun 2016 tentang
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional b. Drivers
dijelaskan bahwa KPAN mengakhiri
masa tugasnya paling lambat tanggal Kondisi yang ada pada awal kolaborasi
31 Desember 2017. Hal ini dapat memfasilitasi atau menghambat
mengindikasikan bahwa dinamika kerjasama diantara pemangku kepentingan (
politik memberikan pengaruh kepada Ansell and Gash, 2008 dalam Emerson dan
keberlanjutan suatu lembaga non Nabatchi. 2012), namun dalam konteks
struktural seperti KPAN. Walaupun collaborative governance yang dikemukakan
hal ini tidak memberikan pengaruh oleh Emerson dan Nabatchi (2015)
signifkan terhadap eksistensi KPA memisahkan variable konteks dari drivers,
Provinsi, namun terdapat masalah lain dimana tanpa adanya drivers maka dorongan
dimana dinamika politik yang terjadi kolaborasi tidak akan mampu mendorong
mempengaruhi prioritas program elemen dinamika kolaborasi. Drivers ini terdiri
penanggulangan HIV AIDS. Dinamika dari ketidakpastian (uncertainty), saling
politik menurut Emerson dan ketergantungan (interdependence), insentif
Nabatachi (2015) merupakan hal konsekuensial (consequential incentives), dan
potensial yang dapat mempengaruhi kepemimpinan (initiating leadership).
tata kelola kolaborasi.  Ketidakpastian (Uncertainty)
 Tingkat Konflik / Rasa Percaya Emerson dan Nabatchi (2015)
(Levels of Conflict / Trust) mengemukakan bahwa
Tingkat konflik dan kepercayaan antar ketidakpastian adalah tantangan
aktor dapat mendorong atau utama untuk mengelola
memberikan pengaruh kepada proses permasalahan sosial yang
kolaborasi. Hal ini diindikasikan membutuhkan kolaborasi (wicked
melalui terdapatnya konflik atau problems). Masalah HIV AIDS
ketidaksepahaman dalam merupakan permasalahan yang
penyusunan kebijakan atau bersifat dinamis dan kompleks serta
pelaksanaan program. Sejarah konflik membutuhkan kolaborasi antar aktor
atau kerjasama antar aktor dapat yang dapat memberikan solusi
menghambat atau dapat berdasarkan tugas pokok dan fungsi
memfasilitasi tata kelola kolaborasi para aktor. HIV AIDS merupakan
(Andranovich 1995; Gray 1989; Cf penyakit yang tidak saja
Margerum 2002). Terkait sejarah membutuhkan peran pelayanan
kerjasama dalam pencegahan HIV kesehatan saja, namun pencegahan
AIDS dapat dilihat bahwa LSM HIV AIDS mencakup pada sisi
beberapa kali bekerja sama dengan pendidikan, sosial, budaya,
instansi pemerintah, antara lain Dinas keagamaan, serta faktor lainnya.
Mengacu pada laporan tahunan HIV

12
AIDS pada Tahun 2017 yang dilakukan masyarakat sebagai tenaga non
oleh Kementerian Kesehatan Republik kesehatan seperti LSM, Kelompok
Indonesia menunjukan jumlah infeksi Dampingan, dan Masyarakat sebagai
yang dilaporkan menurut kelompok upaya pencegahan HIV dan AIDS.
umur 15-19 tahun sebesar 3, 6%. Terdapat ketergantungan
Ketidakpastian dapat mendorong (interdependence) antar aktor dalam
adanya persaingan (Emerson dan hal pencegahan HIV AIDS.
Nabatchi 2015), namun hal ini juga
dapat mendorong menjadi kerjasama.  Insentif Konsekuensional
Masalah HIV AIDS diidentikan dengan (Consequential incentives)
satu sisi saja yaitu kesehatan. Melalui Insentif Konsekuensional mengacu
tata kelola kolaborasi pencegahan HIV kepada isu internal (masalah,
yang dikoordinasikan melalui KPA kebutuhan sumber daya, dan
Provinsi, masalah HIV yang kesempatan) dan isu eksternal
merupakan suatu ketidakpastian (keadaan yang membutuhkan
menjadi permasalahan bersama yang kolaborasi, ancaman, atau
membutuhkan peran lintas sektor kesempatan) sebagai pendorong
untuk duduk bersama dan untuk tindakan kolaborasi, namun
mendorong terjadinya tidak semua pendorong ini
ketergantungan antar aktor sehingga merupakan hal yang bersifat negatif,
mempengaruhi terjadinya dinamika misalnya adanya ketersediaan dana
kolaborasi. hibah yang dapat mengarah pada
pengembangan inisiatif kolaborasi
 Ketergantungan (Interdependency) (Emerson dan Nabatchi 2015). Dalam
Ketergantungan adalah suatu kondisi melakukan kegiatan pencegahan HIV
dimana individu ataupun organisasi AIDS, diperlukan anggaran untuk
tidak dapat menyelesaikan pelaksanaan program. Pada tahun-
permasalahannya sendiri yang tahun sebelumnya KPA Provinsi DKI
merupakan prakondisi untuk Jakarta memiliki anggaran kegiatan
mendorong aksi kolaborasi (Gray pencegahan seperti sosialisasi dan
1989; Thomson dan Perry 2006 dalam komunikasi informasi edukasi yang
Emerson dan Nabatchi 2012). diprogramkan pada kegiatan Bidang
Berbagai kebijakan dan strategi telah Pencegahan KPA Provinsi, selain itu
dilakukan sebagai bagian dari upaya tiap pokja mendapatkan anggaran
pencegahan HIV AIDS di Indonesia, melalui dana hibah untuk
seperti program Harm Reduction pada mengadakan kegiatan sesuai dengan
tahun 2006 yang dilakukan untuk tugas pokok dan fungsi instansi
mengurangi penularan HIV melalui masing-masing. Sedangkan LSM
jarum suntik; selanjutnya Pencegahan mendapat anggaran untuk melakukan
Penularan Melalui Transmisi Seksual kegiatan pencegahan HIV melalui
(PMTS) mulai tahun 2010; penguatan dana donor yang ditransfer langsung
Pencegahan Penularan dari Ibu ke ke rekening bank milik yayasan dan
Anak (PPIA) pada tahun 2011; melaporkan hasil kegiatan dan
pengembangan Layanan penggunaan anggaran kepada
Komprehensif Berkesinambungan lembaga donor seperti Linkages
(LKB) di tingkat Puskesmas pada misalnya. Namun, sudah dua tahun
tahun 2012; hingga terobosan paling belakangan anggaran KPAP terus
baru yang disebut Strategic use of turun dan tidak cukup untuk
ARV (SUFA) dimulai pada pertengahan mengalokasikan untuk kegiatan pokja,
tahun 2013. Beberapa strategi sehingga pokja tidak melakukan
tersebut memerlukan keterlibatan kegiatan apapun terkait pencegahan

13
HIV, kecuali pada pokja pelabuhan AIDS, masalah yang terjadi adalah
yang masih melakukan kegiatan kurangnya peran serta para aktor
pencegahan HIV melalui anggaran untuk terlibat dalam pencegahan HIV
APBN. Kegiatan yang saat ini berjalan AIDS, walaupun sudah dibentuk
merupakan kegiatan yang berasal dari pokja. Sekretaris KPA Provinsi yang
anggaran kegiatan lembaga donor, saat ini bertugas baru diangkat oleh
Linkages. Gubernur Provinsi DKI Jakarta selaku
ketua KPA pada bulan Mei 2017.
 Kepemimpinan (Initiating Untuk dapat menjadi pemimpin yang
Leadership) mampu mendorong tata kelola
Kepemimpinan merupakan faktor kolaborasi maka diperlukan
pendorong kolaborasi yang mengacu kemampuan untuk menganalisis
kepada adanya pemimpin yang masalah, menguasai substansi
diidentifikasi berada dalam posisi permasalahan, serta melakukan
yang menginisiasi pertemuan dan upaya pemecahan masalah. Tidak
mendukung terjadinya collaborative adanya anggaran untuk Pokja sejak
governance regime melalui sumber dua tahun terakhir juga memberikan
daya yang dimiliki. Pemimpin dalam pengaruh terhadap program
konsep ini harus memiliki komitmen pencegahan HIV di Provinsi DKI
untuk memecahkan permasalahan Jakarta, dan hal ini menjadi tanggung
kolaboratif, bersifat netral, dan tidak jawab Sekretaris KPA untuk
menunjukkan keberpihakan kepada memberikan laporan kepada
salah satu aktor (Bryson, Crosby, dan Gubernur selaku ketua KPA.
Stone 2006; Selin dan Chavez 1995
dalam Emerson dan Nabatchi, 2012).
Pemimpin dalam konsep ini juga 5. KESIMPULAN DAN SARAN
adanya kesediaan untuk memulai
upaya kolaboratif misalnya dengan Tata kelola kolaborasi pencegahan HIV
menyediakan sumber daya manusia, AIDS yang melibatkan pemerintah,
teknologi, dan sumber daya lain yang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
dapat memperkuat dinamika dan masyarakat di Provinsi DKI Jakarta
kolaborasi (Schneider et al. 2003 telah memenuhi tahapan yang sesuai
dalam Emerson dan Nabatchi, 2012). dengan teori Collaborative Governance
Dalam tata kelola kolaborasi melalui Collaborative Governance Regime
pencegahan HIV, kepemimpinan dari Emerson, Nabatchi, & Balogh namun
diperankan oleh Sekretaris KPA masih mengalami kendala pada proses
Provinsi DKI Jakarta. Kepemimpinan tata kelola kolaborasinya. Kesimpulan
yang dijalankan oleh Sekretaris KPA yang peneliti peroleh dalam tulisan ini
Provinsi DKI Jakarta, dilakukan untuk adalah
mengkoordinasikan para aktor terkait
pencegahan HIV AIDS untuk 1. a. Proses tata kelola kolaboratif dalam
berkolaborasi dalam rangka mencapai pencegahan HIV AIDS di Provinsi
tujuan yang telah ditetapkan. Selain DKI Jakarta telah terbangun antara
itu, Sekretaris KPA Provinsi DKI Pemerintah melalui Komisi
Jakarta juga berperan untuk Penanggulangan AIDS, Lembaga
melakukan advokasi kepada Swadaya Masyarakat (LSM), dan
pemangku kepentingan di luar Masyarakat karena adanya
kolaborasi yang berjalan untuk keterlibatan berprinsip melalui
berperan serta dalam melakukan unsur penemuan masalah,
pencegahan HIV AIDS. Dalam tata pendefinisian konsep yang sama
kelola kolaborasi pencegahan HIV antar aktor tentang pentingnya
pencegahan HIV AIDS, deliberasi

14
atau musyawarah melalui c. KPA Provinsi DKI Jakarta sebagai
pertemuan tatap muka atau dialog lembaga koordinator sudah
formal dan informal antar aktor, melakukan tugas sesuai dengan
serta determinasi terhadap tupoksinya, namun belum
permasalahan bersama yang maksimal dalam menggunakan
dihadapi para aktor. Keterlibatan kewenangannya untuk menjamin
berprinsip ini juga didasari oleh setiap aktor kolaborasi melakukan
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun misi sesuai prosedur.
2008 tentang Penanggulangan HIV
AIDS dan Peraturan Gubernur 2.a. Pada unsur konteks sistem, faktor
Nomor 231 Tahun 2015 tentang insentif konsekuesional (incentive
Komisi Penanggulangan AIDS consequential) mempengaruhi
Provinsi dan Kota/Kabupaten dinamika kolaborasi, yang
Administrasi. Namun, terdapat diindikasikan dengan
konflik yang terjadi pada unsur terhambatnya kegiatan
motivasi bersama (shared pencegahan HIV AIDS pada Pokja
motivation), yaitu pada hal karena tidak adanya anggaran
komitmen bersama yang kurang kegiatan baik dari dana hibah KPA
kuat pada kelompok kerja (pokja) Provinsi maupun anggaran yang
yang sudah dibentuk, hal ini melekat pada tupoksi instansi
diindikasikan dengan tidak adanya pokja.
kegiatan pencegahan HIV AIDS
b. Penelitian juga menunjukan bahwa
yang dilekatkan kepada anggaran
secara kelembagaan Komisi
instansi pokja. Lemahnya motivasi
Penanggulangan AIDS Provinsi
bersama akan mempengaruhi
yang dibentuk melalui Pergub
lingkup berikutnya yaitu kapasitas
Nomor 231 Tahun 2015
melakukan aksi bersama. Hasil
berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun
penelitian menunjukkan bahwa
2008 belum efektif mendorong
KPA Provinsi, Dinas Kesehatan,
tata kelola kolaboratif antara
LSM dan Masyarakat telah
Pemerintah, LSM, dan Masyarakat.
melaksanakan program
pencegahan HIV AIDS sesuai Saran
dengan kapasitasnya masing-
masing. 1. KPA Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan
asistensi dan advokasi ke setiap instansi /
b. Kegiatan pencegahan HIV AIDS pokja sehingga terbentuk komitmen yang
pada Lembaga Swadaya sama untuk melakukan pencegahan HIV
Masyarakat masih terbatas melalui AIDS sesuai dengan tupoksi masing-
program bantuan dari donor luar masing.
negeri seperti Global Funds dan 2. Perlunya meningkatkan keterlibatan dan
Linkages, sehingga hal ini dapat peran serta masyarakat terutama melalui
mempengaruhi dinamika KPA Provinsi sehingga dapat dilibatkan
kolaborasi apabila bantuan dalam pengambilan kebijakan, karena
tersebut berhenti. Selain itu, sejauh ini peran masyarakat hanya
keterlibatan masyarakat melalui sebagai kader di lingkungan, selain itu
Warga Peduli AIDS (WPA) dalam pihak pemerintah agar membantu LSM
proses tata kelola kolaboratif untuk dapat mengakses sumber daya
masih memiliki keterbatasan, pendanaan untuk pencegahan HIV AIDS
karena peran WPA masih terbatas melalui dana hibah dari Pemerintah
sebagai kader di lingkungannya Provinsi DKI Jakarta sehingga program
dan belum dilibatkan dalam proses
pengambilan kebijakan.

15
pencegahan HIV AIDS dapat dilakukan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI
secara berkesinambungan. Jakarta. (2017). Paparan: Program
3. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Penanggulangan HIV dan AIDS Serta Situasi
perlu mensosialisasikan dan
Epidemi HIV dan AIDS di DKI Jakarta.
mensinergikan Strategi dan Rencana Aksi
Provinsi kepada seluruh aktor sebagai Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi DKI
alat untuk memberikan sinergitas dan Jakarta.
mengikat komitmen seluruh aktor dalam
pencegahan HIV AIDS di Provinsi DKI Lexy, J. Moleong. (2005). Metodologi
Jakarta. Penelitian Kualitatif. Bandung:
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut Remaja Rosdakarya.
terkait dampak tata kelola kolaboratif
dalam pencegahan HIV AIDS melalui Mayer, Kenneth H dan Hank F. Pizer. (2009).
pemerintah, LSM, dan Masyarakat. HIV Prevention : a Comprehensive
Approach. London:Academic Press.

DAFTAR PUSTAKA Osborne, Stephen. P. (2010). The New Public


Governance ? Emerging
Ansell, Chris dan Alison Gash. (2007). Perspective on the Theory and
Collaborative Governance in Theory and Practice of Public Governance,
Practice, Journal of Public Administratiom New York:Routledge.
Research and Theory, Advance Access
World Health Organization. (2017). Kajian
Published, 18: 543 – 571, November 13. Nasional Respon HIV di Bidang
Kesehatan Republik Indonesia.
Australian Aid. (2015). Kebijakan HIV-AIDS dan
Laporan WHO untuk Indonesia.
Sistem Kesehatan di Indonesia. Hasil
penelitian kerjasama Australian Aid Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor
dengan Pusat Kebijakan dan Manajemen 5 Tahun 2008 Tentang
Kesehatan Fakultas Kedokteran UGM. Penanggulangan HIV/AIDS di
Provinsi DKI Jakarta
Emerson, Kirk dan Tina Nabatchi. (2015).
Collaborative Governance Regimes. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
Washington DC : Georgetown University Nomor 26 Tahun 2012 tentang
Komisi Penanggulangan AIDS
Press.
Provinsi dan Kota/Kabupaten
Administrasi
Emerson, Kirk, Tina Nabatchi dan Stephen
Balogh. (2012). An Integrative Framework
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta
for Collaborative Governance. Journal of Nomor 231 Tahun 2015 tentang
Public Administration Research and Komisi Penanggulangan AIDS
Theory, May, Vol. 22:1-29. Provinsi dan Kota/Kabupaten
Administrasi
Gabrielian, Vatche. (1999). Qualitative
Research Methods: An Overview dalam Keputusan Wakil Gubernur Provinsi DKI
Gerald J. Miller & Marcia L. Whicker. Jakarta selaku Ketua Komisi
Handbook of Research Methods in Public Penanggulangan AIDS Provinsi DKI
Jakarta Nomor 62/KPAP-
Administration, New York:Marcel Dekker.
DKI/VIII/07 tentang Penetapan
167-2015. Kelompok Kerja (Pokja) Program
Penanggulangan HIV/AIDS di
Provinsi DKI Jakarta.

16
17

You might also like