Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 5

Vol. 4 No.

2 2023 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies

Penafsiran Ayat Mukjizat dengan Pendekatan Rasional


Interpretation of Mukjizat Verses with a Rational
Approach
Muhammad Fadhlurrohman, Fajar Subhan, Fachirotu Mina
UIN KH. Abdurrahman Wahid Pekalongan
fadhlu48@gmail.com, fajarsubhannurlathfal@gmail.com, fachirotumina@gmail.com

Abstract
There are many books of interpretations of the Quran that have been
published, each translator has his own style and method in understanding
the verses of the Quran, so that each product of a book of interpretation is
different from other books of interpretation. Maulana Muhammad Ali tried to
interpret the verses of the Quran in a different way from previous interpreters,
namely more rationally, especially in interpreting the Mutasyabih verses. Even
though there were previous mufasir who interpreted the Quran rationally,
such as his teachers Muhammad Abduh and Rasyid Ridha, Maulana
Muhammad Ali was more rational, even more rational, than the Muktazilah.
Here the author tries to explore the interpretation of Maulana Muhammad Ali
in The Holy Quran. This research uses library research, namely studying the
interpretations of Maulana Muhammad Ali in his book of tafsir. The author
also compares it with previous and subsequent mufasir to get a complete
picture of the method developed by Maulana Muhammad Ali in interpreting
the verses of the Quran, whether it makes more sense than the Muktazilah or is
the same as the interpretation developed by the Muktazilah. The research
results show that Maulana Muhammad Ali is more reasonable in interpreting
miracle verses compared to other interpreters.

Keyword: Mukjizat, Muktazilah, Mutasyabih, rational, interpretation

Abstrak
Banyak sekali kitab-kitab tafsir Al-Quran yang telah diterbitkan, setiap
penerjemah mempunyai gaya dan metode tersendiri dalam memahami ayat-
ayat Al-Quran, sehingga setiap produk suatu kitab tafsir berbeda dengan
kitab tafsir lainnya. Maulana Muhammad Ali mencoba menafsirkan ayat-ayat
Al-Quran dengan cara yang berbeda dari para mufasir terdahulu, yaitu lebih
rasional, terutama dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabih. Meski ada
mufasir terdahulu yang menafsirkan Al-Quran secara rasional, seperti
gurunya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, namun Maulana Muhammad
Ali lebih rasional, bahkan lebih rasional, dibandingkan Muktazilah. Di sini
penulis mencoba mendalami penafsiran Maulana Muhammad Ali dalam The
Holy Quran. Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan yaitu
mempelajari tafsir Maulana Muhammad Ali dalam kitab tafsirnya. Penulis
juga membandingkannya dengan para mufasir terdahulu dan sesudahnya
untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai metode yang dikembangkan
oleh Maulana Muhammad Ali dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, apakah
lebih masuk akal dibandingkan Muktazilah atau sama dengan tafsir yang
dikembangkan oleh Muktazilah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Maulana Muhammad Ali lebih masuk akal dalam menafsirkan ayat-ayat
mukjizat dibandingkan dengan penafsir lainnya.

Interpretation of Mukjizat Verses with a Rational.. |1


Vol. 4 No. 2 2023 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies

Kata kunci: Mukjizat, Muktazilah, Mutasyabih, rasional, penafsiran

A. PENDAHULUAN
Penelitian ini didasarkan pada prinsip interpretasi penelitian kesembilan
Sir Ahmad Khan (1817-1898) dalam Alquran. Dikatakan bahwa dalam Al-
Quran tidak ada satu pun firman Tuhan yang bertentangan dengan ciptaan
Tuhan. Sebab Al-Quran sebagai firman Tuhan tidak mungkin melanggar
hukum alam ciptaan-Nya. Harmoni di antara keduanya sangat penting. Jika
firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Quran tidak bisa
disebut firman Tuhan yang suci.

Prinsip penafsiran Ahmad Khan ini membawa pada kesimpulan bahwa


tidak ada sesuatu pun dalam Al-Quran yang bertentangan dengan hukum
alam dan akal. Menurut prinsip ini, Ahmad Khan menolak terhadap sesuatu
yang bersifat supranatural dalam Al-Quran layaknya penjelasan mukjizat
para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw. Sir Ahmad Khan
mengadopsi pandangan Ibn Rusyd bahwa kebenaran menurut akal tidak
boleh bertentangan dengan kebenaran menurut wahyu. Jika terdapat
pertentangan di antara keduanya, maka wahyu harus dipahami secara
metaforis.(Amal, 2004)

Menurut Sir Ahmad Khan, Rashid Ridha (1865-1935) mengatakan


bahwa Al-Quran tidak pernah bertentangan dengan akal, sehingga ia dengan
tegas mengingkari semua mukjizat Nabi Muhammad SAW, kecuali Al-Quran.
(‘Iyazi, n.d.) Dia menolak hadis -meskipun sahih- yang menjelaskan mukjizat
Nabi Muhammad SAW, kecuali Al-Quran. Penolakan tersebut karena
mukjizat selain Al-Quran tidak sesuai dengan akal, bahkan jika ia menerima
hadis yang menjelaskan mukjizat, ia menafsirkannya melalui takwil agar
sesuai dengan akal.(Salih, 2003)

B. PEMBAHASAN
Penafsiran Maulana Muhammad Ali sangat berbeda dengan pandangan
Quraish Shihab (1944) tentang mukjizat, beliau mengatakan bahwa mukjizat
menurut definisi para ulama adalah peristiwa “luar biasa” yang berasal dari
seseorang yang mengaku sebagai nabi sebagai bukti kenabiannya. sebagai
tantangan bagi orang-orang yang meragukannya, dan orang yang tertantang
tidak dapat menandingi besarnya keajaiban tersebut. Yang dimaksud dengan
peristiwa luar biasa adalah sesuatu yang berada di luar nalar sebab akibat
yang terjadi secara normal, atau yang wajar menurut sudut pandang
manusia. Quraish Shihab juga menyatakan hal ini secara umum Mukjizat
dapat dibedakan menjadi dua kategori utama, yaitu mukjizat yang inderawi
dan tidak kekal, serta mukjizat immaterial yang bersifat logis dan dapat
dibuktikan seiring berjalannya waktu. Mukjizat-mukjizat yang dilakukan
nabi-nabi sebelumnya semuanya merupakan mukjizat jenis pertama.
Mukjizat-mukjizat yang mereka lakukan bersifat material dan inderawi di

Interpretation of Mukjizat Verses with a Rational.. |2


Vol. 4 No. 2 2023 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies

mana masyarakat Nabi setempat dapat melihat atau menjangkau mereka


secara langsung melalui indera.(Shihab, 1998)
Hal serupa juga diungkapkan Said Aqil Al-Munawar Mukjizat terbagi
menjadi dua bagian, yaitu mukjizat hissi (material dan inderawi) dan
mukjizat ma'nawi (immaterial dan logis), mukjizat kedua sifatnya abadi,
sedangkan mukjizat pertama bersifat sementara.(Al-Munawar, 2002)
Menariknya, Syahrur menilai mukjizat para nabi sebelum Nabi seperti
terbakarnya Nabi Ibrahim merupakan fakta yang tidak bisa dibantah.
Menurutnya, mukjizat para nabi tidak bertentangan dengan akal dan hukum
alam, melainkan merupakan lompatan hukum alam dari kemajuan bidang
inderawi, sebuah fenomena alam yang ketika mukjizat terungkap melampaui
akal.(Syahrur, 1992)

Keengganan Maulana Muhammad Ali mengakui terjadinya mukjizat yang


bersifat material inderawi dapat dibuktikan dalam menafsirkan Alquran
surah al-Anbiya: 21: 69 yang berarti “Kami berfirman: "Hai api menjadi
dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", menurut Muhammad
Ali, Alquran sama sekali tidak menyebutkan secara konkret bahwa Nabi
Ibrahim as dilempar dan dibakar dalam kobaran api, sehingga Allah
menginstruksikan kepada api agar tidak membakar Nabi Ibrahim.

Dalam Alquran surah al-Ankabut: 29: 24: “Maka tidak adalah jawaban
kaum Ibrahim, selain mengatakan: "Bunuhlah atau bakarlah dia", lalu Allah
menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang
beriman.”. Ayat ini menjelaskan bahwa kaum Nabi Ibrahim memvonis untuk
membunuhnya atau membakarnya, dan Allah menyelamatkan dari kobaran
api itu. Akan tetapi dalam ayat tersebut, tidak terdapat redaksi ayat yang
secara konkret menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim dibakar.
Dalam Alquran Surah al-Anbiya: 21: 70 : “Mereka hendak berbuat makar
terhadap Ibrahim, Maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang
paling merugi. Diceritakan bahwa kaum Nabi Ibrahim as hendak
memperdaya Nabi Ibrahim akan tetapi Allah menggagalkannya, dan Maulana
Muhammd Ali melanjutkan pada Alquran surah al-Saffat: 37: 98 : “Mereka
hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, Maka Kami jadikan mereka
orang-orang yang hina.”.

Mengacu pada Alquran surah al-Anbiya: 21: 71 : “Dan Kami selamatkan


Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk
sekalian manusia.” Dijelaskan bahwa Allah swt menyelamatkan Nabi Ibrahim
dari makar mereka dan mereka pun mengalami kehinaan, sedangkan Nabi
Ibrahim dan anak saudaranya, Luth hijrah ke negara yang aman yaitu
Palestina atau Syam.
Ayat-ayat tersebut di atas bersifat otoritatif dan argumentatif yang
menginformasikan bahwa Nabi Ibrahim tidak dibakar, seperti yang diyakini
sebagian besar mufasir dan kalangan muslim lainnya. Menurutnya, ayat yang
menjelaskan bahwa Allah SWT menyelamatkan Nabi Ibrahim as dari api
adalah dengan menyelamatkannya dari kejahatan kaumnya dengan

Interpretation of Mukjizat Verses with a Rational.. |3


Vol. 4 No. 2 2023 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies

menyuruh mereka hijrah ke negeri lain, sebagaimana Allah menyelamatkan


Nabi Muhammad SAW dari kejahatan kaum musyrik Mekkah, menyuruhnya
pindah ke Ethiopia dan Yatsrib.(Ismail, 2016)
Ibnu Asyur mengemukakan bahwa peristiwa itu adalah mukjizat yang
dimiliki Nabi Ibrahim as sebagai bukti bahwa Allah Maha Kuasa. QS. al
Anbiya: 21 : 69: “Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi
keselamatanlah bagi Ibrahim", menjelaskan peristiwa luar biasa di mana
Allah menunjukkan kekuasaan-Nya kepada kaum Ibrahim yang menolak
beriman. Allah menyelamatkan Ibrahim dengan cara menghilangkan potensi
panas dan daya nyala api, menjadi penyelamat (bardan wa salaman) atau
menutupi tubuh Ibrahim dengan sesuatu yang dapat menyerap panas dan
menjaga api tetap dingin.(Asyur, n.d.)

Kedua pemahaman Ibnu Asyur ini memiliki dua persepsi pemahaman


yang berbeda dari ayat “ya naru kuni bardan wa salaman ‘ala Ibrahim”. Jika
kalimat ini diambil sebagai kalimat nyata dan bukan metafora, maka akan
membawa pada pemahaman bahwa Tuhan menghilangkan potensi panas
dan daya membara api. Jika diartikan majaz isti'arah maka dapat diartikan
bahwa ada pelindung pada diri Ibrahim yang mampu menahan panasnya
dalam api ketika tubuh Ibrahim bersentuhan dengan api. Pada saat yang
sama, penambahan kata “salaman” mempunyai efek menghambat
pergerakan api yang dingin, karena tak jarang hawa dingin juga membawa
dampak buruk bagi seseorang. Pendapat ini dikuatkan dengan perkataan
Ibnu Abbas: “Seandainya Allah tidak menambahkan kata salaman setelah
bardan, niscaya Ibrahim akan mengalami musibah kedinginan.”.(Ismail,
2016)

C. SIMPULAN
Maulana Muhammad Ali menafsirkan Al-Quran secara berbeda yang
telah dibangun oleh para mufasir terdahulu seperti Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha yang juga berpikir rasional, meski tidak serasional Maulana
Muhammad Ali. Tafsir yang dikembangkan oleh Maulana Muhammad Ali
juga mendapat kritik dari para mufasir setelahnya, seperti Muhammad
Quraish Shihab yang lebih ideologis atau para ahli tafsir lain yang
menggunakan tafsir bi al-ma'thur, sedangkan Maulana Muhammad Ali lebih
memilih bi al-ra'yi.

Perbedaan penafsiran Al-Quran ini sudah ada sejak turunnya Al-Quran


kepada Nabi, namun penafsiran Al-Quran tidak boleh menyimpang dari
kaidah yang diajarkan Nabi kepada para Sahabat Nabi, sekalipun mereka
menafsirkan ayat Al-Quran secara berbeda. Mereka tetap harus mengikuti
apa yang ditetapkan oleh para mufasir sebelumnya. Sehingga ketika
menafsirkan akal, wahyu dan akal dapat digunakan secara bersamaan, tanpa
mengutamakan salah satunya.

Interpretation of Mukjizat Verses with a Rational.. |4


Vol. 4 No. 2 2023 AQWAL: Journal of Qur’an and Hadis Studies

DAFTAR BACAAN

‘Iyazi, M. A. (n.d.). Al-Mufassirin; Hayatuhum wa Manahijuhum. Muassisha.


Al-Munawar, S. A. H. (2002). Alquran Membangun Kesalehan Hakiki. Ciputat
Press.
Amal, T. A. (2004). Sir Ahmad Khan Bapak Tafsir Modernis. Teraju.
Asyur, I. (n.d.). at-Tahrir wa at-Tanwir Jilid 8. Dar Suhnun.
Ismail, M. S. (2016). Rasionalisasi Tafsir Ayat-ayat Mukjizat. Nur El-Islam,
3(2).
Salih, ‘Abdul Qadir Muhammad. (2003). Al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-‘Asr
al-Hadith. Dar al-Ma’rifah.
Shihab, Q. (1998). Mukjizat Alquran; Ditinjau dari Aspek Kebahasan, Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan yang Ghaib. Mizan.
Syahrur, M. (1992). al-Kitab wa Alquran. Al-Ahalli.

Interpretation of Mukjizat Verses with a Rational.. |5

You might also like