Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 106

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.

11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

i
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis


Volume 2 Nomor 11 (November 2021)
Tema Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)

Pemimpin : Ivan Drago, S.H.


Supervisor : Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H.
Editorial : Dian Ayu Nurul Muthoharoh, S.H.
Andriani Larasati, S.H.
Okta Zeruya Samdra Pandapotan, S.H.
Desain : Jacky Leonardo
Tata Letak : Ruth Hasiana Menda Nainggolan
Mitra Bestari : Linda Dewi Rahayu, S.H.
Kontributor : Erdianto dkk.
Moch. Daffa Syahrizal
Nabila Aulia Rahma dkk.
Rizki Zakariya
Syanindita Nirna Ingtias dkk.

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis


Klinik Hukum Rewang Rencang
Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142
Telp: 087777844417
Email: jhlg@rewangrencang.com
Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya
(Citation is permitted with acknowledgement of the source)

ii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DISTRIBUTION PARTNERS
Official Partners

IPMHI KRD FH UMM FOSIL FH USU


Rep: Isti Latifah Astri Rep: Bayu Aji Satria Rep: Friska Nadia Ananda
(About Partner) (About Partner) (About Partner)

KPJ FH UR PUKASH FH UMM KSHI FH UNDIP


Rep: Rifqi Anugrah Tama Rep: Muhammad Raihan Iman Rep: Norma Lathifatunnisa
(About Partner) (About Partner) (About Partner)

FK2H FH UNEJ KSPD “Verfassung” FH UMS LKHI FSH UIN SUSKA


Rep: Vicko Taniady Rep: Anis Khairiyah Rep: Mhd. Jundi Zia Ulhaq
(About Partner) (About Partner) (About Partner)

FKPH FH UB LIMTARA FH UNTIRTA LRD FSH UINWS


Rep: Lintang Rachmi A. Rep: Azi Ferdinandi Kusnandi Rep: Adinda Agis F. C.
(About Partner) (About Partner) (About Partner)

FKPH FH UNMER FKPH FH UII FRDM UPNVJ


Rep: Florensia Aprinda Rep: Mawlana Wasik Rep: Ratna Sumirat
(About Partner) (About Partner) (About Partner)

FKPH FH UNIMAL LEGACY IAIN Tulungagung KSH FH UNPAD


Rep: Alil Rep: Mizza Faridatul Anifah Rep: Muzhaffar
(About Partner) (About Partner) (About Partner)

iii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

LP2KI FH UNHAS ATLAS FH UNTAD MAKASIH PMH UIN JKT


Rep: Fitrah Marinda Rep: Annisa Rep: Siwa
(About Partner) (About Partner) (About Partner)

Individual Partners
1. Monique Alya Sutanto (Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)

iv
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR ISI

Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra


Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau ............980

Moch. Daffa Syahrizal


Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi
Gas Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh
Nomor 7/G/Lh/2019/PTUN.BNA .......................................................................995

Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati


Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan
Gas Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia ............................................ 1017

Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan
Satwa Liar ....................................................................................................... 1039

Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri


Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi
Tindak Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung ................................ 1059

v
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

JHLG kali ini membahas mengenai Hukum Lingkungan. Lingkungan


merupakan unsur yang essensial bagi keberlanjutan Umat Manusia dan Makhluk
Hidup lainnya. Lingkungan memberi kita kualitas udara, makanan, serta tempat
hidup yang baik. Karena itu menjaganya merupakan tanggung jawab bersama.
Dalam jurnal kali ini Tanggung Jawab Bersama ini akan dibahas lebih lanjut oleh
penulis-penulis dengan ide terbaik yang tentunya telah direview terlebih dahulu
oleh reviewer Jurnal Hukum Lex Generalis. Semoga apa yang disajikan relevan,
dan dapat memberi masukan positif bagi para pembaca.

Malang, 25 November 2021

Ivan Drago, S.H.


CEO Rewang Rencang

vi
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan


masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang :
Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami
terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum.
Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:
1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum;
2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;
3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum;
4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;
5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia.
Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan
ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih
banyak kepada para pihak yang telah mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis
yang terbit pada bulan November 2021 bertema “Hukum Lingkungan” dan akan
terbit setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut
hingga kesempatan berikutnya.

Kediri, 4 November 2021

Dian Ayu Nurul M., S.H.


Dewan Editorial RR : JHLG

vii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Undangan untuk Berkontribusi


Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang
para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum
untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan
segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan
tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses:
Https://jhlg.rewangrencang.com/

viii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

MODEL PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENEBANGAN HUTAN


MANGROVE MELALUI HUKUM ADAT DI KECAMATAN MANDAH
KABUPATEN INDRAGIRI HILIR PROVINSI RIAU
LAW SETTLEMENT MODEL OF MANGROVE FOREST CLEARING
CRIMINAL ACTIONS IN MANDAH, INDRAGIRI HILIR DISTRICT RIAU
PROVINCE
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra

Fakultas Hukum Universitas Riau

Korespondensi Penulis : imamalianip1201@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra. Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove Melalui Hukum Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).

ABSTRAK
Hutan Mangrove berperan dalam menjaga dan melestarikan kehidupan flora dan
fauna yang hidup di pantai. Tindak pidana penebangan hutan Mangrove yang
terjadi di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir ini kerap dilakukan oleh
masyarakat setempat secara berkala dan ilegal. Metode yang digunakan dalam
penulisan ini berupa yuridis-sosiologis. Penyelesaian tindak pidana penebangan
hutan Mangrove di Mandah ini biasanya diselesaikan dengan diterapkannya
hukum adat, karena Mandah merupakan daerah terpencil yang jauh dari akses ke
peradilan formal, dengan biaya yang tinggi (alat transportasi menggunakan
transportasi laut) serta terbatasnya jangkauan layanan kepolisian menjadikan
hukum adat lebih efektif digunakan dibanding hukum formal.
Kata Kunci: Hukum Adat, Penebangan Hutan Bakau Ilegal, Tindak Pidana

ABSTRACT
Mangrove forests play a role in maintaining and preserving the life of flora and
fauna that live on the coast. The crime of cutting down Mangrove forests in
Mandah Sub-district, Indragiri Hilir Regency, is often carried out by the local
community on a regular basis and illegally. The method used in this writing is
juridical-sociological. The settlement of the criminal act of logging Mangrove
forests in Mandah is usually resolved by the application of customary law,
because Mandah is a remote area far from access to formal justice, with high
costs (means of transportation using sea transportation) and limited reach of
police services to make customary law more effective. used instead of formal law.
Keywords: Adat Law, Mangrove Forest Illegal Logging, Criminal Act

980
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

A. PENDAHULUAN
Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah ekosistem hutan
Mangrove. Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai
produk dari Mangrove dapat dihasilkan seperti kayu bakar, bahan bangunan,
keperluan rumah tangga, kertas, obat-obatan dan untuk sektor perikanan.1
Indonesia pada saat ini terjadi peningkatan hilangnya sumber daya Mangrove
yang disebabkan oleh adanya penebangan hutan Mangrove yang secara mayoritas
dilakukan oleh masyarakat setempat secara illegal. Data perkiraan luas areal
Mangrove di Indonesia sangat beragam sehingga sulit untuk mengetahui secara
pasti seberapa besar penurunan luas areal Mangrove tersebut.2
Indragiri Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Riau yang
memiliki jumlah ekosistem hutan Mangrove yang cukup luas. Berdasarkan data
Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, luas hutan Mangrove telah mengalami
kekurangan dari tahun ke tahunnya. Data dari Dinas Kehutanan Kabupaten
Indragiri Hilir tahun 2006 menyebutkan bahwa luas hutan Mangrove Kabupaten
Indragiri Hilir sebesar 121.535,31 Ha. Kemudian data dari Bakosurtanal (Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) menyebutkan luasan Mangrove
Kabupaten Indragiri Hilir pada tahun 2009 sebesar 120.895,898 Ha. Pada tahun
2013 menurut data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir, luas hutan
Mangrove tersebut berkurang hingga tersisa 104.023 Ha.3 Data terakhir,
wilayah hutan Mangrove pada 2020 sekitar 63.534,01 Ha.4 Kecamatan yang
memiliki hutan Mangrove terbanyak di Kabupaten Indragiri Hilir yaitu
Kecamatan Mandah dengan luas hutan Mangrove sebesar 31.007 Ha, sehingga
memiliki potensi besar mengalami kerusakan akibat pemanfaatan yang dilakukan
secara berlebihan (Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir 2013).5

1
Nurhenu Karuniastuti, Peranan Hutan Mangrove Bagi Lingkungan Hidup, Jurnal Forum
Manajemen, Vol.6, No.1 (Januari 2015), p.1.
2
Y. Rusila Noor, Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Penerbit Remaja
Rosdakarya, Bogor, 1999, p.101.
3
Yudha Saktian Syafruddin, Pemetaan Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan Mandah
Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau, Jurnal Geografi, Vol.1, No.5 (Mei 2013), p.2.
4
Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Informasi Kehutanan, diakses
dari https://dpmptsp.inhilkab.go.id/kehutanan, diakses pada 7 Juli 2020, jam 21.00 WIB.
5
Yudha Saktian Syafruddin, Op.Cit..

981
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Tindak pidana penebangan hutan Mangrove yang terjadi di Kecamatan


Mandah Kabupaten Indragiri Hilir ini kerap dilakukan oleh masyarakat setempat
secara berkala dan illegal. Pengeksploitasian hutan Mangrove saat ini sudah
sangat mengkhawatirkan dan merusak fungsi alamiah dari ekosistem Mangrove
tersebut.6 Ditinjau dari ketentuan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sudah
ditegaskan bagi setiap orang yang menebang pohon secara ilegal akan dikenakan
sanksi pidana yakni sebagai berikut:
a. Orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a;
b. Orang perseorangan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b; dan/atau
c. Orang perseorangan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c;
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00 (dua miliar
lima ratus juta rupiah).
Penegakan hukum dalam lingkungan hidup atas penerapan sanksi
administrasi, perdata maupun pidana dapat dibagi dalam dua macam persepsi.
Dalam penempatan hukum pidana di atas hukum lain dimana penegakan hukum
pidana berada pada garis terdepan sebagai Premium Remedium. Sedangkan
apabila penegakan hukum pidana berada di belakang hukum administrasi maupun
perdata, maka penegakan hukum pidana dianggap sebagai Ultimum Remedium.7
Pengaturan hukum terkait tindak pidana penebangan hutan sudah dibentuk dan
wajib untuk ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun dalam
pelaksanaannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan ketika terjadi tindak pidana penebangan hutan Mangrove yang
dilakukan oleh masyarakat setempat secara ilegal di Kecamatan Mandah ini
penerapan hukum positif tidak berjalan efektif dan akses menuju lembaga
peradilan formal di nilai cukup sulit sehingga mengakibatkan terabaikannya
ketentuan hukum positif di masyarakat.

6
Yudha Saktian Syafruddin, Op.Cit..
7
Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup, Penerbit Gramata Publishing, Bekasi, 2014, p.47.

982
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

Pada kasus tindak pidana yang diselesaikan secara adat, pada dasarnya
masyarakat tidak boleh secara eksklusif bergantung pada pengadilan untuk
penyelesaian sengketa dan prosedur tidak menghakimi lainnya mungkin lebih
murah, lebih cepat, tidak mengintimidasi, lebih sensitif terhadap masalah pihak
yang bersengketa dan lebih responsif terhadap masalah mendasar.8 Dalam banyak
perkara yang diselesaikan menurut sistem hukum adat, terdapat pula dua
kemungkinan. Pertama, penyelesaian hukum adat yang dilakukan masyarakat
diakui dan dilegalisasi oleh hukum negara melalui pengadilan. Kedua, perkara
dianggap selesai dan hukum negara tidak menyentuh perkara tersebut.9
Keberadaan hukum adat diakui eksistensinya oleh Negara. Hal ini
termaktub dalam Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1)
UUD NRI 1945. Penegakan hukum adat terkait perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup oleh Pemerintah Provinsi Riau diatur dalam Pasal 7 Peraturan
Daerah Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Masyarakat Hukum Adat menurut Pasal 1 angka 33 Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014,
yaitu sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu di NKRI karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan
yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan paparan latar belakang di
atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyelesaian melalui hukum adat terhadap tindak pidana
penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri
Hilir Provinsi Riau?
2. Bagaimana pengaruh hukum adat dalam menyelesaikan tindak pidana
penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri
Hilir Provinsi Riau?

8
Robin C. Larner, Overview of Alternative Dispute Resolution Introduction, Jurnal
Westlaw, Vol.2, No.15 (Juli 2018), p.16.
9
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Adat, Refika Aditama, Bandung, 2018, p.25.

983
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

B. PEMBAHASAN
1. Proses Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di
Kecamatan Mandah Kabupten Indragiri Hilir Provinsi Riau
Penelitian dalam tulisan ini berfokus pada proses penyelesaian tindak
pidana penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah melalui upaya
penyelesaian hukum adat atau hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem
peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan
hukum ke arah jalur lambat.10 Tindak pidana penebangan hutan atau pembalakan
hutan ini sudah jelas diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Tindak
pidana penebangan hutan bagi pelaku tindak pidana merupakan sebuah kejahatan
yang memiliki dampak negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya dan kejahatan bagi masyarakat di sekitar Kecamatan Mandah pada
konteks yang lebih khusus.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat
Kecamatan Mandah, didapatkan hasil bahwa masyarakat di Kecamatan Mandah
sering melakukan penebangan atau pengambilan kayu Mangrove dengan jumlah
yang sedikit, namun dilakukan secara berkala.11 Hal ini dilakukan guna untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat seperti untuk pembangunan rumah karena
disana tergolong wilayah pesisir pantai sehingga membutuhkan kayu yang benar-
benar kokoh dan kuat dan dirasa kayu Mangrove atau bakau inilah yang cocok
sebagai bahan bangunan di sana. Selain untuk bahan bangunan, kayu Mangrove
juga digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahan obat-obatan, keperluan
rumah tangga serta untuk sektor perikanan.
Penebangan hutan Mangrove tergolong dalam perbuatan tindak pidana
karena dinilai merugikan seluruh lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat
setempat di Kecamatan Mandah maupun Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir.

10
Henny Saida Flora, Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian Tindak
Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum Ubelaj,
Vol.3, No.2 (Oktober 2018), p.144.
11
Wawancara dengan Sadam, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.

984
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

Menurut warga setempat, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kapal dengan
kapasitas 5 ton tidak bisa melewati parit (sungai) yang berada di sekitar area
pesisir. Parit kini menyempit dan kedalamannya pun semakin berkurang sehingga
kapal tidak bisa lagi masuk hingga ke dalam kebun kelapa. 12 Salah seorang tokoh
warga Mandah, Zainudin, mengungkapkan apa yang sekarang dirasakannya
seperti banjir yang semakin melebar, perkebunan kelapa tergenang air laut, yang
mana hal itu terjadi tidak lain karena eksploitasi hutan Mangrove.13
Rata-rata hutan Mangrove di Mandah telah mengalami kerusakan.
Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh penebangan pohon
Mangrove yang berdiameter 10 sentimeter atau yang biasa disebut dengan kayu
teki untuk kebutuhan pondasi hampir seluruh bangunan di Mandah Indragiri
Hilir.14 Daerah daratan di Mandah Indragiri Hilir merupakan rawa, gambut dan
hutan payau. Untuk membangun rumah atau bangunan lain harus menggunakan
sistem pancang (cerucuk). Rata-rata bahan cerucuk itu berasal dari kayu bakau
atau teki (Mangrove). Kayu ini dinilai paling kuat untuk dasar bangunan.
Kayunya itu diambil dari hutan Mangrove yang ada disana.15
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan Kepala Kepolisian
Sektor (Kapolsek) Mandah, menyatakan bahwa sering terjadi bentuk perbuatan
tindak pidana penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah. Namun untuk
jumlah kasus yang ditangani oleh Kepolisian Sektor Mandah tentang tindak
pidana khusus ini belum ada dikarenakan Kepolisian Sektor Mandah berfokus
pada penyelesaian kasus-kasus konvensional yang hanya diatur oleh KUHP
seperti pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, KDRT dan lain sebagainya. 16

12
Wawancara dengan Azmi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
13
Wawancara dengan Zainudin, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
14
Wawancara dengan Doni, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
15
Wawancara dengan Susi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
16
Wawancara dengan IPTU Hendri Berson, Kepala Kepolisian Sektor Mandah, Model
Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di
Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.

985
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Namun, untuk jalur penyelesaian kasus tindak pidana penebangan hutan


Mangrove yang terjadi di Kecamatan Mandah ini lebih mengarah untuk
diselesaikan melalui jalur non litigasi atau penyelesaian oleh hukum yang
berlaku di masyarakat Mandah itu sendiri, ujar IPTU Hendri Berson (Kepala
Kepolisian Sektor Mandah).
Prosesi “Bertih Pisang” merupakan salah satu dari sekian banyak ritual
yang dilakukan oleh lembaga peradilan adat atau tokoh masyarakat dalam
menyelesaikan setiap konflik yang terjadi di tengah masyarakat Mandah. Putusan
yang dihasilkan melalui mekanisme musyawarah merupakan upaya alternatif
dalam mencari jalan keluar guna memecahkan persoalan yang terjadi dalam
masyarakat. Masyarakat Desa Mandah cenderung menyelesaikan sengketa
melalui prosesi Bertih Pisang. Prosesi ini diakui efektif dalam penyelesaian
pertikaian atau sengketa. Sekaligus untuk menghilangkan perasaan dendam.17
Menurut warga masyarakat Mandah, Prosesi Bertih Pisang ini diakui
efektif dalam penyelesaian pertikaian atau sengketa, karena masyarakat sangat
patuh dan menghormati pemuka adat dan pemuka agama yang menjadi mediator,
para pihak juga tidak berani membantah apa yang telah disepakati. Mekanisme
adat Bertih Pisang ini juga mampu menghilangkan perasaan dendam di antara
para pihak yang berperkara.18 Penulis menarik kesimpulan bahwasanya hukum
positif tidak serta merta selalu menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan
suatu perkara. Sejatinya, hukum pidana sebagai “Ultimum Remedium” harus
selalu diterapkan selagi masih ada langkah awal dalam menyelesaikan suatu
perkara, seperti dengan diterapkannya hukum adat ini. Hukum pidana dan
hukum adat memiliki tujuan yang sama yakni memberikan pedoman bagi setiap
orang dalam berperilaku. Oleh karena adanya kesatuan tujuan inilah, keduanya
dapat bergerak secara berdampingan.

17
Wawancara dengan Syamsuri Latief, Ketua LAM Mandah sekaligus Tokoh Masyarakat
Mandah, Hari Rabu, Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana
Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September
2020.
18
Wawancara dengan Effendi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.

986
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

Selain ritual Bertih Pisang, berbagai kearifan lokal mengenai pengelolaan


mangorove dapat dilihat di Kecamatan Mandah yaitu antara lain melalui ritual
“Bele Kampong”, yakni ritual tahunan yang di dalamnya diselingi dengan
kegiatan penanaman hutan Mangrove yang dilakukan oleh warga desa. Menurut
tokoh masyarakat kecamatan Mandah, untuk mempertahankan dan melestarikan
hutan Mangrove dan fauna yang terdapat di sekitarnya, maka dibuatlah aturan
terkait tata cara dalam mengambil manfaat sumber daya alam di sekitar kawasan
hutan Mangrove. Aturan tersebut dapat terlihat pada tabel berikut ini:19
No. Jenis Aturan / Kearifan Lokal
1. Mangrove yang dapat ditebang adalah Mangrove dengan
diameter 6 inci
2. Tidak dibenarkan menangkap udang, kepiting, ikan dengan
menggunakan racun atau obat bius
3. Melakukan pembibitan Mangrove secara berkelompok
4. Melakukan penanaman Mangrove secara berkelompok untuk
jangka waktu tertentu. Misalnya saat melakukan ritual bele
kampung
5. Menetapkan zonasi konservasi
6. Melakukan tebang pilih dan penyulaman terhadap bakau
7. Melakukan penyadaran, dalam bentuk sosialisasi terkait dengan
bahaya penebangan bakau melalui pendekatan kekeluargaan
8. Larangan menangkap kepiting yang masih kecil dan pelarangan
terhadap penangkapan kepiting betina yang sedang bertelur
9. Menanam Mangrove dan memberinya pagar pelindung
khususnya yang dekat dengan pemukiman warga
10. Adanya kewajiban melapor kepada tokoh masyarakat bagi yang
ingin melakukan penebangan atau penjarangan Mangrove
Tabel 2.1 Aturan Terkait Tata Cara Mengambil SDA di Sekitar Kawasan
Mangrove Kecamatan Mandah
Sumber: Data Primer Olahan Tahun 2021

19
May Dayanti dalam Ferawati dan Davit Rahmadan, Model Penyelesaian Perkara
Pelanggaran Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Lahan Gambut Kabupaten Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Riau Law Journal, Vol.4, No.2 (November 2020), p.256.

987
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Meskipun aturan seperti apapun yang telah dibuat oleh pemangku


kepentingan adat demi terjaminnya keseimbangan di Kecamatan Mandah untuk
pemanfaatan hutan Mangrove, terkadang tetap ditemukan pelanggaran atas aturan
yang ada seperti aturan tersebut diatas. Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap
pelaku pelanggaran aturan yang telah ditetapkan tersebut adalah dengan
menjatuhkan “dam” atau denda terhadap pelaku, dengan ketentuan jika menebang
satu pohon maka harus menanam sepuluh pohon. Selain membayar “dam” atau
denda, pelaku juga dibebankan biaya membeli perlengkapan untuk acara kegiatan
Tolak Bala.20 Ritual ini dilakukan karena Masyarakat Melayu percaya bahwa
hutan dihuni oleh mambang (roh penunggu) yang akan marah jika keseimbangan
kawasan hutan diganggu, oleh karenanya perlu dilakukan upaya pembersihan dan
pengambilan keseimbangan alam yang telah rusak.
Tahapan penyelesaian konflik menurut hukum adat Masyarakat Melayu
Mandah Indragiri Hilir adalah sebagai berikut21:
a. Pengaduan/laporan bisa diberikan secara tertulis maupun lisan ke Sri
Amanat atau Datuk Penghulu Adat (pihak Lembaga Adat Melayu). Lalu
Datuk Penghulu melakukan penggalian informasi dari pihak
pengadu/pelapor, atau orang yang diketahui mengetahui kasus
pelanggaran;
b. Penggalian informasi dari pihak lainnya atau pihak terlapor dilakukan
selang satu sampai tiga hari, kemudian pihak Lembaga Adat Melayu
(mediator) mengundang pihak terlapor untuk didengar keterangan serta
informasinya;
c. Penggalian informasi dari saksi bilamana terdapat saksi atau pihak-pihak
lain yang bisa menguatkan posisi kasus yang sedang ditangani, maka
para saksi itupun diundang untuk didengar keterangannya;
d. Langkah berikutnya adalah mempertemukan para pihak yakni pihak
pelapor maupun pihak terlapor. Dalam pertemuan ini juga bisa terjadi
tanya jawab, saling mengonfirmasi dan bahkan kadang terjadi silang
pendapat. Pada pertemuan ini ini juga dihadirkan saksi, dan saksi diminta
mengemukakan apa yang disaksikannya. Pada pertemuan ini para pihak
juga bisa menunjukkan bukti-bukti untuk memperkuat argumen mereka;
e. Jika terbukti telah terjadi pelanggaran, maka selanjutnya Datuk Penghulu
Adat menjatuhkan putusan. Isi putusan berupa penetapan besarnya “dam”
atau denda, penetapan waktu penyerahan/pembayaran “dam” atau denda,
serta penetapan pelaksanaan ritual Bertih Pisang, dimana segala biaya
ritual ini dibebankan pada si pelanggar.

20
Wawancara Syamsuri Latief, Ketua LAM Mandah sekaligus Tokoh Masyarakat Mandah,
Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove
di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
21
Ibid.

988
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

Sebenarnya sudah cukup banyak peraturan dan produk hukum yang terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (hutan) secara baik.
Namun harus diakui bahwa negara masih terkendala keterbatasan dalam
menyediakan keadilan secara cepat bagi anggota masyarakatnya, termasuk bagi
warga masyarakat di daerah lahan gambut Indragiri Hilir. Hal ini disebabkan oleh
karena sebagian besar lahan gambut merupakan daerah terpencil yang jauh dari
akses ke peradilan formal, biaya yang tinggi (menggunakan transportasi laut) dan
kurangnya pemahaman masyarakat mengenai peradilan formal, serta terbatasnya
jangkauan layanan kepolisian.22 Selain itu, perlu diperhatikan bahwasanya
keterlibatan masyarakat setempat dalam hal melakukan tindakan melawan hukum
dengan menebang pohon Mangrove secara ilegal disebabkan oleh faktor-faktor
seperti sektor perekonomian yang notabene nya masyarakat mendapatkan
penghasilan dari kayu Mangrove tersebut. Selain itu, sektor ekologi, sosial dan
budaya juga turut mengambil peran atas terjadinya penebangan hutan Mangrove
oleh masyarakat setempat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir ini.
2. Pengaruh Hukum Adat dalam Menyelesaikan Tindak Pidana
Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Mandah Kabupaten
Indragiri Hilir Provinsi Riau
Hukum adat merupakan salah satu penjelmaan dari kepribadian, jiwa dan
struktur masyarakat/bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat Von Savigny, yang
menyatakan bahwa isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat dan
sejarah masyarakat dimana hukum itu berlaku.23 Kepastian hukum memerlukan
ketersediaan perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional
mampu mendukung pelaksanaannya sendiri. Dalam usaha menyediakan perangkat
hukum yang memadai, prinsip-prinsip dasar berbentuk perlindungan hukum bagi
setiap aktor pengguna hukum sangatlah penting untuk diletakkan mengingat
hukum harus memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.24

22
May Dayanti dalam Ferawati dan Davit Rahmadan, Model Penyelesaian Perkara
Pelanggaran Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Lahan Gambut Kabupaten Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Riau Law Journal, Vol.4, No.2 (November 2020), p.255.
23
Eka Susylawati, Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.4, No.1 (Juni 2017), p.137.
24
Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen,
Jurnal Mimbar Hukum, Vol.22, No.3 (Oktober 2010), p.454.

989
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan Kepala


Kepolisian Sektor Mandah, bahwasanya apabila terdapat sebuah konflik pidana
yang tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
terjadi di wilayah hukum kecamatan Mandah, maka hukum yang berlaku adalah
hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Mandah. Karena
pada dasarnya, Kepolisian Sektor Mandah hanya menangani sebuah kasus yang
berkaitan dengan kasus pidana konvensional. Diluar itu, masyarakat berhak
menentukan jalur penyelesaian permasalahannya apakah menggunakan hukum
positif atau menggunakan perangkat hukum adat.25
Hukum adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Mandah
sangat berpengaruh dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada, termasuk
dalam menyelesaikan perkara tindak pidana penebangan hutan Mangrove.
Menurut masyarakat Mandah, “Prosesi Bertih Pisang” diakui efektif dalam
penyelesaian pertikaian atau sengketa, karena masyarakat sangat patuh dan
menghormati pemuka adat dan pemuka agama yang menjadi mediator. Selain
para pihak juga tidak berani membantah apa yang telah disepakati, mekanisme
adat Bertih Pisang ini juga mampu menghilangkan perasaan dendam di antara
para pihak yang berperkara. Selain prosesi bertih pisang, juga berlaku penerapan
ritual “Bele Kampong”, yakni ritual tahunan yang di dalamnya diselingi dengan
kegiatan penanaman pohon Mangrove yang dilakukan oleh warga desa.
Efektivitas hukum adat di Kecamatan Mandah semakin kuat karena setiap
perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat terdapat penjatuhan sanksi yang akan diberikan. Berkaitan dengan
penjatuhan sanksi terhadap tindak pidana penebangan hutan Mangrove di
Kecamatan Mandah baik yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun
masyarakat dari luar Kecamatan Mandah adalah dengan penjatuhan “dam” atau
denda. Ketentuan ini berlaku dan diberikan oleh pemangku adat di Kecamatan
Mandah kepada si Pelaku bahwa apabila menebang satu pohon Mangrove secara
ilegal (tanpa izin) maka wajib orang tersebut menanam sepuluh pohon Mangrove.

25
Wawancara dengan IPTU Hendri Berson, Kepala Kepolisian Sektor Mandah, Model
Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di
Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.

990
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

Hal ini dinilai berpengaruh dalam mencegah bahkan menanggulangi bentuk


tindak pidana penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah, sehingga
ekosistem hutan Mangrove di Kecamatan Mandah semakin terjaga kelestariannya.
Praktik penyelesaian perkara pidana melalui lembaga pengadilan adat masih
berlaku di daerah-daerah terpencil. Hal ini dikarenakan beberapa hal antara lain:
a. Terbatasnya akses masyarakat terhadap sistem hukum formal yang ada;
b. Masyarakat tradisional di daerah terisolasi pada dasarnya masih memiliki
tradisi yang kuat berdasarkan hukum tradisionalnya dalam memecahkan
permasalahan hukum yang terjadi;
c. Tipe pemecahan masalah yang ditawarkan sistem peradilan formal
terkadang memperoleh pandangan yang berbeda dan dianggap kurang
memadai dan kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat yang masih
memegang tradisi hukum mereka sendiri;
d. Kurang memadainya infrastruktur dan sumber daya yang dimiliki oleh
sistem hukum formal menyebabkan kurangnya daya adaptasi dalam
menyerap kebutuhan rasa keadilan masyarakat setempat.
Berdasarkan berbagai macam bentuk sanksi adat yang dijatuhkan kepada si
pelaku penebangan hutan Mangrove secara ilegal di Kecamatan Mandah
Kabupaten Indragiri Hilir ini, penulis menarik sebuah kerangka berpikir dimana
hukum adat sebagai Premium Remedium. Artinya, hukum adat disini dalam
penempatan hukumnya terletak di garis terdepan sehingga penegakan hukum
pidana tidak serta merta selalu menjadi upaya dalam menyelesaikan suatu perkara.
Hukum adat lebih ditaati dan dipahami oleh segenap masyarakat lokal, sehingga
dalam penerapannya mudah untuk dilaksanakan serta tujuan hukum untuk
memberikan efek jera sekaligus mengayomi si pelaku pun juga terealisasikan.

C. PENUTUP
1. Proses penyelesaian tindak pidana penebangan hutan Mangrove melalui
hukum adat di Kecamatan Mandah diselesaikan dengan diselenggarakan
prosesi Bertih Pisang dan/atau ritual Bele Kampong serta dilengkapi dengan
penjatuhan “dam” atau denda. Prosesi ini dinilai mampu menyelesaikan
setiap persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat Mandah khususnya
terhadap tindak pidana penebangan hutan Mangrove dengan harapan
terlaksananya upaya menjaga kelestarian sumber daya alam dan
memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang menjadi korban dari
pihak-pihak oknum yang memanfaatkan sumber daya alam secara ilegal.

991
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Sistem Budaya Melayu di Mandah mempunyai muatan yang cukup baik


untuk mengelola lingkungan dan sumber daya alam secara harmonis. Dalam
sistem Budaya Melayu, bisa terlihat jelas bagaimana nilai-nilai Budaya
Melayu memberikan pedoman dan arah agar lingkungan dan sumber daya
alam dapat terpelihara dengan baik dan lestari.
2. Pengaruh hukum adat terhadap penyelesaian tindak pidana penebangan
hutan Mangrove di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir sangat
penting dan memiliki peranan yang cukup besar karena diakui efektif dalam
penyelesaian pertikaian atau sengketa. Masyarakat sangat patuh dan
menghormati pemuka adat dan pemuka agama. Selain karena para pihak
yang bersengketa tidak berani membantah apa yang telah disepakati,
mekanisme adat yang ada juga mampu menghilangkan perasaan dendam di
antara para pihak yang berperkara. Setelah diselesaikan melalui hukum adat,
maka subsistem peradilan formal tidak lagi berwenang menangani perkara.
Masyarakat menjunjung tinggi hukum adat dan menghormati para tokoh
adat sehingga putusan adat memiliki kekuatan yang mengikat terhadap
warga masyarakatnya.

992
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Bram, Deni. 2014. Hukum Lingkungan Hidup. (Bekasi: Gramata Publishing).
Effendi, Erdianto. 2018. Hukum Pidana Adat. (Bandung: Refika Aditama).
Noor, Y. Rusila. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. (Bogor:
Penerbit Remaja Rosdakarya).

Publikasi
Ferawati dan Davit Rahmadan. Model Penyelesaian Perkara Pelanggaran
Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Lahan Gambut Kabupaten Indragiri
Hilir Provinsi Riau. Riau Law Journal. Vol.4. No.2 (November 2020).
Flora, Henny Saida. Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian
Tindak Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia. Jurnal Hukum Ubelaj. Vol.3. No.2 (Oktober 2018).
Karuniastuti, Nurhenu. Peranan Hutan Mangrove Bagi Lingkungan Hidup. Jurnal
Forum Manajemen. Vol.6. No.1 (Januari 2015).
Larner, Robin C.. Overview of Alternative Dispute Resolution Introduction. Jurnal
Westlaw. Vol.2. No.15 (Juli 2018).
Maladi, Yanis. Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca
Amandemen. Jurnal Mimbar Hukum. Vol.22. No.3 (Oktober 2010).
Susylawati, Eka. Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia.
Jurnal Ilmu Hukum. Vol.4. No.1 (Juni 2017).
Syafruddin, Yudha Saktian. Pemetaan Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan
Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Jurnal Geografi. Vol.1.
No.5 (Mei 2013).

Website
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Informasi
Kehutanan. diakses dari https://dpmptsp.inhilkab.go.id/kehutanan. diakses
pada 7 Juli 2020.

Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
130. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432.

993
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7. Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601.
Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman
Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Daerah Provinsi Riau Tahun
2018 Nomor 14. Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Riau Nomor 14.

Sumber Lain
Wawancara dengan Azmi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Doni, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Effendi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan IPTU Hendri Berson, Kepala Kepolisian Sektor Mandah,
Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana
Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau,
Mandah, 2 September 2020.
Wawancara dengan Sadam, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Susi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Syamsuri Latief, Ketua LAM Mandah sekaligus Tokoh
Masyarakat Mandah, Hari Rabu, Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat
terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan
Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
Wawancara dengan Zainudin, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.

994
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

PEMBANGUNAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR TAMPUR-I


TERKAIT DENGAN EMISI GAS RUMAH KACA DAN PUTUSAN
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BANDA ACEH NOMOR
7/G/LH/2019/PTUN.BNA
THE DEVELOPMENT OF TAMPUR-I HYDRO ELECTRIC POWER
RELATED TO GREENHOUSE GAS EMISSIONS AND VERDICT OF THE
BANDA ACEH STATE ADMINISTRATIVE COURT NUMBER
7/G/LH/2019/PTUN.BNA
Moch. Daffa Syahrizal

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Korespondensi Penulis : syahrizalmdaffa@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Syahrizal, Moch. Daffa. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan
Emisi Gas Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11
(November 2021).

ABSTRAK
Pembangkit Listrik Tenaga Air ditentukan sebagai sumber emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) oleh perkembangan keilmuan. WALHI menggugat Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan guna pembangunan PLTA Tampur-I.
Berdasarkan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, PLTA sebagai
sumber emisi GRK belum diinventarisasi sehingga keberadaannya dalam bentuk
Baku Mutu Emisi maupun AMDAL tidak ditemukan. Kemudian mengenai
gugatan WALHI, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/LH/2019/PTUN.BNA yang telah sesuai dengan hukum mampu menjadi
pelindung hutan di Aceh saat instrumen perizinan dan AMDAL telah gagal.
Kata Kunci: Emisi Gas Rumah Kaca, PLTA Tampur-I, Putusan PTUN

ABSTRACT
The Hydroelectric power plant is presented with scientific developments that
determine that hydropower is a source of Greenhouse Gas (GHG) emissions.
WALHI sued the IPPKH which was issued for the construction of the Tampur-I
hydroelectric power plant. Based on research with a normative juridical
approach, hydropower as a source of GHG has not been inventoried, so its
existence in Baku Mutu Emisi and in the AMDAL is not found. Then against
WALHI's lawsuit, the decision of the Banda Aceh State administrative court
No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA which is in accordance with the law is able to
become a forest protector in Aceh when the licensing&AMDAL instrument failed.
Keywords: Greenhouse Gas Emissions, PLTA Tampur-I, PTUN Verdict

995
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
A. PENDAHULUAN
Untuk mengatasi pembangunan yang tidak merata di Indonesia, pemerintah
melaksanakan asas pemerintahan daerah secara desentralisasi. Realisasi asas ini
diwujudkan dalam kebijakan otonomi daerah sehingga pemerintah daerah
memiliki wewenang untuk melaksanakan pembangunan dalam skala wilayah
sebagai upaya untuk mengembangkan potensi dan meningkatkan kualitas
manusia, kualitas ekonomi maupun kualitas sistem birokrasi itu sendiri.
Pelaksanaan pembangunan secara kewilayahan oleh satuan pemerintah daerah dan
masyarakat itu dilakukan dengan mengelola segala macam sumber daya di daerah,
hal ini dikenal dengan Pembangunan Daerah. Dalam pelaksanaan pembangunan,
daerah memerlukan dana yang tidak sedikit. Selain pendapatan asli daerah
maupun dana perimbangan, daerah perlu memanfaatkan masukan dana lainnya,
seperti anggaran negara atau investasi.1
Demi tercapainya efektivitas penempatan dana, pemerintah daerah
memerlukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang
salah satu tujuannya adalah untuk perencanaan penganggaran dan penyusunan
pilihan program prioritas.2 Selain itu, pembangunan daerah haruslah berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan dalam upayanya untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat terkait. Karena itu, Rencana Tata Ruang Wilayah di level daerah
menunjukkan urgensinya dalam hal kemampuannya untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang saat pengembangan struktur ruang direalisasikan. Keharusan
agar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di atas sesuai dengan Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UPPLH) yang menentukan:
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.”3

1
Paisol Burlian, Kewenangan Kepala Daerah Menurut Undang-Undang, NoerFikri,
Palembang, 2014, Hlm.17.
2
Agung Wasono dan Muhammad Maulana, Tinjauan Kritis Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan di Indonesia, Penerbit Kementerian PPN/Bappenas, Knowledge
Sector Initiative dan Australian Government, Jakarta, 2018, Hlm.18.
3
Indonesia (1), Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Ps. 1 angka 3.

996
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Merujuk pada kalimat “ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin


keutuhan lingkungan hidup”, ketentuan ini memiliki implikasi terhadap strategi
pembangunan di berbagai daerah ataupun nasional, yakni keharusan pelaksanaan
program pembangunan untuk memperhatikan aspek pelestarian fungsi lingkungan
sehingga tetap mampu memiliki daya dukung. Hal tersebut juga sesuai dengan
Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh
Tahun 2013-2033 (Selanjutnya disebut RTRW Aceh) yang memuat dan
memprioritaskan ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan publik
dengan menggunakan energi tak terbarukan. Merujuk pada Pasal 23 RTRW Aceh,
Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh merencanakan banyak pembangunan
instrumen pembangkit listrik, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Air
(selanjutnya disebut PLTA). Perencanaan demikian ditujukan sebagai antisipasi
terhadap peningkatan kebutuhan energi listrik yang masif pada tahun 2032 yang
terjadi karena pertumbuhan penduduk dan ekonomi Aceh yang tinggi. Dengan
menggunakan metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System, Aceh pada tahun
2028 diperkirakan memiliki daya konsumsi energi listrik sebesar 5578,02 GWh
dengan peningkatan dalam jumlah 2,07% setiap tahunnya hingga tahun 2028.4
Selain itu, pembangunan PLTA yang diupayakan untuk mengoptimalkan
potensi tenaga air di Indonesia sebesar 26.321 MW5 ini sejalan dengan tujuan
Pembangunan Berkelanjutan. Tujuan itu yaitu mengambil aksi negara untuk
memerangi perubahan iklim dan dampaknya yang selama ini disebabkan oleh
pemanasan global. Salah satu faktor penyebab berpengaruh adalah peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca (Selanjutnya disebut GRK), seperti Karbon Dioksida
(CO2), Metana (CH4), Dinitrogen Mono Oksida (N2O), Hidro Flurocarbon
(HFCs), Sulfur Hexaflorida (SF6), Perfluoro Karbon (PFCs) dan gas-gas turunan
lainnya terutama yang mengandung Fluor Hydrofluorocarbons.6

4
Yoga Tri Nugraha, dkk., Perkiraan Konsumsi Energi Listrik di Aceh pada Tahun 2008
Menggunakan Metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System, Journal of Computer Engineering
System And Science, Vol.5, No.1, (Januari 2020), p.108.
5
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) Tahun 2021 Sampai dengan Tahun 2030,
Kepmen ESDM No.188/K/HK.02/MEM.L/2021.
6
Ismi Dian Kusumawardhani dan Rahmat Gernawa, Analisis Perubahan Iklim Berbagai
Variabilitas Curah Hujan dan Emisi Gas Metana (CH4) dengan Metode Grid Analysis and
Display System (GrADS) di Kabupaten Semarang, Jurnal YPJ, Vol.4, No.1 (Januari 2015), p.50.

997
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA

Atas nama permasalahan iklim, rencana proyek PLTA banyak digencarkan


di berbagai negara karena mekanisme kerjanya yang mampu dilakukan tanpa
pembakaran sebagaimana halnya energi fosil sehingga terbebas dari emisi GRK,
tidak merusak lingkungan dan mampu menunjang diversifikasi energi.7 Namun
menurut beberapa studi yang ada hingga saat ini, penyimpanan air Reservoir
PLTA merupakan sumber dari emisi GRK dengan jumlah yang signifikan, baik
itu Metana maupun Karbon Dioksida.8 Kumpulan studi ini menjadi paradoks9
sendiri terkait dengan PLTA, karena garis besar penelitiannya yang berlawanan
dengan labelling bahwa PLTA itu ramah lingkungan.
Terlepas dari paradoks di atas, pembangunan PLTA Tampur-I oleh PT
Kamirzu telah mendapat izin sebagai bentuk penetapan penguasa sehingga
melahirkan segi hukum lingkungan secara administratif guna mengendalikan
perilaku orang sebagai bentuk pencegahan.10 Izin yang dimaksud adalah Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan (selanjutnya disebut IPPKH) yang diberikan oleh
Gubernur Aceh melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor
552.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 pada tanggal 9 Juni 2017. Lingkup
pembangunan PLTA ini mencakup Kab. Gayo Lues, Kab. Aceh Tamiang dan
Kab. Aceh Timur termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (Selanjutnya disebut
KEL), sebuah kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara dengan luas 2,25 juta
Ha yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (Selanjutnya disebut UU No. 11 Tahun 2006). Selanjutnya
pada tahun 2008, pemerintah pusat menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis
Nasional melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Selanjutnya disebut PP No.26 Tahun 2008).11

7
Imam Kholiq, Analisa Pemanfaatan Energi Alternatif sebagai Energi Terbarukan untuk
Mendukung Subtitusi BBM, Jurnal IPTEK, Vol.19, No.2 (2015), p.85.
8
The New Bottom Line, The Hydropower Paradox: Is This Energy As Clean As It Seems?,
diakses dari https://www.theguardian.com/sustainable-business/2016/nov/06/hydropower-
hydroelectricity-methane-clean-climate-change-study, diakses pada 05 September 2021, jam 15.13
WIB.
9
Menurut KBBI, paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan dengan
pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
10
Ridwan Juniarso dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan
Otonomi Daerah, Penerbit Nuansa, Bandung, 2016, p.73.
11
Rudi Hardiansyah Putra, Masyarakat Aceh dan Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser,
Prosiding Seminar Nasional Biotik, Vol.3, No.1 (2015), p.17-18.

998
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Merujuk pada rencana pembangunannya, PLTA Tampur-I ini dilaksanakan


dengan menenggelamkan ±4.407 Ha wilayah hutan KEL yang termasuk Desa
Lesten di dalamnya untuk kemudian dibuat bendungan dengan ketinggian 193
meter. Menurut WALHI, pembangunan PLTA ini berpotensi besar menjadi
ancaman bagi lingkungan hidup karena akan merusak hutan, meningkatkan risiko
bencana di Kab. Gayo Lues yang rawan dan punahnya satwa.12
Oleh sebab itu, WALHI menggugat Gubernur Aceh atas surat keputusannya
ke PTUN dengan gugatan bahwa Gubernur Aceh melampaui kewenangannya dan
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada 28
Agustus 2019, Putusan PTUN No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA memutuskan bahwa
Keputusan Gubernur Aceh tidaklah sah dan wajib untuk dicabut. Putusan tingkat
pertama ini dikuatkan oleh Putusan PTTUN Medan Nomor
264/B/LH/2019/PTTUN-MDN. Keberlakuan Judex Facti terhadap para pihak ini
menjadi pasti, saat permohonan kasasi dari Gubernur Aceh sebagai Pemohon
Kasasi I dan PT Kamirzu sebagai Pemohon Kasasi II ditolak di tingkat kasasi
melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 270 K/TUN/LH/2020. Berdasarkan
uraian di atas, tulisan ini menyoal dua permasalahan untuk dikaji yaitu:
1. Bagaimana penerapan hukum positif terhadap emisi GRK dan dibangunnya
PLTA Tampur-I di KEL?
2. Apakah pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA telah sesuai dengan UU
No. 32 Tahun 2009?

B. PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Positif terhadap Emisi Gas Rumah Kaca dan
Dibangunnya PLTA Tampur-I di KEL
Pembangunan dan pengembangan PLTA di Indonesia semakin digenjot oleh
Pemerintah termasuk oleh Pemerintah Provinsi Aceh. PLTA idealnya ditempatkan
di kawasan hutan. Hal itu karena hutan memiliki sumber air alami sehingga
beberapa program PLTA di Aceh ditempatkan di Kawasan Hutan Ulu Masen.

12
Junaidi Hanafiah, Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA Tampur,
diakses dari https://www.mongabay.co.id/2019/08/21/desa-lesten-akan-ditenggelamkan-demi-
alasan-plta-tampur/, diakses pada 18 November 2021, jam 14.41 WIB.

999
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Rencana pembangunan PLTA Tampur-I berkapasitas daya sebesar 443 MW
menggunakan kawasan hutan dengan rincian: a. Bendungan setinggi 193 m akan
dibangun di area Hutan Lindung yang termasuk ke dalam KEL; b. Area Reservoir
terletak pada sebagian kawasan Hutan Lindung (±1.403 ha), Hutan Produksi
(±2.390 ha) dan Area Penggunaan Lain (±277 ha) serta areal anclave Desa Lesten
(±260 ha); c. Work Area Plan menggunakan Hutan Lindung secara penuh (±360
ha); dan d. Pembangunan jalan baru di Hutan Lindung maupun Hutan Produksi.13
Penggunaan tenaga air memang ditujukan untuk mengurangi krisis energi
dan pencemaran lingkungan karena energinya yang bersifat terbarukan dan bersih.
Namun, PLTA memerlukan bendungan dan Reservoir atau waduk yang menurut
penelitian Washington State University, bangunan Reservoir ini bertanggung
jawab atas peningkatan emisi GRK. Artinya, penenggelaman lahan atau hutan
menjadikan karbondioksida (CO2) yang ada tidak mampu diserap secara alami
melalui fotosintesis dan akan menyebabkan proses dekomposisi dari Reservoir
sehingga menghasilkan metana (CH4) untuk kemudian dilepaskan ke atmosfer.14
Selanjutnya, suhu bumi akan semakin naik atau efek rumah kaca (GRK) terjadi
dan apabila nilai Global Warning Potential (GWP) dari masing-masing gas ini
terkonsentrasi di lapisan troposfer secara berlanjut dan meningkat maka panas
matahari akan semakin terperangkap atau terserap oleh gas-gas ini. Faktor yang
mampu membuat keadaan lebih buruk adalah ketika tumbuh-tumbuhan atau
kehutanan, laut dan lain sebagainya dengan kemampuan menyerap GRK tidak
lagi mampu mengimbangi naiknya konsentrasi GRK yang terjadi.15
Beberapa studi berkesimpulan sama, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Bridget Deemer, dkk. Menurut perhitungannya setelah meneliti 267 Reservoir,
Reservoir di berbagai belahan dunia melepaskan CO2 dan dominannya CH4 ke
atmosfer dalam jumlah yang cukup besar. Besarannya yaitu sekitar 1 (satu) miliar
ton atau 1,3 % dari total emisi global tahunan.16

13
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
14
Xuerong Li, Faliang Gui dan Qingpeng Li, Can Hydropower Still be Considered a Clean
Energy Source? Compelling Evidence from a Middle-Sized Hydropower Station in China,
Sustainability, Vol.11, No.16: 4261 (Agustus 2019), p.2.
15
Riza Pratama, Efek Rumah Kaca terhadap Bumi, Buletin Utama Teknik, Vol.4, No.2
(Januari 2019), p.120.
16
The New Bottom Line, Op.Cit..

1000
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Ada juga yang menganggapnya berlebihan dengan alasan bahwa perkiraan


jumlah emisi GRK dari Reservoir tinggi karena penelitian dilakukan pada
konstruksi PLTA yang baru dibuat sehingga menunjukkan tingkat dekomposisi
tinggi. Diketahui bahwa emisi GRK dari dekomposisi ini mencapai puncaknya
pada tahun ke-2 atau ke-3 dalam 10 tahun pertama operasi PLTA dan akan
berangsur-angsur turun.17 Pertentangan di dunia akademisi ini berintikan upaya
guna menemukan jumlah GRK yang dilepaskan ke atmosfer, bukan menghasilkan
GRK atau tidaknya sebuah PLTA. Karena itu, tulisan ini bukan mengkaji bahwa
PLTA tidaklah tanpa emisi, tetapi sumber emisi GRK dalam jumlah tertentu.
Penelitian terhadap Stasiun Tenaga Air Xiajiang menentukan bahwa stasiun
dalam fungsinya sebagai pembangkit listrik menghasilkan GRK dalam jumlah
0.77 juta/tahun sehingga ditentukan sebagai emisi yang masih tergolong rendah.18
Berkaca dari penggolongan di atas, Reservoir PLTA Tampur-I sebagai
sumber emisi dengan menenggelamkan kawasan hutan, baik itu lindung maupun
produksi dengan luas ±3.793 Ha patut dibedakan dengan Stasiun Tenaga Air
Xiajiang yang menenggelamkan kawasan lahan dan hutan masing-masing sebesar
2.519 Ha dan 245,2 Ha. Jelasnya berdasarkan lokasi, PLTA Tampur-I dibantu
oleh hutan sekitarnya yang memiliki kemampuan untuk mereduksi pelepasan CO2
melalui proses fotosintesis. Akan tetapi, lokasi pembangunan PLTA Tampur-I ini
memiliki aktivitas biologis yang relatif tinggi karena kawasan hutan yang
digunakan untuk Reservoir ini merupakan sumber yang kaya akan bahan organik.
Oleh karena itu, PLTA Tampur-I yang telah beroperasi akan menghasilkan
gas CH4 yang lebih tinggi dari Stasiun Air Xianjiang dan sebagiannya berubah
menjadi CO2 akibat dekomposisi dalam kondisi aerob. Reservoir sebagai sumber
metana ini memiliki mekanisme yang sama dengan metana yang dihasilkan
waduk pada umumnya, yaitu terjadinya dekomposisi dalam kondisi tanpa udara
atau anaerob karena tenggelamnya bahan organik pada lapisan tanah dan vegetasi
yang ada. Sehingga upaya pengurangan bahan organik seperti menghilangkan
pepohonan dan vegetasi pada lahan bakal PLTA sangat diperlukan.19

17
Xuerong Li, Faliang Gui dan Qingpeng Li, Op.Cit., p.7.
18
Xuerong Li, Faliang Gui dan Qingpeng Li, Ibid., p.9.
19
Wawan Herawan, dkk., Potensi Gas Rumah Kaca dari Cadangan Karbon yang
Tersimpan pada Lahan Bakal Waduk Jatigede, Jurnal Teknik Hidraulik, Vol.6, No.2 (November
2015), p.188-189.

1001
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Sebenarnya, emisi GRK yang dihasilkan oleh aktivitas biologis atau
dekomposisi di atas hanya menunjukkan emisi GRK dari PLTA Tampur-I dalam
proses operasi dan pemeliharaan PLTA. Jelasnya, GRK dihasilkan dalam jumlah
berbeda oleh pembangunan PLTA dalam tahapan-tahapannya, yaitu: a. tahap
pembuatan bahan peralatan; b. tahap transportasi; c. tahap konstruksi dan
pemasangan peralatan; d. tahap operasi dan pemeliharaan; dan e. tahap
pembuangan.20 Uraian di atas adalah permasalahan dunia internasional, termasuk
Indonesia bahwa emisi GRK dari Reservoir belum dinvetarisasikan.
Meskipun begitu, Reservoir ini telah ditentukan oleh Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.73/MenLhk/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan
Pelaporan Investarisasi Gas Rumah Kaca Nasional dengan mengacu pada arahan
Intergovernmental Panel on Climate Change (Selanjutnya disebut IPCC) sebagai
kategori lahan: Wetlands, sebuah kategori yang dapat ditujukan sebagai lahan
yang akan digunakan dan diubah untuk inventarisasi emisi dan serapan GRK.21 Di
samping itu, Reservoir dapat dikualifikasikan ke dalam kategori “Pertanian,
Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (AFOLU)” dengan Wetlands sebagai
sub-kategori sumber sehingga menjadi suatu keharusan untuk dimasukkan ke
dalam penyusunan inventori GRK.22 Meskipun dengan adanya penggolongan di
atas, emisi GRK dari PLTA ini belum diinventarisasi sehingga belum diatur
secara normatif dalam baku mutu emisi guna menentukan ukuran batas atau kadar
maksimum dan/atau beban emisi maksimum terkait emisi gas CO2 dan CH4 yang
bersumber dari Reservoir yang ada di Indonesia. Tidak diadakannya inventarisasi
terhadap Reservoir sebagai sumber emisi GRK pada dasarnya mudah dimengerti
karena upaya ini belum ditentukan secara jelas, termasuk dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Selanjutnya disebut RAN-GRK)
yang terdiri atas kegiatan inti dan kegiatan pendukung.

20
Xuerong Li, Faliang Gui, and Qingpeng Li, Op.Cit., p.5.
21
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (1), Peraturan
Menteri tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional, Permen LHK No.P.73/MenLhk/SETJEN/KUM.1/12/2017.
22
Kementerian Lingkungan Hidup, Pedoman Penyelenggaraan Investarisasi Gas Rumah
Kaca Nasional: Buku I Pedoman Umum, INV/KLH/290612, KLH, Jakarta, 2012, p.9.

1002
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Menurut Pasal 1 angka 8 RAN-GRK, kegiatan inti adalah kegiatan yang


berdampak langsung pada penurunan emisi GRK dan penyerapan GRK. Lalu
menurut Pasal 1 angka 9, kegiatan pendukung adalah kegiatan yang tidak
berdampak langsung pada penurunan emisi GRK tetapi mendukung pelaksanaan
kegiatan inti.23 Dalam lampiran I RAN-GRK, pembangunan PLTA tidak
disebutkan tetapi sejalan dengan kebijakan “Peningkatan Penggunaan Energi Baru
dan Terbarukan (EBT)” untuk menunjang RAN-GRK. RAN-GRK yang
dijelaskan pun tidak memuat PLTA secara spesifik, melainkan memuat
Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hydro (Selanjutnya disebut PLTM) sebagai
kegiatan pada periode 2015-2020.24 Kemudian dalam lampiran II RAN-GRK,
rencana aksi yang berkaitan meskipun hanya sebagai kegiatan pendukung adalah
penelitian emisi GRK di waduk. Penelitian di waduk ini seharusnya dapat
dibarengi dengan Reservoir karena karena ada kemiripan dalam konteks sumber
emisi GRK akibat kegiatan manusia.25 Dengan demikian, dapat diasumsikan
bahwa Pemerintah atau bahkan para ahli belum menganggap persoalan ini sebagai
suatu urgensi sehingga tidak ada upaya penurunan emisi GRK terhadapnya.
Fenomena yang demikian ini tidak dapat dilepaskan dari pembangunan PLTA
yang telah menjadi prioritas negara atau daerah, seperti Aceh. Pembenaran atas
pembangunan PLTA ini adalah tujuannya untuk mengurangi emisi CO2 akibat
penggunaan energi fosil yang jumlahnya lebih besar dari emisi CO2 yang
dihasilkan oleh Reservoir.
Dampak terhadap lingkungan dari preferensi pemerintah di atas adalah
lepasnya gas CH4 (21 GWP), yang berarti setiap molekulnya mampu
memanaskan 21 kali lipat dari molekul C02 (1 GWP).26 Hal ini terjadi secara
terus-menerus selama waktu operasi PLTA terkait, yang biasanya ditentukan
untuk beberapa tahun ke depan.

23
Pemerintah Pusat, Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011.
24
Lampiran I Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
25
Lampiran II Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
26
Ismi Dian Kusumawardhani dan Rahmat Gernawa, Analisis Perubahan Iklim Berbagai
Variabilitas Curah Hujan dan Emisi Gas Metana (CH4) dengan Metode Grid Analysis and
Display System (GrADS) di Kabupaten Semarang, Jurnal YPJ, Vol.4, No.1 (Januari 2015), p.50

1003
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Terhadap permasalahan emisi GRK ini, mengurangi bahan organik yang
terdapat di kawasan hutan sebelum penenggelaman ataupun meminimalisasi
keberadaan emisi GRK dalam tahapan-tahapan pembangunan PLTA pada
dasarnya belum menjadi upaya preventif untuk mengurangi dampak pada
lingkungan hidup. Lagi pula, dampak demikian belum menjadi dampak negatif
yang perlu diminimumkan dalam kajian lingkungan atau Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Selanjutnya disebut AMDAL). Secara realistis, agar suatu
pembangunan PLTA terjadi dengan dampak positif yang maksimal dan dampak
negatif yang minimal adalah dengan dilaksanakannya prosedur AMDAL.
Secara normatif, AMDAL diwajibkan terhadap instrumen pembangkit
listrik, khususnya PLTA dalam kondisi tertentu sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Selanjutnya disebut Permen Mlh No. 5 Tahun 2012), sebagai berikut:
“Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL.”27
“Jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yan wajib memiliki AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.”28
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dan dengan melihat Lampiran I Permen
Mlh No. 5 Tahun 2012, pembangunan PLTA Tampur-I adalah kegiatan yang
wajib AMDAL karena tinggi bendungannya ≥ 15 m atau luas genangannya ≥ 200
Ha atau kapasitas dayanya ≥ 50 MW. Selain AMDAL, PLTA Tampur-I ini harus
memperoleh IPPKH sebagaimana bunyi Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Selanjutnya disebut
PP No. 105 Tahun 2015), yaitu: “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan menteri.”.

27
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2), Peraturan
Menteri tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup, Permen LHK No.05 Tahun 2012, Ps. 2 ayat (1).
28
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2), Ibid., Ps.2 ayat
(2).

1004
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf c yang dimaksud adalah “instalasi


pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik”.29 Terkait dengan bagaimana cara
untuk memperolehnya, Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Selanjutnya disebut PP No.24 Tahun
2010) menentukan bahwa: “Izin pinjam pakai kawasan hutan sebagaimana
dimaksud Pasal 6 diberikan oleh Menteri berdasarkan permohonan.”30 Berkaitan
dengan prosedur AMDAL dan bagaimana memperoleh IPPKH menurut peraturan
perundang-undangan di atas, PT Kamirzu telah mendapatkan IPPKH dari
Gubernur Aceh dan dapat menyelesaikan AMDAL sehingga mendapat
persetujuan kelayakan lingkungan meskipun pembangunan PLTA Tampur-I ini
memiliki potensi merusak yang masif dan meresahkan masyarakat. Jelasnya,
substansi AMDAL PLTA Tampur-I tidak menyinggung mitigasi konflik satwa
atau aspek fauna serta lokasi pasti yang akan dituju oleh warga Desa Lesten
setelah relokasi sebagai dampak atau akibat yang perlu diatasi.
Kemudian, KEL sebagai sebuah kesatuan dari beberapa ekosistem yang
kompleks karena memiliki keragaman hayati dan jenis-jenis hewan yang terancam
punah. Karena pada hakikatnya, pelaksanaan pembangunan PLTA Tampur-I akan
merusak keadaan ekosistem di atas dengan beberapa dampak nyata, yaitu:
a. Merusak hutan;
b. Matinya satwa-satwa yang berada di areal kegiatan tersebut;
c. Meningkatnya konflik manusia dengan hewan karena hilang/rusaknya
habitat asli satwa;
d. Meningkatnya potensi bencana alam;
e. Kekeringan akibat hilangnya sumber air selama sumber daya air yang
ada digunakan untuk mengisi bendungan sehingga berdampak pada
sektor pertanian dan perkebunan warga sekitar.31
Oleh karena itu, WALHI menggugat Gubernur Aceh yang telah
mengeluarkan IPPKH melalui PTUN sebagai upaya penegakan hukum untuk
mencegah dampak-dampak lingkungan hidup di atas.

29
Pemerintah Republik Indonesia (1), Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PP
No.105 Tahun 2015, LN Tahun 2015 No.327, TLN No.5795, Ps.4 ayat (2).
30
Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Kawasan
Hutan, PP No.24 Tahun 2010, LN Tahun 2010 No.30, TLN No.5112, Ps.7 ayat (1).
31
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor 7/G/LH/2019/PTUN.BNA.

1005
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
2. Kesesuaian Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor 7/G/LH/2019/PTUN.BNA
dengan UU PPLH
19 Agustus 2019, Gugatan yang diajukan WALHI melawan Gubernur Aceh
tentang Pemberian IPPKH dalam Rangka Pembangunan PLTA Tampur-I (443
MW) seluas ±4.407 Ha atas nama PT. Kamirzu di tiga kabupaten (Objek
Sengketa) dikabulkan oleh Majelis Hakim PTUN dan diputuskan pada tanggal 28
Agustus 2019 bahwa objek sengketa tersebut tidak sah dan mewajibkan Tergugat
untuk mencabutnya. Atas amar putusan tersebut, Majelis Hakim perlu
mempertanggungjawabkannya dengan Pertimbangan Hakim sebagai alasan dari
putusan tersebut. Terkait dengan objek sengketa berupa Keputusan Gubernur
Aceh tentang Pemberian IPPKH guna pembangunan PLTA Tampur-I yang
memiliki potensi merusak lingkungan hidup, pertimbangan hukum hakim akan
disesuaikan dengan kehendak UU PPLH, yaitu sebagai berikut:
Pertama, pertimbangan hukum hakim atas ditolaknya eksepsi yang diajukan
Tergugat II (PT Kamirzu) yang mendalilkan bahwa WALHI sebagai penggugat
tidak memiliki Legal Standing atau kepentingan untuk mengajukan gugatan.
Dalam hal ini, pendapat Majelis Hakim mendasarkan pada ketentuan Pasal 92 UU
PPLH bahwa WALHI memiliki kepentingan dalam mengajukan gugatan karena
penggugat merupakan organisasi yang berbentuk badan hukum dan bergerak
dalam bidang lingkungan hidup yang secara nyata telah melaksanakan kegiatan-
kegiatannya sesuai anggaran dasar lebih dari 2 (dua) tahun.
Singkatnya, pertimbangan hukum hakim mengenai penolakan eksepsi
Tergugat II ini sesuai dengan UU PPLH yang menentukan secara jelas mengenai
perkembangan dalam gugatan ini, yaitu keberadaan Legal Standing atau Hak
Gugat Organisasi yang menyesuaikan dengan hajat hidup orang banyak (Public
Interest Law). Dengan demikian, seseorang atau organisasi tanpa kepentingan
langsung dapat bertindak untuk menggugat atas dasar memperjuangkan
kepentingan publik atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup,
perlindungan konsumen, dan hak-hak sipil serta politik.32

32
Rai Mantili dan Anita Afriana, Buku Ajar Hukum Acara Perdata, CV Kalam Media,
Bandung, 2015, p.101.

1006
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Kedua, pertimbangan hukum hakim terhadap penerbitan Objek Sengketa


yang telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam segi
kewenangan. Berkaitan dengan IPPKH, Majelis Hakim menggunakan
“kewenangan” sebagai pertimbangan yang diprioritaskan. Sehingga langkah
majelis hakim ini sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU PPLH yang
menentukan bahwa “Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”.
Ketentuan pasal di atas menentukan bahwa kewenangan untuk
mengeluarkan izin lingkungan, termasuk IPPKH, memiliki diferensiasi perihal
subjek yaitu pejabat mana yang berwenang. Diferensiasi yang demikian ini
sesungguhnya berlaku sebagai batasan kewenangan pejabat secara vertikal
sehingga mampu membenarkan penggunaan asas Tidak Menyalahgunakan
Kewenangan oleh Majelis Hakim dalam pemeriksaan persidangan di tingkat
pertama. Terkait dengan kasus ini, Gubernur Aceh mengeluarkan IPPKH untuk
Pembangunan PLTA Tampur-I yang merupakan salah satu dari kepentingan di
luar kegiatan kehutanan yang bisa menggunakan kawasan hutan karena fungsinya
untuk kepentingan publik sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 54 ayat (3)
huruf c Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh. Ketentuan
pasal ini menentukan bahwa: “instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi
listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan”. Tindakan Gubernur Aceh
yang demikian didasarkan kepada Pasal 54 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 7 Tahun
2016 tentang Kehutanan Aceh yang menentukan, bahwa:
“Pemberian izin penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan melalui izin pinjam
kawasan hutan yang dikeluarkan oleh Gubernur setelah mendapat
rekomendasi dari Dinas dan dilaporkan kepada DPRA”.
Akan tetapi, tindakan Gubernur Aceh pada tahun 2017 ini bertentangan
dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut:
a. Pasal 7 PP No.24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan;
b. Pasal 8 ayat (2) huruf a Permen LHK No.P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1
/6/2016 yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri LHK No.P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1
/7/2018;
c. Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan No.P.5/VII-
PKH/2014.

1007
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Peraturan perundang-undangan di atas menentukan secara jelas bahwa
kewenangan Gubernur Aceh untuk mengeluarkan IPPKH hanya eksis atau ada
sebagai wewenang yang dilimpahkan oleh Menteri dan terbatas pada
pembangunan fasilitas umum non komersial dengan luasan paling banyak seluas 5
Ha (Limited Authority). Walaupun demikian, IPPKH terkait dikeluarkan untuk
proyek pembangunan yang memakai kawasan hutan seluas ±4.070 Ha. Sehingga
patut disimpulkan bahwa tindakan Gubernur Aceh telah melampaui kewenangan
yang telah ditentukan. Karena pada dasarnya, tindakan TUN berupa penerbitan
Objek Sengketa merupakan kewenangan Menteri sebagai pejabat TUN yang lebih
tinggi menurut dan sesuai dengan Pasal 36 ayat (2) UU PPLH. Uraian demikian
juga terpotret dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 270 K/TUN/LH/2020 saat
Majelis Hakim menyebutkan bahwa tindakan Gubernur Aceh sebagai Pemohon
Kasasi I merupakan tindakan yang telah melewati batas kewenangan yang
diberikan dan sesungguhnya bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Pandangan tulisan terhadap kewenangan untuk menerbitkan IPPKH kepada
PT Kamirzu ini adalah tidak dapat disangkalnya penyimpangan yang dilakukan
oleh Gubernur terkait dengan legitimasi tindakannya yang hanya didasarkan
kepada ketentuan Pasal 54 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Kehutanan Aceh. Di samping itu, kaidah atau normanya tersebut juga patut
dipermasalahkan karena tidak secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan
Gubernur Aceh ini adalah pelimpahan wewenang yang terbatas dari Menteri akan
tetapi hanya disebutkan dalam Bagian Umum Penjelasan atas Qanun Aceh Nomor
7 Tahun 2016. Ketentuan ini menentukan adanya kewenangan Pemerintah Pusat
yang bersifat nasional di Aceh yang sepenuhnya telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat
Nasional di Aceh (selanjutnya disebut PP No.3 Tahun 2015) sebagai pembatasan.
Sehingga ketentuan yang diatur di dalam Qanun ini hanyalah merupakan aturan
pelaksanaan di bidang kehutanan yang hanya dan telah menjadi kewenangan dari
Pemerintah Daerah Provinsi Aceh.33

33
Pemerintah Daerah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Qanun tentang Kehutanan Aceh,
Qanun No.7 Tahun 2016, LD Tahun 2016 No.10.

1008
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Dalam implementasinya, ketentuan Pasal 54 ayat (2) dapat ditafsirkan


secara berbeda selama tidak ditafsirkan secara sistematis dengan peraturan
perundang-undangan lainnya. Ditinjau dari perspektif hierarki peraturan
perundang-undangan yang dikuatkan oleh Pasal 1 butir 21 UU No.11 Tahun 2006,
kedudukan Qanun Aceh sejajar dengan peraturan perundang-undangan sejenis
peraturan daerah provinsi. Kemudian mengenai materinya, Pasal 54 Qanun No.7
Tahun 2016 bukan termasuk kepada materi penyelenggaraan kehidupan
masyarakat Aceh sesuai dengan syariat Islamnya, akan tetapi murni
penyelenggaraan pemerintah di bidang kehutanan.34
Terkait dengan penyimpangan yang terjadi, seharusnya penerapan ketentuan
Qanun Aceh No.7 Tahun 2016 yang dipersamakan dengan Peraturan Daerah
dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang tidak boleh bertentangan
dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi sebagai das sollen sebagaimana
terpotret dalam asas Lex Superior Derogat Legi Inferior, bukan Qanun Aceh
sebagai Lex Specialis. Penggunaan asas yang salah ini sekiranya menghendaki
kewenangan Pemerintahan Aceh-lah yang mengesampingkan kewenangan
Pemerintah Pusat yang bersifat nasional di Aceh di bidang kehutanan, yaitu dalam
hal penetapan kebijakan, norma, standar dan prosedur penatagunaan kawasan
hutan, pelaksanaan penetapan fungsi, perubahan hak dari lahan milik menjadi
kawasan hutan dan perizinan kawasan hutan menurut PP No.3 Tahun 201535
sebagaimana telah ditentukan dalam PP No.24 Tahun 2010 serta peraturan-
peraturan yang telah disebutkan di atas sebagai ketentuan lebih lanjutnya. Kasus
yang demikian sekiranya menunjukkan bahwa penggunaan asas penerapan
peraturan perundang-undangan ini tidak diperhatikan dahulu secara berlapis
sebagai sesuatu yang seharusnya, yaitu asas Lex Superior Derogat Legi Inferior
sebagai yang pertama, asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis sebagai yang
kedua dan terakhir asas Lex Posterior Derogat Legi Priori.

34
Andi Muhammad Asrun, dkk., Mempertanyakan Legalitas Qanun Aceh: Sesuaikah
Dengan Sistem Peraturan Perundang-Undangan, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol.21, No.2
(Agustus 2019), p.284.
35
Indonesia (2), Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN
Tahun 2006 No.62, TLN No.4633, Ps.270 ayat (1) dan (2) jo. Pemerintah Republik Indonesia,
Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, PP No.3
Tahun 2015, LN Tahun 2015 No.38, TLN No.5659, Ps.4 huruf bb dan Ps. 6.

1009
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Oleh karena itu, penggunaan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis ini
hanya dapat digunakan apabila peraturan perundang-undangan yang menjadi
pembahasan setara bentuknya sehingga penggunaan asas Lex Specialis Derogat
Legi Generalis di antara Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah tidaklah
sesuai dan akan sangat abai terhadap kemungkinan akan pertentangan hukum
secara vertikal. Dalam mempertimbangkan pokok gugatan yaitu telah
bertentangannya penerbitan objek sengketa dengan peraturan perudang-undangan,
majelis hakim bukan semata-mata menentukannya pada kewenangan tetapi juga
pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya Kawasan
Ekosistem Leuser itu sendiri dengan menggunakan Pasal 150 ayat (2) UU No.11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menentukan bahwa Tergugat
sebagai Pemerintahan Aceh tidak memiliki kebolehan untuk mengeluarkan izin
pengusahaan hutan dalam KEL.36
Ditinjau dari perspektif politik hukum, Pasal 150 UU No.11 Tahun 2006
memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks penggunaan kawasan hutan
secara keseluruhan dalam sistem hukum nasional. Politik hukum menurut
pandangan Satjipto Rahardjo adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.37 Tujuan yang dimaksud oleh terlindunginya Kawasan Ekosistem
Leuser sehingga upaya pelestarian dan pemulihan fungsi kawasan hutan yang
dilindungi oleh Pemerintah Aceh tidaklah sia-sia.
Demi mencapai tujuan tersebut, cara yang dipakai adalah dengan
dilarangnya pengeluaran izin pengusahaan hutan dalam KEL oleh pemerintah,
pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut didasarkan pada
Pasal 150 ayat (2). Konsep kepastian hukum yang demikian ini telah
memberitahukan mengenai apa yang boleh atau tidak dilakukan sehingga dalam
upayanya untuk mencapai tujuan hukum dalam segi kepastian hukum, Pasal 150
ayat (2) UU No.11 Tahun 2006 perlu dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas.38

36
Indonesia (2), Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN
Tahun 2006 No.62, TLN No.4633, Ps.150 ayat (2).
37
Satjipto Rajardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, p.352.
38
Muhamd Sadi Is, Kepastian Hukum terhadap Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia, Jurnal Yudisial, Vol.13, No.3 (Desember 2020), p.314.

1010
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Berdasarkan pertimbangan hukum Majelis Hakim, putusan ini telah


memenuhi rasa kepastian hukum karena hukum diterapkan secara konsekuen dan
tidak mengesampingkan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai subjek hukum yang
perlu dilindungi saat pembangunan bendungan dan area Reservoir serta
pembangunan jalan baru akan diadakan sebagiannya di KEL.39 Mengingat
permohonan kasasi dari Gubernur Aceh dan PT. Kamirzu telah ditolak pada 28
Juli 2020, pelaksanaan putusan PTUN Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA
yang dikuatkan oleh putusan PTTUN Medan No.264/B/LH/2019/PT.TUN.MDN
sudah sepatutnya dilakukan. Walau demikian, perencanaan pembangunan PLTA
Tampur-I dengan kapasitas sebesar 443,0 MW tetap menjadi proyek PLTA yang
direkomendasikan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL)
Tahun 2021-2030 yang telah disahkan dengan Keputusan Menteri Energi Dan
Sumber Daya Mineral tanggal 28 September 2021.40
Oleh kerena itu, proyek PLTA Tampur-I bukan berarti tidak dapat berjalan
setelah eksekusi putusan berkaitan dilakukan karena dengan melalui prosedur
yang sesuai dengan hukum, IPPKH yang telah diganti menjadi Persetujuan
Penggunaan Kawasan Hutan (Selanjutnya disebut P2KH) untuk kegiatan
Perizinan Berusaha di sektor ketenagalistrikan yang luasnya lebih dari 5 Ha dapat
diperoleh bergantung kepada keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan setelah dilakukannya penilaian sebagaimana diatur dalam Pasal 96
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Kehutanan yang telah mencabut PP No.24 Tahun 2020 dan PP No.105 Tahun
2015. Penilaian tersebut didasarkan pada terpenuhi atau tidaknya persyaratan
teknis dan administrasi, salah satunya adalah pernyataan Komitmen yang
mengemukakan bahwa dalam waktu 1 tahun, pemohon akan menyampaikan
dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan bagi usaha dan/atau kegiatan
wajib AMDAL atau UKL-UPL. Pembahasan mengenai persetujuan lingkungan
ini banyak memancing perdebatan karena kedudukannya yang telah mengganti
izin lingkungan yang mensyaratkan AMDAL, UKL-UPL dan SPPL.

39
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
40
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) Tahun 2021 Sampai dengan Tahun 2030,
Kepmen ESDM No.188/K/HK.02/MEM.L/2021.

1011
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Perihal konteks telah mengganti ini sekiranya perlu diperhatikan kembali
saat pendekatan yang diambil regulator adalah untuk membangun perekonomian
nasional karena persetujuan lingkungan yang didasarkan kepada pendekatan
berbasis risiko tidaklah menggantikan AMDAL. Akan tetapi memanfaatkan
penilaian risiko yang direalisasikan melalui Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia
(KBLI) untuk memberikan penjelasan mengenai ada atau tidaknya urgensi studi
AMDAL. Yang perlu menjadi perhatian juga adalah hubungan sebab-akibat yang
dipotret oleh penggunaan pendekatan berbasis risiko ini, yaitu upaya kontrol dan
pengawasan pemerintah serta ketatnya persyaratan akan meningkat mengikuti
potensi risiko dari penggunaan kawasan hutan yang dilakukan. 41 Namun
sebagaimana dihendaki oleh UU No.11 Tahun 2020, penerbitan P2KH ini harus
disesuaikan dengan kewenangan dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu, penerbitan Perizinan Berusaha di KEL, baik oleh
Gubernur maupun Pemerintah Pusat merupakan tindakan pejabat yang dilarang
atas dasar Pasal 150 UU No.11 Tahun 2006 sebagai parameter yuridisnya.

C. PENUTUP
1. Setelah Reservoir PLTA yang dipersamakan dengan waduk ditentukan
sebagai sumber emisi GRK yang tergolong rendah berupa Karbon Dioksida
dan Metana, inventarisasi terhadap PLTA sebagai sumber emisi belum
dilakukan sehingga Indonesia mengalami kekosongan hukum. Oleh karena
itu, pembangunan dan operasi PLTA secara konsekuen tidak memiliki
instrumen untuk mencegah atau memperkecil dampaknya, baik itu dalam
bentuk Baku Mutu Emisi maupun AMDAL. Terkait dengan rencana
pembangunan PLTA Tampur-I, penerbitan IPPKH dan selesainya AMDAL
tidak dilaksanakan secara implementatif sesuai dengan preferensi
pemerintah terhadap PLTA. Sehingga singkatnya, penerbitan IPPKH
memiliki persoalan hukum yang perlu digugat dengan tidak berwenangnya
Gubernur Aceh dan AMDAL yang memiliki kekurangan dalam segi
substansi akan tetapi tetap disetujui.

41
Evan Devara, dkk., Inovasi Pendekatan Berbasis Risiko Dalam Persetujuan Lingkungan
Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, LITRA: Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan
Agraria, Vol. 1, No.1 (Oktober 2021), p. 107..

1012
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Oleh karena itu, urgensi pemerintah saat ini adalah dalam rangka
meminimalisasi dampak emisi GRK dari PLTA ini dengan mengadakan
inventarisasi dan mengaturnya secara normatif, salah satunya adalah dengan
meratifikasi produk hukum final dari persetujuan Internalgovernmental
Panel Climate Change (IPCC) untuk memasukan Reservoir dalam kategori
“Flooded Lands”.
2. Pertimbangan hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA telah sesuai dengan ketentuan
UU PPLH, sebagai berikut:
a. Pertimbangan hukum mengenai kedudukan WALHI didasarkan secara
langsung pada Pasal 92 UU PPLH;
b. Pertimbangan hukum mengenai penerbitan objek sengketa yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam segi
kewenangan sesuai dengan Pasal 36 ayat (4) UU PPLH yang menentukan
diferensiasi kewenangan bagi Pejabat TUN untuk mengeluarkan
perizinan;
Terkait dengan pelaksanaan kewenangan pemerintah provinsi Aceh
terhadap kehutanan menurut Qanun perlu diterapkan secara konsekuen
dengan mengutamakan ketentuan asas Lex Superior Derogat Legi Inferior,
terutama penerbitan IPPKH yang memang dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan. Merujuk kepada penggantian
IPPKH menjadi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pun sekiranya tak
perlu menjadi kekhawatiran selama penerapan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta Peraturan Pemerintah terkait
dilaksanakan secara konsekuen dalam hal pemenuhan persyaratan
administratif dan teknis.

1013
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Burlian, Paisol. 2014. Kewenangan Kepala Daerah Menurut Undang-Undang.
(Palembang: Penerbit NoerFikri).
Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Investarisasi
Gas Rumah Kaca Nasional: Buku I Pedoman Umum. INV/KLH/290612.
(Jakarta: Penerbit Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia)
Juniarso, Ridwan dan Achmad Sodik. 2016. Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah. (Bandung: Penerbit Nuansa).
Mantili, Rai dan Anita Afriana. 2015. Buku Ajar Hukum Acara Perdata.
(Bandung: Penerbit CV Kalam Media).
Rajardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. (Bandung: Penerbit Citra Aditya).
Wasono, Agung dan Muhammad Maulana. 2018. Tinjauan Kritis Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan di Indonesia. (Jakarta: Penerbit
Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Knowledge Sector
Initiative dan Australian Government).

Publikasi
Asrun, Andi Muhammad dkk., Mempertanyakan Legalitas Qanun Aceh:
Sesuaikah dengan Sistem Peraturan Perundang-Undangan. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum. Vol.21. No.2 (Agustus 2019).
Is, Muhamad Sadi. Kepastian Hukum terhadap Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Yudisial. Vol.13. No.3 (Desember
2020).
Devara, Evan, dkk., Inovasi Pendekatan Berbasis Risiko dalam Persetujuan
Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja. LITRA: Jurnal
Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria. Vol.1. No.1 (Oktober 2021).
Herawan, Wawan, dkk.. Potensi Gas Rumah Kaca dari Cadangan Karbon yang
Tersimpan pada Lahan Bakal Waduk Jatigede. Jurnal Teknik Hidraulik.
Vol.6. No.2 (November 2015).
Kholiq, Imam. Analisis Pemanfaatan Energi Alternatif sebagai Energi
Terbarukan untuk Mendukung Subtitusi BBM. Jurnal IPTEK. Vol.19. No.2
(2015).
Kusumawardhani, Ismi Dian dan Rahmat Gernawa. Analisis Perubahan Iklim
Berbagai Variabilitas Curah Hujan dan Emisi Gas Metana (CH4) dengan
Metode Grid Analysis and Display System (GrADS) di Kabupaten
Semarang. Youngster Physics Journal. Vol.4. No.2 (Januari 2015).
Li, Xuerong, dkk.. Can Hydropower Still be Considered a Clean Energy Source?
Compelling Evidence from A Middle-Sized Hydropower Station In China.
Sustainability. Vol.1. No.16: 4261 (Agustus 2019).
Nugraha, Yoga Tri, dkk. Perkiraan Konsumsi Energi Listrik di Aceh pada Tahun
2028 Menggunakan Metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System.
Journal of Computer Engineering System and Science. Vol.5. No.1 (Januari
2020).
Pratama, Riza. Efek Rumah Kaca terhadap Bumi. Buletin Utama Teknik. Vol.4.
No.2 (Januari 2019).

1014
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Putra, Rudi Hardiansyah. Masyarakat Aceh dan Konservasi Kawasan Ekosistem


Leuser. Prosiding Seminar Nasional Biotik. Vol.3. No.1 (2015).

Website
Hanafiah, Junaidi. Amdal PLTA Tampur Dipaksakan, Relokasi Masyarakat dan
Mitigasi Konflik Satwa Diabaikan. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2018/02/23/amdal-plta-tampur-dipaksakan-
relokasi-masyarakat-dan-mitigasi-konflik-satwa-diabaikan/. diakses pada 05
September 2021.
______________. Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA
Tampur. diakses dari https://www.mongabay.co.id/2019/08/21/desa-lesten-
akan-ditenggelamkan-demi-alasan-plta-tampur/. diakses pada 18 November
2021
The New Bottom Line. The Hydropower Paradox: Is This Energy As Clean As It
Seems?, diakses dari https://www.theguardian.com/sustainable-
business/2016/nov/06/hydropower-hydroelectricity-methane-clean-climate-
change-study. diakses pada 05 September 2021.

Sumber Hukum
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah
yang Bersifat Nasional di Aceh. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 38. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5659.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 327.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5795.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 05 Tahun 2012
tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
p.73/MenLhk/SETJEN/ KUM.1/12/2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan
dan Pelaporan Investarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan.

1015
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
188/K/HK.02/MEM.L/2021 tentang Pengesahan Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO)
Tahun 2021 Sampai dengan Tahun 2030.
Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh. Lembaran Aceh
Tahun 2016 Nomor 10. Tambahan Lembaran Aceh Nomor 82.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 270 K/TUN/LH/2020.
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor
264/B/LH/2019/PTTUN-MDN.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
Keputusan Gubernur Aceh Nomor 552.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017.

1016
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

SUPERVISION MINING SYSTEM : REKONSTRUKSI PENGAWASAN


SEKTOR HULU MINYAK DAN GAS BUMI YANG BERKEADILAN
SOSIAL DI INDONESIA
SUPERVISION MINING SYSTEM : RECONSTRUCTION OF
SUPERVISION OF SOCIALLY EQUITABLE UPSTREAM OIL AND GAS
SECTOR IN INDONESIA
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : nabilaauliarahma99@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Rahma, Nabila Aulia dkk.. Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu
Minyak dan Gas Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia. Rewang Rencang : Jurnal Hukum
Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).

ABSTRAK
Prinsip kesejahteraan rakyat tersirat dalam sila kelima pancasila yang berbunyi
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pancasila merupakan falsafah
negara (Philosofische Gronslag) dan dasar negara yang mengandung nilai-nilai
fundamental yang menjadi dasar demi tercapainya cita negara Indonesia. Cita
negara yang terkandung dalam preambul UUD NRI 1945 menunjukkan ciri
negara kesejahteraan (Welfare State) yang mengamanatkan Negara untuk
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 33
UUD NRI 1945 bahwa bumi air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pasal
tersebut kemudian menjadi landasan konstitusional sekaligus arah pengaturan
dalam pengelolaan sumber daya alam yang berlandaskan keadilan sosial guna
memberikan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional. Seperti
halnya Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang merupakan sumber daya alam
strategis sekaligus komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan
memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolanya
harus memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Salah satu kegiatan
usaha hulu Migas yang memiliki peranan penting sebagai penggerak
perekonomian nasional adalah sektor hulu Migas. Sektor hulu Migas akan
memberikan manfaat yang signifikan apabila dikelola dan diawasi dengan dengan
baik. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, pemerintah membentuk
Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai pemegang kuasa sektor hulu Migas.
Namun pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
X/2012, BP Migas dibubarkan karena dianggap inkonstitusional. Sebagai akibat
hukumnya pada tahun 2013 Pemerintah membentuk SKK Migas untuk
melaksanakan pengelolaan hulu Migas. Namun keberadaan SKK Migas dalam
praktiknya tidak menjamin terciptanya pengawasan hulu Migas yang lebih efektif.

1017
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Melambungnya Cost Recovery yang tidak proporsional menunjukkan kelemahan


SKK Migas dalam melakukan pengawasan dan pengendalian sektor hulu Migas.
Oleh karena itu sistem pengawasan yang efektif sangat dibutuhkan guna
meningkatkan produktivitas sektor hulu Migas dan kesejahteraan nasional.
Berdasarkan problematika tersebut penulis menggagas Supervision Mining System
yang merupakan model baru pengawasan yang ideal guna mengakomodasi
pelaksanaan kegiatan usaha hulu Migas yang berlandaskan nilai keadilan sosial.
Kata Kunci: Keadilan Sosial, Pengawasan, Sektor Hulu Migas

ABSTRACT
The principle of people's welfare is implied in the fifth precept of Pancasila which
reads "social justice for all Indonesian people". Pancasila is the philosophy of the
state (Philosofische Gronslag) and a state policy that contains fundamental values
that are the basis for the achievement of the Indonesian state. The state ideal
contained in the preamble of the 1945 NRI Constitution shows the characteristics
of the welfare state (Welfare State) that mandates the State to be responsible for
the welfare of the people. This is confirmed in Article 33 of the 1945 NRI
Constitution that the earth's water and natural wealth in it are controlled by the
State and used as much as possible for the welfare of the people. The article then
becomes a constitutional foundation as well as the direction of arrangements in
the management of natural resources based on social justice to provide real
added value to the national economy. As well as Oil and Gas (Migas) is a
strategic natural resource as well as a vital commodity that controls the lives of
many people and has an important role in the national economy so that its
managers must provide prosperity and welfare of the people. One of the upstream
oil and gas business activities that have an important role as a driver of the
national economy is the upstream oil and gas sector. The upstream oil and gas
sector will provide significant benefits if managed and supervised properly. In
order to carry out these supervisions, the government established the Oil and Gas
Implementing Agency (BP Migas) as the power holder of the upstream oil and gas
sector. But after the issuance of the Constitutional Court decision No. 36 / PUU-X
/ 2012, BP Migas was dissolved because it was considered unconstitutional. As a
result of the law in 2013, the Government established SKK Migas to carry out
upstream management of Oil and Gas. But the existence of SKK Migas in practice
does not guarantee the creation of more effective upstream oil and gas
supervision. The disproportionate soaring cost recovery shows the weakness of
SKK Migas in conducting supervision and control of the upstream oil and gas
sector. Therefore, an effective supervision system is needed to increase the
productivity of the upstream oil and gas sector and national welfare. Based on
these problems, the author initiated a supervision mining system which is a new
model of supervision that is ideal to accommodate the implementation of
upstream oil and gas business activities based on the value of social justice.
Keywords: Social Justice, Supervision, Upstream Oil and Gas Sector

1018
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

A. PENDAHULUAN
“Indonesia yang merdeka bukanlah tujuan akhir, akan tetapi kemerdekaan yang
sebenarnya adalah ketika rakyat bisa hidup makmur dan bahagia.”
- Mohammad Hatta
Merupakan sebuah keniscayaan ketika berbicara mengenai kemerdekaan,
karena pada hakikatnya bukan hanya kemerdekaan yang sebatas lepas dari
cengkeraman kolonial, akan tetapi kesejahteraan rakyatlah yang menjadi bukti
kemerdekaan yang sesungguhnya. Prinsip kesejahteraan rakyat tersirat dalam sila-
sila pancasila khususnya sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”. Pancasila merupakan ikrar suci yang menjadi tanda
kemerdekaan bangsa Indonesia. Pancasila juga merupakan falsafah negara
(Philosofische Gronslag) yang digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan
dan penyelenggaraan negara. Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa
setiap tindakan rakyat dan Negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila. Nilai-
nilai yang terkandung pada Pancasila bersifat universal, sehingga harus
diinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai Pancasila yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 secara
yuridis mempunyai kedudukan sebagai pokok kaidah yang fundamental. 1 Kaidah
fundamental tersebut merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan demi
tercapainya tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Pembukaan UUD 1945 merupakan kesepakatan luhur bangsa Indonesia
untuk hidup bersama (Modus Vivendi) dalam ikatan satu bangsa yang majemuk.2
Modus Vivendi tersebut, telah melahirkan cita negara, yang merupakan identitas
dan pedoman bangsa dalam melangkah. Cita negara yang terkandung dalam
preambule UUD NRI 1945, menunjukkan ciri negara kesejahteraan (Welfare
State), yang merupakan karakteristik dari negara modern. Dengan demikian,
konstitusi telah mengamanatkan Negara untuk bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 33 UUD NRI 1945
bahwasannya bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar besarnya demi untuk kesejahteraan rakyat.

1
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma Offset, Yogyakarta, 2010, p.77.
2
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Penerbit
LP3ES, Jakarta, 2007, p.3-4.

1019
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Pada penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945 juga tercermin adanya demokrasi
ekonomi yang menjadi ciri khas dari negara kesejahteraan, yang berbunyi:
“Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua
orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau
tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai
hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang seorang. Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Ketentuan tersebut selanjutnya merupakan landasan konstitusional dan
sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan monopoli
pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber
daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya yang berlandaskan semangat
sosial3, sehingga konsekuensi logis adalah penempatan pengelolaan dan
penguasaan terhadap berbagai sumber daya harus ditujukan kepada kepentingan
publik.4 Sumber daya alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena
itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara
nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Seperti halnya minyak dan gas bumi (Migas), yang mana keberadaannya
merupakan amanat dan karunia Sang Pencipta untuk dimanfaatkan dan
dilestarikan demi keberlangsungan hidup manusia. Migas merupakan sumber
daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan
komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai
peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus
dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.5

3
Sri Edi Swasono, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Harus Dipertahankan,
Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat, Makalah Bappenas, diakses dari
https://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10688/2404/, diakses pada 20 Agustus
2019.
4
SF. Marbun, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak
dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi, Universitas
Padjajaran, Bandung, 2001, p.50.
5
Konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

1020
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Menurut data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Indonesia merupakan
salah satu negara dengan jumlah cadangan minyak dan gas bumi yang cukup
besar. Jumlah cadangan minyak bumi status 01.01.2018 adalah sebesar 7512,2
MMSTB, sedangkan jumlah cadangan gas bumi status 01.01.2018 adalah sebesar
135,55 Triliun kaki kubik (TSCF).6 Sebagai salah satu komoditas vital, Migas
juga memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara, hal ini dibuktikan pada
tahun 2018 penerimaan sektor Migas mencapai 228 Triliun atau 182% dari target
APBN 2018 sebesar 125 Triliun dengan komposisi 163.4 Triliun PNBP dan 64.7
Triliun PPh Migas.

Gambar 1.1 Penerimaan Sektor Migas Tahun 2018


Sumber: esdm.go.id
Salah satu kegiatan usaha Migas yang memiliki peranan penting sebagai
roda penggerak perekonomian nasional adalah sektor hulu Migas. Sektor hulu
Migas menjadi salah satu sektor usaha nasional yang telah memberikan kontribusi
bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kegiatan usaha hulu minyak dan gas
bumi akan memberikan manfaat yang signifikan apabila dikelola dan diawasi
dengan baik. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, Pemerintah
membentuk suatu Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai pemegang kuasa
untuk melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha hulu Migas.

6
Ditjen Migas, Laporan Tahunan Capaian Pembangunan Tahun 2018, Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi, Jakarta, 2018, p.44-45.

1021
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Namun pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-


X/2012, BP Migas dibubarkan dengan alasan frasa-frasa terkait Badan Pelaksana
yang tercantum dalam UU Migas dianggap inkonstitusional. Bahkan BP Migas
telah menyebabkan inefisiensi sehingga Migas sebagai bagian dari sumber daya
alam yang seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
ternyata tidak dapat dinikmati oleh rakyat.7
Setelah Badan Pelaksana Migas dibubarkan, pada tahun 2013 Pemerintah
membentuk SKK Migas melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta
Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi. SKK
Migas mempunyal tugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu Migas
berdasarkan Kontrak Kerja Sama agar pengambilan sumber daya alam minyak
dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang
maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.8 Namun
keberadaan SKK Migas sebagai pengelola kegiatan usaha hulu Migas dalam
praktiknya tidak menjamin terciptanya pengawasan dan pengendalian sektor hulu
Migas yang lebih efektif. Berdasarkan data SKK Migas disebutkan bahwa
penggantian biaya produksi (Cost Recovery) Migas pada tahun 2019 senilai
US$10.21 Miliar yang disebabkan adanya penurunan biaya produksi dari US$5.95
Miliar menjadi kurang dari US$5.13 Miliar.9 Melambungnya Cost Recovery yang
tidak proporsional menunjukkan adanya kelemahan SKK Migas dalam melakukan
pengawasan dan pengendalian kegiatan usaha hulu Migas di Indonesia. Oleh
karena itu sistem pengawasan yang efektif sangat dibutuhkan guna meningkatkan
produktivitas sektor hulu Migas dan kesejahteraan nasional.

7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Atas Undang
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8
Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan
Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi
9
David Eka Issetiabudi, Biaya Produksi Migas, Cost Recovery 2019 Disepakati Us$10,21
Miliar, diakses dari https://industri.bisnis.com/read/20180919/44/840098/biaya-produksi-Migas-
costrecovery-2019-disepakati-us1021-miliar, diakses pada 20 Agustus 2019.

1022
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Melihat berbagai permasalahan tersebut, fungsi negara dalam melakukan


pengawasan sektor hulu Migas diperlukan dalam rangka mengawasi dan
mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan negara atas Migas benar-benar
dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan problematika
tersebut penulis menggagas Supervision Mining System yang merupakan model
baru sistem pengawasan yang ideal guna mengakomodasi pelaksanaan kegiatan
usaha hulu Migas dengan berlandaskan nilai keadilan sosial. Grand Design
tersebut ditulis dalam tulisan ini dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana problematika pelaksanaan pengawasan sektor hulu minyak dan
gas bumi saat ini?
2. Bagaimana konsep Supervision Mining System sebagai upaya rekonstruksi
pengawasan sektor hulu minyak dan gas bumi yang berkeadilan sosial di
Indonesia?

B. PEMBAHASAN
a. Problematika Pelaksanaan Pengawasan Sektor Hulu Migas di
Indonesia Saat Ini
Hingga saat ini, pengelolaan sektor hulu minyak dan gas bumi (selanjutnya
disebut Migas) masih menggunakan skema Production Sharing Contract (Kontrak
dengan bagi hasil) antar para pihak, yaitu negara dan perusahaan
nasional/multinasional yang berinvestasi di sektor hulu Migas. Kontrak bagi hasil
di Indonesia mulai populer sejak pertama kali diperkenalkan pada 1960 oleh Ibnu
Sutowo.10 Ibnu Sutowo memperkenalkan bentuk kontrak dengan bagi hasil ini
karena Indonesia pada saat itu merupakan negara yang memiliki kandungan
Migas yang melimpah, tetapi Indonesia tidak memiliki kemampuan, baik dari segi
Sumber Daya Manusia yang kompeten, keuangan, dan teknologi untuk melakukan
pengelolaan usaha hulu Migas karena kegiatan hulu Migas merupakan usaha yang
membutuhkan modal dan memiliki risiko yang tinggi.11

10
Ari Tri Wibowo, Kewenangan Bertindak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Untuk Menandatangani Kontrak Kerjasama, Tesis,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2013.
11
Rudi M. Simamora, Hukum Minyak Dan Gas Bumi, Penerbit Jambatan, Jakarta, 2000,
p.93.

1023
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Namun, pada tataran implementasi, pengelolaan Migas diarahkan hanya


untuk investasi dan ekspor, sehingga terdapat indikasi adanya politik hukum obral
minyak dan gas bumi, dengan tidak adanya strategi pencadangan sumber minyak
dan gas bumi untuk kebutuhan rakyat di masa depan.12 Pergantian penyelenggara
negara yang menjadi pemegang otoritas negara sama sekali tidak mencerminkan
penghentian terhadap liberalisasi minyak dan gas bumi. Saat ini, eksploitasi
minyak dan gas bumi semakin tak tertanggulangi, sedangkan regulasi yang
dikeluarkan hanya demi keuntungan investasi semata. Ditengah kondisi
infrastruktur dan bisnis Migas yang kacau, sangat tidak mungkin Indonesia
mampu bersaing dalam pasar bebas per-Migas-an.13
Sektor Migas saat ini bukan lagi sumber pemasukan utama Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kontribusinya terhadap penerimaan
negara secara langsung tinggal sekitar 4-5%, berbeda dengan periode 1970-1980
yang mencapai 60% lebih.14 Penyebabnya, kinerja sektor Migas sendiri terus
menurun hampir dua dekade terakhir, tercermin dari terus menurunnya produksi
Migas. Dengan tren produksi yang terus menurun, penerimaan Negara dari sektor
Migas hanya bergantung pada pergerakan harga minyak.

Gambar 2.1 Grafik Produksi Migas di Indonesia


Sumber: BP Global Company

12
Jaringan Advokasi Tambang, Kebijakan yang Melayani Pemodal, Majalah Jaringan
Advokasi Tambang, 2005, p.43.
13
Indah Dwi Qurbani, Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia,
Jurnal Arena Hukum, Vol.6, No.2 (2012), p.116.
14
Muhammad Idris, Setoran dari Migas Tak Bisa Lagi Jadi Andalan di APBN, diakses dari
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3604714/setoran-dari-Migas-tak-bisa-lagijadi-
andalan-di-apbn, diakses pada 25 Agustus 2019.

1024
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Kondisi tersebut diperparah dengan adanya indikasi praktik suap dan


korupsi di tubuh SKK Migas. Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi mengungkap
betapa rawannya sektor hulu terhadap praktik suap. Seperti diketahui, mantan
Kepala SKK Migas, Rubi Rubiandini terjerat kasus suap terkait tender minyak
mentah dan kondensat bagian negara. Rubi juga dijerat karena menerima uang
dari PT Kaltim Parna Industri agar memberikan rekomendasi atau persetujuan
menurunkan formula harga gas. Tak hanya itu, SKK Migas juga pernah terseret
kasus dugaan korupsi penjualan kondensat oleh PT Trans Pacific Petrochemical
Indotama (TPPI). Berdasar kalkulasi BPK, negara mengalami kerugian sebesar
US$ 2,7 Miliar atas kasus itu. Semua praktik suap yang pernah terjadi di sektor
hulu Migas tersebut membuat harga proyek melambung. Bahkan, terdapat pula
sebuah vendor yang gagal memenangkan lelang dan berusaha menghubungi para
pekerja SKK Migas untuk melakukan praktik suap, salah satunya yakni PT
Huabei Petroleum Services. Mereka dikeluarkan dari daftar vendor yang boleh
mengikuti lelang barang dan jasa SKK Migas karena tidak berkenan dilakukan
audit. Jadi, jika terdapat kontraktor yang menggunakan jasa mereka, biaya yang
sudah dikeluarkan tidak akan diganti oleh pemerintah (Cost Recovery).15
Praktik korupsi juga menjerat Mantan Direktur Utama PT Pertamina
(Persero), Karna Galaila Agustiawan pada Mei 2019 karena dianggap
memutuskan Investasi PI di Blok BMG Australia tanpa melakukan pembahasan
dan kajian terlebih dahulu. Pertamina dinilai menyetujui PI tanpa adanya due
diligence serta tanpa adanya analisa risiko yang ditindaklanjuti dengan
penandatanganan Sale Purchase Agreement (SPA). Selain itu, menurut jaksa,
penandatanganan tersebut dilakukan tanpa persetujuan bagian legal dan Dewan
Komisaris PT Pertamina. Menurut jaksa, perbuatan mantan direktur Pertamina
telah memperkaya Roc Oil Company Ltd Australia. Kemudian, sesuai laporan
perhitungan dari Kantor Akuntan Publik Drs Soewarno, perbuatan yang dilakukan
telah merugikan negara sebesar Rp. 568 Miliar.16

15
Anggita Rezki Amelia, Cerita Kepala SKK Migas Soal Rawannya Praktik Suap di Sektor
Hulu, diakses dari https://katadata.co.id/berita/2018/03/27/cerita-kepala-skk-Migas-soal-
rawannyapraktik-suap-di-sektor-hulu, diakses pada 24 Agustus 2019.
16
Abba Gabrilin, Karen Agustiawan: Baru Pertama Kali Bisnis Hulu Migas Dianggap
Pidana Korupsi, dari https://nasional.kompas.com/read/2019/05/29/19371701/karen-agustiawan-
barupertama-kali-bisnis-hulu-Migas-dianggap-pidana-korupsi?page=2, pada 24 Agustus 2019.

1025
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Selain gangguan di tubuh internal SKK Migas, gangguan keamanan di


lapangan operasi hulu Migas juga kerap terjadi, bahkan pada 2016 mencapai 893
kasus. Gangguan tersebut meliputi pencurian peralatan, pencurian minyak,
penutupan jalan, penghentian operasi hingga perusakan material. Gangguan
tersebut mengakibatkan tertundanya berbagai kegiatan di bagian inti hulu Migas.17
Kegiatan usaha hulu Migas juga merupakan industri yang memiliki risiko tinggi
terjadinya kecelakaan, kebakaran, ledakan dan pencemaran lingkungan. Hal ini
tentunya berdampak pada terganggunya operasi, pencemaran lingkungan dan
penurunan produksi Migas, seperti kejadian blowout pada kegiatan pengeboran
darat oleh Lapindo Berantas di Jawa timur.18
Apabila mengkaji lebih mendasar, akar dari permasalahan terus menurunnya
kinerja sektor Migas terletak pada ketidakpastian hukum yang bersumber dari
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Mahkamah Konstitusi
(MK) telah memberikan putusan yang telah membatalkan pasal-pasal didalamnya,
yakni Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012. Dalam putusan tersebut, MK telah
membatalkan Pasal 1 Angka 23, Pasal 4 Ayat (3), Pasal 41 Ayat (2), Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 48 (1), Pasal 59 Huruf a, Pasal 61, Pasal 63 UU Migas. MK
membatalkan frasa Badan Pelaksana dalam Pasal 11 Ayat (1), frasa melalui Badan
Pelaksana dalam Pasal 20 Ayat (3), frasa berdasarkan pertimbangan dari Badan
Pelaksana dan dalam Pasal 21 Ayat (1), frasa Badan Pelaksana dalam Pasal 49
dari UU Migas. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas)
dinyatakan bertentangan dengan konstitusi karena keberadaannya menghalangi
negara melakukan pengelolaan hulu Migas secara langsung atau bahkan
menghalangi negara untuk dapat menunjuk secara langsung Badan Usaha Milik
Negara atau BUMN untuk mengelola Migas.19

17
Ari Sunaryo, Peristiwa Gangguan Operasi Hulu Migas Capai 893 Kasus Hingga
Oktober 2016, diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/gangguan-operasi-hulu-Migas-
capai-893- kasus-hingga-oktober-2016.html, diakses pada 24 Agustus 2019.
18
Djoko Siswanto, Regulasi dan Standar Pengelolaan Keselamatan Operasi Hulu Migas,
Jurnal Migas, Issue 01 (Januari-Juni 2018), p.13.
19
Lihat Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.

1026
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Pengelolaan Migas melalui Kontrak Kerja Sama (KKS) yang dilakukan BP


Migas dalam putusan MK itu dipandang bertentangan dengan konstitusi karena
mengonstruksikan negara dan kontraktor berada dalam posisi sejajar/sederajat.
Negara menjadi terikat dalam kontrak perdata yang harus diikuti sehingga
kehilangan kedaulatan untuk membuat regulasi yang dapat berbeda/bertentangan
dengan isi kontrak perdata itu. Sementara itu tugas dari BP amatlah penting, salah
satunya yakni bertugas melakukan pengawasan terhadap Kegiatan Usaha Hulu
agar pengambilan Migas milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan
yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akan tetapi,
nyatanya hal tersebut belum terjadi sementara itu justru keuntungan lebih banyak
dinikmati oleh pihak investor.
Pasca putusan MK itu, kewenangan BP Migas diserahkan pada Kementerian
terkait. Hal ini harus dipahami bahwa pengganti dari BP Migas harusnya tidak
boleh sama tugas dan fungsinya dengan BP Migas, karena secara kelembagaan
“Badan Pelaksana Migas” beserta tugas dan fungsinya harus dihapus dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia.20 Namun atas putusan MK ini, pemerintah hanya
merespons dengan mendirikan badan baru yang melaksanakan KKS Migas
dengan nama Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas dan menempatkannya di bawah
kementerian ESDM sebagai bagian dari institusi pemerintah. Keberadaan SKK
Migas mengonstruksikan pola pengusahaan hulu Migas yang didasarkan atas
sistem kontrak, dari Business to Business, menjadi Government to Business.21
Pola pengusahaan yang menggunakan Government to Business, namun masih
diberlakukannya sistem kontrak, hal inilah yang menjadikan SKK Migas masih
memiliki tugas dan wewenang yang substansinya sama dengan BP Migas. Hal ini
terlihat dari regulasi yang telah diterbitkan dalam Perpres Nomor 9 Tahun 2013
tentang SKK Migas, dimana tidak ada perbedaan yang signifikan antara BP Migas
dan SKK Migas. Hanya nama lembaga yang berbeda, tetapi tugas, fungsi,
organisasi, pendanaan, aset dan personalia masih sama. Hal ini menunjukkan
bahwa, pemerintah belum bersungguh-sungguh memperbaiki tata kelola Migas.

20
Dian Aries Mujiburohman, Akibat Hukum Pembubaran BP Migas, Jurnal Mimbar
Hukum, Vol.25, No.3 (2013), p.462.
21
Pri Agung Rakhmanto, Akar Permasalahan Sektor Migas, diakses dari
http://www.reforminer.com/akar-permasalahan-sektor-Migas/, diakses pada 25 Agustus 2019.

1027
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Sebenarnya, negara memiliki beberapa fungsi dalam sektor hulu Migas,


yaitu (1) Fungsi Pengaturan yang dilakukan melalui kewenangan legislasi dan
pembuatan regulasi (2) Fungsi Pengelolaan yang dilakukan melalui mekanisme
kepemilikan saham dan atau sebagai instrumen kelembagaan yang
mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber Migas itu untuk
kemakmuran rakyat (3) Fungsi Pengawasan yang dilakukan oleh negara dalam
rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara
atas sumber-sumber Migas benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.22 Ketiga bentuk penguasaan negara ini dalam putusan MK
ditempatkan dalam posisi yang sama, artinya pemerintah tidak hanya dapat
melakukan satu fungsi saja. Misalnya, dalam hal pemerintah hanya melakukan
fungsi mengatur. Fungsi mengatur adalah fungsi negara yang umum di negara
manapun tanpa perlu ada Pasal 33 UUD NRI 1945. Jika dimaknai demikian,
makna penguasaan negara tidak mencapai tujuan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Sejatinya, terjadinya problem-problem diatas disebabkan
minimnya pengawasan dari Pemerintah untuk mencegah kasus-kasus tersebut
terjadi. Pengawasan merupakan salah satu aspek terpenting yang berpengaruh
terhadap efektivitas dalam tata kelola Migas. Hal ini harus ditunjukkan dengan
adanya standar pengawasan sebagai faktor pendukung pengawasan. Pengawasan
adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan hulu Migas untuk
menjamin semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditentukan sebelumnya.23
Pengawasan Migas pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan Pengelolaan
Migas yang akan dicapai, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Melalui mekanisme pengawasan, diharapkan dapat membantu melaksanakan
kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara efektif dan efisien. Melalui
pengawasan juga tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan
atau evaluasi mengenai pelaksanaan tata kelola Migas yang sudah dilaksanakan.

22
Lihat Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.
23
Raditya Arindya, Efektivitas Organisasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Penerbit
Media Sahabat Cendekia, Surabaya, 2019, p.108.

1028
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Dalam hal ini, penekanan pengawasan lebih pada upaya mengenali penyimpangan
atau hambatan di dalam efektivitas dalam tata kelola Migas. Dengan kata lain,
tujuan pengawasan adalah mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya
tentang tata kelola Migas. Pengawasan yang dilakukan pada SKK Migas dan
Kontraktor hanya mencakup penyusunan Kontrak Kerja Sama, dan juga
pengawasan secara teknis pelaksanaan proses Lifting. Oleh karena itu,
pengawasan terhadap SKK Migas dan Kontraktor dinilai lemah terutama dalam
menanggulangi penyelewengan pengadaan Migas. Sehingga minim tercapainya
keadilan sosial yang tujuan penguasaan Migasnya ditujukan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
b. Konsep Supervision Mining System sebagai Upaya Rekonstruksi
Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Berkeadilan
Sosial di Indonesia

Bagan 2.2 Pemaknaan Pasal 33 UUD NRI 1945


Sumber: Kreasi Penulis
Karakteristik keadilan Pancasila sesuai dengan sila kelima dari Pancasila
yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berkaitan erat dengan
pembentukan struktur kehidupan masyarakat yang didasarkan atas prinsip-prinsip
persamaan (equality) dan solidaritas (solidarity) yang mengandung pengakuan
akan martabat manusia yang memiliki hak-hak yang sama yang bersifat asasi.24

24
Rachmad Safa’at, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Kepaniteraan dan Sekjen MK RI, Jakarta, 2017, p.16.

1029
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Artinya, setiap warga negara Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama
untuk menciptakan suatu keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Keadilan sosial juga merupakan ujung dari semua ide tentang keadilan
hukum dan keadilan ekonomi sekaligus simpul dari semua dimensi dan aspek dari
ide kemanusiaan tentang keadilan.25 Konsep keadilan dalam Sumber Daya Alam
dijelaskan dalam konstitusi dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu bentuk penguasaan oleh negara dalam
Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah adanya sektor pengawasan. Sektor pengawasan
dianggap penting sebagai tolak ukur keberhasilan dan pengendali penyimpangan
dalam Sumber Daya Alam. Kedudukan sektor pengawasan dalam Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi dianggap sangat krusial karena mengingat merupakan
cabang produksi penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak,
oleh karena itu konsep pengawasan yang benar diperlukan untuk mencapai
keadilan yang dicita-citakan.
Pengawasan yang paling mengalami instabilitas keadilan dan dianggap
paling rentan dalam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi berada dalam sektor
hulu. Pengawasan sektor hulu berpengaruh terhadap efektivitas organisasi dalam
tata kelola Migas ditunjukkan dengan implementasi dan tindakan korektif sebagai
faktor determinan pengawasan serta standar pengawasan sebagai faktor
pendukung pengawasan. Terwujudnya pengawasan yang efektif ditentukan
ditentukan oleh standar pengawasan, implementasi/pelaksanaan dan tindakan
korektif sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan
tindakan. Hal tersebut selaras dengan batasan pengawasan adalah proses
pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya26Oleh karena itu perlu disusunnya model pengawasan
sektor hulu yang ideal untuk mencapai sesuai rencana yang telah ditentukan
sebelumnya yang penulis digambarkan dalam konsep Supervision Mining System
dalam bagan berikut ini:

25
Rachmad Safa’at, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Kepaniteraan dan Sekjen MK RI, Jakarta, 2017, p.16.
26
Raditya Arindya, Efektivitas Organisasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Penerbit
Media Sahabat Cendekia, Surabaya, 2019, p.105.

1030
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Bagan 2.3 Skema Supervision Mining System


Sumber: Kreasi Penulis

1031
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Pengawasan yang dibentuk diatas akan melibatkan setidaknya empat


stakeholder terkait dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagai berikut:
a. Supervision Mining System dilakukan pada dasarnya diarahkan
sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan
atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan
ini, diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif
dan efisien. Dalam hal ini, penekanan pengawasan lebih kepada upaya
mengenali penyimpangan atau hambatan di dalam efektivitas organisasi
dalam tata kelola Migas. Dari uraian tersebut, dapat dikatakan efektivitas
memiliki peran penting dalam pengawasan dalam menentukan efektivitas
organisasi dalam tata kelola Migas. Pengawasan dilakukan oleh Komisi
Pengawas merupakan salah satu unsur penting dalam rangka pengawasan
dan pendayagunaan aparatur pemerintah khususnya pegawai SKK Migas
dalam rangka melakukan tugasnya. Setidaknya, ada lima kewenangan
komisi pengawas yakni: Pertama, mengawasi kebijakan strategis dan
rencana kerja SKK Migas dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan
kegiatan usaha hulu Migas; Kedua, melakukan pengendalian,
pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan operasional
SKK Migas dalam penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu
Migas; Ketiga, memberikan pendapat, saran, dan tanggapan atas laporan
berkala mengenai kinerja SKK Migas; Keempat, melakukan rekrutmen
pimpinan SKK Migas melalui mekanisme Fit And Proper Test; Kelima,
memberikan usulan pengangkatan dan pemberhentian kepala SKK Migas
kepada Menteri ESDM dari hasil rekrutmen melalui mekanisme Fit And
Proper Test. Sementara itu, kewajiban yang dimiliki adalah wajib
menerima laporan kerja tahunan dari SKK Migas sesuai dengan format
laporan yang ditentukan, yakni terkait usaha hulu.
b. Hubungan antara SKK Migas dan Komisi Pengawas adalah melakukan:
(a) melaksanakan proses rekrutmen yang ditentukan komisi pengawas
untuk pemilihan pimpinan SKK Migas; (b) memberikan laporan kerja
tahunan kepada komisi pengawas atas kegiatan hulu yang dilakukan.
c. SKK Migas Top-down hubungan dengan manager, manager pada sub-
manager, sub-manager dengan kepala bidang, dan kepala bidang dengan
pekerja. Hubungan ini dimaksudkan untuk harmonisasi organisasi
pengelola minyak dan gas bumi guna melaksanakan pertambangan
minyak dan gas bumi. Sikap kepemimpinan yang baik yakni untuk tidak
menyalahgunakan wewenang dan meningkatkan produksi Migas
sehingga mempunyai tujuan kepada terpenuhinya energi Migas bagi
masyarakat. Bahwa Pimpinan SKK Migas adalah orang yang jujur,
memiliki pandangan yang realistis dan solutif untuk menyelesaikan
kesulitan sesuai prinsip profesionalisme dan metode pengambilan
keputusan yang relevan. Pimpinan SKK Migas harus realistis dalam
kebijakan produksi Migas, diantaranya menentukan target Lifting Migas
yang realistis sehingga tidak memberi tekanan pada APBN dan
bekerjasama dengan BPH Migas selaku usaha hilir Migas yang
mencakup: pengelolaan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga.

1032
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Sehingga Migas dapat dikelola dalam negeri dan meningkatkan


penggunaannya untuk kepentingan dalam negeri/mengurangi ekspor.
Hubungan SKK Migas secara horizontal atas kontrak kerja sama dengan
pihak lain yang memungkinkan terlibat dengan pemberitahuan kepada
menteri ESDM terkait hubungan kerja sama BUMN dan
MNC/IC/kontraktor. Sebagaimana yang dilakukan SKK Migas terhadap
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dimulai jauh sebelum aktivitas
lifting dilakukan, yaitu dengan merumuskan perjanjian jual beli dengan
pihak pembeli. SKK Migas juga melakukan pengawasan secara teknis
pelaksanaan proses Lifting. Perhitungan Lifting (minyak mentah dan gas
bumi siap jual) masih berdasarkan informasi atau laporan-laporan yang
dipegang KKKS. Terkait Lifting, SKK Migas menunjuk konsultan swasta
untuk melakukan pengawasan terhadap perhitungan jumlah Lifting di
lapangan. Sebagaimana diketahui, lapangan eksplorasi dan eksploitasi
Migas biasanya di lepas pantai atau di tengah hutan belantara. Dengan
demikian, membiarkan pengawasan atas jumlah Lifting kepada konsultan
adalah berisiko tinggi. Oleh karena itu, pengawasan lapangan tentang
Lifting dipegang dan dilaksanakan oleh SKK Migas itu sendiri.
Pengawasan Lifting oleh SKK Migas akan lebih bermanfaat dan
bermakna jika dilakukan oleh pimpinan langsung, sehingga
penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal.
d. Hubungan antara SKK Migas dengan Kementerian ESDM adalah yaitu:
(a) bahwa SKK Migas wajib memberikan laporan kerja pertahunnya
kepada Menteri ESDM; (b) Pimpinan SKK Migas dilantik oleh Menteri
ESDM berdasarkan dari hasil rekrutmen komisi pengawas; (c) SKK
Migas menerima rencana program pertambangan minyak dan gas bumi
yang dibuat oleh Menteri ESDM; (d) SKK Migas wajib melaksanakan
rencana program pertambangan minyak dan gas bumi yang dibuat oleh
Menteri ESDM; (e) SKK Migas wajib melaporkan hubungan SKK Migas
secara horizontal atas kontrak kerja sama dengan pihak lain yang
memungkinkan terlibat dengan pemberitahuan kepada menteri ESDM
terkait hubungan kerja sama BUMN dengan MNC/IC/kontraktor.
Sebagaimana yang dilakukan SKK Migas terhadap Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS).
e. Hubungan Komisi Pengawas didasarkan pada Pasal 35 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, terkait
pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan
melalui: (a) pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan perundang-
undangan; dan (b) pengawasan oleh pengawasan fungsional sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Komisi Pengawas bertugas
mengawasi usaha hulu dari pertambangan minyak bumi nasional
dibawah KeMenterian ESDM. Komisi Pengawas wajib memberikan
usulan pimpinan SKK Migas berdasarkan hasil rekrutmen melalui
mekanisme Fit And Proper Test. Selain itu, berdasar temuan pada hasil
pengamatan dapat diketahui indikator-indikator yang dominan dalam
pengawasan yang berperan penting terhadap efektivitas organisasi dalam
tata kelola Migas ialah pengawasan preventif, observasi & pemeriksaan.

1033
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Dalam pengawasan dalam rangka mendukung terwujudnya efektivitas


organisasi dalam tata kelola Migas, terdapat pula standar pengawasan
berupa pengawasan preventif. Pengawasan preventif lebih dimaksudkan
sebagai “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum
kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya
penyimpangan.”. Pengawasan ini dilakukan instansi pemerintah dengan
maksud untuk menghindari penyimpangan pelaksanaan keuangan negara
yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Pelaksanaan
kewenangan terkait pengawasan tersebut dilakukan oleh komisi
pengawas.
f. Hubungan antara Menteri ESDM dengan Komisi Pengawas adalah
hubungan struktural Pengawasan preventif yang dilakukan komisi
pengawas. Komisi pengawas dibentuk oleh kementerian ESDM untuk
mengawasi jalannya pertambangan minyak dan gas bumi hulu agar
terlaksana sesuai dengan program kerja yang telah diberikan. Menteri
menerima usulan pimpinan SKK Migas dari komisi pengawas,
wewenang pengawasan pelaksanaan usaha hulu Migas dimandatkan
seutuhnya kepada komite pengawas. Oleh karena itu, Menteri ESDM
dapat mengetahui hasil pengawasan usaha hulu yang dilakukan SKK
Migas melalui pengawasan komisi pengawas.
g. Terhadap pelaksanaan Usaha Pertambangan Menteri ESDM
bertanggungjawab langsung kepada Presiden dalam laporan
pertanggungjawaban kabinet.
Dalam melaksanakan pengawasan, perlu dilakukan tahapan observasi
terlebih dahulu. Observasi dalam pengawasan adalah mekanisme pengendalian
dengan melalui pengamatan dan ditujukan untuk mengendalikan kegiatan atau
produk yang dapat diamati. Observasi sendiri merupakan aktivitas yang dilakukan
terhadap suatu proses atau objek dengan maksud mengetahui dan memahami
suatu fenomena berdasarkan kepada pengetahuan dan gagasan yang sudah ada
sebelumnya, dalam rangka untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Observasi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Observasi
langsung dilakukan terhadap objek di tempat berlangsungnya kegiatan dan
observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat
berlangsungnya peristiwa yang diteliti atau diawasi. Laporan tertulis diberikan
dari masyarakat atau petugas tim SKK Migas kepada pimpinan SKK Migas dalam
efektivitas organisasi dalam tata kelola Migas. Kemudian, pimpinan membaca dan
menganalisis untuk tindak lanjut dari pengawasan tersebut. Observasi terhadap
SKK Migas perlu dilakukan untuk optimalisasi peningkatan rerata produksi Migas
siap jual (Lifting), termasuk mengurangi total Cost Recovery dan meningkatkan
Net Revenue dalam pengelolaan Migas nasional.

1034
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Pemeriksaan (audit) merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh


dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang
kegiatan-kegiatan untuk menentukan tingkat kesesuaian antara pernyataan
tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan serta mengomunikasikan hasilnya
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pemeriksaan perlu dilakukan dalam
internal SKK Migas sendiri maupun terhadap KKKS dan juga Menteri ESDM
terkait selaku penanggungjawab pertambangan minyak dan gas bumi.
Pemeriksaan SKK Migas yang dilakukan oleh BPK yang melakukan pemeriksaan
berbasis risiko. Terkait hal tersebut, maka BPK RI mengidentifikasi potensi
risiko-risiko pada industri hulu Migas, antara lain yaitu risiko kegagalan
eksplorasi, risiko peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak sesuai
dengan Production Sharing Contract (PSC), risiko pengadaan PSC yang tidak
sesuai ketentuan, serta risiko pengalihan pemilikan wilayah eksplorasi.
Dengan adanya rekonstruksi pengawasan dalam Usaha Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi diharapkan dapat meningkatkan peranan gas bumi dalam
PDB Nasional Gas bumi dalam konteks makroekonomi, dapat meningkatkan
peranan Gas Bumi dalam Ekspor-Impor Potensi dan produksi gas yang cukup
besar di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai salah satu eksportir produk gas
bumi, dapat meningkatkan Peranan Gas Bumi dalam Penerimaan APBN dimana
Penerimaan dari gas bumi dalam APBN terdiri dari penerimaan PNBP Sumber
Daya Alam Gas, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) gas, dan penerimaan
lainnya dari kegiatan usaha hulu gas. Dengan pengawasan (Good Governance),
maka pendapatan negara atas pengelolaan Migas akan meningkat dikarenakan
pengelolaan Migas berjalan efektif dan efisien sesuai rencana negara. Pendapatan
tersebut dapat digunakan untuk pembangunan maupun pembiayaan lain yang
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat sehingga dapat
berpengaruh terhadap terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

1035
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

C. PENUTUP
1. Putusan MK No.36/PUU-X/2012 membatalkan beberapa pasal tentang frasa
Badan Pelaksana karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan
menghalangi negara melakukan pengelolaan hulu Migas secara langsung
atau bahkan menghalangi negara untuk dapat menunjuk secara langsung
BUMN untuk mengelola Migas. Konsekuensi itu sekaligus menihilkan
tugas penting dari BP Migas yaitu melakukan pengawasan terhadap
Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan Migas milik negara dapat
memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Wewenang BP Migas lalu diserahkan ke
Kementerian terkait. Sehingga pemerintah merespons dengan mendirikan
badan baru yang melaksanakan KKS Migas dengan nama Satuan Kerja
Khusus (SKK) Migas dan menempatkannya di bawah kementerian ESDM
sebagai bagian dari institusi pemerintah. Keberadaan SKK Migas
mengonstruksikan pola pengusahaan hulu Migas yang didasarkan atas
sistem kontrak dari B2B menjadi G2B. Penggunaan pola G2B juga masih
mengalami kendala karena masih diberlakukannya sistem kontrak. Hal
inilah yang menjadikan SKK Migas masih memiliki tugas dan wewenang
yang substansinya sama dengan BP Migas, menunjukkan bahwa pemerintah
belum bersungguh-sungguh memperbaiki tata kelola Migas.
2. Pengawasan Migas pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan
Pengelolaan Migas yang akan dicapai, yaitu untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Untuk mencapai hal tersebut, penulis berusaha
merekonstruksikan pengawasan terhadap pertambangan Minyak dan Gas
Bumi melalui Supervision Mining System. Dengan pengawasan, maka
penulis berharap pendapatan negara atas pengelolaan Migas akan meningkat
dikarenakan pengelolaan Migas berjalan efektif dan efisien sesuai rencana
negara. Pendapatan tersebut dapat digunakan untuk pembangunan maupun
pembiayaan lain yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat sehingga dapat berpengaruh terhadap terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

1036
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arindya, Raditya. 2019. Efektivitas Organisasi Tata Kelola Minyak dan Gas
Bumi. (Surabaya: Penerbit Media Sahabat Cendekia)
Ditjen Migas. 2018. Laporan Tahunan Capaian Pembangunan Tahun 2018.
(Jakarta: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi).
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. (Yogyakarta: Penerbit Paradigma Offset).
MD, Mahfud. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. (Jakarta: Penerbit LP3ES).
Simamora, Rudi M.. 2000. Hukum Minyak Dan Gas Bumi. (Jakarta: Penerbit
Jambatan).
Safa’at, Rachmad. 2017. Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Atas Pengelolaan Sumber Daya Alam. (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekertaris
Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia).

Publikasi
Mujiburohman, Dian Aries. Akibat Hukum Pembubaran BP Migas. Jurnal
Mimbar Hukum. Vol.25. No.3 (2013).
Qurbani, Indah Dwi. Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia. Jurnal Arena Hukum. Vol.6. No.2 (2012).
Siswanto, Djoko. Regulasi dan Standar Pengelolaan Keselamatan Operasi Hulu
Migas. Jurnal Migas. Issue 01 (Januari-Juni 2018).

Media Massa
Jaringan Advokasi Tambang. Kebijakan yang Melayani Pemodal. Majalah
Jaringan Advokasi Tambang, 2005.

Karya Ilmiah
Gabrilin, Abba. Karen Agustiawan: Baru Pertama Kali Bisnis Hulu Migas
Dianggap Pidana Korupsi. diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/29/19371701/karen-agustiawan-
barupertama-kali-bisnis-hulu-Migas-dianggap-pidana-korupsi?page=2.
diakses pada 24 Agustus 2019.
Marbun, SF.. 2001. Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan
yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih di
Indonesia. Disertasi. (Bandung: Universitas Padjajaran).
Swasono, Sri Edi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Harus
Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat. Makalah Bappenas.
diakses dari
https://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10688/2404/.
diakses pada 20 Agustus 2019.
Wibowo, Ari Tri. 2013. Kewenangan Bertindak Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Untuk Menandatangani
Kontrak Kerjasama. Tesis. (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia).

1037
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia

Website
Amelia, Anggita Rezki. Cerita Kepala SKK Migas Soal Rawannya Praktik Suap
di Sektor Hulu. diakses dari https://katadata.co.id/berita/2018/03/27/cerita-
kepala-skk-Migas-soal-rawannyapraktik-suap-di-sektor-hulu. diakses pada
24 Agustus 2019.
Idris, Muhammad. Setoran dari Migas Tak Bisa Lagi Jadi Andalan di APBN.
diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
3604714/setoran-dari-Migas-tak-bisa-lagijadi-andalan-di-apbn. diakses pada
25 Agustus 2019.
Issetiabudi, David Eka. Biaya Produksi Migas, Cost Recovery 2019 Disepakati
Us$10,21 Miliar. diakses dari
https://industri.bisnis.com/read/20180919/44/840098/biaya-produksi-Migas-
costrecovery-2019-disepakati-us1021-miliar. diakses pada 20 Agustus 2019.
Rakhmanto, Pri Agung. Akar Permasalahan Sektor Migas. diakses dari
http://www.reforminer.com/akar-permasalahan-sektor-Migas/. diakses pada
25 Agustus 2019.
Sunaryo, Ari. Peristiwa Gangguan Operasi Hulu Migas Capai 893 Kasus Hingga
Oktober 2016. diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/gangguan-
operasi-hulu-Migas-capai-893- kasus-hingga-oktober-2016.html. diakses
pada 24 Agustus 2019.

Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5038.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 24.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 194.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 36/PUU-X/2012.

1038
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

PENGUATAN KERJA SAMA LINTAS NEGARA DALAM PENEGAKAN


HUKUM PERDAGANGAN SATWA LIAR
STRENGTHENING THE ERADICATION OF ILLEGAL TRADING
WILDLIFE IN INDONESIA
Rizki Zakariya

Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera

Korespondensi Penulis : rizkizakariya5@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Zakaria, Rizki. Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan
Satwa Liar. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan satwa yang tinggi di dunia. Akan
tetapi, kekayaan satwa tersebut terancam dengan perdagangan satwa liar. Oleh
karena itu, dilakukan penegakan hukum pelaku perdagangan satwa liar. Namun,
Modus Operandi untuk mengelabui penegak hukum ikut berkembang pula. Salah
satunya melalui lintas yurisdiksi negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
urgensi dilakukan penguatan Kerja Sama lintas negara dalam pemberantasan
perdagangan satwa yakni karena potensi keanekaragaman hayati yang tinggi di
Indonesia, disertai juga kasus perdagangan satwa yang tinggi, penegakan hukum
yang belum optimal, dan masalah dalam Kerja Sama regional dan internasional
dalam pemberantasan perdagangan satwa liar secara ilegal. Kemudian upaya yang
dapat dilakukan dalam penguatan Kerja Sama tersebut yakni dengan perbaikan
ketentuan dalam CITES, perbaikan tata kelola otoritas CITES di Indonesia, dan
penguatan Kerja Sama antar negara di kawasan ASEAN.
Kata Kunci: Kerja Sama Lintas Negara, Penegakan Hukum, Perdagangan
Satwa Ilegal

ABSTRACT
Indonesia is a country with the highest animal wealth in the world. However, the
wealth of these animals is threatened by the wildlife trade. Therefore, law
enforcement for wildlife trade is carried out. However, the perpetrators develop
their modus operandi to deceive law enforcers, one of which is through cross-
state jurisdictions. The results of this study indicate that the urgency of
strengthening cross-border cooperation in eradicating wildlife trade is due to the
high potential for biodiversity in Indonesia, accompanied by high cases of animal
trafficking, law enforcement that has not been optimal, and problems in regional
and international cooperation in eradicating wildlife trade. illegally wild. Then
efforts that can be made to strengthen this cooperation are by improving the
provisions in CITES, improving the governance of CITES authorities in Indonesia
and strengthening cooperation between countries in the ASEAN region.
Keywords: Cross-border Cooperation, Law Enforcement, Illegal Animal Trade

1039
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

A. PENDAHULUAN
Pengesahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjadi langkah maju perlindungan satwa
di Indonesia. Melalui undang-undang ini, terdapat tiga sasaran konservasi.
Pertama, perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kedua, pengawetan sumber
plasma nutfah. Ketiga, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.1 Pengesahan
undang-undang tersebut juga sebagai upaya menjadi Mega-Biodiversity di
Indonesia atas keanekaragaman hayati yang dimilikinya.2 Sebutan itu diberikan
karena Indonesia merupakan tempat bagi 300.000 jenis satwa liar atau 17%
populasi satwa di dunia. Selain itu, Indonesia merupakan habitat bagi 515 jenis
mamalia, 1.539 jenis burung, 173 jenis amphibi, dan 45% jenis ikan di dunia.3
Banyaknya satwa yang hidup di Indonesia tersebut memberikan tanggungjawab
Indonesia untuk memelihara dan mencegahnya dari kepunahan.
Ancaman kepunahan satwa liar di Indonesia disebabkan oleh dua faktor
utama, yakni kerusakan habitat dan perdagangan satwa liar secara ilegal yang
marak terjadi.4 Rusaknya habitat satwa tersebut disebabkan buruknya tata kelola
kawasan hutan, khususnya pada wilayah konservasi di Indonesia. 5 World
Resources Institute (WRI) menyatakan sepanjang 2001-2019 Indonesia telah
kehilangan 9,477 juta hektar kawasan hutan primer.6 Semakin berkurangnya hutan
tersebut menyebabkan habitat satwa liar menjadi semakin terancam punah. Faktor
kepunahan selanjutnya yakni perdagangan satwa liar secara ilegal, dimana
menurut Wildlife Crime Unit (WCU) sepanjang 2012-2014, 80% perdagangan
satwa liar berawal dari perburuan di alam liar secara ilegal (Illegal Poaching).7

1
Penjelasan Umum I Undang-Undang No. 5 Tahun Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2
Mike Dewi Kurniasih, Menumbuhkan Karakter Konservasi Biodiversitas Melalui
Penerapan Species Identification and Response Software, Jurnal Pendidikan Sains & Matematika,
Vol.6, No.2 (2018), p.31.
3
ProFauna, Fakta tentang Satwa Liar Indonesia, diakses dari
https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia, diakses pada 1 Agustus 2021.
4
ProFauna, Ibid..
5
Raynaldo Sembiring & Wenni Adzkia, Memberantas Kejahatan Atas Satwa Liar: Refleksi
atas Penegakan Hukum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, JHLI, Vol.2, No.2 (2015), p.51.
6
Rhett A. Butler, Berapa Banyak Hutan Dunia yang Telah Menghilang dalam Satu Dekade
ini?, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2020/06/13/berapa-banyak-hutan-dunia-yang-telah-
menghilang-dalam-satu-dekade-ini/, diakses pada 1 Agustus 2021.
7
Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara, Pedoman Penanganan Perkara terkait
Satwa Liar, Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 2015), p.17.

1040
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Pada perkembangannya, perdagangan satwa merupakan ancaman terbesar


keberlangsungan kehidupan satwa liar di Indonesia.8
Kejahatan terhadap satwa liar tersebut semakin meningkat setiap tahunnya
seiring meningkatnya permintaan global akan satwa liar.9 Terlebih, Asia
merupakan pusat perdagangan satwa liar karena sebagai sumber, jalur transit dan
pasar penjualan satwa liar yang terancam punah.10 Kejahatan itu terus terjadi
karena keuntungan ekonomi yang tinggi dalam tiap pelaksanaannya, yang
mencapai Rp. 13 Triliun per tahun.11 Hal itu mendorong pelaku kejahatan
perdagangan satwa liar mengembangkan modus operasinya, salah satunya dengan
memaksimalkan lintas yurisdiksi secara terorganisir dalam melakukan aksinya.12
Adanya kegiatan yang memanfaatkan lintas yurisdiksi tersebut memberi hambatan
sehingga menyulitkan penegak hukum dalam mengungkap perkara maupun
mencegah kejahatan itu.
Kerja Sama internasional merupakan langkah yang dilakukan negara
dalam menghalau pelaku kejahatan perdagangan satwa. Hal ini dikarenakan
Modus Operandi pelaku kejahatan satwa yang dilakukan secara sistematis,
canggih, dan tidak bisa ditangani melalui cara-cara konvensional. Oleh karena itu,
penegak hukum perlu menguatkan Kerja Sama internasional. Terlebih sudah ada
internasional mengenai satwa dilindungi, yakni Convention on International
Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang diratifikasi
Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978. Selain itu, sejak 2010
diinisiasi konsorsium internasional pemberantasan perdagangan satwa liar dalam
International Consortium on Combating Wildlife Crime (ICCWC). Melalui Kerja
Sama internasional tersebut, maka diharapkan upaya pemberantasan perdagangan
satwa dapat dilakukan secara optimal. Akan tetapi, dalam perkembangannya
perdagangan satwa masih marak terjadi di Indonesia.

8
Darmawan, Perdagangan Satwa Liar Ilegal Capai Rp13 Triliun, Apa yang Bisa
Diupayakan?, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2019/11/05/perdagangan-satwa-liar-
ilegal-capai-rp13-triliun-apa-yang-bisa-diupayakan/, diakses pada 1 Agustus 2021,.
9
Pijar Anugerah, Tren Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi Meningkat, diakses dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39180510, diakses pada 1 Agustus 2021.
10
WWF-Indonesia, Siaran Pers: Stop Perdagangan Satwa Dilindungi, Amankan
Keberlanjutan Pangan, WWF Indonesia, Jakarta, 2020, p.1.
11
Supranote 7.
12
Fathi Hanif, Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum dan
Perundang-undangan, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.2, No.2 (2015), p.35.

1041
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

Fenomena tersebut disebabkan karena instrument hukum internasional


yang mengaturnya memiliki kelemahan-kelemahan, yang membuat upaya
pemberantasan perdagangan satwa liar tidak dapat dilakukan secara optimal. Hal
tersebut merupakan latar belakang penulisan ini. Adapun rumusan masalah yang
hendak diuraikan, yaitu:
1. Bagaimana urgensi penguatan Kerja Sama lintas negara dalam
pemberantasan perdagangan satwa secara ilegal?
2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan dalam penguatan Kerja Sama lintas
negara dalam penegakan hukum perdagangan satwa liar ilegal.

Kejahatan Lintas Batas Negara


Passas (2003) memberikan definsi mengenai kejahatan lintas batas negara,
yakni perilaku yang membahayakan kepentingan yang dilindungi oleh hukum di
lebih dari satu yurisdiksi nasional dan yang dikriminalisasi dalam setidaknya satu
dari negara yang bersangkutan.13 Kemudian menurut Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN), kepentingan keamanan merupakan dasar atas dilakukannya
kriminalisasi kejahatan lintas batas negara. Potensi ancaman keamanan yang
ditimbulkan oleh kejahatan lintas batas negara diantaranya14:
1. Merusak masyarakat sipil, sistem politik, dan kedaulatan suatu negara,
melalui pembudayaan kekerasan dan penyuapan, serta mengenalkan
suatu kanker korupsi ke dalam struktur politik;
2. Membahayakan mekanisme pasar, termasuk aktivitas kebijakan
pemerintah dan merusak keuntungan sistem ekonomi dan perdagangan
yang adil, bebas dan aman yang akan diterima oleh produsen maupun
konsumen;
3. Gangguan terhadap sistem lingkungan melalui pengrusakan sistem
pengamanan dan peraturan lingkungan;
4. Mendestabilisasi secara strategis kepentingan bangsa dan menjatuhkan
progres dari ekonomi transisi dan ekonomi negara berkembang dan
dengan kata lain menginterupsi kebijakan luar negeri dan sistem
internasional;
5. Memberatkan masyarakat dengan beban sosial dan ekonomi yang tinggi
dari suatu akibat kejahatan transnasional tersebut.

13
N. Passas, Cross-border Crime and the Interface between Legal and Illegal Actors,
Security Journal, Vol.16, No.1 (2003), p.19-38.
14
Mahmud Syaltout, Laporan Akhir Kompendium Hukum tentang Kerja Sama
Internasional di Bidang Penegakan Hukum, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2012, p.14.

1042
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Selanjutnya, terdapat lima asumsi umum mengenai kejahatan lintas batas


negara, diantaranya: 1) kejahatan transnasional pada dasarnya merupakan suatu
fenomena baru yang muncul pada 1990-an; 2) untuk sebagian besar kejahatan
transnasional terhubung dengan skala besar organisasi kriminal yang sering
memiliki latar belakang etnis tertentu; 3) secara teratur bekerja bersama-sama
dengan organisasi kriminal di negara lain; 4) kejahatan transnasional terutama
disebabkan oleh proses globalisasi selama tiga dekade terakhir; dan 5) merembes
ke dalam bisnis yang sah dan pemerintah.15
Kerja Sama Internasional
Kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan dan bagian dari masyarakat
internasional, menyebabkan Indonesia terlibat dalam berbagai Kerja Sama
internasional. Terlebih dalam pemberantasan kejahatan tertentu tidak dapat
dilakukan oleh masing-masing negara. Oleh karenanya, kemudian berkembang
Modus Operandi yang bersifat lintas yurisdiksi dan berdampak pada
terganggunya pembangunan nasional, regional dan internasional.
Dalam hal upaya penegakan hukum kejahatan lintas batas negara
(transnasional), maka menimbulkan saling ketergantungan antara negara yang
mendorong lahirnya Kerja Sama dalam bentuk perjanjian internasional. I Wayan
Parthiana (2002) mendefinisikan perjanjian internasional sebagai kata sepakat
antara dua atau lebih subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok
pembebasan, organisasi internasional) mengenai suatu obyek tertentu yang
dirumuskan secara tertulis dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum
atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.16
Sedangkan Oppenheimer-Lauterpacht menyatakan bahwa perjanjian internasional
adalah suatu persetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan kewajiban di
antara pihak-pihak yang mengadakannya.17

15
Antonius Johannes Gerhardus Tijhuis, Transnational Crime and the Interface between
Legal and Illegal Actors: The Case of the Illicit Art and Antiquities Trade, Disertasi, Universitas
Leiden, Belanda, 2006.
16
I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2002,
p.11.
17
Supranote 13, p.130.

1043
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

Lebih lanjut, Pasal 4 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian


Internasional mengamanatkan bahwa konsepsi perjanjian internasional adalah
wujud Kerja Sama internasional, namun dalam proses pembuatannya tetap harus
berangkat dari kepentingan nasional dengan mempertikan prinsip persamaan
kedudukan, saling menguntungkan dan prinsip yang dianut dalam hukum nasional
maupun internasional. Berdasarkan definisi dan pengaturan tersebut, maka unsur-
unsur perjanjian internasional menurut I Wayan Parthiana diantaranya:18
1. Kata sepakat;
2. Subjek-subjek hukum internasional yang memiliki kemampuan
mengadakan perjanjian internasional;
3. Berbentuk tertulis;
4. Objek tertentu; dan
5. Tunduk pada hukum internasional.
Adapun maksud ketundukan pada hukum internasional tersebut yaitu tidak
bertentangan dengan piagam PBB, yang memiliki kedudukan “superior.”19
Selanjutnya, perjanjian internasional memiliki beberapa bentuk, mulai dari: treaty,
convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter,
dedaration, final act; arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary
records, process verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Tiap bentuk
perjanjian tersebut menunjukan materi yang berbeda bobot dan tingkatannya.
Akan tetapi, perbedaan itu tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian.

B. PEMBAHASAN
1. Urgensi Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Pemberantasan
Perdagangan Satwa Secara Ilegal
a. Perdagangan Satwa Liar Dilindungi yang Terjadi di Indonesia
Benua Asia merupakan wilayah penting dalam bisnis perdagangan satwa
liar ilegal secara global. Hal tersebut karena Asia merupakan sumber, sekaligus
pasar penjualan satwa-satwa liar yang dilindungi dengan harga yang mahal.

18
Supranote 15, hlm. 14.
19
Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional,
Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002, p.123–124.

1044
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Wildlife Conservation Society sejak 2013, nilai transaksi perdagangan satwa liar
ilegal mencapai Rp. 13 Triliun per tahun.20 Bisnis yang nilainya besar tersebut
telah menyebabkan hilangnya ratusan satwa di alam liar. Lembaga internasional
konservasi alam (International Union for Conservation of Nature/IUCN)
mencatat per Desember 2020, 31 spesies satwa dinyatakan punah (Extinct) dan
semua spesies lumba-lumba air tawar dunia sekarang dinyatakan terancam punah
(Threatened with Extinction).21 Kemudian, satwa Indonesia yang terus mengalami
pengurangan yakni Harimau Sumatera (Panthera tigris) yang tinggal 400-500
ekor, Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) tinggal 40-60 ekor dan Badak Sumatera
(Dicerorhinus sumatrensis) tinggal 170-230 ekor.22
Ancaman perdagangan satwa liar ilegal tersebut mengancam Indonesia. Hal
itu karena Indonesia merupakan Mega Biodiversity dunia, yang menyimpan satwa
endemik tertinggi di dunia. Total terdapat 300.000 jenis satwa liar atau 17% satwa
yang hidup di dunia ada di Indonesia. Satwa tersebut terdiri dari 515 jenis
mamalia 1539 jenis burung, 173 jenis amphibi, dan 45% jenis ikan dunia berada
di Indonesia.23 Besarnya jumlah satwa di Indonesia tersebut menjadikan Indonesia
sebagai sumber sekaligus tujuan operasi perdagangan satwa liar terancam punah.
Terlebih data Wildlife Crime Unit (WCU) yang menyatakan 80% satwa yang
diperdagangkan secara ilegal merupakan hasil perburuan di alam Indonesia.24
Sehingga berdasarkan hal tersebut, maka perdagangan satwa merupakan ancaman
yang nyata terhadap keberlangsungan kehidupan satwa di Indonesia.
Dalam melakukan aksi-aksinya, pelaku perdagangan satwa menggunakan
Modus Operandi yang maju untuk mengelabui penegak hukum. Modus tersebut
diantaranya dengan cara yang terorganisir (Organized Crime), kejahatan lintas
batas negara (Transnational Crime) dan kejahatan berbasis siber (Cyber Crime).25

20
Kompas.id, Nilai Transaksi Perdagangan Satwa Rp 13 Triliun Per Tahun, diakses dari
https://kompas.id/baca/humaniora/ilmu-pengetahuan-teknologi/2018/03/05/perdagangan-satwa-
kian-mengancam/, diakses pada 1 Agustus 2021.
21
Jay Fajar, IUCN Red List : 31 Jenis Satwa Punah dan Semua Lumba-lumba Air Tawar
Terancam Punah, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2020/12/15/iucn-red-list-31-jenis-
satwa-punah-dan-semua-lumba-lumba-air-tawar-terancam-punah/, diakses pada 1 Agustus 2021.
22
Supranote 24.
23
Supranote 2.
24
Supranote 6, hlm. 15.
25
Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju Hukum
Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Jera, dan Mengikuti Perkembangan
Ekonomi, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta, 2015, p.156.

1045
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

Modus Operandi pelaku perdagangan satwa tersebut dibuktikan dengan WCU,


yang mengidentifikasi perdagangan satwa liar yang terjadi di Indonesia sejak
2003 sampai 2015. Data tersebut dapat dilihat pada grafik berikut:26

Grafik 2.1 Kasus Kejahatan atas Satwa Liar di Indonesia


Sumber: Wildlife Crime Unit-Wildlife Conservation Society
Berdasasarkan grafik tersebut, maka perdagangan satwa liar secara ilegal
melalui media elektronik meningkat pesat. Hal tersebut dikuatkan degan temuan
Mongabay.id yang menyatakan sepanjang 2015, terdapat 200 elang dan berbagai
satwa lain yang dijual secara bebas melalui media online.27 Salah satu modus
yang marak dilakukan oleh pelaku perdagangan satwa adalah menggunakan media
sosial Facebook. Dimana para pedagang satwa liar membuat grup khusus dalam
Facebook, selanjutnya ada pihak ketiga yang bertugas menawarkan dan
berkomunikasi dengan pembeli satwa. Ketika pihak ketiga dan pembeli sepakat
mengenai pembelian satwa itu dan mengirimkan uang pembelian, maka pedagang
mengirimkan satwanya ke lokasi pembeli. Apabila pengiriman satwa telah selesai
dilakukan, maka baru pihak ketiga mencairkan uang penjualan itu ke pedagang
dengan pengurangan atas jasanya sebagai pihak ketiga.28

26
Antonius Aditantyo Nugroho dkk., Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penerbit ICEL, Jakarta, 2019, p.11.
27
Hariyawan A Wahyudi, Miris… Lebih Dari 2000 Elang Diperjualbelikan di Internet
Sepanjang Tahun 2015!, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2015/12/16/miris-lebih-dari-
2000-elang-diperjualbelikan-di-internet-sepanjang-tahun-2015/, diakses pada 1 Agustus 2021.
28
Riski, Miris, Perdagangan Satwa Liar Online Semakin Marak, diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2015/01/29/miris-perdagangan-satwa-liar-online-semakin-marak/,
diakses pada 1 Agustus 2021.

1046
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Kemudian perdagangan satwa liar yang terorganisir lintas batas negara juga
sering terjadi di Indonesia. Salah satu kasus yang berhasil diungkap yakni terjadi
pada 10 Desember 2019 di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Dimana seorang
Warga Negara Asing (WNA) kedapatan membawa 16 ekor kadal hidup jenis
Tiliqua Gigas yang dilindungi dan terancam punah. Satwa tersebut
disembunyikan dalam kotak plastik untuk diperjual-belikan di Jepang, namun
terdeteksi oleh Petugas Bea dan Cukai Bandara Soekarno Hatta.29
b. Penegakan Hukum Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi di
Indonesia
Penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan ide serta konsep (norma
hukum) menjadi kenyataan. Selain itu, penegakan hukum bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan-kejahatan yang merugikan masyarakat.30 Dua tujuan
tersebut menunjukan bahwa penegakan hukum memiliki pengaruh langsung dan
tidak langsung dalam merubah masyarakat (Social Engineering).31
Perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan perbuatan pidana di
Indonesia. Hal itu karena perbuatan tersebut dilarang melalui Undang No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(selanjutnya disebut UU No.5/1990). Pasal 21 ayat (2) UU No. 5/1990 merupakan
pasal yang mengatur tegas pemidaan pelaku perdagangan satwa liar dilindungi
secara ilegal, yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang untuk:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

29
OkeNews, Bea dan Cukai Soekarno Hatta Gagalkan Penyelundupan Belasan Ekor
Kadal, diakses dari https://news.okezone.com/read/2019/12/10/1/2140321/bea-cukai-soekarno-
hatta-gagalkan-penyelundupan-belasan-ekor-kadal, diakses pada 1 Agustus 2021.
30
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, p.12.
31
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Penerbit Rajawali,
Jakarta, 1982, p.115.

1047
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-


bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari
bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di
Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”
Atas pelanggaran Pasal 21 ayat (2) tersebut, maka ancaman hukuman
pidananya diatur dalam Pasal 40 ayat (2) UU KSDAHE yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Pemidanaan pelaku perdagangan satwa liar ilegal tersebut dilakukan
sekalipun dilakukan secara lalai. Hal itu sebagaimana ditegaskan di Pasal 40 ayat
(4) UU KSDAHE dengan ancaman hukuman paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp. 50 juta. Dengan delik tersebut, maka pelaku
perdagangan satwa liar secara ilegal banyak dijerat secara pidana. Hal itu dapat
diketahui dari putusan kasus perdagangan satwa yang diputus oleh pengadilan
sepanjang 2009 sampai 2019 berikut:

Grafik 2.2 Putusan Kasus Perdagangan Satwa Liar selama 2009-2019


Sumber: Kreasi Penulis
Berdasarkan grafik putusan tersebut, maka diketahui bahwa jumlah kasus
perdagangan satwa paling banyak terjadi pada periode 2014 dengan 40 kasus.
Kemudian dari segi pelaku, 98,4% adalah Warga Negara Indonesia (WNI).

1048
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Sedangkan 1,6% atau 3 pelaku adalah Warga Negara Asing (WNA) yang berasal
dari Negara Jepang, Negara Australia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Sekalipun jumlah pelaku WNA yang terlibat dalam perdagangan satwa sedikit,
namun peran WNA lain lebih banyak sebagai konsumen maupun turut serta
tindak pidana perdagangan satwa, sehingga sulit untuk diungkap. Selanjutnya
berdasarkan grafik putusan, rata-rata pelaku dihukum pidana penjara selama 8,1
bulan dan denda Rp.14,306,425. Kemudian Jaksa melakukan tuntutan hukuman
rata-rata selama 11,3 bulan dan denda sebesar Rp. 18,644,100.32 Ringannya
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dan dituntut oleh Jaksa tersebut, berdampak
tidak tercapainya efek jera pelaku perdagangan satwa atas perbuatannya, sehingga
berpotensi mengulangoi kembali kejahatannya.
c. Masalah Kerja Sama Lintas Batas Negara dalam Penegakan Hukum
Perdagangan Satwa Liar
Kerja Sama internasional dalam penegakan hukum perdagangan satwa liar
secara ilegal telah dilakukan sejak 1973. Hal itu ditandai dengan disepakatinya
Convention on International Trade in Endagered of Wild Flora and Fauna
(CITES) di Washington DC pada 3 Maret 1973 oleh 88 negara di dunia. 33 Melalui
instrument tersebut, maka jelas mekanisme perlindungan dan satwa liar yang
dilindungi (Wildlife Species) oleh negara-negara pihak karena adanya Daftar
Merah Spesies Terancam Punah (Daftar Merah IUCN) dan CITES. Sehingga
Indonesia sebagai salah satu negara pihak melakukan ratifikasi ketentuan CITES
melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978, tentang Mengesahkan
“Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora”, yang Telah ditandatangani di Washington pada Tanggal 3 Maret 1973,
Sebagaimana Terlampir pada Keputusan Presiden Ini, pada 15 Desember 197834
juga perlu menerapkan mekanisme perlindungan dan satwa liar yang dilindungi.
Dalam ketentuan CITES, satwa liar dilindungi diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) kelas, yaitu Appendix I, Appendix II dan Appendix III (Non-Appendix).

32
Rizki Zakariya, Optimization of Role Ppns Customs and Excise in Handling of Animal
Trading Customs Protected, Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, Vol.4, No.1 (2020), p.11.
33
CITES, Aturan dan Ketentuan Cites (Convention On International Trade In Endangered
Species Of Wild Fauna And Flora) Terkait Ramin dan Jenis Tumbuhan Lainnya – Review on
Ramin Harvest and Trade Technical Report 5 Indonesian, Laporan Publikasi, Cancun, Mexico
2008, p.17.
34
CITES, Ibid..

1049
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

Setiap jenis Appendix tersebut memiliki aturan control yang berbeda-beda.


Perbedaan itu diantaranya sebagai berikut:35
1. Spesies Appendix I (Kategori I), yaitu spesies-spesies yang terancam
punah yang menurut IUCN termasuk dalam katagori genting
(critically endangered/CR), sebagian rentan (vulnerable/VU) serta
dalam bahaya kepunahan (endangered/EN) dan punah di alam (extinct
in the wild);
2. Spesies Appendix II (Kategori II): yaitu spesies-spesies yang saat ini
belum dalam keadaan terancam punah namun apabila pemanfaatannya
tidak dikendalikan dengan ketat maka akan segera menjadi terancam
punah. Kategori ini dapat mencakup kategori IUCN VU dan NT;
3. Spesies Non-Appendix (Katagori III): yaitu spesies-spesies yang
populasinya melimpah, termasuk yang menurut IUCN masuk katagori
Least Concerned (LC) dengan tingkat pemanfaatan yang cukup tinggi
sehingga cukup dipantau pemanfaatannya.

Untuk lebih jelas mengenai pembagian tersebut, CITES telah melakukan


pendataan Appendix I yang terdiri atas lebih dari 8.000 satwa dan tumbuhan yang
dilarang untuk diperdagangkan. Kemudian pada Appendix 2, terdapat lebih dari
30.000 jenis satwa dan tumbuhan yang diatur dan monitor perdagangan
internasionalnya. Sehingga CITES memberikan kewajiban negara anggota
konvensi untuk melakukan pencatatan dan pelaporan perdagangan satwa atau
tumbuhan yang termasuk Appendix 2 ke sekretariat CITES.
Di Indonesia, otoritas manajemen yang mengatur skema ekspor-impor satwa
dan tumbuhan kategori Appendix 2 yaitu Direktorat Jenderal Konservasi
Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Dirjen KSDHE KLHK). Sedangkan otoritas yang memiliki
kewenangan dalam melakukan kajian dan pertimbangan keilmuan dalam
penentuan kuota satwa dan tumbuhan yang diperdagangkan ialah Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI).36 Akan tetapi sekalipun mengatur secara
komprehensif mengenai upaya perlindungan satwa, namun masih terdapat tiga
kelemahan pengaturan CITES tersebut. Kelemahan tersebut membuka ruang
untuk tetap terjadinya perdagangan satwa liar secara ilegal, sekalipun satwa itu
masuk dalam kategori Apendix 2.
35
United Nations General Assembly, Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora 1973, p.30.
36
Supranote 11, 34

1050
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Kelemahan tersebut diantaranya: Pertama, bunyi pasal yang multitafsir. Hal


itu dapat ditemukan pada Pasal 1 CITES mengenai definisi specimen, yakni
sebagai “any animal or plant or any recognizable part or derivative thereof”
(terjemah bebas: setiap hewan atau tumbuhan atau bagian yang dapat dikenali atau
turunannya). Terdapat dua sebab definisi tersebut memiliki makna yang
multitafsir, bahkan rentan disalahartikan, yaitu: Pertama, negara anggota harus
menyediakan dokumen lengkap menguraikan satwa dan tumbuhan yang ada di
negaranya, karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai definisi tersebut.
Kemudian kedua, negara anggota bebas menentukan dan mencatatkan satwa atau
tumbuhan yang diperdagangkannya, karena menafsirkan sendiri pasal tersebut
sesuai keinginannya, terlebih pasal tersebut memiliki makna yang multitafsir.
Selanjutnya, masalah kedua yaitu terlalu longgarnya pengaturan CITES. Hal
itu dapat ditemukan pada Pasal 7 CITES, yang menyatakan bahwa specimen tidak
dapat diimpor atau diekspor apabila berkaitan dengan “personal or household
effect”. Tidak dijelaskan apakah larangan itu termasuk pada pembelian barang-
barang atau makanan (sepatu, baju, dan lainnya) yang terbuat dari bagian satwa
liar dilindungi. Kelonggaran tersebut menimbulkan penafsiran bahwa apabila
dilakukan pembelian barang yang terbuat dari satwa liar, maka dapat dikatakan
tengah terjadi perdagangan satwa liar.
Kemudian masalah ketiga yakni tidak diaturnya secara lebih rinci dan
mengikat terkait aturan pelaksanaan CITES oleh negara anggota. Hal tersebut
dapat tercermin pada Pasal 8 CITES, yang mengatur upaya pelaksanaan CITES
secara umum dan membebaskan masing-masing negara anggota merumuskannya.
Kondisi tersebut membuat setiap negara anggota merumuskan sendiri ketentuan
jenis pengaturan yang berbeda-beda bentuknya. Sehingga daya ikat pelaksanaan
peraturan dan kordinasi antar negara dalam proses penegakan hukumnya menjadi
sulit. Hal tersebut menyebabkan tingkat perdagangan satwa dan tumbuhan yang
dilindungi secara ilegal antar negara anggota CITES masih terus berlangsung,
bahkan cenderung meningkat.
Pemasalahan ketiga tersebut juga ditemukan pada Pasal 10 CITES, yang
justru menyerahkan pengaturan ketentuan perdagangan satwa liar dengan negara
yang bukan anggota CITES, oleh para negara anggota CITES yang meratifikasi.

1051
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

Tidak diaturnya secara jelas langkah yang serupa dan wajib dilakukan oleh negara
anggota dalam menghadapi perdagangan satwa dengan negara bukan anggota
tersebut menimbulkan perdagangan satwa liar yang masih berlangsung sampai
saat ini tanpa syarat yang jelas dalam melaksanakannya.
Ketiga masalah dalam pengaturan CITES tersebut berdampak pada semakin
sulitnya proses penegakan hukum dalam mengungkap kasus perdagangan satwa
liar dilindungi. Permasalahan tersebut semakin pelik dengan adanya masalah
dalam pelaksanaan tugas otoritas CITES di Indonesia, sehingga mempengaruhi
proses penegakan hukum pidana perdagangan satwa liar secara ilegal. Masalah itu
sebagaimana temuan Fitriyatul Irjayani (2016) yang mengidentifikasi lima
masalah pelaksanaan tugas otoritas CITES di Indonesia, diantaranya: 1) belum
optimalnya koordinasi antara para aparat penegak hukum serta instansi terkait
lainnya dalam menangani perdagangan satwa ilegal di Indonesia; 2) kurangnya
sosialisasi mengenai optimalisasi penegakan hukum dalam legislasi nasional
CITES kepada masyarakat dan pejabat instansi terkait; 3) terbatasnya SDM
sebagai informan mengenai jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi; dan
4) berasal dari luar CITES dan otoritas CITES di Indonesia.37
Selain itu, kondisi permasalahan tersebut bukan hanya di Indonesia,
melainkan juga negara anggota CITES yang lain. WWF Indonesia (2007)
menyatakan bahwa negara-negara kawasan ASEAN sebagai konsumen, kurang
mendukung dalam sikap dan kebijakannya untuk pemberantasan perdagangan
satwa liar ilegal yang masuk dari Indonesia. Bahkan, negara-negara tersebut
membiarkan kasus satwa liar terjadi dan melakukan pencucian barang ilegal
tersebut seolah-olah legal dan sah. Hal tersebut dilakukan karena keuntungan
yang diperoleh dari perdagangan satwa oleh negara konsumen, serta longgarnya
rezim hukum CITES dan permasalahannya di Indonesia.38
Lebih lanjut, permasalahan lain yaitu belum optimalnya pemidanaan
korporasi yang terlibat dalam perdagangan satwa liar ilegal. Pemidanaan itu
dilakukan seiring banyak aktivitas korporasi terkait pemanfaatan lingkungan,

37
Fitriyatul Irjayani, Implementasi Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna oleh Indonesia, Journal of International Relations, Vol.2, No.1
(2016), p.200.
38
Hilaluddin Saleh dan Hanif, Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Hidupan Liar,
WWF Indonesia, Jakarta, 2007, p.12.

1052
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

seperti pariwisata alam, perusahaan ekspedisi, perusahaan farmasi yang membuat


obat-obatan yang mengandung satwa liar, perusahaan perkebunan, hingga
perusahaan yang berdomisili di yurisdiksi di mana penjahat sering melakukan
transit atau menjual satwa liar secara ilegal.
Meski demikian, ketentuan pidana dalam UU KSDAHE belum menyasar
kepada korporasi sebagai subjek yang bertanggungjawab atas kesalahannya yang
dalam hal ini ialah tindakan perdagangan satwa liar secara ilegal. Hal ini
mengakibatkan belum optimalnya penegakan hukum satwa liar di Indonesia,
karena masih menyasar orang per orang yang memiliki tingkat efektivitas yang
rendah. Berbeda apabila penegak hukum mulai menyasar perusahaan, yang
memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai dalam melakukan aktivitas
kejahatannya demi keuntungan perusahaan.
B. Upaya yang Dilakukan dalam Penguatan Kerja Sama Lintas Negara
dalam Pemberantasan Perdagangan Satwa Secara Ilegal
Berdasarkan uraian sebelumnya, diketahui permasalahan Kerja Sama lintas
batas negara dalam perdagangan satwa liar ilegal, yang terdiri dari tataran regulasi
CITES, implementasi CITES pada otoritas di Indonesia, dan praktik di negara
konsumen perdagangan satwa liar dari Indonesia (khususnya ASEAN dan China).
Oleh sebab itu, perlu dilakukan penguatan Kerja Sama lintas negara dan perbaikan
dalam upaya optimalisasi penegakan hukum pidana perdagangan satwa liar
dilindungi yang selama ini terjadi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengupayakan hal-hal berikut:
1. Perbaikan Ketentuan CITES
Seperti yang diuraikan sebelumnya, ketentuan CITES masih memiliki
permasalahan dalam pengaturan maupun implementasinya. Oleh sebab itu, perlu
dilakukan perbaikan ketentuan CITES, diantaranya: Pertama, perubahan bunyi
pasal. Pasal 1 CITES, seharusnya menyatakan maupun menjelaskan secara jelas
dan terbatas yang dimaksud dengan specimen. Sehingga risiko multitafsir yang
berujung pada penyalahgunaan oleh negara anggota dapat dicegah dengan
perubahan bunyi pasal tersebut. Selanjutnya, perubahan juga dilakukan pada Pasal
7 CITES yang seharusnya memuat larangan perdagangan barang yang berasal dari
bagian satwa liar yang dilindungi. Kemudian perubahan pada Pasal 8 CITES,

1053
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

yang memberikan patokan jenis peraturan negara anggota yang meratifikasi


ketentuan CITES serta patokan substansi yang diaturnya. Penegasan kejelasan
patokan tersebut juga terhadap rumusan Pasal 10 CITES, yang seharusnya
memuat syarat-syarat negara anggota melakukan perdagangan satwa liar dengan
negara bukan anggota CITES. Sehingga dengan perbaikan pengaturan CITES
tersebut, maka upaya negara dalam perlindungan satwa semakin optimal.
2. Perbaikan Tata Kelola Otoritas CITES di Indonesia
Otoritas CITES memiliki peranan penting dalam proses penegakan hukum
pidana perdagangan satwa liar dilindungi. Dimana otoritas CITES di Indonesia
tersebut adalah Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan
Ekosistemnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Dirjen KSDHE
KLHK) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun dengan
berbagai kelemahan tata Kelola yang ditemukan oleh Fitriyatul Irjayani (2016) di
atas, maka perlu dilakukan perbaikan dalam tata kelolanya. Perbaikan tersebut
diantaranya dengan melakukan tiga hal. Pertama, dibuatnya kerangka Kerja Sama
penegakan hukum dalam bentuk Memorandum of Understanding (MoU) antara
Dirjen KSDHE KLHK/LIPI dengan Kepolisian RI (penyidikan), Dirjen
Penegakan Hukum KLHK (penyidikan) dan Kejaksaan Agung (penuntutan).
Kerja Sama tersebut khususnya mengenai perolehan dan perawatan barang bukti
atau alat bukti tindak pidana perdagangan satwa yang berupa satwa liar yang
berbahaya bagi keselamatan manusia dan rentan mati/punah. Terlebih, masih
banyak penegak hukum yang kurang memahami prosedur perawatan satwa liar
tersebut. Kemudian kedua, Dirjen KSDHE KLHK dan LIPI berkolaborasi untuk
aktif melakukan sosialisasi jenis-jenis satwa liar yang dilindungi dan terancam
punah kepada berbagai pihak, khususnya kepada masyarakat, dan pengambil
kebijakan (DPR dan Pemerintah Daerah). Sehingga dengan pemahaman tersebut,
berbagai pihak akan mengupayakan perlindungan satwa dalam berbagai kebijakan
yang diambilnya maupun kehidupan masyarakat sehari-hari. Selanjutnya ketiga,
dilakukan reformasi birokrasi dalam internal Dirjen KSDHE dan LIPI untuk
bergerak ke arah tata kelola lembaga yang baik atau Good Governance. Sehingga
dalam menjalankan tugas-tugas penting perlindungan satwa liar dilindungi
tersebut dapat dijalankan secara lebih berintegritas, professional dan akuntabel.

1054
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Dengan melakukan tiga perbaikan tata kelola tersebut, maka diharapkan


perlindungan satwa di Indonesia dapat dijalankan secara optimal.
3. Penguatan Kerja Sama antar Negara di Kawasan ASEAN
Salah satu masalah dalam pemberantasan perdagangan satwa liar adalah
kurangnya komitmen negara lain dalam pemberantasan hal tersebut. Negara-
negara ASEAN yang konsumen perdagangan satwa liarnya berasal dari Indonesia
harus membuat kerangka Kerja Sama regional dalam pemberantasan praktik
tersebut. Hal itu dapat dilakukan melalui Kerja Sama regional dalam bentuk MoU
atau mekanisme lainnya, yang berisi kesepahaman bahwa praktik perdagangan
satwa harus diberantas, dan tiap negara harus melakukan tindakan aktif dalam
memberantas maupun mencegahnya. Apabila hal tersebut dilakukan, maka ruang
gerak pelaku perdagangan satwa semakin sempit. Sehingga perdagangan satwa di
kawasan ASEAN berangsur-angsur hilang, demi mencegah kepunahan satwa-
satwa liar di Indonesia.

C. PENUTUP
Berdasarkan uraian tulisan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan dua
poin penting. Pertama, urgensi dilakukan penguatan Kerja Sama lintas negara
dalam penegakan hukum perdagangan satwa yakni karena potensi
keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia, ancaman perdagangan satwa
yang marak terjadi di Indonesia, penegakan hukum perdagangan satwa yang
belum optimal, dan masalah Kerja Sama regional maupun internasional dalam
pemberantasan perdagangan satwa liar secara ilegal. Kemudian kedua, adapun
upaya yang dapat dilakukan dalam penguatan Kerja Sama lintas negara dalam
penegakan hukum perdagangan satwa yakni dengan perbaikan ketentuan dalam
CITES, perbaikan tata kelola otoritas CITES di Indonesia, dan penguatan Kerja
Sama antar negara di kawasan ASEAN. Melalui upaya-upaya tersebut, maka
diharapkan pemberantasan perdagangan satwa liar dapat dilakukan secara optimal
demi keberlangsungan satwa agar tidak punah.

1055
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Amiruddin dan Zaenal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
Gunawan. 2015. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju
Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Jera, dan
Mengikuti Perkembangan Ekonomi. (Yogyakarta: Penerbit Genta
Publishing).
Juwana, Hikmahanto. 2002. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum
Internasional. (Jakarta: Penerbit Lentera Hati).
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. (Jakarta: Penerbit Kencana
Prenada Media Group).
Nugroho, Antonius Aditantyo, dkk.. 2019. Arah Baru Kebijakan Penegakan
Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Jakarta:
Penerbit ICEL).
Parthiana, I Wayan. 2002. Perjanjian Internasional. (Bandung: Penerbit CV
Mandar Maju).
Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.
(Yogyakarta: Penerbit Genta Publishing).
Saleh, Hilaluddin dan Hanif. 2007. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal
Hidupan Liar. (Jakarta: Penerbit WWF Indonesia).
Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara. 2015. Pedoman Penanganan
Perkara terkait Satwa Liar. (Jakarta: Penerbit Kejaksaan Agung Republik
Indonesia).
Soekanto, Soerjono. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. (Jakarta:
Penerbit Rajawali).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. (Jakarta: Rajawali Pers).
Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral. Sosial. dan Politik:
Sebuah Dialog tentang Dumia Keilmuan Dewasa Ini. (Jakarta: Penerbit
Gramedia).
Syaltout, Mahmud. 2012. Laporan Akhir Kompendium Hukum tentang Kerja
Sama Internasional di Bidang Penegakan Hukum. (Jakarta: Penerbit Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia).
WWF-Indonesia. 2020. Siaran Pers: Stop Perdagangan Satwa Dilindungi,
Amankan Keberlanjutan Pangan. (Jakarta: Penerbit WWF Indonesia).

Publikasi
CITES. 2008. Aturan dan Ketentuan Cites (Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora) Terkait Ramin dan Jenis
Tumbuhan Lainnya – Review on Ramin Harvest and Trade Technical
Report 5 Indonesian. Laporan Publikasi. Cancun, Mexico 2008.
Hanif, Fathi. Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen
Hukum dan Perundang-undangan. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia.
Vol.2. No.2 (2015), p.35.

1056
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Irjayani, Fitriyatul. Implementasi Convention on International Trade in


Endangered Species of Wild Flora and Fauna oleh Indonesia. Journal of
International Relations. Vol.2. No.1 (2016).
Kurniasih, Mike Dewi. Menumbuhkan Karakter Konservasi Biodiversitas Melalui
Penerapan Species Identification and Response Software, Jurnal Pendidikan
Sains & Matematika. Vol.6. No.2 (2018).
Passas, N.. Cross-border Crime and the Interface between Legal and Illegal
Actors. Security Journal. Vol.16. No.1 (2003).
Sembiring, Raynaldo dan Wenni Adzkia. Memberantas Kejahatan Atas Satwa
Liar: Refleksi atas Penegakan Hukum Undang-undang Nomor 5 Tahun
1990. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia. Vol.2. No.2 (2015).
Zakariya, Rizki. Optimization of Role Ppns Customs and Excise in Handling of
Animal Trading Customs Protected. Jurnal Perspektif Bea dan Cukai. Vol.4.
No.1 (2020).

Karya Ilmiah
Tijhuis, Antonius Johannes Gerhardus. 2006. Transnational Crime and the
Interface between Legal and Illegal Actors: The Case of the Illicit Art and
Antiquities Trade. Disertasi. (Belanda: Universitas Leiden).

Website
Anugerah, Pijar. Tren Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi Meningkat.
diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39180510. diakses
pada 1 Agustus 2021.
Butler, Rhett A.. Berapa Banyak Hutan Dunia yang Telah Menghilang dalam
Satu Dekade ini?. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2020/06/13/berapa-banyak-hutan-dunia-yang-
telah-menghilang-dalam-satu-dekade-ini/. diakses pada 1 Agustus 2021.
Darmawan. Perdagangan Satwa Liar Ilegal Capai Rp13 Triliun, Apa yang Bisa
Diupayakan?. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2019/11/05/perdagangan-satwa-liar-ilegal-
capai-rp13-triliun-apa-yang-bisa-diupayakan/. diakses pada 1 Agustus 2021.
Fajar, Jay. IUCN Red List : 31 Jenis Satwa Punah dan Semua Lumba-lumba Air
Tawar Terancam Punah. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2020/12/15/iucn-red-list-31-jenis-satwa-
punah-dan-semua-lumba-lumba-air-tawar-terancam-punah/. diakses pada 1
Agustus 2021.
Kompas.id. Nilai Transaksi Perdagangan Satwa Rp 13 Triliun Per Tahun. diakses
dari https://kompas.id/baca/humaniora/ilmu-pengetahuan-
teknologi/2018/03/05/perdagangan-satwa-kian-mengancam/. diakses pada 1
Agustus 2021.
OkeNews. Bea dan Cukai Soekarno Hatta Gagalkan Penyelundupan Belasan
Ekor Kadal. diakses dari
https://news.okezone.com/read/2019/12/10/1/2140321/bea-cukai-soekarno-
hatta-gagalkan-penyelundupan-belasan-ekor-kadal. pada 1 Agustus 2021.
ProFauna. Fakta tentang Satwa Liar Indonesia. diakses dari
https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia. diakses pada 1
Agustus 2021.

1057
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar

Riski. Miris, Perdagangan Satwa Liar Online Semakin Marak. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2015/01/29/miris-perdagangan-satwa-liar-
online-semakin-marak/. diakses pada 1 Agustus 2021.
Wahyudi, Hariyawan A.. Miris… Lebih Dari 2000 Elang Diperjualbelikan di
Internet Sepanjang Tahun 2015!. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2015/12/16/miris-lebih-dari-2000-elang-
diperjualbelikan-di-internet-sepanjang-tahun-2015/. diakses pada 1 Agustus
2021.

Sumber Hukum
Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 49.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012.
Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978, tentang Mengesahkan “Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora”, yang
Telah ditandatangani di Washington pada Tanggal 3 Maret 1973,
Sebagaimana Terlampir pada Keputusan Presiden Ini. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 51.
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) 1973.

1058
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DEKONSTRUKSI KEWENANGAN POLISI KEHUTANAN SEBAGAI


UPAYA MEMINIMALISASI TINDAK PIDANA PEMBAKARAN HUTAN
SECARA TERSELUBUNG
DECONSTRUCTION OF FORESTRY POLICE AUTHORITY AS AN
EFFORT TO MINIMIZE THE CRIMINAL ACT OF BURNING FORESTS
COVERTLY
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : syaninditan.ingt@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Ingtias, Syanindita Nirna dan Fazal Akmal Musyarri. Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan
sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung. Rewang
Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).

ABSTRAK
Kondisi deforestasi hutan di Indonesia mencapai taraf yang memprihatinkan.
Hutan seringkali dibakar untuk membuka lahan guna pembangunan pabrik
ataupun kebun sehingga terjadi alih fungsi yang mengurangi produktivitas lahan
dan mereduksi jumlah hutan secara kontinu. Kondisi tersebut jika terus menerus
terjadi tentunya akan mengancam keberlangsungan hutan sebagai jantung alam
serta menimbulkan dampak negatif seperti banjir dan tanah longsor. Peraturan
perundang-undangan melarang aktivitas pembakaran hutan secara ilegal, namun
dikesampingkan kepada komunitas lokal seperti masyarakat adat yang membakar
hutan untuk kepentingan kolektif bukan profit. Pengecualian norma rentan
dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggungjawab. Melalui ketentuan kebolehan
membakar hutan oleh komunitas setempat, korporasi menyalahgunakan ketentuan
tersebut untuk membuka lahan demi aktivitas bisnisnya. Di sisi lain, Polisi
Kehutanan selaku pranata yang bertanggungjawab atas kelestarian hutan tidak
memiliki kapabilitas untuk menindak karena tidak ada kewenangan khusus bagi
Polisi Kehutanan untuk memetakan dan menganalisis apakah suatu kebakaran
hutan yang terjadi adalah kejadian alam, dilakukan murni oleh komunitas lokal,
atau merupakan pembakaran yang sengaja dilakukan oleh korporasi dengan
memanfaatkan komunitas lokal. Permasalahan yuridis pada esensinya menjadi
hulu problematika berkaitan dengan tindak pidana pembakaran hutan terselubung
tersebut. Sehingga dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menganalisis
kedudukan dan kewenangan Polisi Kehutanan dalam menindak tindak pidana
pembakaran hutan secara terselubung serta merekomendasikan perluasan tugas
pokok dan fungsi Polisi Kehutanan sebagai strategi penyelamatan hutan untuk
kelestarian lingkungan hidup Indonesia hingga masa yang akan datang.
Kata Kunci: Pembakaran Hutan secara Terselubung, Perluasan
Kewenangan Polisi Kehutanan, Polisi Kehutanan

1059
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

ABSTRACT
Deforestation conditions in Indonesia reached a level of concern. Forests are
often burned to open land for the construction of factories or gardens so that
there is a transfer of functions that reduce land productivity and reduce the
number of forests continuously. These conditions if continuously occur will
certainly threaten the sustainability of forests as the heart of nature and cause
negative impacts such as floods and landslides. The law prohibits illegal forest
burning activities but is ruled out to local communities such as indigenous
peoples who burn forests for collective interests rather than profit. The exclusion
of vulnerable norms is exploited by irresponsible individuals. Through the
provision of the ability to burn forests by local communities, corporations abuse
the provision to open land for business activities. On the other hand, the Forestry
Police as the institution responsible for forest sustainability does not have the
capability to crack down because there is no special authority for the Forestry
Police to map and analyze whether a forest fire that occurs is a natural event,
done purely by local communities, or is a deliberate burning by corporations by
utilizing local communities. Juridical issues in essence become upstream
problems related to the criminal act of burning the veiled forest. So in this paper,
the author tries to analyze the position and authority of the Forestry Police in
cracking down on forest burning criminal acts covertly and recommends the
expansion of the main duties and functions of the Forestry Police as a forest
rescue strategy for the sustainability of Indonesia's environment for the
foreseeable future.
Keywords: Covert Burning of Forests, Expansion of Forestry Police Authority,
Forestry Police

1060
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

A. PENDAHULUAN
Pasal 33 UUD NRI 1945 mengamanatkan kepada negara untuk mengelola
kekayaan yang terkandung di dalam tanah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini merupakan pasal sapu jagat
dalam pengelolaan perekonomian Indonesia, termasuk dalam kaitannya dengan
pengelolaan hutan yang meletakkan masyarakat sebagai subjek secara aktif serta
intrasistem sebagai implementasi pembangunan hutan yang adil dan
berkelanjutan.1 Untuk memenuhi tantangan pengelolaan hutan yang berkelanjutan
tersebut, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya lahir sebagai derivasi amanat Pasal
33 UUD NRI 1945. Pasal 51 Undang-Undang Kehutanan merupakan sumber
hukum tertinggi yang secara eksplisit mengamanatkan pembentukan suatu
kepolisian khusus untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan.2
Polisi Khusus Kehutanan atau yang sering disebut sebagai Polisi Hutan
apabila merujuk pada ketentuan Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan memiliki beberapa kewenangan,
diantaranya sebagai berikut3:
1. Mengadakan Patroli atau Perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
2. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan
hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
4. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk dilaporkan
ke pihak yang berwenang;
6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

1
Aisyah Lailiyah, dkk., Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum
dalam Rangka Penyelamatan dan Pengelolaan Kawasan Hutan, Penerbit Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta, 2017, p.2.
2
Indonesia (1), Undang-Undang tentang Kehutanan, UU No.41 Tahun 1999, LN Tahun
1999 No.167, TLN No.3888, Ps.51 ayat (1).
3
Asram A.T. Jadda dan Hartono Hamzah, Peran Polisi Hutan dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia, Madani Legal Review (MALREV), Vol.3, No.2
(Desember 2019), p.100.

1061
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

Mengenai Kepolisian Khusus Kehutanan atau Polisi Hutan kemudian juga


diatur di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia selain diatur dalam Undang-Undang Kehutanan. Dalam
pengaturan kedua undang-undang tersebut, Kepolisian Khusus Kehutanan
memiliki Kewenangan Atribusi. Artinya, bahwa Polri tidak lagi menggunakan
sendiri kewenangan fungsi Kepolisian dan tindakan Kepolisian, akan tetapi atas
amanat undang-undang juga dapat menggunakan wewenangnya untuk melakukan
fungsi Kepolisian dan tindakan Kepolisian secara terbatas. Selain itu, terdapat
pula persilangan kewenangan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Sehingga pada dasarnya, Polisi Hutan menerima kewenangan atribusi
dari Undang-Undang POLRI dan Undang-Undang Kehutanan sekaligus.
Terlepas dari konflik kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia dan
Polisi Khusus yang diamanatkan oleh Pasal 51 Undang-Undang Kehutanan4,
institusi yang bernama Polisi Hutan ini memiliki kewenangan atribusi yang juga
berasal dari Pasal 51 Undang-Undang Kehutanan. Pada intinya, Polisi Hutan
berwenang melakukan penanganan yang bersifat preventif dan represif dalam hal
perlindungan hutan.5 Salah satu ruang lingkup tindak pidana yang dapat ditangani
oleh Polisi Hutan adalah Tindak Pidana Pembakaran Hutan.6 Upaya yang
dilakukan pemerintah adalah dengan memberdayakan perusahaan swasta.
Akan tetapi berdasarkan evaluasi program pemberantasan kejahatan
pembakaran hutan yang melibatkan perusahaan swasta, didapat persentase tingkat
kepatuhan perusahaan sebesar 20% kurang patuh, 20% tidak patuh, 10% sangat
tidak patuh, 10% cukup patuh, dan 40% patuh. Kajian oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2015 tersebut menunjukkan
lemahnya kesadaran perusahaan dalam menjaga keberlanjutan hutan.7

4
Rinaldy Amrullah, Konflik Kewenangan Antara Penyidik POLRI dan POLHUT dalam
Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Kayu, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No.60,
Th.XV (Agustus 2013), p.285.
5
Dani Fittriya Ulfah, Penegakan Hukum terhadap Perlindungan Hutan oleh Polisi Hutan
di KPH Purwodadi Kabupaten Grobogan, Skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2005,
p.73.
6
M. Nurul Fajri, Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan dengan Pendekatan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Integritas, Vol.2, No.1 (Agustus
2016), Hlm.50-51.
7
Hartiwiningsih, Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan Guna
Mewujudkan Green and Clean Policy, Artikel Ilmiah, Universitas Negeri Semarang, Surakarta,
2018, p.211.

1062
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Permasalahannya yang mengemuka dan perlu diadakan perbaikan adalah adanya


dugaan penyelewengan pengecualian terhadap pembakaran hutan yang diberikan
kepada komunitas kearifan lokal, secara yuridis pada penjelasan Pasal 69 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja yang digunakan sebagai “perisai hukum” bagi perusahaan untuk melakukan
pembakaran hutan secara komersial.8
Segi administrasi berupa izin untuk pembakaran lahan bagi komunitas lokal
juga perlu digarisbawahi karena terdapat disharmonisasi regulasi di tingkat pusat
dan daerah sehingga terdapat peraturan perundang-undangan di tingkat daerah
yang memberi kemudahan izin pembakaran hutan serta adanya perluasan jumlah
hektar yang diperbolehkan untuk dilakukan pembakaran oleh komunitas kearifan
lokal.9 Kelonggaran izin tersebut semakin mencerminkan adanya kelonggaran dan
potensi penyelewengan hukum oleh perusahaan yang memanfaatkan masyarakat
lokal untuk kepentingan komersial, yang sulit dibuktikan oleh hukum dan dijerat
karena korelasi yang tidak langsung antara tindak pidana pembakaran hutan
dengan komersialisasi oleh perusahaan, yang dijembatani oleh masyarakat lokal.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba untuk mengajukan
saran perluasan kewenangan Polisi Hutan untuk mendeteksi penyelewengan
hukum yang dilakukan oleh perusahaan. Grand Design tersebut penulis tuangkan
dalam Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Dekonstruksi Kewenangan Polisi
Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak Pidana Pembakaran
Hutan Secara Terselubung”. Berdasarkan paparan latar belakang diatas, adapun
poin-poin rumusan masalah yang dapat ditarik adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana urgensi perluasan kewenangan Polisi Hutan dalam rangka
penanganan tindak pidana pembakaran hutan yang mangkus dan sangkil?
2. Bagaimana konsep perluasan kewenangan Polisi Hutan untuk menangani
tindak pidana pembakaran hutan terselubung?

8
Fachri Fachrudin, Perusahaan Pembakar Hutan Disebut Kerap Jadikan Masyarakat
sebagai Tameng, diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/30/18105451/perusahaan.pembakar.hutan.disebut.kerap
.jadikan.masyarakat.sebagai.tameng?page=all, diakses pada 03 Juli 2019, jam 22.35 WIB.
9
Trinirmalaningrum, Di Balik Tragedi Asap : Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015,
Penerbit The Asia Foundation dan Perkumpulan Skala, Jakarta, 2015, p.9.

1063
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

B. PEMBAHASAN
1. Urgensi Perluasan Kewenangan Polisi Hutan dalam Rangka
Penanganan Tindak Pidana Pembakaran Hutan yang Mangkus dan
Sangkil (Efektif dan Efisien)
Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang sangat strategis dan
berguna dalam kehidupan manusia. Kurang lebih dua pertiga dari 191 juta hektar
daratan di Indonesia merupakan kawasan hutan ekosistem yang beragam. Mulai
dari hutan tropis, hutan hujan, hutan lindung, hutan produksi, hutan mangrove,
hutan rawa gambut, dan masih banyak yang lainnya. Nilai dari hutan bertambah
penting karena hutan merupakan salah satu sumber hajat hidup manusia. Di dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
tercantum bahwasannya:
“Hutan adalah satu kesatuan sistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.”
Tetapi akhir-akhir ini hutan di Indonesia sering mengalami deforestasi.
Deforestasi adalah penghilangan lahan hutan akibat dari pembukaan lahan yang
cukup besar. Salah satu penyebab dari deforestasi hutan adalah kebakaran hutan.
Kebakaran hutan merupakan salah satu peristiwa kerusakan lingkungan yang
sering terjadi dalam skala besar. Sejak dahulu hingga saat ini di Indonesia sering
terjadi kebakaran hutan maupun lahan. Mulai dari awal Januari 2018, kebakaran
hutan maupun lahan terjadi kembali di Riau, luas lahan yang terbakar
diperkirakan hingga 549 hektar, yang berada di 9 kabupaten dan kota di Riau.10
Kemudian tidak sampai di situ, Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla terjadi
di sebagian wilayah Sumatera, Selasa (7/8/2019). BMKG mendeteksi adanya 85
titik panas kebakaran hutan di wilayah Sumatera dimana 54 titik berada di
Provinsi Riau. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan enam
provinsi di Indonesia masuk kategori siaga darurat kebakaran hutan.

10
Citra Indriani, Kebakaran Hutan Kembali Terjadi, Pemprov Riau Tetapkan Status Siaga
Darurat. diakses dari https://regional.kompas.com/read/2018/02/20/08082011/kebakaran-hutan-
kembali-terjadi-pemprov-riau-tetapkan-status-siaga-darurat, diakses pada 31 Oktober 2021, jam
21.49 WIB.

1064
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Keenam provinsi ITU meliputi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan


Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Lahan dan hutan terbakar
paling banyak juga terjadi di Kalimantan Timur (5.153 hektare), Kepulauan Riau
(4.969 ha), Sumatera Selatan (2.274 hektare) juga Kalimantan Utara dengan luas
lahan-hutan terbakar mencapai 792 hektare.11 Berdasarkan perhitungan WALHI,
kerugian finansial dari dampak kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap di
provinsi Jambi diperkirakan mencapai 7 Triliun sampai bulan September 2015.
Sementara di Riau, kerugian finansial dari kebakaran hutan diperkirakan
mencapai 20 Triliun dengan rincian 2.398 hektare cagar biosfer terbakar, 21.914
hektare lahan terbakar, 58.000 orang terkena gangguan pernapasan, ditambah
dengan pekerja dan anak-anak terganggu aktivitas sehari-harinya.
WALHI juga menyebutkan bahwa penyebabnya adalah proses land clearing
yaitu kebakaran hutan karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit,
pembangunan industri kayu yang tidak diikuti dengan pembangunan hutan
tanaman, besarnya kesempatan yang diberikan Pemerintah kepada pengusaha
untuk melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar
seperti perkebunan kayu dan perkebunan sawit serta penegakan hukum yang
lamban untuk menyikapi tindakan konversi dan pembakaran yang dilakukan oleh
perusahaan.12 Di sisi lain, pembakaran lahan juga dilakukan oleh masyarakat
sebagai suatu upaya membuka lahan baru yang dianggap sebagai suatu kebiasaan
yang hidup sebagai nilai-nilai dalam masyarakat dan kemudian disebut sebagai
kearifan lokal, budaya ini kerap ditemukan di daerah Kalimantan.13 Di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup pada Pasal 69 ayat 1 huruf (h) melarang seseorang untuk
membuka lahan dengan cara dibakar. Meskipun Indonesia memiliki banyak sekali
peraturan yang melarang pembakaran hutan, pada kenyataannya yang terjadi di
lapangan penegakan hukum peraturan tersebut masih sangat lemah.14

11
Tirto.id, Kebakaran Hutan & Lahan di Sumatera, diakses dari https://tirto.id/kebakaran-
hutan-dan-lahan-di-sumatera-efNe, diakses pada 31 Oktober 2021, jam 21.46 WIB.
12
Samsul Inosentius, Instrumen Hukum Penanggulangan Kebakaran Hutan, Lahan, Dan
Polusi Asap, Info Singkat Hukum, Vol.VII, No. 17/I/P3DI/September/2015, p.2
13
Acep Akbar, Studi Kearifan Lokal Penggunaan Api Persiapan Lahan: Studi Kasus di
Hutan Mawas, Kalimantan Tengah. JPSEK, Vol.8, No.3 (2011), p.212.
14
Walhi, Keharusan Pembenahan Struktural untuk Perbaikan Tata Kelola, Penerbit
WALHI, Jakarta, 2016.

1065
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

Apabila kegiatan pembakaran hutan dan lahan tersebut terus saja dilakukan,
maka sangat mungkin terjadi rusaknya hutan serta hutan menjadi semakin sedikit
luasannya jika tanpa didukung dengan program reboisasi. Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang disebut sebagai Undang-Undang
Kehutanan, sebagai dasar penegakan hukum aksi pembakaran hutan dan lahan di
Indonesia dirasa belum dijalankan dengan maksimal. Dalam Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Kehutanan disebutkan: “Untuk menjamin terselenggaranya
perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat
pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.”.
Adapun Kepolisian Khusus yang dimaksud adalah Polisi Kehutanan, sesuai
dengan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan memiliki wewenang yang meliputi:
“Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang untuk :
a. Mengadakan patrol/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang;
f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan.”

1066
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Wewenang Polisi Kehutanan yang cukup luas tidak serta merta mencegah
kerusakan hutan yang diakibatkan oleh tindak pidana pembakaran hutan dan
lahan. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya pembakaran hutan
dan lahan adalah minimnya jumlah petugas keamanan hutan dan kurangnya
sarana pengamanan hutan yang dimiliki oleh pemerintah yang digunakan oleh
petugas dalam menjaga keamanan hutan dari tindak pidana pembakaran hutan dan
lahan. Wacana mengenai pembakaran hutan ini pernah muncul ke permukaan
pada 2016. Saat itu, Majelis Hakim PN Palembang menolak gugatan perdata atas
PT BMH dengan pernyataan kontroversialnya “Bakar Hutan tidak merusak
lingkungan karena masih bisa ditanami lagi”.15 Ditinjau dari sudut pandang
yuridis, terdapat celah hukum yang telah ada sejak satu dekade lalu dan bahkan
masih langgeng dan dapat ditemukan hingga saat ini.
Celah yuridis tersebut pada awalnya terdapat di dalam Pasal 69 ayat (2)
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta bagian
penjelasannya. Pasal tersebut sebagaimana telah dijelaskan di latar belakang,
digunakan sebagai “perisai hukum” bagi perusahaan untuk melakukan
pembakaran hutan secara komersial. Pasal tersebut menyebutkan bahwasannya
ketentuan dalam ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang
untuk melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, kemudian oleh ayat
(2) dikecualikan bagi kearifan lokal yang dilakukan di daerah masing-masing
dengan luasan pembakaran hutan sebesar 2 (dua) hektar. Pasal 69 ayat (2) yang
membenarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan yang diizinkan
oleh negara ini dinilai menjadi kelemahan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh
oknum masyarakat dan/atau perusahaan demi keuntungan dengan membakar
sesuai ketentuan namun dapat merambat sehingga bukaan lahan menjadi lebih
luas daripada yang diperbolehkan. Dampak buruknya mengakibatkan pencemaran
lingkungan dan kerusakan lingkungan yang diciptakan melalui asap dikarenakan
pembakaran serta memberi pengaruh buruk bagi ekosistem sekitar.16

15
Gabriel Sengkey dkk., Analisis Yuridis terhadap Sanksi Pidana Pembakaran Hutan
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan
Lingkungan Hidup, Lex Crimen, Vol.X, No.3 (April 2021), Hlm.183.
16
Christian Rondonuwu, Kajian Yuridis Pembukaan Lahan Hijau Ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lex
Privatum, Vol.IV, No.6 (Juli 2016), Hlm.30.

1067
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

Ketentuan tersebut kemudian memiliki peraturan organik berupa Peraturan


Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme
Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan
dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.. Disebutkan di dalam Pasal 4 ayat (1)
bahwa masyarakat hukum adat dapat melakukan pembakaran dengan luas lahan
maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal
yang mana wajib diberitahukan kepada kepala desa, yang kemudian disambung
oleh ayat (2) yang menyatakan kepala desa menyampaikan pemberitahuan kepada
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. Pun juga di dalam produk hukum
lokal seperti yang diberlakukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah dan
Provinsi Riau juga memperbolehkan pembakaran lahan dengan izin bupati, camat,
lurah/kades, bahkan Ketua RT setempat17. Ketentuan itu menjadi hal yang lucu
karena pembakaran justru bukan diperoleh melalui mekanisme izin nasional
melainkan di tingkat perangkat masyarakat yang sangat kecil seperti Ketua RT
yang mana menurut penulis rawan untuk dilakukan korupsi, kolusi dan
nepotisme18 untuk memperlancar praktik pembakaran hutan ini. Yang lebih pelik
lagi, bahkan dalam Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun
2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52
Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi
Masyarakat di Kalimantan Tengah memperbolehkan pembukaan lahan melalui
pembakaran hutan dengan luas hingga mencapai 100 hektar.
Kemudian setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja, pengaturan tersebut juga masih dilanggengkan melalui Pasal
22 (klaster PPLH). Hal ini apabila terus menerus dibiarkan akan melanggengkan
praktik pembakaran hutan secara terselubung oleh korporasi yang memanfaatkan
keberadaan ketentuan tersebut. Sehingga menurut penulis dirasa perlu untuk
melakukan perbaikan termasuk penguatan kewenangan Polisi Hutan.

17
Tempo.co, Aturan Ini Izinkan Pembakaran Hutan dan Lahan, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/712396/aturan-ini-izinkan-pembakaran-hutan-dan-
lahan/full&view=ok, diakses pada 31 Oktober 2021, jam 22.48 WIB.
18
Chrisna Suhendi dan Zaenuddin, Analisis Survey Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tindak Pidana Korupsi Aparat Pemerintah Daerah dan Pencegahannya di Provinsi Jawa Tengah,
Jurnal Akuntansi Indonesia, Vol.4, No.1 (Januari 2015), Hlm.51.

1068
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

2. Konsep Perluasan Kewenangan Polisi Hutan sebagai Upaya Menangani


Tindak Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
Adanya pembakaran hutan yang esensinya adalah untuk mengakomodasi
kebutuhan dan kepentingan komunitas masyarakat lokal seperti untuk
membudidayakan tanaman endemik, namun disinyalir terdapat penyelewengan
celah hukum atas pengecualian pembakaran hutan itu oleh perusahaan swasta
dengan modus memanfaatkan komunitas lokal merupakan problematika yang
harus segera dikaji. Dengan adanya akibat yang ditimbulkan beserta analisis
yuridis celah hukum dalam peraturan perundang-undangan mencerminkan hukum
Indonesia yang belum antisipatif terhadap perilaku yang berdampak negatif.
Pembakaran hutan oleh komunitas lokal yang seharusnya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dari masyarakat setempat dengan menanam tanaman lokal,
justru dimanfaatkan oleh perusahaan swasta yang menggantungkan kepentingan
usaha atas lahan hutan tersebut seperti untuk membuka lahan.19 Adanya pendapat
yang mengemuka mengenai keterlibatan pengusahaan kayu dan perkebunan yang
meminta penduduk setempat untuk membakar hutan sehingga memicu kebakaran
hutan dalam skala yang luas20, memperlihatkan kecenderungan celah hukum yang
belum teridentifikasi secara holistik. Celah hukum tersebut berpotensi digunakan
sebagai penyimpangan formal yang merugikan pengelolaan sumber daya alam.21
Pembakaran hutan seringkali dianggap sebagai kearifan lokal setempat. Atas
dasar argumentasi tersebut muncul Pasal 69 ayat (2) UU PPLH yang menjadi
jaminan hukum masyarakat lokal untuk melakukan pembakaran hutan masif.22
Padahal dalam melakukan pembakaran lahan, masyarakat lokal justru selektif dan
berusaha menjaga alam misalnya tradisi Bambi Ari’ masyarakat Dayak.23

19
Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan, Occasional Paper No.38 (i), Penerbit CIFOR, Jakarta, 2003, p.20.
20
Gurniwan Kamil Pasya, Perlindungan Hutan melalui Kearifan Lokal, Jurnal Geografi
GEA, Vol.7, No.1 (2007), p.1.
21
Asep Dadan Muhanda, Kearifan Lokal Budaya Bakar Lahan Rawan Penyimpangan,
diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170622/99/665365/kearifan-lokal-budaya-bakar-
lahan-rawan-penyimpangan, diakses pada 17 Juli 2019, jam 15.53 WIB.
22
Uni Lubis, Ketika Membakar Lahan Dianggap Kearifan Lokal, diakses dari
https://www.rappler.com/indonesia/106067-ketika-membakar-lahan-dianggap-kearifan-lokal,
diakses pada 17 Juli 2019, jam 16.21 WIB.
23
Muryanti dan Rokhiman, Bambi Ari’ sebagai Wujud Kearifan Lokal Masyarakat Dayak
dalam Penanganan Bencana Kabut Asap di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Jurnal
Sosiologi Reflektif, Vol.11, No.1 (Oktober 2016), p.22.

1069
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

Sehingga yang diperlukan untuk meminimalisasi kerugian yang ditimbulkan


akibat pembakaran hutan terselubung oleh perusahaan swasta yang memanfaatkan
komunitas lokal seperti masyarakat hukum adat yang diberi pengecualian dalam
peraturan perundang-undangan, diperlukan konsep perluasan kewenangan dari
Polisi Hutan dalam menangani pembakaran hutan. Saran penulis yaitu menggagas
penambahan kewenangan Polisi Hutan dalam menangani kebakaran hutan.
Kewenangan yang dimaksud merupakan pengembangan atau perluasan secara
teknis kewenangan yang telah diderivasi oleh UU PPLH saat ini.
Perluasan kewenangan yang dimaksud adalah dengan menambahkan suatu
kewenangan bagi Polisi Hutan untuk melakukan pemetaan dan analisis terhadap
fenomena kebakaran hutan di wilayah kerjanya yang dilakukan oleh komunitas
masyarakat lokal setempat. Pemetaan tersebut dilakukan untuk menganalisis pola
kebakaran hutan, apakah merupakan fenomena yang bersifat alamiah atau terdapat
campur tangan manusia.24 Apabila terdapat pola yang mencurigakan dimana ada
beberapa kepala keluarga yang masing-masing melakukan pembakaran seluas dua
hektar dalam radius yang berdekatan, Polisi Hutan perlu melakukan pemeriksaan
terhadap setiap kepala keluarga yang melakukan pembakaran hutan tersebut.
Pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah pembakaran hutan dilakukan
untuk menanam varietas lokal sebagai pengecualian dalam UU PPLH atau modus
perusahaan swasta yang memanfaatkan peran komunitas lokal setempat.
Sehingga jika Polisi Hutan memetakan pola mencurigakan akan adanya
penyelewengan pemanfaatan masyarakat yang membakar untuk membuka lahan
demi kepentingan perusahaan swasta serta keterangan dari para kepala keluarga
sebagai saksi, dapat menjadi bukti permulaan untuk menjerat pelaku tindak pidana
pembakaran hutan terselubung tersebut. Hal ini dikarenakan Pasal 108 UU PPLH
merupakan rumusan pidana yang bersifat biasa atau murni (Gewone Delicten)
sehingga dapat langsung diproses oleh aparat tanpa ada laporan atau aduan.25
Namun dengan variasi tindak pidana yang dilakukan secara tidak langsung oleh
perusahaan swasta melalui peran komunitas lokal masyarakat setempat.

24
Kebakaran Hutan bisa jadi merupakan fenomena alam, walaupun dapat juga terdapat
peran manusia di dalamnya. Restu Achmaliadi, dkk., Keadaan Hutan Indonesia, Penerbit Forest
Watch Indonesia – Global Forest Watch, Jakarta, 2001, p.61.
25
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011, p.217-218.

1070
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Kewenangan Polisi Hutan dalam memetakan dan menganalisis pembakaran


hutan secara terselubung tersebut perlu ditunjang dengan pelatihan khusus seperti
pelatihan berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG adalah sistem informasi
yang digunakan untuk menyimpan dan menganalisis objek dan fenomena tertentu.
SIG dapat menganalisis lokasi, kondisi di lapangan, tren dari suatu keadaan, pola
gejala-gejala dan model untuk memprediksi kondisi di masa yang akan datang dan
memperkirakan apa yang terjadi di masa lalu.26 Perkembangan SIG diasosiasikan
dengan sistem yang berbasis komputer walaupun pada dasarnya SIG juga dapat
dilakukan secara manual.27 Untuk mendukung pelaksanaan kewenangan tersebut,
Polisi Hutan dibekali dengan alat komplementer seperti Unmanned Aerial Vehicle
(UAV) atau yang lebih populer disebut dengan Drone atau pesawat tanpa awak
yang dapat mempermudah pemetaan pembakaran hutan secara terselubung.28
Selain memperluas kewenangan Polisi Hutan dalam pemetaan dan analisis
fenomena kebakaran hutan terselubung yang ditunjang dengan pelatihan khusus,
pemerintah juga perlu melakukan revisi atas UU PPLH atau menetapkan regulasi
untuk mengatur secara teknis untuk izin dari pembakaran hutan yang selama ini
menjadi masalah karena tidak ada instrumen hukum yang mengakomodasi izin.
Padahal, perizinan merupakan hulu tindakan masyarakat dan pengawasan oleh
pemerintah secara preventif atas perbuatan yang dilakukan oleh masyarakat.29
Adanya penguatan kewenangan Polisi Hutan ini mutlak dibutuhkan mengingat
impunitas kejahatan lingkungan hidup oleh perusahaan swasta termasuk kategori
extraordinary crime dan Indonesia tidak memiliki peradilan khusus lingkungan.30
Sehingga diharapkan dapat menjaga keberlangsungan hutan nasional serta
meningkatkan penegakan hukum lingkungan di Indonesia.

26
Petrus Gunarso, dkk., Modul Pelatihan Dasar-Dasar Pengelolaan Data dan Sistem
Informasi Geografis, Penerbit Malinau Research Forest, Malinau, 2003, p.5.
27
G. Manjela Eko Hartoyo, dkk., Modul Pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG)
Tingkat Dasar, Penerbit Tropenbos International Indonesia Programme bekerjasama dengan
Badan Litbang Kehutanan, Balikpapan, 2010, p.1.
28
‘Azmiyatul ‘Arifati, Aplikasi UAV (Unmanned Aerial Vehicle) untuk Mendukung
Pemantauan Tata Ruang, dalam Bidang Penelitian Pusat Penelitian dan Kerja Sama Badan
Informasi Geospasial, Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2017 “Inovasi Teknologi
Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Prosiding, Penerbit Badan
Informasi Geospasial, Bogor, 2017, p.513. (ISSN 2614-7211)
29
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, p.170.
30
Bita Gadsia Spaltani, Pengadilan Khusus, Sebuah Perbandingan di Berbagai Negara
dalam Penegakan Hukum, Tesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2018, p.4.

1071
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

C. PENUTUP
Berdasarkan paparan tulisan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa poin-
poin kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembakaran Hutan merupakan salah satu problematika lingkungan yang
masih sering terjadi hingga saat ini. Salah satu pemicunya adalah
pengaturan secara yuridis yang membolehkan masyarakat lokal melakukan
pembakaran hutan dalam rangka pembukaan lahan untuk kepentingan
setempat. Ketentuan tersebut tercantum di dalam Pasal 69 ayat (2) Undang-
Undang PPLH jo. Pasal 22 Undang-Undang Cipta Kerja beserta turunan-
turunannya meliputi peraturan menteri dan peraturan daerah setempat.
Bahkan dalam pengaturan teknisnya, izin atas pembukaan lahan melalui
Pembakaran Hutan tersebut dapat dimintakan kepada satuan perangkat
terkecil seperti Ketua RT dan dapat membuka lahan hingga 100 hektar, jauh
di atas ketentuan Undang-Undang PPLH yang hanya 2 (dua) hektar.
Disinilah celah yuridis yang dapat dimanfaatkan oleh korporasi sebagai
“perisai hukum” dalam melakukan Pembakaran Hutan dengan dibantu
banyak kepala keluarga masyarakat setempat atau melakukan kongkalikong
dengan perangkat pemerintahan setempat agar diberikan izin.
2. Mengingat pada dasarnya ketentuan pengecualian tersebut memiliki niat
yang baik yaitu membolehkan masyarakat setempat melakukan Pembakaran
Hutan dengan kearifan lokal yang memang benar-benar ada di wilayah
tertentu, maka ketentuan pengecualian tersebut tetap memiliki urgensitas
untuk diberlakukan. Maka solusi terbaiknya adalah melakukan perluasan
kewenangan kepada Polisi Kehutanan untuk memetakan dan menganalisis
pola kebakaran hutan, apakah merupakan fenomena yang bersifat alamiah
atau terdapat campur tangan manusia. Jika terdapat pola yang mencurigakan
dimana ada beberapa kepala keluarga yang masing-masing melakukan
pembakaran seluas dua hektar dalam radius yang berdekatan, Polisi Hutan
perlu melakukan pemeriksaan terhadap setiap kepala keluarga yang
melakukan pembakaran hutan tersebut. Dapat diberikan pelatihan Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan dibekali dengan Drone guna maksimalisasi
kinerja Polisi Hutan dalam meminimalisasi pembakaran terselubung itu.

1072
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Achmaliadi, Restu, dkk.. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. (Jakarta: Penerbit
Forest Watch Indonesia – Global Forest Watch).
Fadli, Moh.. 2011. Peraturan Delegasi di Indonesia. (Malang: Penerbit UB
Press).
Hartoyo, G. Manjela Eko, dkk.. 2010 Modul Pelatihan Sistem Informasi
Geografis (SIG) Tingkat Dasar. (Balikpapan: Penerbit Tropenbos
International Indonesia Programme bekerjasama dengan Badan Litbang
Kehutanan).
Gunarso, Petrus, dkk.. 2003. Modul Pelatihan Dasar-Dasar Pengelolaan Data
dan Sistem Informasi Geografis. (Malinau: Penerbit Malinau Research
Forest).
Lailiyah, Aisyah, dkk.. 2017. Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan
Evaluasi Hukum dalam Rangka Penyelamatan dan Pengelolaan Kawasan
Hutan. (Jakarta: Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional).
Lamintang, P.A.F.. 2011. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
(Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti).
Tacconi, Luca. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan
Implikasi Kebijakan. Occasional Paper No.38(i). (Jakarta: Penerbit Center
for International Forestry Research (CIFOR)).
Saharjo, Bambang Hero. 2018. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di
Wilayah Komunitas Terdampak Asap. (Bandung: Penerbit IPB Press).
Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. (Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika).
Trinirmalaningrum, dkk.. 2015. Di Balik Tragedi Asap : Catatan Kebakaran
Hutan dan Lahan 2015. (Jakarta: Penerbit The Asia Foundation dan
Perkumpulan Skala).
Utama, I Made Arya. 2007. Hukum Lingkungan – Sistem Hukum Perijinan
Berwawasan Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan. (Bandung:
Penerbit Pustaka Sutra
WALHI. 2016. Tinjauan Lingkungan Hidup 2016 - Keharusan Pembenahan
Struktural untuk Perbaikan Tata Kelola. (Jakarta Selatan: Penerbit
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia).
Wartiningsih. 2014. Pidana Kehutanan – Keterlibatan dan Pertanggungjawaban
Penyelenggara Kebijakan Kehutanan. (Malang: Penerbit Intrans Publishing)

Publikasi
‘Arifati, ‘Azmiyatul. Aplikasi UAV (Unmanned Aerial Vehicle) untuk Mendukung
Pemantauan Tata Ruang. dalam Bidang Penelitian Pusat Penelitian dan
Kerja Sama Badan Informasi Geospasial, Prosiding Seminar Nasional
Geomatika 2017 “Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial
untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Prosiding, Penerbit Badan Informasi
Geospasial, Bogor, 2017. (ISSN 2614-7211)
Akbar, Acep. 2011. Studi Kearifan Lokal Penggunaan Api Persiapan Lahan:
Studi Kasus di Hutan Mawas, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Sosial
dan Ekonomi Kehutanan. Vo.8. No.3.

1073
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

Amrullah, Rinaldy. 2013. Konflik Kewenangan Antara Penyidik POLRI dan


POLHUT dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Kayu.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum. No.60. Th.XV.
Apriyani, Ni Wayan Ella. 2018. Pembukaan Lahan Hutan dalam Perspektif
HAM: Studi tentang Pembakaran Lahan Terkait Kearifan Lokal. Jurnal
Magister Hukum Udayana. Vol.7. No.3.
Cahyaningrum, Dian. 2018. Tanggung Jawab Hukum Perusahaan dalam Kasus
Kebakaran Hutan. Info Singkat Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI.
Vol.X. No.17/I/Puslit/September/2018.
Fajri, M. Nurul. 2016. Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan dengan
Pendekatan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jurnal Integritas. Vol.2. No.1.
Inosentius, Samsul. 2015. Instrumen Hukum Penanggulangan Kebakaran Hutan,
Lahan, dan Polusi Asap. Info Singkat Hukum. Vol. VII.
No.17/I/P3DI/September/2015.
Jadda, Asram A.T. dan Hartono Hamzah. Peran Polisi Hutan dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia. Madani
Legal Review (MALREV). Vol.3. No.2 (Desember 2019).
Muryanti dan Rokhiman. 2016. Bambi Ari’ sebagai Wujud Kearifan Lokal
Masyarakat Dayak dalam Penanganan Bencana Kabut Asap di Kabupaten
Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Jurnal Sosiologi Reflektif. Vol.11. No.1.
Pasya, Gurniwan Kamil. 2007. Perlindungan Hutan melalui Kearifan Lokal.
Jurnal Geografi GEA. Vol.7. No.1.
Ridholof, Hermanus. 2016. Kewenangan Polisi Kehutanan dalam Bidang
Perlindungan Hutan pada Pemerintah Daerah di Sulawesi Tengah. Jurnal
Katalogis. Vol.4. No.5.
Rondonuwu, Christian. Kajian Yuridis Pembukaan Lahan Hijau Ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lex Privatum. Vol.IV. No.6 (Juli 2016).
Sengkey, Gabriel, dkk.. Analisis Yuridis terhadap Sanksi Pidana Pembakaran
Hutan Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup. Lex Crimen. Vol.X.
No.3 (April 2021).
Suhendi, Chrisna dan Zaenuddin. Analisis Survey Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Tindak Pidana Korupsi Aparat Pemerintah Daerah dan
Pencegahannya di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Akuntansi Indonesia.
Vol.4. No.1 (Januari 2015).
World Rainforest Movement. 2018. Pembakaran Hutan dan Korban yang
Dihukum: Kisah tentang Tragedi Masyarakat Adat Delang di Lamandau,
Kalimantan Tengah. WRM Bulletin. No.238.

Karya Ilmiah
Ulfah, Dani Fittriya. 2005. Penegakan Hukum terhadap Perlindungan Hutan oleh
Polisi Hutan di KPH Purwodadi Kabupaten Grobogan. Skripsi. (Semarang:
Universitas Negeri Semarang).
Hartiwiningsih. 2018. Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran
Hutan Guna Mewujudkan Green and Clean Policy. Artikel Ilmiah.
(Surakarta: Universitas Sebelas Maret).

1074
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/

Manalu, Helena Verawati. Peran Polisi Kehutanan dalam Menanggulangi Tindak


Pidana Illegal Logging di Kawasan Hutan Provinsi Lampung. Skripsi.
(Bandar Lampung: Universitas Lampung)
Spaltani, Bita Gadsia. 2018. Pengadilan Khusus, Sebuah Perbandingan di
Berbagai Negara dalam Penegakan Hukum. Tesis. (Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta).
Wibawa, Aziz Kurnia. 2016. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana
Pembakaran Hutan Guna Pembukaan Lahan (Perspektif Hukum Indonesia
dan Hukum Islam. Naskah Publikasi. (Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta).

Website
Fachrudin, Fachri. Perusahaan Pembakar Hutan Disebut Kerap Jadikan
Masyarakat sebagai Tameng. diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/30/18105451/perusahaan.pemba
kar.hutan.disebut.kerap.jadikan.masyarakat.sebagai.tameng?page=all.
diakses pada 03 Juli 2019.
Indriani, Citra. Kebakaran Hutan Kembali Terjadi, Pemprov Riau Tetapkan
Status Siaga Darurat, diakses dari
https://regional.kompas.com/read/2018/02/20/08082011/kebakaran-hutan-
kembali-terjadi-pemprov-riau-tetapkan-status-siaga-darurat, diakses pada 24
November 2019.
Lubis, Uni. Ketika Membakar Lahan Dianggap Kearifan Lokal. diakses dari
https://www.rappler.com/indonesia/106067-ketika-membakar-lahan-
dianggap-kearifan-lokal. diakses pada 17 Juli 2019.
Muhanda, Asep Dadan. Kearifan Lokal Budaya Bakar Lahan Rawan
Penyimpangan. diakses dari
https://ekonomi.bisnis.com/read/20170622/99/665365/kearifan-lokal-
budaya-bakar-lahan-rawan-penyimpangan. diakses pada 17 Juli 2019,.
Tempo.co. Aturan Ini Izinkan Pembakaran Hutan dan Lahan. diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/712396/aturan-ini-izinkan-pembakaran-
hutan-dan-lahan/full&view=ok. diakses pada 31 Oktober 2021.
Tirto. 2019. Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. diakses dari
https://tirto.id/kebakaran-hutan-dan-lahan-di-sumatera-efNe, diakses pada
24 November 2019.

Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 167. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2. Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4168.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5059.

1075
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6573.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan
Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2014 tentang Masyarakat
Mitra Polisi Kehutanan. Berita Negara Tahun 2014 Nomor 1229.
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun
2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat
di Kalimantan Tengah

1076
Nomor ISSN: 2746-4075

You might also like