Professional Documents
Culture Documents
21 27 PB
21 27 PB
11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
i
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya
(Citation is permitted with acknowledgement of the source)
ii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
DISTRIBUTION PARTNERS
Official Partners
iii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Individual Partners
1. Monique Alya Sutanto (Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan)
iv
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
DAFTAR ISI
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan
Satwa Liar ....................................................................................................... 1039
v
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
vi
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
vii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesembilan)
https://jhlg.rewangrencang.com/
viii
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra. Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove Melalui Hukum Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau.
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).
ABSTRAK
Hutan Mangrove berperan dalam menjaga dan melestarikan kehidupan flora dan
fauna yang hidup di pantai. Tindak pidana penebangan hutan Mangrove yang
terjadi di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir ini kerap dilakukan oleh
masyarakat setempat secara berkala dan ilegal. Metode yang digunakan dalam
penulisan ini berupa yuridis-sosiologis. Penyelesaian tindak pidana penebangan
hutan Mangrove di Mandah ini biasanya diselesaikan dengan diterapkannya
hukum adat, karena Mandah merupakan daerah terpencil yang jauh dari akses ke
peradilan formal, dengan biaya yang tinggi (alat transportasi menggunakan
transportasi laut) serta terbatasnya jangkauan layanan kepolisian menjadikan
hukum adat lebih efektif digunakan dibanding hukum formal.
Kata Kunci: Hukum Adat, Penebangan Hutan Bakau Ilegal, Tindak Pidana
ABSTRACT
Mangrove forests play a role in maintaining and preserving the life of flora and
fauna that live on the coast. The crime of cutting down Mangrove forests in
Mandah Sub-district, Indragiri Hilir Regency, is often carried out by the local
community on a regular basis and illegally. The method used in this writing is
juridical-sociological. The settlement of the criminal act of logging Mangrove
forests in Mandah is usually resolved by the application of customary law,
because Mandah is a remote area far from access to formal justice, with high
costs (means of transportation using sea transportation) and limited reach of
police services to make customary law more effective. used instead of formal law.
Keywords: Adat Law, Mangrove Forest Illegal Logging, Criminal Act
980
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
A. PENDAHULUAN
Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah ekosistem hutan
Mangrove. Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai
produk dari Mangrove dapat dihasilkan seperti kayu bakar, bahan bangunan,
keperluan rumah tangga, kertas, obat-obatan dan untuk sektor perikanan.1
Indonesia pada saat ini terjadi peningkatan hilangnya sumber daya Mangrove
yang disebabkan oleh adanya penebangan hutan Mangrove yang secara mayoritas
dilakukan oleh masyarakat setempat secara illegal. Data perkiraan luas areal
Mangrove di Indonesia sangat beragam sehingga sulit untuk mengetahui secara
pasti seberapa besar penurunan luas areal Mangrove tersebut.2
Indragiri Hilir merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Riau yang
memiliki jumlah ekosistem hutan Mangrove yang cukup luas. Berdasarkan data
Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir, luas hutan Mangrove telah mengalami
kekurangan dari tahun ke tahunnya. Data dari Dinas Kehutanan Kabupaten
Indragiri Hilir tahun 2006 menyebutkan bahwa luas hutan Mangrove Kabupaten
Indragiri Hilir sebesar 121.535,31 Ha. Kemudian data dari Bakosurtanal (Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) menyebutkan luasan Mangrove
Kabupaten Indragiri Hilir pada tahun 2009 sebesar 120.895,898 Ha. Pada tahun
2013 menurut data dari Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir, luas hutan
Mangrove tersebut berkurang hingga tersisa 104.023 Ha.3 Data terakhir,
wilayah hutan Mangrove pada 2020 sekitar 63.534,01 Ha.4 Kecamatan yang
memiliki hutan Mangrove terbanyak di Kabupaten Indragiri Hilir yaitu
Kecamatan Mandah dengan luas hutan Mangrove sebesar 31.007 Ha, sehingga
memiliki potensi besar mengalami kerusakan akibat pemanfaatan yang dilakukan
secara berlebihan (Dinas Kehutanan Kabupaten Indragiri Hilir 2013).5
1
Nurhenu Karuniastuti, Peranan Hutan Mangrove Bagi Lingkungan Hidup, Jurnal Forum
Manajemen, Vol.6, No.1 (Januari 2015), p.1.
2
Y. Rusila Noor, Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Penerbit Remaja
Rosdakarya, Bogor, 1999, p.101.
3
Yudha Saktian Syafruddin, Pemetaan Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan Mandah
Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau, Jurnal Geografi, Vol.1, No.5 (Mei 2013), p.2.
4
Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Informasi Kehutanan, diakses
dari https://dpmptsp.inhilkab.go.id/kehutanan, diakses pada 7 Juli 2020, jam 21.00 WIB.
5
Yudha Saktian Syafruddin, Op.Cit..
981
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
6
Yudha Saktian Syafruddin, Op.Cit..
7
Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup, Penerbit Gramata Publishing, Bekasi, 2014, p.47.
982
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
Pada kasus tindak pidana yang diselesaikan secara adat, pada dasarnya
masyarakat tidak boleh secara eksklusif bergantung pada pengadilan untuk
penyelesaian sengketa dan prosedur tidak menghakimi lainnya mungkin lebih
murah, lebih cepat, tidak mengintimidasi, lebih sensitif terhadap masalah pihak
yang bersengketa dan lebih responsif terhadap masalah mendasar.8 Dalam banyak
perkara yang diselesaikan menurut sistem hukum adat, terdapat pula dua
kemungkinan. Pertama, penyelesaian hukum adat yang dilakukan masyarakat
diakui dan dilegalisasi oleh hukum negara melalui pengadilan. Kedua, perkara
dianggap selesai dan hukum negara tidak menyentuh perkara tersebut.9
Keberadaan hukum adat diakui eksistensinya oleh Negara. Hal ini
termaktub dalam Pasal 18 B ayat (2), Pasal 28 I ayat (3) dan Pasal 32 ayat (1)
UUD NRI 1945. Penegakan hukum adat terkait perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup oleh Pemerintah Provinsi Riau diatur dalam Pasal 7 Peraturan
Daerah Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Masyarakat Hukum Adat menurut Pasal 1 angka 33 Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014,
yaitu sekelompok orang yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu di NKRI karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan
yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata
pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan paparan latar belakang di
atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses penyelesaian melalui hukum adat terhadap tindak pidana
penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri
Hilir Provinsi Riau?
2. Bagaimana pengaruh hukum adat dalam menyelesaikan tindak pidana
penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri
Hilir Provinsi Riau?
8
Robin C. Larner, Overview of Alternative Dispute Resolution Introduction, Jurnal
Westlaw, Vol.2, No.15 (Juli 2018), p.16.
9
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Adat, Refika Aditama, Bandung, 2018, p.25.
983
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
B. PEMBAHASAN
1. Proses Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di
Kecamatan Mandah Kabupten Indragiri Hilir Provinsi Riau
Penelitian dalam tulisan ini berfokus pada proses penyelesaian tindak
pidana penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah melalui upaya
penyelesaian hukum adat atau hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penyelesaian perkara melalui sistem
peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan
hukum ke arah jalur lambat.10 Tindak pidana penebangan hutan atau pembalakan
hutan ini sudah jelas diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Tindak
pidana penebangan hutan bagi pelaku tindak pidana merupakan sebuah kejahatan
yang memiliki dampak negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada
umumnya dan kejahatan bagi masyarakat di sekitar Kecamatan Mandah pada
konteks yang lebih khusus.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat
Kecamatan Mandah, didapatkan hasil bahwa masyarakat di Kecamatan Mandah
sering melakukan penebangan atau pengambilan kayu Mangrove dengan jumlah
yang sedikit, namun dilakukan secara berkala.11 Hal ini dilakukan guna untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat seperti untuk pembangunan rumah karena
disana tergolong wilayah pesisir pantai sehingga membutuhkan kayu yang benar-
benar kokoh dan kuat dan dirasa kayu Mangrove atau bakau inilah yang cocok
sebagai bahan bangunan di sana. Selain untuk bahan bangunan, kayu Mangrove
juga digunakan oleh masyarakat setempat sebagai bahan obat-obatan, keperluan
rumah tangga serta untuk sektor perikanan.
Penebangan hutan Mangrove tergolong dalam perbuatan tindak pidana
karena dinilai merugikan seluruh lapisan masyarakat, mulai dari masyarakat
setempat di Kecamatan Mandah maupun Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir.
10
Henny Saida Flora, Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian Tindak
Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum Ubelaj,
Vol.3, No.2 (Oktober 2018), p.144.
11
Wawancara dengan Sadam, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
984
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
Menurut warga setempat, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kapal dengan
kapasitas 5 ton tidak bisa melewati parit (sungai) yang berada di sekitar area
pesisir. Parit kini menyempit dan kedalamannya pun semakin berkurang sehingga
kapal tidak bisa lagi masuk hingga ke dalam kebun kelapa. 12 Salah seorang tokoh
warga Mandah, Zainudin, mengungkapkan apa yang sekarang dirasakannya
seperti banjir yang semakin melebar, perkebunan kelapa tergenang air laut, yang
mana hal itu terjadi tidak lain karena eksploitasi hutan Mangrove.13
Rata-rata hutan Mangrove di Mandah telah mengalami kerusakan.
Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh penebangan pohon
Mangrove yang berdiameter 10 sentimeter atau yang biasa disebut dengan kayu
teki untuk kebutuhan pondasi hampir seluruh bangunan di Mandah Indragiri
Hilir.14 Daerah daratan di Mandah Indragiri Hilir merupakan rawa, gambut dan
hutan payau. Untuk membangun rumah atau bangunan lain harus menggunakan
sistem pancang (cerucuk). Rata-rata bahan cerucuk itu berasal dari kayu bakau
atau teki (Mangrove). Kayu ini dinilai paling kuat untuk dasar bangunan.
Kayunya itu diambil dari hutan Mangrove yang ada disana.15
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan Kepala Kepolisian
Sektor (Kapolsek) Mandah, menyatakan bahwa sering terjadi bentuk perbuatan
tindak pidana penebangan hutan Mangrove di Kecamatan Mandah. Namun untuk
jumlah kasus yang ditangani oleh Kepolisian Sektor Mandah tentang tindak
pidana khusus ini belum ada dikarenakan Kepolisian Sektor Mandah berfokus
pada penyelesaian kasus-kasus konvensional yang hanya diatur oleh KUHP
seperti pencurian, penganiayaan, pemerkosaan, KDRT dan lain sebagainya. 16
12
Wawancara dengan Azmi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
13
Wawancara dengan Zainudin, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
14
Wawancara dengan Doni, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
15
Wawancara dengan Susi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
16
Wawancara dengan IPTU Hendri Berson, Kepala Kepolisian Sektor Mandah, Model
Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di
Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
985
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
17
Wawancara dengan Syamsuri Latief, Ketua LAM Mandah sekaligus Tokoh Masyarakat
Mandah, Hari Rabu, Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana
Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September
2020.
18
Wawancara dengan Effendi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian Melalui
Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
986
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
19
May Dayanti dalam Ferawati dan Davit Rahmadan, Model Penyelesaian Perkara
Pelanggaran Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Lahan Gambut Kabupaten Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Riau Law Journal, Vol.4, No.2 (November 2020), p.256.
987
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
20
Wawancara Syamsuri Latief, Ketua LAM Mandah sekaligus Tokoh Masyarakat Mandah,
Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove
di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
21
Ibid.
988
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
Sebenarnya sudah cukup banyak peraturan dan produk hukum yang terkait
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (hutan) secara baik.
Namun harus diakui bahwa negara masih terkendala keterbatasan dalam
menyediakan keadilan secara cepat bagi anggota masyarakatnya, termasuk bagi
warga masyarakat di daerah lahan gambut Indragiri Hilir. Hal ini disebabkan oleh
karena sebagian besar lahan gambut merupakan daerah terpencil yang jauh dari
akses ke peradilan formal, biaya yang tinggi (menggunakan transportasi laut) dan
kurangnya pemahaman masyarakat mengenai peradilan formal, serta terbatasnya
jangkauan layanan kepolisian.22 Selain itu, perlu diperhatikan bahwasanya
keterlibatan masyarakat setempat dalam hal melakukan tindakan melawan hukum
dengan menebang pohon Mangrove secara ilegal disebabkan oleh faktor-faktor
seperti sektor perekonomian yang notabene nya masyarakat mendapatkan
penghasilan dari kayu Mangrove tersebut. Selain itu, sektor ekologi, sosial dan
budaya juga turut mengambil peran atas terjadinya penebangan hutan Mangrove
oleh masyarakat setempat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir ini.
2. Pengaruh Hukum Adat dalam Menyelesaikan Tindak Pidana
Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Mandah Kabupaten
Indragiri Hilir Provinsi Riau
Hukum adat merupakan salah satu penjelmaan dari kepribadian, jiwa dan
struktur masyarakat/bangsa. Hal ini sejalan dengan pendapat Von Savigny, yang
menyatakan bahwa isi hukum ditentukan oleh perkembangan adat istiadat dan
sejarah masyarakat dimana hukum itu berlaku.23 Kepastian hukum memerlukan
ketersediaan perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional
mampu mendukung pelaksanaannya sendiri. Dalam usaha menyediakan perangkat
hukum yang memadai, prinsip-prinsip dasar berbentuk perlindungan hukum bagi
setiap aktor pengguna hukum sangatlah penting untuk diletakkan mengingat
hukum harus memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.24
22
May Dayanti dalam Ferawati dan Davit Rahmadan, Model Penyelesaian Perkara
Pelanggaran Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Lahan Gambut Kabupaten Indragiri Hilir
Provinsi Riau, Riau Law Journal, Vol.4, No.2 (November 2020), p.255.
23
Eka Susylawati, Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal Ilmu
Hukum, Vol.4, No.1 (Juni 2017), p.137.
24
Yanis Maladi, Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen,
Jurnal Mimbar Hukum, Vol.22, No.3 (Oktober 2010), p.454.
989
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
25
Wawancara dengan IPTU Hendri Berson, Kepala Kepolisian Sektor Mandah, Model
Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di
Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
990
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
C. PENUTUP
1. Proses penyelesaian tindak pidana penebangan hutan Mangrove melalui
hukum adat di Kecamatan Mandah diselesaikan dengan diselenggarakan
prosesi Bertih Pisang dan/atau ritual Bele Kampong serta dilengkapi dengan
penjatuhan “dam” atau denda. Prosesi ini dinilai mampu menyelesaikan
setiap persoalan yang ada di tengah-tengah masyarakat Mandah khususnya
terhadap tindak pidana penebangan hutan Mangrove dengan harapan
terlaksananya upaya menjaga kelestarian sumber daya alam dan
memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang menjadi korban dari
pihak-pihak oknum yang memanfaatkan sumber daya alam secara ilegal.
991
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
992
Erdianto, Ferawati dan Imam Aliani Putra
Model Penyelesaian Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove Melalui Hukum
Adat di Kecamatan Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bram, Deni. 2014. Hukum Lingkungan Hidup. (Bekasi: Gramata Publishing).
Effendi, Erdianto. 2018. Hukum Pidana Adat. (Bandung: Refika Aditama).
Noor, Y. Rusila. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. (Bogor:
Penerbit Remaja Rosdakarya).
Publikasi
Ferawati dan Davit Rahmadan. Model Penyelesaian Perkara Pelanggaran
Pemanfaatan Sumber Daya Alam di Lahan Gambut Kabupaten Indragiri
Hilir Provinsi Riau. Riau Law Journal. Vol.4. No.2 (November 2020).
Flora, Henny Saida. Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian
Tindak Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia. Jurnal Hukum Ubelaj. Vol.3. No.2 (Oktober 2018).
Karuniastuti, Nurhenu. Peranan Hutan Mangrove Bagi Lingkungan Hidup. Jurnal
Forum Manajemen. Vol.6. No.1 (Januari 2015).
Larner, Robin C.. Overview of Alternative Dispute Resolution Introduction. Jurnal
Westlaw. Vol.2. No.15 (Juli 2018).
Maladi, Yanis. Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca
Amandemen. Jurnal Mimbar Hukum. Vol.22. No.3 (Oktober 2010).
Susylawati, Eka. Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia.
Jurnal Ilmu Hukum. Vol.4. No.1 (Juni 2017).
Syafruddin, Yudha Saktian. Pemetaan Kerusakan Hutan Mangrove di Kecamatan
Mandah Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Jurnal Geografi. Vol.1.
No.5 (Mei 2013).
Website
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Informasi
Kehutanan. diakses dari https://dpmptsp.inhilkab.go.id/kehutanan. diakses
pada 7 Juli 2020.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3886.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
130. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432.
993
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Sumber Lain
Wawancara dengan Azmi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Doni, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Effendi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan IPTU Hendri Berson, Kepala Kepolisian Sektor Mandah,
Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana
Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau,
Mandah, 2 September 2020.
Wawancara dengan Sadam, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Susi, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
Wawancara dengan Syamsuri Latief, Ketua LAM Mandah sekaligus Tokoh
Masyarakat Mandah, Hari Rabu, Model Penyelesaian Melalui Hukum Adat
terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan Mangrove di Kecamatan
Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2 September 2020.
Wawancara dengan Zainudin, Warga Kecamatan Mandah, Model Penyelesaian
Melalui Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Penebangan Hutan
Mangrove di Kecamatan Indragiri Hilir Provinsi Riau, Mandah, 2
September 2020.
994
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Syahrizal, Moch. Daffa. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan
Emisi Gas Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11
(November 2021).
ABSTRAK
Pembangkit Listrik Tenaga Air ditentukan sebagai sumber emisi Gas Rumah Kaca
(GRK) oleh perkembangan keilmuan. WALHI menggugat Izin Pinjam Pakai
Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan guna pembangunan PLTA Tampur-I.
Berdasarkan penelitian dengan pendekatan yuridis normatif, PLTA sebagai
sumber emisi GRK belum diinventarisasi sehingga keberadaannya dalam bentuk
Baku Mutu Emisi maupun AMDAL tidak ditemukan. Kemudian mengenai
gugatan WALHI, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/LH/2019/PTUN.BNA yang telah sesuai dengan hukum mampu menjadi
pelindung hutan di Aceh saat instrumen perizinan dan AMDAL telah gagal.
Kata Kunci: Emisi Gas Rumah Kaca, PLTA Tampur-I, Putusan PTUN
ABSTRACT
The Hydroelectric power plant is presented with scientific developments that
determine that hydropower is a source of Greenhouse Gas (GHG) emissions.
WALHI sued the IPPKH which was issued for the construction of the Tampur-I
hydroelectric power plant. Based on research with a normative juridical
approach, hydropower as a source of GHG has not been inventoried, so its
existence in Baku Mutu Emisi and in the AMDAL is not found. Then against
WALHI's lawsuit, the decision of the Banda Aceh State administrative court
No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA which is in accordance with the law is able to
become a forest protector in Aceh when the licensing&AMDAL instrument failed.
Keywords: Greenhouse Gas Emissions, PLTA Tampur-I, PTUN Verdict
995
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
A. PENDAHULUAN
Untuk mengatasi pembangunan yang tidak merata di Indonesia, pemerintah
melaksanakan asas pemerintahan daerah secara desentralisasi. Realisasi asas ini
diwujudkan dalam kebijakan otonomi daerah sehingga pemerintah daerah
memiliki wewenang untuk melaksanakan pembangunan dalam skala wilayah
sebagai upaya untuk mengembangkan potensi dan meningkatkan kualitas
manusia, kualitas ekonomi maupun kualitas sistem birokrasi itu sendiri.
Pelaksanaan pembangunan secara kewilayahan oleh satuan pemerintah daerah dan
masyarakat itu dilakukan dengan mengelola segala macam sumber daya di daerah,
hal ini dikenal dengan Pembangunan Daerah. Dalam pelaksanaan pembangunan,
daerah memerlukan dana yang tidak sedikit. Selain pendapatan asli daerah
maupun dana perimbangan, daerah perlu memanfaatkan masukan dana lainnya,
seperti anggaran negara atau investasi.1
Demi tercapainya efektivitas penempatan dana, pemerintah daerah
memerlukan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang
salah satu tujuannya adalah untuk perencanaan penganggaran dan penyusunan
pilihan program prioritas.2 Selain itu, pembangunan daerah haruslah berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan dalam upayanya untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat terkait. Karena itu, Rencana Tata Ruang Wilayah di level daerah
menunjukkan urgensinya dalam hal kemampuannya untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang saat pengembangan struktur ruang direalisasikan. Keharusan
agar berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di atas sesuai dengan Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UPPLH) yang menentukan:
“Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.”3
1
Paisol Burlian, Kewenangan Kepala Daerah Menurut Undang-Undang, NoerFikri,
Palembang, 2014, Hlm.17.
2
Agung Wasono dan Muhammad Maulana, Tinjauan Kritis Perencanaan dan
Penganggaran Pembangunan di Indonesia, Penerbit Kementerian PPN/Bappenas, Knowledge
Sector Initiative dan Australian Government, Jakarta, 2018, Hlm.18.
3
Indonesia (1), Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059, Ps. 1 angka 3.
996
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
4
Yoga Tri Nugraha, dkk., Perkiraan Konsumsi Energi Listrik di Aceh pada Tahun 2008
Menggunakan Metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System, Journal of Computer Engineering
System And Science, Vol.5, No.1, (Januari 2020), p.108.
5
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) Tahun 2021 Sampai dengan Tahun 2030,
Kepmen ESDM No.188/K/HK.02/MEM.L/2021.
6
Ismi Dian Kusumawardhani dan Rahmat Gernawa, Analisis Perubahan Iklim Berbagai
Variabilitas Curah Hujan dan Emisi Gas Metana (CH4) dengan Metode Grid Analysis and
Display System (GrADS) di Kabupaten Semarang, Jurnal YPJ, Vol.4, No.1 (Januari 2015), p.50.
997
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
7
Imam Kholiq, Analisa Pemanfaatan Energi Alternatif sebagai Energi Terbarukan untuk
Mendukung Subtitusi BBM, Jurnal IPTEK, Vol.19, No.2 (2015), p.85.
8
The New Bottom Line, The Hydropower Paradox: Is This Energy As Clean As It Seems?,
diakses dari https://www.theguardian.com/sustainable-business/2016/nov/06/hydropower-
hydroelectricity-methane-clean-climate-change-study, diakses pada 05 September 2021, jam 15.13
WIB.
9
Menurut KBBI, paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah bertentangan dengan
pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.
10
Ridwan Juniarso dan Achmad Sodik, Hukum Tata Ruang dalam Konsep Kebijakan
Otonomi Daerah, Penerbit Nuansa, Bandung, 2016, p.73.
11
Rudi Hardiansyah Putra, Masyarakat Aceh dan Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser,
Prosiding Seminar Nasional Biotik, Vol.3, No.1 (2015), p.17-18.
998
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
B. PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Positif terhadap Emisi Gas Rumah Kaca dan
Dibangunnya PLTA Tampur-I di KEL
Pembangunan dan pengembangan PLTA di Indonesia semakin digenjot oleh
Pemerintah termasuk oleh Pemerintah Provinsi Aceh. PLTA idealnya ditempatkan
di kawasan hutan. Hal itu karena hutan memiliki sumber air alami sehingga
beberapa program PLTA di Aceh ditempatkan di Kawasan Hutan Ulu Masen.
12
Junaidi Hanafiah, Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA Tampur,
diakses dari https://www.mongabay.co.id/2019/08/21/desa-lesten-akan-ditenggelamkan-demi-
alasan-plta-tampur/, diakses pada 18 November 2021, jam 14.41 WIB.
999
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Rencana pembangunan PLTA Tampur-I berkapasitas daya sebesar 443 MW
menggunakan kawasan hutan dengan rincian: a. Bendungan setinggi 193 m akan
dibangun di area Hutan Lindung yang termasuk ke dalam KEL; b. Area Reservoir
terletak pada sebagian kawasan Hutan Lindung (±1.403 ha), Hutan Produksi
(±2.390 ha) dan Area Penggunaan Lain (±277 ha) serta areal anclave Desa Lesten
(±260 ha); c. Work Area Plan menggunakan Hutan Lindung secara penuh (±360
ha); dan d. Pembangunan jalan baru di Hutan Lindung maupun Hutan Produksi.13
Penggunaan tenaga air memang ditujukan untuk mengurangi krisis energi
dan pencemaran lingkungan karena energinya yang bersifat terbarukan dan bersih.
Namun, PLTA memerlukan bendungan dan Reservoir atau waduk yang menurut
penelitian Washington State University, bangunan Reservoir ini bertanggung
jawab atas peningkatan emisi GRK. Artinya, penenggelaman lahan atau hutan
menjadikan karbondioksida (CO2) yang ada tidak mampu diserap secara alami
melalui fotosintesis dan akan menyebabkan proses dekomposisi dari Reservoir
sehingga menghasilkan metana (CH4) untuk kemudian dilepaskan ke atmosfer.14
Selanjutnya, suhu bumi akan semakin naik atau efek rumah kaca (GRK) terjadi
dan apabila nilai Global Warning Potential (GWP) dari masing-masing gas ini
terkonsentrasi di lapisan troposfer secara berlanjut dan meningkat maka panas
matahari akan semakin terperangkap atau terserap oleh gas-gas ini. Faktor yang
mampu membuat keadaan lebih buruk adalah ketika tumbuh-tumbuhan atau
kehutanan, laut dan lain sebagainya dengan kemampuan menyerap GRK tidak
lagi mampu mengimbangi naiknya konsentrasi GRK yang terjadi.15
Beberapa studi berkesimpulan sama, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Bridget Deemer, dkk. Menurut perhitungannya setelah meneliti 267 Reservoir,
Reservoir di berbagai belahan dunia melepaskan CO2 dan dominannya CH4 ke
atmosfer dalam jumlah yang cukup besar. Besarannya yaitu sekitar 1 (satu) miliar
ton atau 1,3 % dari total emisi global tahunan.16
13
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
14
Xuerong Li, Faliang Gui dan Qingpeng Li, Can Hydropower Still be Considered a Clean
Energy Source? Compelling Evidence from a Middle-Sized Hydropower Station in China,
Sustainability, Vol.11, No.16: 4261 (Agustus 2019), p.2.
15
Riza Pratama, Efek Rumah Kaca terhadap Bumi, Buletin Utama Teknik, Vol.4, No.2
(Januari 2019), p.120.
16
The New Bottom Line, Op.Cit..
1000
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
17
Xuerong Li, Faliang Gui dan Qingpeng Li, Op.Cit., p.7.
18
Xuerong Li, Faliang Gui dan Qingpeng Li, Ibid., p.9.
19
Wawan Herawan, dkk., Potensi Gas Rumah Kaca dari Cadangan Karbon yang
Tersimpan pada Lahan Bakal Waduk Jatigede, Jurnal Teknik Hidraulik, Vol.6, No.2 (November
2015), p.188-189.
1001
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Sebenarnya, emisi GRK yang dihasilkan oleh aktivitas biologis atau
dekomposisi di atas hanya menunjukkan emisi GRK dari PLTA Tampur-I dalam
proses operasi dan pemeliharaan PLTA. Jelasnya, GRK dihasilkan dalam jumlah
berbeda oleh pembangunan PLTA dalam tahapan-tahapannya, yaitu: a. tahap
pembuatan bahan peralatan; b. tahap transportasi; c. tahap konstruksi dan
pemasangan peralatan; d. tahap operasi dan pemeliharaan; dan e. tahap
pembuangan.20 Uraian di atas adalah permasalahan dunia internasional, termasuk
Indonesia bahwa emisi GRK dari Reservoir belum dinvetarisasikan.
Meskipun begitu, Reservoir ini telah ditentukan oleh Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.73/MenLhk/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan
Pelaporan Investarisasi Gas Rumah Kaca Nasional dengan mengacu pada arahan
Intergovernmental Panel on Climate Change (Selanjutnya disebut IPCC) sebagai
kategori lahan: Wetlands, sebuah kategori yang dapat ditujukan sebagai lahan
yang akan digunakan dan diubah untuk inventarisasi emisi dan serapan GRK.21 Di
samping itu, Reservoir dapat dikualifikasikan ke dalam kategori “Pertanian,
Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya (AFOLU)” dengan Wetlands sebagai
sub-kategori sumber sehingga menjadi suatu keharusan untuk dimasukkan ke
dalam penyusunan inventori GRK.22 Meskipun dengan adanya penggolongan di
atas, emisi GRK dari PLTA ini belum diinventarisasi sehingga belum diatur
secara normatif dalam baku mutu emisi guna menentukan ukuran batas atau kadar
maksimum dan/atau beban emisi maksimum terkait emisi gas CO2 dan CH4 yang
bersumber dari Reservoir yang ada di Indonesia. Tidak diadakannya inventarisasi
terhadap Reservoir sebagai sumber emisi GRK pada dasarnya mudah dimengerti
karena upaya ini belum ditentukan secara jelas, termasuk dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (Selanjutnya disebut RAN-GRK)
yang terdiri atas kegiatan inti dan kegiatan pendukung.
20
Xuerong Li, Faliang Gui, and Qingpeng Li, Op.Cit., p.5.
21
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (1), Peraturan
Menteri tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca
Nasional, Permen LHK No.P.73/MenLhk/SETJEN/KUM.1/12/2017.
22
Kementerian Lingkungan Hidup, Pedoman Penyelenggaraan Investarisasi Gas Rumah
Kaca Nasional: Buku I Pedoman Umum, INV/KLH/290612, KLH, Jakarta, 2012, p.9.
1002
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
23
Pemerintah Pusat, Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca, Perpres No. 61 Tahun 2011.
24
Lampiran I Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
25
Lampiran II Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
26
Ismi Dian Kusumawardhani dan Rahmat Gernawa, Analisis Perubahan Iklim Berbagai
Variabilitas Curah Hujan dan Emisi Gas Metana (CH4) dengan Metode Grid Analysis and
Display System (GrADS) di Kabupaten Semarang, Jurnal YPJ, Vol.4, No.1 (Januari 2015), p.50
1003
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Terhadap permasalahan emisi GRK ini, mengurangi bahan organik yang
terdapat di kawasan hutan sebelum penenggelaman ataupun meminimalisasi
keberadaan emisi GRK dalam tahapan-tahapan pembangunan PLTA pada
dasarnya belum menjadi upaya preventif untuk mengurangi dampak pada
lingkungan hidup. Lagi pula, dampak demikian belum menjadi dampak negatif
yang perlu diminimumkan dalam kajian lingkungan atau Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Selanjutnya disebut AMDAL). Secara realistis, agar suatu
pembangunan PLTA terjadi dengan dampak positif yang maksimal dan dampak
negatif yang minimal adalah dengan dilaksanakannya prosedur AMDAL.
Secara normatif, AMDAL diwajibkan terhadap instrumen pembangkit
listrik, khususnya PLTA dalam kondisi tertentu sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Republik Indonesia Nomor 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Selanjutnya disebut Permen Mlh No. 5 Tahun 2012), sebagai berikut:
“Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL.”27
“Jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yan wajib memiliki AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.”28
Berdasarkan ketentuan pasal di atas dan dengan melihat Lampiran I Permen
Mlh No. 5 Tahun 2012, pembangunan PLTA Tampur-I adalah kegiatan yang
wajib AMDAL karena tinggi bendungannya ≥ 15 m atau luas genangannya ≥ 200
Ha atau kapasitas dayanya ≥ 50 MW. Selain AMDAL, PLTA Tampur-I ini harus
memperoleh IPPKH sebagaimana bunyi Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Selanjutnya disebut
PP No. 105 Tahun 2015), yaitu: “Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan menteri.”.
27
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2), Peraturan
Menteri tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup, Permen LHK No.05 Tahun 2012, Ps. 2 ayat (1).
28
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2), Ibid., Ps.2 ayat
(2).
1004
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
29
Pemerintah Republik Indonesia (1), Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, PP
No.105 Tahun 2015, LN Tahun 2015 No.327, TLN No.5795, Ps.4 ayat (2).
30
Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan Kawasan
Hutan, PP No.24 Tahun 2010, LN Tahun 2010 No.30, TLN No.5112, Ps.7 ayat (1).
31
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor 7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
1005
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
2. Kesesuaian Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor 7/G/LH/2019/PTUN.BNA
dengan UU PPLH
19 Agustus 2019, Gugatan yang diajukan WALHI melawan Gubernur Aceh
tentang Pemberian IPPKH dalam Rangka Pembangunan PLTA Tampur-I (443
MW) seluas ±4.407 Ha atas nama PT. Kamirzu di tiga kabupaten (Objek
Sengketa) dikabulkan oleh Majelis Hakim PTUN dan diputuskan pada tanggal 28
Agustus 2019 bahwa objek sengketa tersebut tidak sah dan mewajibkan Tergugat
untuk mencabutnya. Atas amar putusan tersebut, Majelis Hakim perlu
mempertanggungjawabkannya dengan Pertimbangan Hakim sebagai alasan dari
putusan tersebut. Terkait dengan objek sengketa berupa Keputusan Gubernur
Aceh tentang Pemberian IPPKH guna pembangunan PLTA Tampur-I yang
memiliki potensi merusak lingkungan hidup, pertimbangan hukum hakim akan
disesuaikan dengan kehendak UU PPLH, yaitu sebagai berikut:
Pertama, pertimbangan hukum hakim atas ditolaknya eksepsi yang diajukan
Tergugat II (PT Kamirzu) yang mendalilkan bahwa WALHI sebagai penggugat
tidak memiliki Legal Standing atau kepentingan untuk mengajukan gugatan.
Dalam hal ini, pendapat Majelis Hakim mendasarkan pada ketentuan Pasal 92 UU
PPLH bahwa WALHI memiliki kepentingan dalam mengajukan gugatan karena
penggugat merupakan organisasi yang berbentuk badan hukum dan bergerak
dalam bidang lingkungan hidup yang secara nyata telah melaksanakan kegiatan-
kegiatannya sesuai anggaran dasar lebih dari 2 (dua) tahun.
Singkatnya, pertimbangan hukum hakim mengenai penolakan eksepsi
Tergugat II ini sesuai dengan UU PPLH yang menentukan secara jelas mengenai
perkembangan dalam gugatan ini, yaitu keberadaan Legal Standing atau Hak
Gugat Organisasi yang menyesuaikan dengan hajat hidup orang banyak (Public
Interest Law). Dengan demikian, seseorang atau organisasi tanpa kepentingan
langsung dapat bertindak untuk menggugat atas dasar memperjuangkan
kepentingan publik atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup,
perlindungan konsumen, dan hak-hak sipil serta politik.32
32
Rai Mantili dan Anita Afriana, Buku Ajar Hukum Acara Perdata, CV Kalam Media,
Bandung, 2015, p.101.
1006
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
1007
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Peraturan perundang-undangan di atas menentukan secara jelas bahwa
kewenangan Gubernur Aceh untuk mengeluarkan IPPKH hanya eksis atau ada
sebagai wewenang yang dilimpahkan oleh Menteri dan terbatas pada
pembangunan fasilitas umum non komersial dengan luasan paling banyak seluas 5
Ha (Limited Authority). Walaupun demikian, IPPKH terkait dikeluarkan untuk
proyek pembangunan yang memakai kawasan hutan seluas ±4.070 Ha. Sehingga
patut disimpulkan bahwa tindakan Gubernur Aceh telah melampaui kewenangan
yang telah ditentukan. Karena pada dasarnya, tindakan TUN berupa penerbitan
Objek Sengketa merupakan kewenangan Menteri sebagai pejabat TUN yang lebih
tinggi menurut dan sesuai dengan Pasal 36 ayat (2) UU PPLH. Uraian demikian
juga terpotret dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 270 K/TUN/LH/2020 saat
Majelis Hakim menyebutkan bahwa tindakan Gubernur Aceh sebagai Pemohon
Kasasi I merupakan tindakan yang telah melewati batas kewenangan yang
diberikan dan sesungguhnya bertentangan dengan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Pandangan tulisan terhadap kewenangan untuk menerbitkan IPPKH kepada
PT Kamirzu ini adalah tidak dapat disangkalnya penyimpangan yang dilakukan
oleh Gubernur terkait dengan legitimasi tindakannya yang hanya didasarkan
kepada ketentuan Pasal 54 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang
Kehutanan Aceh. Di samping itu, kaidah atau normanya tersebut juga patut
dipermasalahkan karena tidak secara tegas menyebutkan bahwa kewenangan
Gubernur Aceh ini adalah pelimpahan wewenang yang terbatas dari Menteri akan
tetapi hanya disebutkan dalam Bagian Umum Penjelasan atas Qanun Aceh Nomor
7 Tahun 2016. Ketentuan ini menentukan adanya kewenangan Pemerintah Pusat
yang bersifat nasional di Aceh yang sepenuhnya telah diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat
Nasional di Aceh (selanjutnya disebut PP No.3 Tahun 2015) sebagai pembatasan.
Sehingga ketentuan yang diatur di dalam Qanun ini hanyalah merupakan aturan
pelaksanaan di bidang kehutanan yang hanya dan telah menjadi kewenangan dari
Pemerintah Daerah Provinsi Aceh.33
33
Pemerintah Daerah Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Qanun tentang Kehutanan Aceh,
Qanun No.7 Tahun 2016, LD Tahun 2016 No.10.
1008
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
34
Andi Muhammad Asrun, dkk., Mempertanyakan Legalitas Qanun Aceh: Sesuaikah
Dengan Sistem Peraturan Perundang-Undangan, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Vol.21, No.2
(Agustus 2019), p.284.
35
Indonesia (2), Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN
Tahun 2006 No.62, TLN No.4633, Ps.270 ayat (1) dan (2) jo. Pemerintah Republik Indonesia,
Peraturan Pemerintah tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh, PP No.3
Tahun 2015, LN Tahun 2015 No.38, TLN No.5659, Ps.4 huruf bb dan Ps. 6.
1009
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Oleh karena itu, penggunaan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis ini
hanya dapat digunakan apabila peraturan perundang-undangan yang menjadi
pembahasan setara bentuknya sehingga penggunaan asas Lex Specialis Derogat
Legi Generalis di antara Peraturan Daerah dan Peraturan Pemerintah tidaklah
sesuai dan akan sangat abai terhadap kemungkinan akan pertentangan hukum
secara vertikal. Dalam mempertimbangkan pokok gugatan yaitu telah
bertentangannya penerbitan objek sengketa dengan peraturan perudang-undangan,
majelis hakim bukan semata-mata menentukannya pada kewenangan tetapi juga
pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya Kawasan
Ekosistem Leuser itu sendiri dengan menggunakan Pasal 150 ayat (2) UU No.11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menentukan bahwa Tergugat
sebagai Pemerintahan Aceh tidak memiliki kebolehan untuk mengeluarkan izin
pengusahaan hutan dalam KEL.36
Ditinjau dari perspektif politik hukum, Pasal 150 UU No.11 Tahun 2006
memiliki implikasi yang signifikan dalam konteks penggunaan kawasan hutan
secara keseluruhan dalam sistem hukum nasional. Politik hukum menurut
pandangan Satjipto Rahardjo adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.37 Tujuan yang dimaksud oleh terlindunginya Kawasan Ekosistem
Leuser sehingga upaya pelestarian dan pemulihan fungsi kawasan hutan yang
dilindungi oleh Pemerintah Aceh tidaklah sia-sia.
Demi mencapai tujuan tersebut, cara yang dipakai adalah dengan
dilarangnya pengeluaran izin pengusahaan hutan dalam KEL oleh pemerintah,
pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut didasarkan pada
Pasal 150 ayat (2). Konsep kepastian hukum yang demikian ini telah
memberitahukan mengenai apa yang boleh atau tidak dilakukan sehingga dalam
upayanya untuk mencapai tujuan hukum dalam segi kepastian hukum, Pasal 150
ayat (2) UU No.11 Tahun 2006 perlu dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas.38
36
Indonesia (2), Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, UU No.11 Tahun 2006, LN
Tahun 2006 No.62, TLN No.4633, Ps.150 ayat (2).
37
Satjipto Rajardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, p.352.
38
Muhamd Sadi Is, Kepastian Hukum terhadap Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia, Jurnal Yudisial, Vol.13, No.3 (Desember 2020), p.314.
1010
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
39
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
40
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Keputusan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) Tahun 2021 Sampai dengan Tahun 2030,
Kepmen ESDM No.188/K/HK.02/MEM.L/2021.
1011
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Perihal konteks telah mengganti ini sekiranya perlu diperhatikan kembali
saat pendekatan yang diambil regulator adalah untuk membangun perekonomian
nasional karena persetujuan lingkungan yang didasarkan kepada pendekatan
berbasis risiko tidaklah menggantikan AMDAL. Akan tetapi memanfaatkan
penilaian risiko yang direalisasikan melalui Klasifikasi Baku Lapangan Indonesia
(KBLI) untuk memberikan penjelasan mengenai ada atau tidaknya urgensi studi
AMDAL. Yang perlu menjadi perhatian juga adalah hubungan sebab-akibat yang
dipotret oleh penggunaan pendekatan berbasis risiko ini, yaitu upaya kontrol dan
pengawasan pemerintah serta ketatnya persyaratan akan meningkat mengikuti
potensi risiko dari penggunaan kawasan hutan yang dilakukan. 41 Namun
sebagaimana dihendaki oleh UU No.11 Tahun 2020, penerbitan P2KH ini harus
disesuaikan dengan kewenangan dan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Oleh karena itu, penerbitan Perizinan Berusaha di KEL, baik oleh
Gubernur maupun Pemerintah Pusat merupakan tindakan pejabat yang dilarang
atas dasar Pasal 150 UU No.11 Tahun 2006 sebagai parameter yuridisnya.
C. PENUTUP
1. Setelah Reservoir PLTA yang dipersamakan dengan waduk ditentukan
sebagai sumber emisi GRK yang tergolong rendah berupa Karbon Dioksida
dan Metana, inventarisasi terhadap PLTA sebagai sumber emisi belum
dilakukan sehingga Indonesia mengalami kekosongan hukum. Oleh karena
itu, pembangunan dan operasi PLTA secara konsekuen tidak memiliki
instrumen untuk mencegah atau memperkecil dampaknya, baik itu dalam
bentuk Baku Mutu Emisi maupun AMDAL. Terkait dengan rencana
pembangunan PLTA Tampur-I, penerbitan IPPKH dan selesainya AMDAL
tidak dilaksanakan secara implementatif sesuai dengan preferensi
pemerintah terhadap PLTA. Sehingga singkatnya, penerbitan IPPKH
memiliki persoalan hukum yang perlu digugat dengan tidak berwenangnya
Gubernur Aceh dan AMDAL yang memiliki kekurangan dalam segi
substansi akan tetapi tetap disetujui.
41
Evan Devara, dkk., Inovasi Pendekatan Berbasis Risiko Dalam Persetujuan Lingkungan
Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja, LITRA: Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan
Agraria, Vol. 1, No.1 (Oktober 2021), p. 107..
1012
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Oleh karena itu, urgensi pemerintah saat ini adalah dalam rangka
meminimalisasi dampak emisi GRK dari PLTA ini dengan mengadakan
inventarisasi dan mengaturnya secara normatif, salah satunya adalah dengan
meratifikasi produk hukum final dari persetujuan Internalgovernmental
Panel Climate Change (IPCC) untuk memasukan Reservoir dalam kategori
“Flooded Lands”.
2. Pertimbangan hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Banda Aceh No.7/G/LH/2019/PTUN.BNA telah sesuai dengan ketentuan
UU PPLH, sebagai berikut:
a. Pertimbangan hukum mengenai kedudukan WALHI didasarkan secara
langsung pada Pasal 92 UU PPLH;
b. Pertimbangan hukum mengenai penerbitan objek sengketa yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam segi
kewenangan sesuai dengan Pasal 36 ayat (4) UU PPLH yang menentukan
diferensiasi kewenangan bagi Pejabat TUN untuk mengeluarkan
perizinan;
Terkait dengan pelaksanaan kewenangan pemerintah provinsi Aceh
terhadap kehutanan menurut Qanun perlu diterapkan secara konsekuen
dengan mengutamakan ketentuan asas Lex Superior Derogat Legi Inferior,
terutama penerbitan IPPKH yang memang dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan yang telah disebutkan. Merujuk kepada penggantian
IPPKH menjadi Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan pun sekiranya tak
perlu menjadi kekhawatiran selama penerapan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta Peraturan Pemerintah terkait
dilaksanakan secara konsekuen dalam hal pemenuhan persyaratan
administratif dan teknis.
1013
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Burlian, Paisol. 2014. Kewenangan Kepala Daerah Menurut Undang-Undang.
(Palembang: Penerbit NoerFikri).
Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Pedoman Penyelenggaraan Investarisasi
Gas Rumah Kaca Nasional: Buku I Pedoman Umum. INV/KLH/290612.
(Jakarta: Penerbit Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia)
Juniarso, Ridwan dan Achmad Sodik. 2016. Hukum Tata Ruang dalam Konsep
Kebijakan Otonomi Daerah. (Bandung: Penerbit Nuansa).
Mantili, Rai dan Anita Afriana. 2015. Buku Ajar Hukum Acara Perdata.
(Bandung: Penerbit CV Kalam Media).
Rajardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. (Bandung: Penerbit Citra Aditya).
Wasono, Agung dan Muhammad Maulana. 2018. Tinjauan Kritis Perencanaan
dan Penganggaran Pembangunan di Indonesia. (Jakarta: Penerbit
Kementerian PPN/Bappenas bekerja sama dengan Knowledge Sector
Initiative dan Australian Government).
Publikasi
Asrun, Andi Muhammad dkk., Mempertanyakan Legalitas Qanun Aceh:
Sesuaikah dengan Sistem Peraturan Perundang-Undangan. Kanun Jurnal
Ilmu Hukum. Vol.21. No.2 (Agustus 2019).
Is, Muhamad Sadi. Kepastian Hukum terhadap Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Indonesia. Jurnal Yudisial. Vol.13. No.3 (Desember
2020).
Devara, Evan, dkk., Inovasi Pendekatan Berbasis Risiko dalam Persetujuan
Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja. LITRA: Jurnal
Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria. Vol.1. No.1 (Oktober 2021).
Herawan, Wawan, dkk.. Potensi Gas Rumah Kaca dari Cadangan Karbon yang
Tersimpan pada Lahan Bakal Waduk Jatigede. Jurnal Teknik Hidraulik.
Vol.6. No.2 (November 2015).
Kholiq, Imam. Analisis Pemanfaatan Energi Alternatif sebagai Energi
Terbarukan untuk Mendukung Subtitusi BBM. Jurnal IPTEK. Vol.19. No.2
(2015).
Kusumawardhani, Ismi Dian dan Rahmat Gernawa. Analisis Perubahan Iklim
Berbagai Variabilitas Curah Hujan dan Emisi Gas Metana (CH4) dengan
Metode Grid Analysis and Display System (GrADS) di Kabupaten
Semarang. Youngster Physics Journal. Vol.4. No.2 (Januari 2015).
Li, Xuerong, dkk.. Can Hydropower Still be Considered a Clean Energy Source?
Compelling Evidence from A Middle-Sized Hydropower Station In China.
Sustainability. Vol.1. No.16: 4261 (Agustus 2019).
Nugraha, Yoga Tri, dkk. Perkiraan Konsumsi Energi Listrik di Aceh pada Tahun
2028 Menggunakan Metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System.
Journal of Computer Engineering System and Science. Vol.5. No.1 (Januari
2020).
Pratama, Riza. Efek Rumah Kaca terhadap Bumi. Buletin Utama Teknik. Vol.4.
No.2 (Januari 2019).
1014
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Website
Hanafiah, Junaidi. Amdal PLTA Tampur Dipaksakan, Relokasi Masyarakat dan
Mitigasi Konflik Satwa Diabaikan. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2018/02/23/amdal-plta-tampur-dipaksakan-
relokasi-masyarakat-dan-mitigasi-konflik-satwa-diabaikan/. diakses pada 05
September 2021.
______________. Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA
Tampur. diakses dari https://www.mongabay.co.id/2019/08/21/desa-lesten-
akan-ditenggelamkan-demi-alasan-plta-tampur/. diakses pada 18 November
2021
The New Bottom Line. The Hydropower Paradox: Is This Energy As Clean As It
Seems?, diakses dari https://www.theguardian.com/sustainable-
business/2016/nov/06/hydropower-hydroelectricity-methane-clean-climate-
change-study. diakses pada 05 September 2021.
Sumber Hukum
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah
yang Bersifat Nasional di Aceh. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 38. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5659.
Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan
Hutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 327.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5795.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional
Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 05 Tahun 2012
tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
p.73/MenLhk/SETJEN/ KUM.1/12/2017 tentang Pedoman Penyelenggaraan
dan Pelaporan Investarisasi Gas Rumah Kaca Nasional.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan.
1015
Moch. Daffa Syahrizal
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I Terkait dengan Emisi Gas
Rumah Kaca dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/Lh/2019/PTUN.BNA
Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor
188/K/HK.02/MEM.L/2021 tentang Pengesahan Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO)
Tahun 2021 Sampai dengan Tahun 2030.
Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh. Lembaran Aceh
Tahun 2016 Nomor 10. Tambahan Lembaran Aceh Nomor 82.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 270 K/TUN/LH/2020.
Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Medan Nomor
264/B/LH/2019/PTTUN-MDN.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh Nomor
7/G/LH/2019/PTUN.BNA.
Keputusan Gubernur Aceh Nomor 552.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017.
1016
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Rahma, Nabila Aulia dkk.. Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu
Minyak dan Gas Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia. Rewang Rencang : Jurnal Hukum
Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).
ABSTRAK
Prinsip kesejahteraan rakyat tersirat dalam sila kelima pancasila yang berbunyi
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pancasila merupakan falsafah
negara (Philosofische Gronslag) dan dasar negara yang mengandung nilai-nilai
fundamental yang menjadi dasar demi tercapainya cita negara Indonesia. Cita
negara yang terkandung dalam preambul UUD NRI 1945 menunjukkan ciri
negara kesejahteraan (Welfare State) yang mengamanatkan Negara untuk
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 33
UUD NRI 1945 bahwa bumi air dan kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Pasal
tersebut kemudian menjadi landasan konstitusional sekaligus arah pengaturan
dalam pengelolaan sumber daya alam yang berlandaskan keadilan sosial guna
memberikan nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional. Seperti
halnya Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang merupakan sumber daya alam
strategis sekaligus komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan
memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolanya
harus memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Salah satu kegiatan
usaha hulu Migas yang memiliki peranan penting sebagai penggerak
perekonomian nasional adalah sektor hulu Migas. Sektor hulu Migas akan
memberikan manfaat yang signifikan apabila dikelola dan diawasi dengan dengan
baik. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, pemerintah membentuk
Badan Pelaksana Migas (BP Migas) sebagai pemegang kuasa sektor hulu Migas.
Namun pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-
X/2012, BP Migas dibubarkan karena dianggap inkonstitusional. Sebagai akibat
hukumnya pada tahun 2013 Pemerintah membentuk SKK Migas untuk
melaksanakan pengelolaan hulu Migas. Namun keberadaan SKK Migas dalam
praktiknya tidak menjamin terciptanya pengawasan hulu Migas yang lebih efektif.
1017
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
ABSTRACT
The principle of people's welfare is implied in the fifth precept of Pancasila which
reads "social justice for all Indonesian people". Pancasila is the philosophy of the
state (Philosofische Gronslag) and a state policy that contains fundamental values
that are the basis for the achievement of the Indonesian state. The state ideal
contained in the preamble of the 1945 NRI Constitution shows the characteristics
of the welfare state (Welfare State) that mandates the State to be responsible for
the welfare of the people. This is confirmed in Article 33 of the 1945 NRI
Constitution that the earth's water and natural wealth in it are controlled by the
State and used as much as possible for the welfare of the people. The article then
becomes a constitutional foundation as well as the direction of arrangements in
the management of natural resources based on social justice to provide real
added value to the national economy. As well as Oil and Gas (Migas) is a
strategic natural resource as well as a vital commodity that controls the lives of
many people and has an important role in the national economy so that its
managers must provide prosperity and welfare of the people. One of the upstream
oil and gas business activities that have an important role as a driver of the
national economy is the upstream oil and gas sector. The upstream oil and gas
sector will provide significant benefits if managed and supervised properly. In
order to carry out these supervisions, the government established the Oil and Gas
Implementing Agency (BP Migas) as the power holder of the upstream oil and gas
sector. But after the issuance of the Constitutional Court decision No. 36 / PUU-X
/ 2012, BP Migas was dissolved because it was considered unconstitutional. As a
result of the law in 2013, the Government established SKK Migas to carry out
upstream management of Oil and Gas. But the existence of SKK Migas in practice
does not guarantee the creation of more effective upstream oil and gas
supervision. The disproportionate soaring cost recovery shows the weakness of
SKK Migas in conducting supervision and control of the upstream oil and gas
sector. Therefore, an effective supervision system is needed to increase the
productivity of the upstream oil and gas sector and national welfare. Based on
these problems, the author initiated a supervision mining system which is a new
model of supervision that is ideal to accommodate the implementation of
upstream oil and gas business activities based on the value of social justice.
Keywords: Social Justice, Supervision, Upstream Oil and Gas Sector
1018
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
A. PENDAHULUAN
“Indonesia yang merdeka bukanlah tujuan akhir, akan tetapi kemerdekaan yang
sebenarnya adalah ketika rakyat bisa hidup makmur dan bahagia.”
- Mohammad Hatta
Merupakan sebuah keniscayaan ketika berbicara mengenai kemerdekaan,
karena pada hakikatnya bukan hanya kemerdekaan yang sebatas lepas dari
cengkeraman kolonial, akan tetapi kesejahteraan rakyatlah yang menjadi bukti
kemerdekaan yang sesungguhnya. Prinsip kesejahteraan rakyat tersirat dalam sila-
sila pancasila khususnya sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia”. Pancasila merupakan ikrar suci yang menjadi tanda
kemerdekaan bangsa Indonesia. Pancasila juga merupakan falsafah negara
(Philosofische Gronslag) yang digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan
dan penyelenggaraan negara. Pancasila sebagai dasar negara, hal ini berarti bahwa
setiap tindakan rakyat dan Negara Indonesia harus sesuai dengan Pancasila. Nilai-
nilai yang terkandung pada Pancasila bersifat universal, sehingga harus
diinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai Pancasila yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 secara
yuridis mempunyai kedudukan sebagai pokok kaidah yang fundamental. 1 Kaidah
fundamental tersebut merupakan suatu dasar yang harus diwujudkan demi
tercapainya tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Pembukaan UUD 1945 merupakan kesepakatan luhur bangsa Indonesia
untuk hidup bersama (Modus Vivendi) dalam ikatan satu bangsa yang majemuk.2
Modus Vivendi tersebut, telah melahirkan cita negara, yang merupakan identitas
dan pedoman bangsa dalam melangkah. Cita negara yang terkandung dalam
preambule UUD NRI 1945, menunjukkan ciri negara kesejahteraan (Welfare
State), yang merupakan karakteristik dari negara modern. Dengan demikian,
konstitusi telah mengamanatkan Negara untuk bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 33 UUD NRI 1945
bahwasannya bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar besarnya demi untuk kesejahteraan rakyat.
1
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma Offset, Yogyakarta, 2010, p.77.
2
Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Penerbit
LP3ES, Jakarta, 2007, p.3-4.
1019
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
Pada penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945 juga tercermin adanya demokrasi
ekonomi yang menjadi ciri khas dari negara kesejahteraan, yang berbunyi:
“Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua
orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau
tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai
hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang seorang. Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok
kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Ketentuan tersebut selanjutnya merupakan landasan konstitusional dan
sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan monopoli
pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber
daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya yang berlandaskan semangat
sosial3, sehingga konsekuensi logis adalah penempatan pengelolaan dan
penguasaan terhadap berbagai sumber daya harus ditujukan kepada kepentingan
publik.4 Sumber daya alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena
itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah secara
nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.
Seperti halnya minyak dan gas bumi (Migas), yang mana keberadaannya
merupakan amanat dan karunia Sang Pencipta untuk dimanfaatkan dan
dilestarikan demi keberlangsungan hidup manusia. Migas merupakan sumber
daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan
komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai
peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus
dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.5
3
Sri Edi Swasono, Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Harus Dipertahankan,
Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat, Makalah Bappenas, diakses dari
https://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10688/2404/, diakses pada 20 Agustus
2019.
4
SF. Marbun, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak
dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi, Universitas
Padjajaran, Bandung, 2001, p.50.
5
Konsideran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
1020
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Menurut data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Indonesia merupakan
salah satu negara dengan jumlah cadangan minyak dan gas bumi yang cukup
besar. Jumlah cadangan minyak bumi status 01.01.2018 adalah sebesar 7512,2
MMSTB, sedangkan jumlah cadangan gas bumi status 01.01.2018 adalah sebesar
135,55 Triliun kaki kubik (TSCF).6 Sebagai salah satu komoditas vital, Migas
juga memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara, hal ini dibuktikan pada
tahun 2018 penerimaan sektor Migas mencapai 228 Triliun atau 182% dari target
APBN 2018 sebesar 125 Triliun dengan komposisi 163.4 Triliun PNBP dan 64.7
Triliun PPh Migas.
6
Ditjen Migas, Laporan Tahunan Capaian Pembangunan Tahun 2018, Direktorat Jenderal
Minyak dan Gas Bumi, Jakarta, 2018, p.44-45.
1021
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Pengujian Atas Undang
Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8
Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan
Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi
9
David Eka Issetiabudi, Biaya Produksi Migas, Cost Recovery 2019 Disepakati Us$10,21
Miliar, diakses dari https://industri.bisnis.com/read/20180919/44/840098/biaya-produksi-Migas-
costrecovery-2019-disepakati-us1021-miliar, diakses pada 20 Agustus 2019.
1022
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
B. PEMBAHASAN
a. Problematika Pelaksanaan Pengawasan Sektor Hulu Migas di
Indonesia Saat Ini
Hingga saat ini, pengelolaan sektor hulu minyak dan gas bumi (selanjutnya
disebut Migas) masih menggunakan skema Production Sharing Contract (Kontrak
dengan bagi hasil) antar para pihak, yaitu negara dan perusahaan
nasional/multinasional yang berinvestasi di sektor hulu Migas. Kontrak bagi hasil
di Indonesia mulai populer sejak pertama kali diperkenalkan pada 1960 oleh Ibnu
Sutowo.10 Ibnu Sutowo memperkenalkan bentuk kontrak dengan bagi hasil ini
karena Indonesia pada saat itu merupakan negara yang memiliki kandungan
Migas yang melimpah, tetapi Indonesia tidak memiliki kemampuan, baik dari segi
Sumber Daya Manusia yang kompeten, keuangan, dan teknologi untuk melakukan
pengelolaan usaha hulu Migas karena kegiatan hulu Migas merupakan usaha yang
membutuhkan modal dan memiliki risiko yang tinggi.11
10
Ari Tri Wibowo, Kewenangan Bertindak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Untuk Menandatangani Kontrak Kerjasama, Tesis,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2013.
11
Rudi M. Simamora, Hukum Minyak Dan Gas Bumi, Penerbit Jambatan, Jakarta, 2000,
p.93.
1023
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
12
Jaringan Advokasi Tambang, Kebijakan yang Melayani Pemodal, Majalah Jaringan
Advokasi Tambang, 2005, p.43.
13
Indah Dwi Qurbani, Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia,
Jurnal Arena Hukum, Vol.6, No.2 (2012), p.116.
14
Muhammad Idris, Setoran dari Migas Tak Bisa Lagi Jadi Andalan di APBN, diakses dari
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-3604714/setoran-dari-Migas-tak-bisa-lagijadi-
andalan-di-apbn, diakses pada 25 Agustus 2019.
1024
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
15
Anggita Rezki Amelia, Cerita Kepala SKK Migas Soal Rawannya Praktik Suap di Sektor
Hulu, diakses dari https://katadata.co.id/berita/2018/03/27/cerita-kepala-skk-Migas-soal-
rawannyapraktik-suap-di-sektor-hulu, diakses pada 24 Agustus 2019.
16
Abba Gabrilin, Karen Agustiawan: Baru Pertama Kali Bisnis Hulu Migas Dianggap
Pidana Korupsi, dari https://nasional.kompas.com/read/2019/05/29/19371701/karen-agustiawan-
barupertama-kali-bisnis-hulu-Migas-dianggap-pidana-korupsi?page=2, pada 24 Agustus 2019.
1025
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
17
Ari Sunaryo, Peristiwa Gangguan Operasi Hulu Migas Capai 893 Kasus Hingga
Oktober 2016, diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/gangguan-operasi-hulu-Migas-
capai-893- kasus-hingga-oktober-2016.html, diakses pada 24 Agustus 2019.
18
Djoko Siswanto, Regulasi dan Standar Pengelolaan Keselamatan Operasi Hulu Migas,
Jurnal Migas, Issue 01 (Januari-Juni 2018), p.13.
19
Lihat Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.
1026
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
20
Dian Aries Mujiburohman, Akibat Hukum Pembubaran BP Migas, Jurnal Mimbar
Hukum, Vol.25, No.3 (2013), p.462.
21
Pri Agung Rakhmanto, Akar Permasalahan Sektor Migas, diakses dari
http://www.reforminer.com/akar-permasalahan-sektor-Migas/, diakses pada 25 Agustus 2019.
1027
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
22
Lihat Pertimbangan Hakim dalam Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012.
23
Raditya Arindya, Efektivitas Organisasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Penerbit
Media Sahabat Cendekia, Surabaya, 2019, p.108.
1028
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Dalam hal ini, penekanan pengawasan lebih pada upaya mengenali penyimpangan
atau hambatan di dalam efektivitas dalam tata kelola Migas. Dengan kata lain,
tujuan pengawasan adalah mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya
tentang tata kelola Migas. Pengawasan yang dilakukan pada SKK Migas dan
Kontraktor hanya mencakup penyusunan Kontrak Kerja Sama, dan juga
pengawasan secara teknis pelaksanaan proses Lifting. Oleh karena itu,
pengawasan terhadap SKK Migas dan Kontraktor dinilai lemah terutama dalam
menanggulangi penyelewengan pengadaan Migas. Sehingga minim tercapainya
keadilan sosial yang tujuan penguasaan Migasnya ditujukan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
b. Konsep Supervision Mining System sebagai Upaya Rekonstruksi
Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Berkeadilan
Sosial di Indonesia
24
Rachmad Safa’at, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Kepaniteraan dan Sekjen MK RI, Jakarta, 2017, p.16.
1029
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
Artinya, setiap warga negara Indonesia menyadari hak dan kewajiban yang sama
untuk menciptakan suatu keadilan sosial dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Keadilan sosial juga merupakan ujung dari semua ide tentang keadilan
hukum dan keadilan ekonomi sekaligus simpul dari semua dimensi dan aspek dari
ide kemanusiaan tentang keadilan.25 Konsep keadilan dalam Sumber Daya Alam
dijelaskan dalam konstitusi dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Salah satu bentuk penguasaan oleh negara dalam
Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah adanya sektor pengawasan. Sektor pengawasan
dianggap penting sebagai tolak ukur keberhasilan dan pengendali penyimpangan
dalam Sumber Daya Alam. Kedudukan sektor pengawasan dalam Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi dianggap sangat krusial karena mengingat merupakan
cabang produksi penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak,
oleh karena itu konsep pengawasan yang benar diperlukan untuk mencapai
keadilan yang dicita-citakan.
Pengawasan yang paling mengalami instabilitas keadilan dan dianggap
paling rentan dalam Pertambangan Minyak dan Gas Bumi berada dalam sektor
hulu. Pengawasan sektor hulu berpengaruh terhadap efektivitas organisasi dalam
tata kelola Migas ditunjukkan dengan implementasi dan tindakan korektif sebagai
faktor determinan pengawasan serta standar pengawasan sebagai faktor
pendukung pengawasan. Terwujudnya pengawasan yang efektif ditentukan
ditentukan oleh standar pengawasan, implementasi/pelaksanaan dan tindakan
korektif sebagai proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan
tindakan. Hal tersebut selaras dengan batasan pengawasan adalah proses
pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya26Oleh karena itu perlu disusunnya model pengawasan
sektor hulu yang ideal untuk mencapai sesuai rencana yang telah ditentukan
sebelumnya yang penulis digambarkan dalam konsep Supervision Mining System
dalam bagan berikut ini:
25
Rachmad Safa’at, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi Atas
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Kepaniteraan dan Sekjen MK RI, Jakarta, 2017, p.16.
26
Raditya Arindya, Efektivitas Organisasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, Penerbit
Media Sahabat Cendekia, Surabaya, 2019, p.105.
1030
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
1031
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
1032
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
1033
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
1034
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
1035
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
C. PENUTUP
1. Putusan MK No.36/PUU-X/2012 membatalkan beberapa pasal tentang frasa
Badan Pelaksana karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan
menghalangi negara melakukan pengelolaan hulu Migas secara langsung
atau bahkan menghalangi negara untuk dapat menunjuk secara langsung
BUMN untuk mengelola Migas. Konsekuensi itu sekaligus menihilkan
tugas penting dari BP Migas yaitu melakukan pengawasan terhadap
Kegiatan Usaha Hulu agar pengambilan Migas milik negara dapat
memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Wewenang BP Migas lalu diserahkan ke
Kementerian terkait. Sehingga pemerintah merespons dengan mendirikan
badan baru yang melaksanakan KKS Migas dengan nama Satuan Kerja
Khusus (SKK) Migas dan menempatkannya di bawah kementerian ESDM
sebagai bagian dari institusi pemerintah. Keberadaan SKK Migas
mengonstruksikan pola pengusahaan hulu Migas yang didasarkan atas
sistem kontrak dari B2B menjadi G2B. Penggunaan pola G2B juga masih
mengalami kendala karena masih diberlakukannya sistem kontrak. Hal
inilah yang menjadikan SKK Migas masih memiliki tugas dan wewenang
yang substansinya sama dengan BP Migas, menunjukkan bahwa pemerintah
belum bersungguh-sungguh memperbaiki tata kelola Migas.
2. Pengawasan Migas pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan
Pengelolaan Migas yang akan dicapai, yaitu untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Untuk mencapai hal tersebut, penulis berusaha
merekonstruksikan pengawasan terhadap pertambangan Minyak dan Gas
Bumi melalui Supervision Mining System. Dengan pengawasan, maka
penulis berharap pendapatan negara atas pengelolaan Migas akan meningkat
dikarenakan pengelolaan Migas berjalan efektif dan efisien sesuai rencana
negara. Pendapatan tersebut dapat digunakan untuk pembangunan maupun
pembiayaan lain yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat sehingga dapat berpengaruh terhadap terwujudnya keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
1036
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arindya, Raditya. 2019. Efektivitas Organisasi Tata Kelola Minyak dan Gas
Bumi. (Surabaya: Penerbit Media Sahabat Cendekia)
Ditjen Migas. 2018. Laporan Tahunan Capaian Pembangunan Tahun 2018.
(Jakarta: Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi).
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. (Yogyakarta: Penerbit Paradigma Offset).
MD, Mahfud. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. (Jakarta: Penerbit LP3ES).
Simamora, Rudi M.. 2000. Hukum Minyak Dan Gas Bumi. (Jakarta: Penerbit
Jambatan).
Safa’at, Rachmad. 2017. Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Atas Pengelolaan Sumber Daya Alam. (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekertaris
Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia).
Publikasi
Mujiburohman, Dian Aries. Akibat Hukum Pembubaran BP Migas. Jurnal
Mimbar Hukum. Vol.25. No.3 (2013).
Qurbani, Indah Dwi. Politik Hukum Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia. Jurnal Arena Hukum. Vol.6. No.2 (2012).
Siswanto, Djoko. Regulasi dan Standar Pengelolaan Keselamatan Operasi Hulu
Migas. Jurnal Migas. Issue 01 (Januari-Juni 2018).
Media Massa
Jaringan Advokasi Tambang. Kebijakan yang Melayani Pemodal. Majalah
Jaringan Advokasi Tambang, 2005.
Karya Ilmiah
Gabrilin, Abba. Karen Agustiawan: Baru Pertama Kali Bisnis Hulu Migas
Dianggap Pidana Korupsi. diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/29/19371701/karen-agustiawan-
barupertama-kali-bisnis-hulu-Migas-dianggap-pidana-korupsi?page=2.
diakses pada 24 Agustus 2019.
Marbun, SF.. 2001. Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan
yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih di
Indonesia. Disertasi. (Bandung: Universitas Padjajaran).
Swasono, Sri Edi. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Harus
Dipertahankan, Jangan Dirubah, Boleh Ditambah Ayat. Makalah Bappenas.
diakses dari
https://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/10688/2404/.
diakses pada 20 Agustus 2019.
Wibowo, Ari Tri. 2013. Kewenangan Bertindak Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Untuk Menandatangani
Kontrak Kerjasama. Tesis. (Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia).
1037
Nabila Aulia Rahma, Juan Maulana Alfedo dan Liavita Rahmawati
Supervision Mining System : Rekonstruksi Pengawasan Sektor Hulu Minyak dan Gas
Bumi yang Berkeadilan Sosial di Indonesia
Website
Amelia, Anggita Rezki. Cerita Kepala SKK Migas Soal Rawannya Praktik Suap
di Sektor Hulu. diakses dari https://katadata.co.id/berita/2018/03/27/cerita-
kepala-skk-Migas-soal-rawannyapraktik-suap-di-sektor-hulu. diakses pada
24 Agustus 2019.
Idris, Muhammad. Setoran dari Migas Tak Bisa Lagi Jadi Andalan di APBN.
diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
3604714/setoran-dari-Migas-tak-bisa-lagijadi-andalan-di-apbn. diakses pada
25 Agustus 2019.
Issetiabudi, David Eka. Biaya Produksi Migas, Cost Recovery 2019 Disepakati
Us$10,21 Miliar. diakses dari
https://industri.bisnis.com/read/20180919/44/840098/biaya-produksi-Migas-
costrecovery-2019-disepakati-us1021-miliar. diakses pada 20 Agustus 2019.
Rakhmanto, Pri Agung. Akar Permasalahan Sektor Migas. diakses dari
http://www.reforminer.com/akar-permasalahan-sektor-Migas/. diakses pada
25 Agustus 2019.
Sunaryo, Ari. Peristiwa Gangguan Operasi Hulu Migas Capai 893 Kasus Hingga
Oktober 2016. diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/gangguan-
operasi-hulu-Migas-capai-893- kasus-hingga-oktober-2016.html. diakses
pada 24 Agustus 2019.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5038.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 24.
Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 194.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 36/PUU-X/2012.
1038
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Zakaria, Rizki. Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan
Satwa Liar. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).
ABSTRAK
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan satwa yang tinggi di dunia. Akan
tetapi, kekayaan satwa tersebut terancam dengan perdagangan satwa liar. Oleh
karena itu, dilakukan penegakan hukum pelaku perdagangan satwa liar. Namun,
Modus Operandi untuk mengelabui penegak hukum ikut berkembang pula. Salah
satunya melalui lintas yurisdiksi negara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
urgensi dilakukan penguatan Kerja Sama lintas negara dalam pemberantasan
perdagangan satwa yakni karena potensi keanekaragaman hayati yang tinggi di
Indonesia, disertai juga kasus perdagangan satwa yang tinggi, penegakan hukum
yang belum optimal, dan masalah dalam Kerja Sama regional dan internasional
dalam pemberantasan perdagangan satwa liar secara ilegal. Kemudian upaya yang
dapat dilakukan dalam penguatan Kerja Sama tersebut yakni dengan perbaikan
ketentuan dalam CITES, perbaikan tata kelola otoritas CITES di Indonesia, dan
penguatan Kerja Sama antar negara di kawasan ASEAN.
Kata Kunci: Kerja Sama Lintas Negara, Penegakan Hukum, Perdagangan
Satwa Ilegal
ABSTRACT
Indonesia is a country with the highest animal wealth in the world. However, the
wealth of these animals is threatened by the wildlife trade. Therefore, law
enforcement for wildlife trade is carried out. However, the perpetrators develop
their modus operandi to deceive law enforcers, one of which is through cross-
state jurisdictions. The results of this study indicate that the urgency of
strengthening cross-border cooperation in eradicating wildlife trade is due to the
high potential for biodiversity in Indonesia, accompanied by high cases of animal
trafficking, law enforcement that has not been optimal, and problems in regional
and international cooperation in eradicating wildlife trade. illegally wild. Then
efforts that can be made to strengthen this cooperation are by improving the
provisions in CITES, improving the governance of CITES authorities in Indonesia
and strengthening cooperation between countries in the ASEAN region.
Keywords: Cross-border Cooperation, Law Enforcement, Illegal Animal Trade
1039
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
A. PENDAHULUAN
Pengesahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjadi langkah maju perlindungan satwa
di Indonesia. Melalui undang-undang ini, terdapat tiga sasaran konservasi.
Pertama, perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kedua, pengawetan sumber
plasma nutfah. Ketiga, pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.1 Pengesahan
undang-undang tersebut juga sebagai upaya menjadi Mega-Biodiversity di
Indonesia atas keanekaragaman hayati yang dimilikinya.2 Sebutan itu diberikan
karena Indonesia merupakan tempat bagi 300.000 jenis satwa liar atau 17%
populasi satwa di dunia. Selain itu, Indonesia merupakan habitat bagi 515 jenis
mamalia, 1.539 jenis burung, 173 jenis amphibi, dan 45% jenis ikan di dunia.3
Banyaknya satwa yang hidup di Indonesia tersebut memberikan tanggungjawab
Indonesia untuk memelihara dan mencegahnya dari kepunahan.
Ancaman kepunahan satwa liar di Indonesia disebabkan oleh dua faktor
utama, yakni kerusakan habitat dan perdagangan satwa liar secara ilegal yang
marak terjadi.4 Rusaknya habitat satwa tersebut disebabkan buruknya tata kelola
kawasan hutan, khususnya pada wilayah konservasi di Indonesia. 5 World
Resources Institute (WRI) menyatakan sepanjang 2001-2019 Indonesia telah
kehilangan 9,477 juta hektar kawasan hutan primer.6 Semakin berkurangnya hutan
tersebut menyebabkan habitat satwa liar menjadi semakin terancam punah. Faktor
kepunahan selanjutnya yakni perdagangan satwa liar secara ilegal, dimana
menurut Wildlife Crime Unit (WCU) sepanjang 2012-2014, 80% perdagangan
satwa liar berawal dari perburuan di alam liar secara ilegal (Illegal Poaching).7
1
Penjelasan Umum I Undang-Undang No. 5 Tahun Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2
Mike Dewi Kurniasih, Menumbuhkan Karakter Konservasi Biodiversitas Melalui
Penerapan Species Identification and Response Software, Jurnal Pendidikan Sains & Matematika,
Vol.6, No.2 (2018), p.31.
3
ProFauna, Fakta tentang Satwa Liar Indonesia, diakses dari
https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia, diakses pada 1 Agustus 2021.
4
ProFauna, Ibid..
5
Raynaldo Sembiring & Wenni Adzkia, Memberantas Kejahatan Atas Satwa Liar: Refleksi
atas Penegakan Hukum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, JHLI, Vol.2, No.2 (2015), p.51.
6
Rhett A. Butler, Berapa Banyak Hutan Dunia yang Telah Menghilang dalam Satu Dekade
ini?, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2020/06/13/berapa-banyak-hutan-dunia-yang-telah-
menghilang-dalam-satu-dekade-ini/, diakses pada 1 Agustus 2021.
7
Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara, Pedoman Penanganan Perkara terkait
Satwa Liar, Kejaksaan Agung RI, Jakarta, 2015), p.17.
1040
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
8
Darmawan, Perdagangan Satwa Liar Ilegal Capai Rp13 Triliun, Apa yang Bisa
Diupayakan?, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2019/11/05/perdagangan-satwa-liar-
ilegal-capai-rp13-triliun-apa-yang-bisa-diupayakan/, diakses pada 1 Agustus 2021,.
9
Pijar Anugerah, Tren Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi Meningkat, diakses dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39180510, diakses pada 1 Agustus 2021.
10
WWF-Indonesia, Siaran Pers: Stop Perdagangan Satwa Dilindungi, Amankan
Keberlanjutan Pangan, WWF Indonesia, Jakarta, 2020, p.1.
11
Supranote 7.
12
Fathi Hanif, Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen Hukum dan
Perundang-undangan, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.2, No.2 (2015), p.35.
1041
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
13
N. Passas, Cross-border Crime and the Interface between Legal and Illegal Actors,
Security Journal, Vol.16, No.1 (2003), p.19-38.
14
Mahmud Syaltout, Laporan Akhir Kompendium Hukum tentang Kerja Sama
Internasional di Bidang Penegakan Hukum, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2012, p.14.
1042
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
15
Antonius Johannes Gerhardus Tijhuis, Transnational Crime and the Interface between
Legal and Illegal Actors: The Case of the Illicit Art and Antiquities Trade, Disertasi, Universitas
Leiden, Belanda, 2006.
16
I Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2002,
p.11.
17
Supranote 13, p.130.
1043
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
B. PEMBAHASAN
1. Urgensi Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Pemberantasan
Perdagangan Satwa Secara Ilegal
a. Perdagangan Satwa Liar Dilindungi yang Terjadi di Indonesia
Benua Asia merupakan wilayah penting dalam bisnis perdagangan satwa
liar ilegal secara global. Hal tersebut karena Asia merupakan sumber, sekaligus
pasar penjualan satwa-satwa liar yang dilindungi dengan harga yang mahal.
18
Supranote 15, hlm. 14.
19
Hikmahanto Juwana, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional,
Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2002, p.123–124.
1044
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Wildlife Conservation Society sejak 2013, nilai transaksi perdagangan satwa liar
ilegal mencapai Rp. 13 Triliun per tahun.20 Bisnis yang nilainya besar tersebut
telah menyebabkan hilangnya ratusan satwa di alam liar. Lembaga internasional
konservasi alam (International Union for Conservation of Nature/IUCN)
mencatat per Desember 2020, 31 spesies satwa dinyatakan punah (Extinct) dan
semua spesies lumba-lumba air tawar dunia sekarang dinyatakan terancam punah
(Threatened with Extinction).21 Kemudian, satwa Indonesia yang terus mengalami
pengurangan yakni Harimau Sumatera (Panthera tigris) yang tinggal 400-500
ekor, Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) tinggal 40-60 ekor dan Badak Sumatera
(Dicerorhinus sumatrensis) tinggal 170-230 ekor.22
Ancaman perdagangan satwa liar ilegal tersebut mengancam Indonesia. Hal
itu karena Indonesia merupakan Mega Biodiversity dunia, yang menyimpan satwa
endemik tertinggi di dunia. Total terdapat 300.000 jenis satwa liar atau 17% satwa
yang hidup di dunia ada di Indonesia. Satwa tersebut terdiri dari 515 jenis
mamalia 1539 jenis burung, 173 jenis amphibi, dan 45% jenis ikan dunia berada
di Indonesia.23 Besarnya jumlah satwa di Indonesia tersebut menjadikan Indonesia
sebagai sumber sekaligus tujuan operasi perdagangan satwa liar terancam punah.
Terlebih data Wildlife Crime Unit (WCU) yang menyatakan 80% satwa yang
diperdagangkan secara ilegal merupakan hasil perburuan di alam Indonesia.24
Sehingga berdasarkan hal tersebut, maka perdagangan satwa merupakan ancaman
yang nyata terhadap keberlangsungan kehidupan satwa di Indonesia.
Dalam melakukan aksi-aksinya, pelaku perdagangan satwa menggunakan
Modus Operandi yang maju untuk mengelabui penegak hukum. Modus tersebut
diantaranya dengan cara yang terorganisir (Organized Crime), kejahatan lintas
batas negara (Transnational Crime) dan kejahatan berbasis siber (Cyber Crime).25
20
Kompas.id, Nilai Transaksi Perdagangan Satwa Rp 13 Triliun Per Tahun, diakses dari
https://kompas.id/baca/humaniora/ilmu-pengetahuan-teknologi/2018/03/05/perdagangan-satwa-
kian-mengancam/, diakses pada 1 Agustus 2021.
21
Jay Fajar, IUCN Red List : 31 Jenis Satwa Punah dan Semua Lumba-lumba Air Tawar
Terancam Punah, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2020/12/15/iucn-red-list-31-jenis-
satwa-punah-dan-semua-lumba-lumba-air-tawar-terancam-punah/, diakses pada 1 Agustus 2021.
22
Supranote 24.
23
Supranote 2.
24
Supranote 6, hlm. 15.
25
Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju Hukum
Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Jera, dan Mengikuti Perkembangan
Ekonomi, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta, 2015, p.156.
1045
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
26
Antonius Aditantyo Nugroho dkk., Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Penerbit ICEL, Jakarta, 2019, p.11.
27
Hariyawan A Wahyudi, Miris… Lebih Dari 2000 Elang Diperjualbelikan di Internet
Sepanjang Tahun 2015!, diakses dari https://www.mongabay.co.id/2015/12/16/miris-lebih-dari-
2000-elang-diperjualbelikan-di-internet-sepanjang-tahun-2015/, diakses pada 1 Agustus 2021.
28
Riski, Miris, Perdagangan Satwa Liar Online Semakin Marak, diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2015/01/29/miris-perdagangan-satwa-liar-online-semakin-marak/,
diakses pada 1 Agustus 2021.
1046
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Kemudian perdagangan satwa liar yang terorganisir lintas batas negara juga
sering terjadi di Indonesia. Salah satu kasus yang berhasil diungkap yakni terjadi
pada 10 Desember 2019 di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Dimana seorang
Warga Negara Asing (WNA) kedapatan membawa 16 ekor kadal hidup jenis
Tiliqua Gigas yang dilindungi dan terancam punah. Satwa tersebut
disembunyikan dalam kotak plastik untuk diperjual-belikan di Jepang, namun
terdeteksi oleh Petugas Bea dan Cukai Bandara Soekarno Hatta.29
b. Penegakan Hukum Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi di
Indonesia
Penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan ide serta konsep (norma
hukum) menjadi kenyataan. Selain itu, penegakan hukum bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan-kejahatan yang merugikan masyarakat.30 Dua tujuan
tersebut menunjukan bahwa penegakan hukum memiliki pengaruh langsung dan
tidak langsung dalam merubah masyarakat (Social Engineering).31
Perdagangan satwa liar yang dilindungi merupakan perbuatan pidana di
Indonesia. Hal itu karena perbuatan tersebut dilarang melalui Undang No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
(selanjutnya disebut UU No.5/1990). Pasal 21 ayat (2) UU No. 5/1990 merupakan
pasal yang mengatur tegas pemidaan pelaku perdagangan satwa liar dilindungi
secara ilegal, yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang untuk:
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam
keadaan hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
29
OkeNews, Bea dan Cukai Soekarno Hatta Gagalkan Penyelundupan Belasan Ekor
Kadal, diakses dari https://news.okezone.com/read/2019/12/10/1/2140321/bea-cukai-soekarno-
hatta-gagalkan-penyelundupan-belasan-ekor-kadal, diakses pada 1 Agustus 2021.
30
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Penerbit Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, p.12.
31
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Penerbit Rajawali,
Jakarta, 1982, p.115.
1047
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
1048
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Sedangkan 1,6% atau 3 pelaku adalah Warga Negara Asing (WNA) yang berasal
dari Negara Jepang, Negara Australia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).
Sekalipun jumlah pelaku WNA yang terlibat dalam perdagangan satwa sedikit,
namun peran WNA lain lebih banyak sebagai konsumen maupun turut serta
tindak pidana perdagangan satwa, sehingga sulit untuk diungkap. Selanjutnya
berdasarkan grafik putusan, rata-rata pelaku dihukum pidana penjara selama 8,1
bulan dan denda Rp.14,306,425. Kemudian Jaksa melakukan tuntutan hukuman
rata-rata selama 11,3 bulan dan denda sebesar Rp. 18,644,100.32 Ringannya
hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dan dituntut oleh Jaksa tersebut, berdampak
tidak tercapainya efek jera pelaku perdagangan satwa atas perbuatannya, sehingga
berpotensi mengulangoi kembali kejahatannya.
c. Masalah Kerja Sama Lintas Batas Negara dalam Penegakan Hukum
Perdagangan Satwa Liar
Kerja Sama internasional dalam penegakan hukum perdagangan satwa liar
secara ilegal telah dilakukan sejak 1973. Hal itu ditandai dengan disepakatinya
Convention on International Trade in Endagered of Wild Flora and Fauna
(CITES) di Washington DC pada 3 Maret 1973 oleh 88 negara di dunia. 33 Melalui
instrument tersebut, maka jelas mekanisme perlindungan dan satwa liar yang
dilindungi (Wildlife Species) oleh negara-negara pihak karena adanya Daftar
Merah Spesies Terancam Punah (Daftar Merah IUCN) dan CITES. Sehingga
Indonesia sebagai salah satu negara pihak melakukan ratifikasi ketentuan CITES
melalui Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978, tentang Mengesahkan
“Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora”, yang Telah ditandatangani di Washington pada Tanggal 3 Maret 1973,
Sebagaimana Terlampir pada Keputusan Presiden Ini, pada 15 Desember 197834
juga perlu menerapkan mekanisme perlindungan dan satwa liar yang dilindungi.
Dalam ketentuan CITES, satwa liar dilindungi diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) kelas, yaitu Appendix I, Appendix II dan Appendix III (Non-Appendix).
32
Rizki Zakariya, Optimization of Role Ppns Customs and Excise in Handling of Animal
Trading Customs Protected, Jurnal Perspektif Bea dan Cukai, Vol.4, No.1 (2020), p.11.
33
CITES, Aturan dan Ketentuan Cites (Convention On International Trade In Endangered
Species Of Wild Fauna And Flora) Terkait Ramin dan Jenis Tumbuhan Lainnya – Review on
Ramin Harvest and Trade Technical Report 5 Indonesian, Laporan Publikasi, Cancun, Mexico
2008, p.17.
34
CITES, Ibid..
1049
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
1050
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
1051
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
Tidak diaturnya secara jelas langkah yang serupa dan wajib dilakukan oleh negara
anggota dalam menghadapi perdagangan satwa dengan negara bukan anggota
tersebut menimbulkan perdagangan satwa liar yang masih berlangsung sampai
saat ini tanpa syarat yang jelas dalam melaksanakannya.
Ketiga masalah dalam pengaturan CITES tersebut berdampak pada semakin
sulitnya proses penegakan hukum dalam mengungkap kasus perdagangan satwa
liar dilindungi. Permasalahan tersebut semakin pelik dengan adanya masalah
dalam pelaksanaan tugas otoritas CITES di Indonesia, sehingga mempengaruhi
proses penegakan hukum pidana perdagangan satwa liar secara ilegal. Masalah itu
sebagaimana temuan Fitriyatul Irjayani (2016) yang mengidentifikasi lima
masalah pelaksanaan tugas otoritas CITES di Indonesia, diantaranya: 1) belum
optimalnya koordinasi antara para aparat penegak hukum serta instansi terkait
lainnya dalam menangani perdagangan satwa ilegal di Indonesia; 2) kurangnya
sosialisasi mengenai optimalisasi penegakan hukum dalam legislasi nasional
CITES kepada masyarakat dan pejabat instansi terkait; 3) terbatasnya SDM
sebagai informan mengenai jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi; dan
4) berasal dari luar CITES dan otoritas CITES di Indonesia.37
Selain itu, kondisi permasalahan tersebut bukan hanya di Indonesia,
melainkan juga negara anggota CITES yang lain. WWF Indonesia (2007)
menyatakan bahwa negara-negara kawasan ASEAN sebagai konsumen, kurang
mendukung dalam sikap dan kebijakannya untuk pemberantasan perdagangan
satwa liar ilegal yang masuk dari Indonesia. Bahkan, negara-negara tersebut
membiarkan kasus satwa liar terjadi dan melakukan pencucian barang ilegal
tersebut seolah-olah legal dan sah. Hal tersebut dilakukan karena keuntungan
yang diperoleh dari perdagangan satwa oleh negara konsumen, serta longgarnya
rezim hukum CITES dan permasalahannya di Indonesia.38
Lebih lanjut, permasalahan lain yaitu belum optimalnya pemidanaan
korporasi yang terlibat dalam perdagangan satwa liar ilegal. Pemidanaan itu
dilakukan seiring banyak aktivitas korporasi terkait pemanfaatan lingkungan,
37
Fitriyatul Irjayani, Implementasi Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Flora and Fauna oleh Indonesia, Journal of International Relations, Vol.2, No.1
(2016), p.200.
38
Hilaluddin Saleh dan Hanif, Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal Hidupan Liar,
WWF Indonesia, Jakarta, 2007, p.12.
1052
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
1053
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
1054
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
C. PENUTUP
Berdasarkan uraian tulisan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan dua
poin penting. Pertama, urgensi dilakukan penguatan Kerja Sama lintas negara
dalam penegakan hukum perdagangan satwa yakni karena potensi
keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia, ancaman perdagangan satwa
yang marak terjadi di Indonesia, penegakan hukum perdagangan satwa yang
belum optimal, dan masalah Kerja Sama regional maupun internasional dalam
pemberantasan perdagangan satwa liar secara ilegal. Kemudian kedua, adapun
upaya yang dapat dilakukan dalam penguatan Kerja Sama lintas negara dalam
penegakan hukum perdagangan satwa yakni dengan perbaikan ketentuan dalam
CITES, perbaikan tata kelola otoritas CITES di Indonesia, dan penguatan Kerja
Sama antar negara di kawasan ASEAN. Melalui upaya-upaya tersebut, maka
diharapkan pemberantasan perdagangan satwa liar dapat dilakukan secara optimal
demi keberlangsungan satwa agar tidak punah.
1055
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Amiruddin dan Zaenal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
Gunawan. 2015. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju
Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Jera, dan
Mengikuti Perkembangan Ekonomi. (Yogyakarta: Penerbit Genta
Publishing).
Juwana, Hikmahanto. 2002. Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum
Internasional. (Jakarta: Penerbit Lentera Hati).
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. (Jakarta: Penerbit Kencana
Prenada Media Group).
Nugroho, Antonius Aditantyo, dkk.. 2019. Arah Baru Kebijakan Penegakan
Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Jakarta:
Penerbit ICEL).
Parthiana, I Wayan. 2002. Perjanjian Internasional. (Bandung: Penerbit CV
Mandar Maju).
Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis.
(Yogyakarta: Penerbit Genta Publishing).
Saleh, Hilaluddin dan Hanif. 2007. Penegakan Hukum Perdagangan Ilegal
Hidupan Liar. (Jakarta: Penerbit WWF Indonesia).
Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara. 2015. Pedoman Penanganan
Perkara terkait Satwa Liar. (Jakarta: Penerbit Kejaksaan Agung Republik
Indonesia).
Soekanto, Soerjono. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. (Jakarta:
Penerbit Rajawali).
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. (Jakarta: Rajawali Pers).
Suriasumantri, Jujun S. 1986. Ilmu dalam Perspektif Moral. Sosial. dan Politik:
Sebuah Dialog tentang Dumia Keilmuan Dewasa Ini. (Jakarta: Penerbit
Gramedia).
Syaltout, Mahmud. 2012. Laporan Akhir Kompendium Hukum tentang Kerja
Sama Internasional di Bidang Penegakan Hukum. (Jakarta: Penerbit Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia).
WWF-Indonesia. 2020. Siaran Pers: Stop Perdagangan Satwa Dilindungi,
Amankan Keberlanjutan Pangan. (Jakarta: Penerbit WWF Indonesia).
Publikasi
CITES. 2008. Aturan dan Ketentuan Cites (Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora) Terkait Ramin dan Jenis
Tumbuhan Lainnya – Review on Ramin Harvest and Trade Technical
Report 5 Indonesian. Laporan Publikasi. Cancun, Mexico 2008.
Hanif, Fathi. Upaya Perlindungan Satwa Liar Indonesia Melalui Instrumen
Hukum dan Perundang-undangan. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia.
Vol.2. No.2 (2015), p.35.
1056
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Karya Ilmiah
Tijhuis, Antonius Johannes Gerhardus. 2006. Transnational Crime and the
Interface between Legal and Illegal Actors: The Case of the Illicit Art and
Antiquities Trade. Disertasi. (Belanda: Universitas Leiden).
Website
Anugerah, Pijar. Tren Perdagangan Satwa Liar yang Dilindungi Meningkat.
diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39180510. diakses
pada 1 Agustus 2021.
Butler, Rhett A.. Berapa Banyak Hutan Dunia yang Telah Menghilang dalam
Satu Dekade ini?. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2020/06/13/berapa-banyak-hutan-dunia-yang-
telah-menghilang-dalam-satu-dekade-ini/. diakses pada 1 Agustus 2021.
Darmawan. Perdagangan Satwa Liar Ilegal Capai Rp13 Triliun, Apa yang Bisa
Diupayakan?. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2019/11/05/perdagangan-satwa-liar-ilegal-
capai-rp13-triliun-apa-yang-bisa-diupayakan/. diakses pada 1 Agustus 2021.
Fajar, Jay. IUCN Red List : 31 Jenis Satwa Punah dan Semua Lumba-lumba Air
Tawar Terancam Punah. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2020/12/15/iucn-red-list-31-jenis-satwa-
punah-dan-semua-lumba-lumba-air-tawar-terancam-punah/. diakses pada 1
Agustus 2021.
Kompas.id. Nilai Transaksi Perdagangan Satwa Rp 13 Triliun Per Tahun. diakses
dari https://kompas.id/baca/humaniora/ilmu-pengetahuan-
teknologi/2018/03/05/perdagangan-satwa-kian-mengancam/. diakses pada 1
Agustus 2021.
OkeNews. Bea dan Cukai Soekarno Hatta Gagalkan Penyelundupan Belasan
Ekor Kadal. diakses dari
https://news.okezone.com/read/2019/12/10/1/2140321/bea-cukai-soekarno-
hatta-gagalkan-penyelundupan-belasan-ekor-kadal. pada 1 Agustus 2021.
ProFauna. Fakta tentang Satwa Liar Indonesia. diakses dari
https://www.profauna.net/id/fakta-satwa-liar-di-indonesia. diakses pada 1
Agustus 2021.
1057
Rizki Zakariya
Penguatan Kerja Sama Lintas Negara dalam Penegakan Hukum Perdagangan Satwa
Liar
Riski. Miris, Perdagangan Satwa Liar Online Semakin Marak. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2015/01/29/miris-perdagangan-satwa-liar-
online-semakin-marak/. diakses pada 1 Agustus 2021.
Wahyudi, Hariyawan A.. Miris… Lebih Dari 2000 Elang Diperjualbelikan di
Internet Sepanjang Tahun 2015!. diakses dari
https://www.mongabay.co.id/2015/12/16/miris-lebih-dari-2000-elang-
diperjualbelikan-di-internet-sepanjang-tahun-2015/. diakses pada 1 Agustus
2021.
Sumber Hukum
Undang-Undang Nomor 5 Tahun Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 49.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012.
Keputusan Presiden No. 43 tahun 1978, tentang Mengesahkan “Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora”, yang
Telah ditandatangani di Washington pada Tanggal 3 Maret 1973,
Sebagaimana Terlampir pada Keputusan Presiden Ini. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 51.
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) 1973.
1058
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Ingtias, Syanindita Nirna dan Fazal Akmal Musyarri. Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan
sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung. Rewang
Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021).
ABSTRAK
Kondisi deforestasi hutan di Indonesia mencapai taraf yang memprihatinkan.
Hutan seringkali dibakar untuk membuka lahan guna pembangunan pabrik
ataupun kebun sehingga terjadi alih fungsi yang mengurangi produktivitas lahan
dan mereduksi jumlah hutan secara kontinu. Kondisi tersebut jika terus menerus
terjadi tentunya akan mengancam keberlangsungan hutan sebagai jantung alam
serta menimbulkan dampak negatif seperti banjir dan tanah longsor. Peraturan
perundang-undangan melarang aktivitas pembakaran hutan secara ilegal, namun
dikesampingkan kepada komunitas lokal seperti masyarakat adat yang membakar
hutan untuk kepentingan kolektif bukan profit. Pengecualian norma rentan
dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggungjawab. Melalui ketentuan kebolehan
membakar hutan oleh komunitas setempat, korporasi menyalahgunakan ketentuan
tersebut untuk membuka lahan demi aktivitas bisnisnya. Di sisi lain, Polisi
Kehutanan selaku pranata yang bertanggungjawab atas kelestarian hutan tidak
memiliki kapabilitas untuk menindak karena tidak ada kewenangan khusus bagi
Polisi Kehutanan untuk memetakan dan menganalisis apakah suatu kebakaran
hutan yang terjadi adalah kejadian alam, dilakukan murni oleh komunitas lokal,
atau merupakan pembakaran yang sengaja dilakukan oleh korporasi dengan
memanfaatkan komunitas lokal. Permasalahan yuridis pada esensinya menjadi
hulu problematika berkaitan dengan tindak pidana pembakaran hutan terselubung
tersebut. Sehingga dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk menganalisis
kedudukan dan kewenangan Polisi Kehutanan dalam menindak tindak pidana
pembakaran hutan secara terselubung serta merekomendasikan perluasan tugas
pokok dan fungsi Polisi Kehutanan sebagai strategi penyelamatan hutan untuk
kelestarian lingkungan hidup Indonesia hingga masa yang akan datang.
Kata Kunci: Pembakaran Hutan secara Terselubung, Perluasan
Kewenangan Polisi Kehutanan, Polisi Kehutanan
1059
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
ABSTRACT
Deforestation conditions in Indonesia reached a level of concern. Forests are
often burned to open land for the construction of factories or gardens so that
there is a transfer of functions that reduce land productivity and reduce the
number of forests continuously. These conditions if continuously occur will
certainly threaten the sustainability of forests as the heart of nature and cause
negative impacts such as floods and landslides. The law prohibits illegal forest
burning activities but is ruled out to local communities such as indigenous
peoples who burn forests for collective interests rather than profit. The exclusion
of vulnerable norms is exploited by irresponsible individuals. Through the
provision of the ability to burn forests by local communities, corporations abuse
the provision to open land for business activities. On the other hand, the Forestry
Police as the institution responsible for forest sustainability does not have the
capability to crack down because there is no special authority for the Forestry
Police to map and analyze whether a forest fire that occurs is a natural event,
done purely by local communities, or is a deliberate burning by corporations by
utilizing local communities. Juridical issues in essence become upstream
problems related to the criminal act of burning the veiled forest. So in this paper,
the author tries to analyze the position and authority of the Forestry Police in
cracking down on forest burning criminal acts covertly and recommends the
expansion of the main duties and functions of the Forestry Police as a forest
rescue strategy for the sustainability of Indonesia's environment for the
foreseeable future.
Keywords: Covert Burning of Forests, Expansion of Forestry Police Authority,
Forestry Police
1060
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
A. PENDAHULUAN
Pasal 33 UUD NRI 1945 mengamanatkan kepada negara untuk mengelola
kekayaan yang terkandung di dalam tanah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini merupakan pasal sapu jagat
dalam pengelolaan perekonomian Indonesia, termasuk dalam kaitannya dengan
pengelolaan hutan yang meletakkan masyarakat sebagai subjek secara aktif serta
intrasistem sebagai implementasi pembangunan hutan yang adil dan
berkelanjutan.1 Untuk memenuhi tantangan pengelolaan hutan yang berkelanjutan
tersebut, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya lahir sebagai derivasi amanat Pasal
33 UUD NRI 1945. Pasal 51 Undang-Undang Kehutanan merupakan sumber
hukum tertinggi yang secara eksplisit mengamanatkan pembentukan suatu
kepolisian khusus untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan.2
Polisi Khusus Kehutanan atau yang sering disebut sebagai Polisi Hutan
apabila merujuk pada ketentuan Pasal 36 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45
Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan memiliki beberapa kewenangan,
diantaranya sebagai berikut3:
1. Mengadakan Patroli atau Perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
2. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan
hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
4. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk dilaporkan
ke pihak yang berwenang;
6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
1
Aisyah Lailiyah, dkk., Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum
dalam Rangka Penyelamatan dan Pengelolaan Kawasan Hutan, Penerbit Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Jakarta, 2017, p.2.
2
Indonesia (1), Undang-Undang tentang Kehutanan, UU No.41 Tahun 1999, LN Tahun
1999 No.167, TLN No.3888, Ps.51 ayat (1).
3
Asram A.T. Jadda dan Hartono Hamzah, Peran Polisi Hutan dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Illegal Logging di Indonesia, Madani Legal Review (MALREV), Vol.3, No.2
(Desember 2019), p.100.
1061
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
4
Rinaldy Amrullah, Konflik Kewenangan Antara Penyidik POLRI dan POLHUT dalam
Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Kayu, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No.60,
Th.XV (Agustus 2013), p.285.
5
Dani Fittriya Ulfah, Penegakan Hukum terhadap Perlindungan Hutan oleh Polisi Hutan
di KPH Purwodadi Kabupaten Grobogan, Skripsi, Universitas Negeri Semarang, Semarang, 2005,
p.73.
6
M. Nurul Fajri, Penindakan Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan dengan Pendekatan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Integritas, Vol.2, No.1 (Agustus
2016), Hlm.50-51.
7
Hartiwiningsih, Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran Hutan Guna
Mewujudkan Green and Clean Policy, Artikel Ilmiah, Universitas Negeri Semarang, Surakarta,
2018, p.211.
1062
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
8
Fachri Fachrudin, Perusahaan Pembakar Hutan Disebut Kerap Jadikan Masyarakat
sebagai Tameng, diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/30/18105451/perusahaan.pembakar.hutan.disebut.kerap
.jadikan.masyarakat.sebagai.tameng?page=all, diakses pada 03 Juli 2019, jam 22.35 WIB.
9
Trinirmalaningrum, Di Balik Tragedi Asap : Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015,
Penerbit The Asia Foundation dan Perkumpulan Skala, Jakarta, 2015, p.9.
1063
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
B. PEMBAHASAN
1. Urgensi Perluasan Kewenangan Polisi Hutan dalam Rangka
Penanganan Tindak Pidana Pembakaran Hutan yang Mangkus dan
Sangkil (Efektif dan Efisien)
Hutan adalah salah satu sumber daya alam yang sangat strategis dan
berguna dalam kehidupan manusia. Kurang lebih dua pertiga dari 191 juta hektar
daratan di Indonesia merupakan kawasan hutan ekosistem yang beragam. Mulai
dari hutan tropis, hutan hujan, hutan lindung, hutan produksi, hutan mangrove,
hutan rawa gambut, dan masih banyak yang lainnya. Nilai dari hutan bertambah
penting karena hutan merupakan salah satu sumber hajat hidup manusia. Di dalam
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
tercantum bahwasannya:
“Hutan adalah satu kesatuan sistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.”
Tetapi akhir-akhir ini hutan di Indonesia sering mengalami deforestasi.
Deforestasi adalah penghilangan lahan hutan akibat dari pembukaan lahan yang
cukup besar. Salah satu penyebab dari deforestasi hutan adalah kebakaran hutan.
Kebakaran hutan merupakan salah satu peristiwa kerusakan lingkungan yang
sering terjadi dalam skala besar. Sejak dahulu hingga saat ini di Indonesia sering
terjadi kebakaran hutan maupun lahan. Mulai dari awal Januari 2018, kebakaran
hutan maupun lahan terjadi kembali di Riau, luas lahan yang terbakar
diperkirakan hingga 549 hektar, yang berada di 9 kabupaten dan kota di Riau.10
Kemudian tidak sampai di situ, Kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla terjadi
di sebagian wilayah Sumatera, Selasa (7/8/2019). BMKG mendeteksi adanya 85
titik panas kebakaran hutan di wilayah Sumatera dimana 54 titik berada di
Provinsi Riau. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan enam
provinsi di Indonesia masuk kategori siaga darurat kebakaran hutan.
10
Citra Indriani, Kebakaran Hutan Kembali Terjadi, Pemprov Riau Tetapkan Status Siaga
Darurat. diakses dari https://regional.kompas.com/read/2018/02/20/08082011/kebakaran-hutan-
kembali-terjadi-pemprov-riau-tetapkan-status-siaga-darurat, diakses pada 31 Oktober 2021, jam
21.49 WIB.
1064
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
11
Tirto.id, Kebakaran Hutan & Lahan di Sumatera, diakses dari https://tirto.id/kebakaran-
hutan-dan-lahan-di-sumatera-efNe, diakses pada 31 Oktober 2021, jam 21.46 WIB.
12
Samsul Inosentius, Instrumen Hukum Penanggulangan Kebakaran Hutan, Lahan, Dan
Polusi Asap, Info Singkat Hukum, Vol.VII, No. 17/I/P3DI/September/2015, p.2
13
Acep Akbar, Studi Kearifan Lokal Penggunaan Api Persiapan Lahan: Studi Kasus di
Hutan Mawas, Kalimantan Tengah. JPSEK, Vol.8, No.3 (2011), p.212.
14
Walhi, Keharusan Pembenahan Struktural untuk Perbaikan Tata Kelola, Penerbit
WALHI, Jakarta, 2016.
1065
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
Apabila kegiatan pembakaran hutan dan lahan tersebut terus saja dilakukan,
maka sangat mungkin terjadi rusaknya hutan serta hutan menjadi semakin sedikit
luasannya jika tanpa didukung dengan program reboisasi. Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah oleh Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang disebut sebagai Undang-Undang
Kehutanan, sebagai dasar penegakan hukum aksi pembakaran hutan dan lahan di
Indonesia dirasa belum dijalankan dengan maksimal. Dalam Pasal 51 ayat (1)
Undang-Undang Kehutanan disebutkan: “Untuk menjamin terselenggaranya
perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat
pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus.”.
Adapun Kepolisian Khusus yang dimaksud adalah Polisi Kehutanan, sesuai
dengan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan memiliki wewenang yang meliputi:
“Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang untuk :
a. Mengadakan patrol/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
b. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
c. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
d. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
e. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang;
f. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan.”
1066
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Wewenang Polisi Kehutanan yang cukup luas tidak serta merta mencegah
kerusakan hutan yang diakibatkan oleh tindak pidana pembakaran hutan dan
lahan. Faktor lain yang menyebabkan semakin meningkatnya pembakaran hutan
dan lahan adalah minimnya jumlah petugas keamanan hutan dan kurangnya
sarana pengamanan hutan yang dimiliki oleh pemerintah yang digunakan oleh
petugas dalam menjaga keamanan hutan dari tindak pidana pembakaran hutan dan
lahan. Wacana mengenai pembakaran hutan ini pernah muncul ke permukaan
pada 2016. Saat itu, Majelis Hakim PN Palembang menolak gugatan perdata atas
PT BMH dengan pernyataan kontroversialnya “Bakar Hutan tidak merusak
lingkungan karena masih bisa ditanami lagi”.15 Ditinjau dari sudut pandang
yuridis, terdapat celah hukum yang telah ada sejak satu dekade lalu dan bahkan
masih langgeng dan dapat ditemukan hingga saat ini.
Celah yuridis tersebut pada awalnya terdapat di dalam Pasal 69 ayat (2)
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta bagian
penjelasannya. Pasal tersebut sebagaimana telah dijelaskan di latar belakang,
digunakan sebagai “perisai hukum” bagi perusahaan untuk melakukan
pembakaran hutan secara komersial. Pasal tersebut menyebutkan bahwasannya
ketentuan dalam ayat (1) huruf h yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang
untuk melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, kemudian oleh ayat
(2) dikecualikan bagi kearifan lokal yang dilakukan di daerah masing-masing
dengan luasan pembakaran hutan sebesar 2 (dua) hektar. Pasal 69 ayat (2) yang
membenarkan pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan yang diizinkan
oleh negara ini dinilai menjadi kelemahan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh
oknum masyarakat dan/atau perusahaan demi keuntungan dengan membakar
sesuai ketentuan namun dapat merambat sehingga bukaan lahan menjadi lebih
luas daripada yang diperbolehkan. Dampak buruknya mengakibatkan pencemaran
lingkungan dan kerusakan lingkungan yang diciptakan melalui asap dikarenakan
pembakaran serta memberi pengaruh buruk bagi ekosistem sekitar.16
15
Gabriel Sengkey dkk., Analisis Yuridis terhadap Sanksi Pidana Pembakaran Hutan
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan
Lingkungan Hidup, Lex Crimen, Vol.X, No.3 (April 2021), Hlm.183.
16
Christian Rondonuwu, Kajian Yuridis Pembukaan Lahan Hijau Ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lex
Privatum, Vol.IV, No.6 (Juli 2016), Hlm.30.
1067
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
17
Tempo.co, Aturan Ini Izinkan Pembakaran Hutan dan Lahan, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/712396/aturan-ini-izinkan-pembakaran-hutan-dan-
lahan/full&view=ok, diakses pada 31 Oktober 2021, jam 22.48 WIB.
18
Chrisna Suhendi dan Zaenuddin, Analisis Survey Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Tindak Pidana Korupsi Aparat Pemerintah Daerah dan Pencegahannya di Provinsi Jawa Tengah,
Jurnal Akuntansi Indonesia, Vol.4, No.1 (Januari 2015), Hlm.51.
1068
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
19
Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan, Occasional Paper No.38 (i), Penerbit CIFOR, Jakarta, 2003, p.20.
20
Gurniwan Kamil Pasya, Perlindungan Hutan melalui Kearifan Lokal, Jurnal Geografi
GEA, Vol.7, No.1 (2007), p.1.
21
Asep Dadan Muhanda, Kearifan Lokal Budaya Bakar Lahan Rawan Penyimpangan,
diakses dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20170622/99/665365/kearifan-lokal-budaya-bakar-
lahan-rawan-penyimpangan, diakses pada 17 Juli 2019, jam 15.53 WIB.
22
Uni Lubis, Ketika Membakar Lahan Dianggap Kearifan Lokal, diakses dari
https://www.rappler.com/indonesia/106067-ketika-membakar-lahan-dianggap-kearifan-lokal,
diakses pada 17 Juli 2019, jam 16.21 WIB.
23
Muryanti dan Rokhiman, Bambi Ari’ sebagai Wujud Kearifan Lokal Masyarakat Dayak
dalam Penanganan Bencana Kabut Asap di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Jurnal
Sosiologi Reflektif, Vol.11, No.1 (Oktober 2016), p.22.
1069
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
24
Kebakaran Hutan bisa jadi merupakan fenomena alam, walaupun dapat juga terdapat
peran manusia di dalamnya. Restu Achmaliadi, dkk., Keadaan Hutan Indonesia, Penerbit Forest
Watch Indonesia – Global Forest Watch, Jakarta, 2001, p.61.
25
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011, p.217-218.
1070
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
26
Petrus Gunarso, dkk., Modul Pelatihan Dasar-Dasar Pengelolaan Data dan Sistem
Informasi Geografis, Penerbit Malinau Research Forest, Malinau, 2003, p.5.
27
G. Manjela Eko Hartoyo, dkk., Modul Pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG)
Tingkat Dasar, Penerbit Tropenbos International Indonesia Programme bekerjasama dengan
Badan Litbang Kehutanan, Balikpapan, 2010, p.1.
28
‘Azmiyatul ‘Arifati, Aplikasi UAV (Unmanned Aerial Vehicle) untuk Mendukung
Pemantauan Tata Ruang, dalam Bidang Penelitian Pusat Penelitian dan Kerja Sama Badan
Informasi Geospasial, Prosiding Seminar Nasional Geomatika 2017 “Inovasi Teknologi
Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Prosiding, Penerbit Badan
Informasi Geospasial, Bogor, 2017, p.513. (ISSN 2614-7211)
29
Adrian Sutedi, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, p.170.
30
Bita Gadsia Spaltani, Pengadilan Khusus, Sebuah Perbandingan di Berbagai Negara
dalam Penegakan Hukum, Tesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2018, p.4.
1071
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
C. PENUTUP
Berdasarkan paparan tulisan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa poin-
poin kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembakaran Hutan merupakan salah satu problematika lingkungan yang
masih sering terjadi hingga saat ini. Salah satu pemicunya adalah
pengaturan secara yuridis yang membolehkan masyarakat lokal melakukan
pembakaran hutan dalam rangka pembukaan lahan untuk kepentingan
setempat. Ketentuan tersebut tercantum di dalam Pasal 69 ayat (2) Undang-
Undang PPLH jo. Pasal 22 Undang-Undang Cipta Kerja beserta turunan-
turunannya meliputi peraturan menteri dan peraturan daerah setempat.
Bahkan dalam pengaturan teknisnya, izin atas pembukaan lahan melalui
Pembakaran Hutan tersebut dapat dimintakan kepada satuan perangkat
terkecil seperti Ketua RT dan dapat membuka lahan hingga 100 hektar, jauh
di atas ketentuan Undang-Undang PPLH yang hanya 2 (dua) hektar.
Disinilah celah yuridis yang dapat dimanfaatkan oleh korporasi sebagai
“perisai hukum” dalam melakukan Pembakaran Hutan dengan dibantu
banyak kepala keluarga masyarakat setempat atau melakukan kongkalikong
dengan perangkat pemerintahan setempat agar diberikan izin.
2. Mengingat pada dasarnya ketentuan pengecualian tersebut memiliki niat
yang baik yaitu membolehkan masyarakat setempat melakukan Pembakaran
Hutan dengan kearifan lokal yang memang benar-benar ada di wilayah
tertentu, maka ketentuan pengecualian tersebut tetap memiliki urgensitas
untuk diberlakukan. Maka solusi terbaiknya adalah melakukan perluasan
kewenangan kepada Polisi Kehutanan untuk memetakan dan menganalisis
pola kebakaran hutan, apakah merupakan fenomena yang bersifat alamiah
atau terdapat campur tangan manusia. Jika terdapat pola yang mencurigakan
dimana ada beberapa kepala keluarga yang masing-masing melakukan
pembakaran seluas dua hektar dalam radius yang berdekatan, Polisi Hutan
perlu melakukan pemeriksaan terhadap setiap kepala keluarga yang
melakukan pembakaran hutan tersebut. Dapat diberikan pelatihan Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan dibekali dengan Drone guna maksimalisasi
kinerja Polisi Hutan dalam meminimalisasi pembakaran terselubung itu.
1072
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmaliadi, Restu, dkk.. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. (Jakarta: Penerbit
Forest Watch Indonesia – Global Forest Watch).
Fadli, Moh.. 2011. Peraturan Delegasi di Indonesia. (Malang: Penerbit UB
Press).
Hartoyo, G. Manjela Eko, dkk.. 2010 Modul Pelatihan Sistem Informasi
Geografis (SIG) Tingkat Dasar. (Balikpapan: Penerbit Tropenbos
International Indonesia Programme bekerjasama dengan Badan Litbang
Kehutanan).
Gunarso, Petrus, dkk.. 2003. Modul Pelatihan Dasar-Dasar Pengelolaan Data
dan Sistem Informasi Geografis. (Malinau: Penerbit Malinau Research
Forest).
Lailiyah, Aisyah, dkk.. 2017. Laporan Akhir Kelompok Kerja Analisis dan
Evaluasi Hukum dalam Rangka Penyelamatan dan Pengelolaan Kawasan
Hutan. (Jakarta: Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional).
Lamintang, P.A.F.. 2011. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
(Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti).
Tacconi, Luca. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia : Penyebab, Biaya dan
Implikasi Kebijakan. Occasional Paper No.38(i). (Jakarta: Penerbit Center
for International Forestry Research (CIFOR)).
Saharjo, Bambang Hero. 2018. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di
Wilayah Komunitas Terdampak Asap. (Bandung: Penerbit IPB Press).
Sutedi, Adrian. 2011. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. (Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika).
Trinirmalaningrum, dkk.. 2015. Di Balik Tragedi Asap : Catatan Kebakaran
Hutan dan Lahan 2015. (Jakarta: Penerbit The Asia Foundation dan
Perkumpulan Skala).
Utama, I Made Arya. 2007. Hukum Lingkungan – Sistem Hukum Perijinan
Berwawasan Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan. (Bandung:
Penerbit Pustaka Sutra
WALHI. 2016. Tinjauan Lingkungan Hidup 2016 - Keharusan Pembenahan
Struktural untuk Perbaikan Tata Kelola. (Jakarta Selatan: Penerbit
Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia).
Wartiningsih. 2014. Pidana Kehutanan – Keterlibatan dan Pertanggungjawaban
Penyelenggara Kebijakan Kehutanan. (Malang: Penerbit Intrans Publishing)
Publikasi
‘Arifati, ‘Azmiyatul. Aplikasi UAV (Unmanned Aerial Vehicle) untuk Mendukung
Pemantauan Tata Ruang. dalam Bidang Penelitian Pusat Penelitian dan
Kerja Sama Badan Informasi Geospasial, Prosiding Seminar Nasional
Geomatika 2017 “Inovasi Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial
untuk Pembangunan Berkelanjutan”, Prosiding, Penerbit Badan Informasi
Geospasial, Bogor, 2017. (ISSN 2614-7211)
Akbar, Acep. 2011. Studi Kearifan Lokal Penggunaan Api Persiapan Lahan:
Studi Kasus di Hutan Mawas, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Sosial
dan Ekonomi Kehutanan. Vo.8. No.3.
1073
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
Karya Ilmiah
Ulfah, Dani Fittriya. 2005. Penegakan Hukum terhadap Perlindungan Hutan oleh
Polisi Hutan di KPH Purwodadi Kabupaten Grobogan. Skripsi. (Semarang:
Universitas Negeri Semarang).
Hartiwiningsih. 2018. Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pembakaran
Hutan Guna Mewujudkan Green and Clean Policy. Artikel Ilmiah.
(Surakarta: Universitas Sebelas Maret).
1074
Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.2. No.11 (November 2021)
Tema/Edisi : Hukum Lingkungan (Bulan Kesebelas)
https://jhlg.rewangrencang.com/
Website
Fachrudin, Fachri. Perusahaan Pembakar Hutan Disebut Kerap Jadikan
Masyarakat sebagai Tameng. diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/30/18105451/perusahaan.pemba
kar.hutan.disebut.kerap.jadikan.masyarakat.sebagai.tameng?page=all.
diakses pada 03 Juli 2019.
Indriani, Citra. Kebakaran Hutan Kembali Terjadi, Pemprov Riau Tetapkan
Status Siaga Darurat, diakses dari
https://regional.kompas.com/read/2018/02/20/08082011/kebakaran-hutan-
kembali-terjadi-pemprov-riau-tetapkan-status-siaga-darurat, diakses pada 24
November 2019.
Lubis, Uni. Ketika Membakar Lahan Dianggap Kearifan Lokal. diakses dari
https://www.rappler.com/indonesia/106067-ketika-membakar-lahan-
dianggap-kearifan-lokal. diakses pada 17 Juli 2019.
Muhanda, Asep Dadan. Kearifan Lokal Budaya Bakar Lahan Rawan
Penyimpangan. diakses dari
https://ekonomi.bisnis.com/read/20170622/99/665365/kearifan-lokal-
budaya-bakar-lahan-rawan-penyimpangan. diakses pada 17 Juli 2019,.
Tempo.co. Aturan Ini Izinkan Pembakaran Hutan dan Lahan. diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/712396/aturan-ini-izinkan-pembakaran-
hutan-dan-lahan/full&view=ok. diakses pada 31 Oktober 2021.
Tirto. 2019. Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. diakses dari
https://tirto.id/kebakaran-hutan-dan-lahan-di-sumatera-efNe, diakses pada
24 November 2019.
Sumber Hukum
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 167. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 2. Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4168.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140. Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5059.
1075
Syanindita Nirna Ingtias dan Fazal Akmal Musyarri
Dekonstruksi Kewenangan Polisi Kehutanan sebagai Upaya Meminimalisasi Tindak
Pidana Pembakaran Hutan Secara Terselubung
1076
Nomor ISSN: 2746-4075