Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

IMPLIKASI PUTUSAN MK NOMOR 91/PUU-

XVIII/2020 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-


UNDANG CIPTA KERJA TERHADAP
PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
Hasdinar

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Email: hasdinar@mail.ugm.ac.id

Abstract

Constitutional Court Decision No. 91/PUU-XVIII/2020 concerning the Job Creation Law has
broad implications, including affecting regional legislations. This study aims to determine the
position of Constitutional Court Decision No. 91/PUU-XVIII/2020 on the formation of Regional
Regulations. It aims to find out the position of the Regional Regulation on the implementation of
the Job Creation Law after Constitutional Court Decision No. 91/PUU-XVIII/2020. This study
uses normative-empirical legal research with a conceptual, statutory, and case approach. Based
on the results of the study, firstly, the position of the Constitutional Court's decision no.
91/PUU-XVIII/2020 regarding the formation of a Regional Regulation, namely, the decision has
ordered the government to adjust and accommodate the technique of forming the Job Creation
Law into the Law on the Establishment of Legislation. In addition, the implementing regulations
for the Job Creation Law in the form of a Regional Regulation must be suspended by the
regional government as an implication of a conditionally unconstitutional decision. Second, the
position of the Regional Regulation on the implementation of the Job Creation Law, which was
ratified before the Constitutional Court's decision, is still considered to exist, but the
implementation of the Regional Regulation must be suspended as a consequence of the
Constitutional Court's decision ordering strategic policies on the implementation of the
Copyright Law to be temporarily suspended.

Keywords: The Job Creation Law;Judicial Review;the Constitutional Court's Decision No.
91/PUU-XVIII/2020;Local Legislation.

Abstrak

Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja telah berimplikasi luas termasuk
memengaruhi produk daerah. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan Putusan MK
No. 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Peraturan Daerah, dan bertujuan untuk
mengetahui kedudukan Perda pelaksanaan UU Cipta Kerja pasca Putusan MK No. 91/PUU-
XVIII/2020. Kajian ini menggunakan penelitian hukum normatif-empiris dengan pendekatan
konseptual, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Berdasarkan hasil kajian
menunjukkan pertama, kedudukan putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan
Perda yaitu putusan tersebut telah memerintahkan pemerintah untuk menyesuaikan dan
mengakodir Teknik pembentukan UU Cipta Kerja ke dalam UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Selain itu, aturan pelaksana terhadap UU Cipta Kerja dalam bentuk Perda
harus ditangguhkan oleh pemerintah daerah sebagai implikasi putusan inkonstitusional
bersyarat. Kedua, kedudukan Perda pelaksanaan UU Cipta Kerja yang telah disahkan sebelum
putusan MK tersebut, masih dianggap ada namun pelaksanaan terhadap Perda tersebut harus
ditangguhkan sebagai konsekuensi putusan MK yang memerintahkan kebijakan bersifat strategis
terhadap pelaksanaan UU Cipta harus ditangguhkan sementara.
Kata Kunci: Undang-Undang Cipta Kerja, Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, Peraturan
Daerah.

1. Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya
UU Cipta Kerja) berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
91/PUU-XVIII/2020 dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. Menurut, Pusat
Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi,
putusan model inkonstitusional bersyarat merupakan kebalikan dari putusan
konstitusional bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji,
dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD NRI 1945). Artinya, pasal
yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang
ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Dengan demikian pasal yang dimohonkan
diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah inkonstitusional dan akan
menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana ditetapkan oleh MK dipenuhi
oleh addresaat putusan MK.1
Model putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) dan
model putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) pada
dasarnya model merupakan model putusan yang secara hukum tidak
membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua
model putusan tersebut memuat atau mengandung adanya penafsiran
(interpretative decision) terhadap suatu materi muatan ayat, pasal dan/atau
bagian dari undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan yang
pada dasarnya dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan
konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum atau tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.2 Ini berarti UU Cipta Kerja masih memiliki daya
laku dan daya ikat meskipun kondisi norma tidak berdaya guna secara efektif.
Sebelum putusan MK tersebut, pemerintah telah menerbitkan 51 Peraturan
Pelaksana UU Cipta Kerja (terdiri dari 47 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4
Peraturan Presiden (Perpres) sebagai peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja
setelah disahkan pada tanggal 2 November 2020.3
Setelah itu, Menteri Dalam Negeri meminta kepada meminta pemerintah
daerah untuk mengidentifikasi Perda dan Perkada yang berkaitan dengan UU
Cipta Kerja serta melakukan perubahan, pencabutan, atau membuat Peraturan
Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang sesuai dengan UU
Cipta Kerja. Dan juga, pemerintah daerah dan DPRD didorong untuk
menetapkan Perda di luar Program pembentukan Perda (Propemperda) dengan
keputusan DPRD dan melakukan penambahan perencanaan Perkada yang
ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah. Hal ini sebagai langkah tindak
lanjut terhadap UU Cipta Kerja.4

1
Syukri Asy’ari, dkk, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-
Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara,
Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013), 9.
2
Ibid, hlm. 1.
3
Data diakses dari: https://setkab.go.id/daftar-tautan-49-aturan-pelaksana-uu-cipta-kerja/ (4 November
2022, 20.05 WIB).
Kemudian, Pasca Putusan Inkonstitusional Bersyarat oleh MK, Menteri
Dalam Negeri juga mengeluarkan instruksi kepada pemerintah daerah untuk
tetap mempedomani UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya dan
segera melakukan perubahan, pencabutan, dan atau melakukan penyusunan baru
Peraturan Daerah bersama-sama DPRD/atau Peraturan Kepala Daerah sebagai
langkah tindak lanjut UU Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya.5
Di sisi lain, putusan MK ini menimbulkan multi tafsir karena dalam amar
angka 7 putusan a quo, MK tidak memberikan kejelasan pada makna
“tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas”. Hal ini
tentunya menimbulkan kebingungan pada pemerintah yang hendak
melaksanakan UU Cipta Kerja, terutama oleh pemerintah daerah. Apalagi,
sampai saat ini, sejumlah daerah masih terus membentuk peraturan pelaksanaan
dari UU Cipta Kerja.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengkaji dan menganalisis
implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang
Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
terhadap pembentukan peraturan daerah serta kedudukan peraturan daerah
sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

2. Metode
Penelitian ini akan dikaji menggunakan metode penelitian normatif-
empiris dengan pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan
pendekatan kasus. Pendekatan konseptual terkait konsep judiaciary review dan
konsep pembentukan perundang-undangan. Pendekatan perundangan-undangan
berkaitan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU No. 13 Tahun
2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pendekatan kasus
berkaitan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Jenis bahan yang
digunakan adalah bahan hukum sekunder berupa peraturan perundang-
undangan, putusan peradilan, dan referensi lainnya yang menunjang penelitian.
Semua bahan dikumpulkan dan dilakukan analisis secara analitis-deskriptif
untuk memecahkan identifikasi masalah yang telah diajukan.

3. Analisis atau Hasil


3.1. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
91/PUU-XVIII/2020
3.1.1. Kasus Posisi dan Putusan MK
Meskipun menuai banyak protes, Presiden Joko Widodo pada tanggal 2
November 2020 mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja). UU Cipta Kerja
dibuat dengan metode omnibus law yang mengatur, mengubah, atau
mencabut berbagai materi undang-undang dalam satu undang-undang.

4
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188/1185/OTDA tanggal 9 Maret 2021 Perihal Identifikasi Perda
dan Perkada Tindaklanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
5
Instruksi Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil UU Cipta Kerja.
Dalam UU Cipta Kerja, ada 76 (tujuh puluh enam) undang-undang
yang diubah yang berasal dari tahun 1926 sampai tahun 2019 dalam rangka
memenuhi tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja.6
Tujuan utama dari UU Cipta Kerja adalah mendorong investasi,
mempercepat transformasi ekonomi, menyelaraskan kebijakan pusat-daerah,
memberi kemudahan berusaha, mengatasi masalah regulasi yang tumpang
tindih, serta untuk menghilangkan ego sektoral. 7 Setelah pengesahan
tersebut, pemerintah selanjutnya menerbitkan 51 Peraturan Pelaksana UU
Cipta Kerja yang terdiri dari 47 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan
Presiden (Perpres) sebagai peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja.8
Namun gelombang penolakan terhadap undang-undang ini terus
bergulir. Sampai pada tanggal 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi
menyatakan UU Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. Dalam
amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta
Kerja dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat. Hal ini tercantum dalam Amar
Putusan Nomor 3 yang berbunyi:
Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak
dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini
diucapkan”;
Dalam buku berjudul Model dan Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-
2012) terbitan Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan
Teknologi Informasi dan Komunikasi MK RI, model putusan
Inkonstitusional Bersyarat merupakan kebalikan dari konstitusional
bersyarat yang berarti pasal yang dimohonkan untuk diuji, dinyatakan
bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI 1945. Artinya, pasal yang
dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang
ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi. Dengan demikian, pasal yang
dimohonkan diuji tersebut pada saat putusan dibacakan adalah
inkonstitusional dan akan menjadi konstitusional apabila syarat sebagaimana
ditetapkan oleh MK dipenuhi oleh addresaat putusan MK.9
Karena putusan MK terhadap UU Cipta Kerja model putusan bersyarat,
maka implikasi putusan MK terhadap UU Cipta Kerja tidak dapat secara
langsung dilaksanakan (non-self executing) karena harus melalui proses
legislasi baik dengan perubahan undang-undang maupun dengan
pembentukan undang-undang.
Model putusan yang pemberlakuannya ditunda mengandung perintah
kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaharui landasan

6
Aldwin Rahadian Megantara, Catatan Kritis Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam Sudut Pandang
Hukum Administrasi Pemerintahan, (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2021), 13.
7
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
8
Data diakses dari: https://setkab.go.id/daftar-tautan-49-aturan-pelaksana-uu-cipta-kerja/ (5 November
2022, 16.40 WIB).
9
Syukri Asy’ari, dkk, Model dan … Op.Cit, 9.
konstitusional yang dibatasi oleh waktu. Demikian juga dari segi
keberlakuan suatu undang-undang, ada tenggang waktu yang diberikan oleh
MK untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum dan ketidakpastian
hukum, sambil menunggu produk legislasi yang dikeluarkan oleh pembentuk
undang-undang. Dengan demikian keberlakuan suatu undang-undang
digantungkan pada batas waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam
putusan MK.
Ini berarti, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta
Kerja bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang addresaat putusan MK tidak melakukan
perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan tersebut diucapkan.
Dalam amar tersebut, Hakim Konstitusi menyatakan bahwa UU Cipta
Kerja cacat formil sehingga bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini menyatakan proses
pembentukan undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dengan
demikian, Putusan MK ini mengkonfirmasi bahwa proses pembentukan UU
Cipta Kerja dianggap bermasalah karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
penyusunan undang-undang yang ditentukan oleh UUD NRI 1945 dan diatur
lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya UU P3).10
Isi amar nomor 3 Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 kemudian
dipertegas dalam amar putusan nomor 4, dimana amar ini menyatakan:
“Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor
245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573)
masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan
pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah
ditentukan dalam putusan ini;”
Ini berarti UU Cipta Kerja dinyatakan masih memiliki daya laku
(validity) dan daya ikat (efficacy) dari peraturan perundang-undangan. Amar
3 sebenarnya bicara mengenai daya ikat, sedangkan Amar 4 bicara mengenai
daya laku yang berkaitan dengan keberadaan UU Cipta Kerja sebagai produk
hukum yang masih tercatat di dalam lembaran negara.11
Selanjutnya, berdasarkan Amar Putusan Nomor 5 yang
berbunyi:
“Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk
melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang
waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional
secara permanen;
Dalam putusan tersebut jelas bahwa ada perintah agar “pembentuk
undang-undang untuk melakukan perbaikan”. Apabila hingga tenggat waktu

10
Yance Arizona, UU CK Mati Suri: 10 Proposisi Mengenai UU CK, Putusan MK, dan Respon
Pemerintah, Policy Paper: Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja, (Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, 2022), 31.
11
Ibid, 34.
yang diberikan tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan
inkonstitusional secara permanen, termasuk aturan pelaksanaannya.
Didalam putusan tersebut, selain memerintahkan pembentuk undang-
undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu yang ditentukan,
Putusan ini juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan segala
tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta
melarang penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU
Cipta Kerja. Seperti yang dibunyikan dalam amar No.7, yakni:
“Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan
yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan
pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);”

3.1.2. Implikasi Putusan MK terhadap Pembentukan Perda

3.1.2.1 Penerbitan Kebijakan Pemerintah


Pada 29 November 2021, empat hari setelah pengucapan Putusan
MK No. 91/PUU-XVIII/2020, Presiden Joko Widodo memberikan
keterangan menanggapi putusan MK. Pada intinya, Presiden menyatakan
bahwa UU Cipta Kerja tetap berlaku dan dapat dilaksanakan sebab tidak
satupun ketentuan di dalam UU Cipta Kerja yang dibatalkan MK. Lebih
lanjut, Presiden juga memberikan jaminan kepada investor yang sudah,
sedang dan akan melakukan penanaman modal di Indonesia tetap aman,
meskipun ada putusan MK. Pemerintah, sebagaimana disampaikan oleh
Presiden, akan mematuhi Putusan MK.12
Ada hal yang kurang tepat dari pernyataan presiden tersebut. Hal
ini mengingat bahwa MK sudah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki lagi kekuatan untuk
diterapkan, sampai dilakukan perbaikan. Dengan kata lain, MK
menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional). Namun respon pemerintah terhadap UU
Cipta Kerja ialah dengan memposisikan putusan MK ini bersifat
konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Pembalikan
makna putusan MK seperti ini di dalam literatur hukum tata negara
disebut dengan ‘constitutional perversion’. Dampak lebih jauh dari
pembalikan makna konstitusi ini ialah pelanggaran-pelanggaran
konstitusi lebih lanjut yang bisa jadi lebih berbahaya. 13
Selain itu, untuk menindaklanjuti Putusan MK
No.91/PUU/XVIII/2020 Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 menindaklanjuti. Dalam
instruksi tersebut, Menteri Dalam Negeri menginstruksikan kepada
seluruh Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk tetap mempedomani UU
Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya dan segera melakukan
perubahan, pencabutan, dan atau melakukan penyusunan baru Peraturan

12
Ibid, 36.
13
Ibid, 36.
Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dan/atau Peraturan Kepala Daerah sebagai Langkah tindak lanjut UU
Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya.

3.1.2.2 Penyesuaian Aturan Formil UU Cipta Kerja melalui


Perubahan UU Pembentukan Perundang-Undangan
Dalam Putusan Mahkamah Komstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
UU Cipta Kerja dinyatakan Cacat Formil sehingga bertentangan dengan
UUD NRI 1945. UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil karena materi
muatan dari UU yang disusun menggunakan metode omnibuslaw tidak
diatur dalam Undang-Undanng Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya UU P3).
Dalam pertimbangan putusan, MK memerintahkan agar segera dibentuk
landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam
pembentukan undang-undang dengan metode Omnibus Law. Dapat
dikatakan bahwa putusan ini membutuhkan implementasi legislasi
dengan melakukan perubahan terhadap UUP3 dengan memasukkan
metode Omnibus Law. DPR bersama Presiden sebagai adressaat dalam
Putusan tersebut pun melakukan Perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-
undangan (selanjutnya disebut UU P3) yang disahkan pada 24 Mei 2022.

3.1.2.3. Penangguhan Pembentukan Perda Pelaksanaan UU Cipta


Kerja
Sejak awal ditetapkannya UU Cipta Kerja, pemerintah daerah telah
mulai melakukan identifikasi dan inventarisasi dan Perda dan Perkada
yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Selama tahun 2021 dan 2022,
beberapa daerah bahkan telah mengesahkan beberapa Perda baru yang
terimplikasi dengan adanya UU Cipta Kerja. Salah satu sektor strategis
yang digenjot oleh pemerintah daerah yakni, sektor retribusi persetujuan
bangunan Gedung (PBG).
Untuk diketahui, sebelum putusan MK tersebut, pemerintah telah
menerbitkan 51 Peraturan Pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja (terdiri
dari 47 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres))
sebagai peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja. Dari hasil penelusuran
penulis, dari 49 peraturan pelaksanaan tersebut, 6 (enam) diantaranya
mendelegasikan adanya Perda sebagai peraturan pelaksanaan di daerah,
yakni:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perizinan Berusaha di Daerah
 Peraturan Daerah tentang Perizinan Berusaha;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah dalam rangka Mendukung Kemudahan
Berusaha dan Layanan Daerah
 Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
3. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung,
 Peraturan Daerah tentang Retribusi Persetujuan Bangunan
Gedung;
 Peraturan Daerah tentang Pembongkaran Bangunan Gedung;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang
 Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah;
 Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (RZWP3K);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kehutanan
 Peraturan Daerah yang memuat substansi pengaturan tata cara
pengakuan MHA;
 Peraturan Daerah yang memuat substansi penetapan pengukuhan,
pengakuan, dan pelindungan MHA;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus
 Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah dan Retribusi Pajak
Daerah
Keenam peraturan pelaksaan UU Cipta Kerja melalui Perda di atas,
pasca Putusan MK tidak bisa ditindaklanjuti. Hal ini disebabkan karena
Putusan MK terhadap UU Cipta Kerja yang dinyatakan inskonstitusional
bersyarat dan meminta penangguhan pelaksanaan kebijakan yang bersifat
strategis terhadap pelaksanaan UU Cipta Kerja. Hal ini secara mutatis
mutandis dapat dimaknai bahwa segala bentuk pelaksanaan UU a qou
dibawah hirarki UU, baik PP sampai dengan Perda untuk sementara
ditangguhkan.
Nyatanya masih ada beberapa daerah yang melanjutkan
pembentukan dalam hal pelaksanaan UU Cipta Kerja. Padahal, putusan
inkonstitusional bersyarat pada prinsipnya menyatakan mengabulkan
permohonan pemohon. Hal ini dikarenakan norma yang diuji (UU atau
bagiannya) pada dasarnya inkonstitusional atau bertentangan dengan
UUD NRI 1945 namun jika syarat bisa dipenuhi, maka UU atau
bagiannya tersebut menjadi konstitusional. Sebaliknya, jika syarat yang
ditetapkan MK tidak bisa dipenuhi maka UU atau bagiannya tersebut
menjadi tetap inkonstitusional (bertentangan dengan UUD).
Sementara dalam amar 7 putusan MK tersebut, MK menyatakan
untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis
dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan
pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Dengan amar
putusan ini, maka UU Cipta Kerja tidak lagi (sepenuhnya) memiliki
kekuatan hukum mengikat karena MK menangguhkan segala Tindakan,
kebijakan, dan tidak lagi boleh pemerintah membuat peraturan pelaksana
yang terkait sampai dilakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja.
Meski, diminta untuk ditangguhkan, beberapa daerah sampai saat
ini masih menerbitkan peraturan pelaksana yang mempedomani UU
Cipta Kerja. Hal ini tidak lepas karena Instruksi Menteri Dalam Negeri
Nomor 68 Tahun 2021 yang dikeluarkan 4 (empat) hari setelah putusan
MK untuk tetap mempedomani UU Cipta Kerja. Dalam instruksi
tersebut, Menteri Dalam Negeri menginstruksikan kepada seluruh
Gubernur, Bupati, dan Walikota untuk tetap mempedomani UU Cipta
Kerja beserta peraturan pelaksanaannya dan segera melakukan
perubahan, pencabutan, dan atau melakukan penyusunan baru Peraturan
Daerah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
dan/atau Peraturan Kepala Daerah sebagai Langkah tindak lanjut UU
Cipta Kerja beserta peraturan pelaksanaannya.
Jelas sekali bahwa instruksi ini berbertentangan dengan Putusan
MK sebab MK sudah menyatakan agar pemerintah untuk menangguhkan
pelaksanaan UU Cipta Kerja dan tidak diperkenankan membuat
peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.14
MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat
(conditionally unconstitutional) dan harus ditangguhkan pelaksanaannya,
namun pemerintah tetap memberlakukan UU Cipta Kerja, maka
kontradiksi antara norma dan praktik itu berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum. Bila pemerintah bersikukuh menerapkan UU
Cipta Kerja sebelum melakukan perbaikan sebagaimana yang
dikehendaki oleh MK, maka segala Tindakan, kebijakan, dan peraturan
yang dibuat oleh pemerintah tersebut rentan menjadi objek gugatan baik
oleh masyarakat maupun oleh kalangan pengusaha. Oleh karena itu, satu-
satunya yang dapat dilakukan oleh pemerintah saat ini terhadap UU
Cipta Kerja ialah melakukan perbaikan, bukan menerapkannya.15

3.2. Kedudukan peraturan daerah pelaksanaan Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasca Putusan
Mahkamah Komstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020

3.2.1. Kekuatan Daya Ikat dan Daya Laku


Dalam hirarki peraturan perundang-undangan, Perda berada
dalam urutan terakhir di bawah UUD NRI 1945, Ketetapan MPR,
UU/Perppu, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden. 16 Perda
sebagaimana perundang-undangan lainnya memiliki fungsi untuk
mewujudkan kepastian hukum (rechtszekerheid, legal certainty). Untuk
berfungsinya kepastian hukum perundang-undangan lainnya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan
dimana dalam perundang-undangan yang sama harus terpelihara
hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan
Bahasa, adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan
perundang-undangan dan sesuai dengan aspirasi dan harapan rakyat.17
Kewenangan pemerintah daerah membentuk peraturan daerah
dijabarkan dalam Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: ”Pemerintahan Daerah

14
Ibid, 36.
15
Ibid, 40.
16
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
17
Nukila Evanty dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (Perda) Berperspektif HAM (Hak Asasi
Manusia), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014). 34.
berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya
disebut UU Pemda) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 kemudian mengatur lebih lanjut hal
tersebut. Pasal 65 Ayat (2) Huruf c: “Kepala Daerah berwenang
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”.
Pasal 154 ayat (1) huruf a: “DPRD kabupaten/kota mempunyai tugas
dan wewenang membentuk Perda Kabupaten/Kota bersama
bupati/Walikot”.
Adapun materi muatan yang dapat diatur dalam Peraturan Perda
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yakni: a)
Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan b)
Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Selain itu, Perda juga dapat memuat materi muatan lokal
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Meskipun, dalam Pasal 237 ayat (1) UU Pemda ditentukan bahwa
asas pembentukan dan materi muatan Perda berpedoman pada
ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan
dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setelah UU Cipta Kerja disahkan, Menteri Dalam Negeri
mengeluarkan Surat Edaran kepada Pemerintah Daerah untuk
mengidentifikasi Perda dan Perkada yang berkaitan dengan UU Cipta
Kerja serta melakukan perubahan, pencabutan, atau membuat Perda dan
Perkada yang sesuai dengan UU Cipta Kerja. Mendagri bahkan
mendorong agar penyusunan Perda terkait UU Cipta Kerja mulai
disusun di tahun berjalan tanpa melalui proses tahap Perencanaan
(Perda di luar Prolegda).
Berbagai peraturan pelaksana pun telah disesuaikan oleh
pemerintah daerah. Beberapa Perda yang telah diubah atau ditetapkan
baru dengan adanya UU Cipta Kerja ini, yakni: Perda tentang Retribusi
Perizinan Tertentu, Perda tentang Perizinan Berusaha, dan Perda
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Kesemuanya mempengaruhi
arah kebijakan daerah yang strategis dan luas.
Namun, paska Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, pemerintah
daerah harus mengubah haluan agenda kebijakan yang di, terutama
yang telah dituangkan dalam Perda. Adanya Perda peraturan pelaksana
tersebut menjadi permasalahan karena didasarkan pada undang-undang
Cipta Kerja yang dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat oleh putusan
tersebut. Apalagi dalam amar 7 putusan, melarang segala tindakan dan
kebijakan yang bersifat strategis dan luas, serta larangan menerbitkan
peraturan pelaksana baru yang terkait UU Cipta Kerja.
Amar 7 putusan ini menimbulkan multi tafsir karena diksi
“tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis dan luas”. Amar ini
menimbulkan pertanyaan tindakan apa yang dilarang dalam putusan
tersebut serta apa indikator untuk menentukan kebijakan apa yang
bersifat strategis dan luas? Sementara berdasarkan Pasal 4 UU Cipta
Kerja, ruang lingkup undang-undang ini mengatur kebijakan strategis
Cipta yang meliputi:
1. Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha;
2. Ketenagakerjaan;
3. kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan koperasi dan
UMK-M;
4. kemudahan berusaha;
5. dukungan riset dan inovasi;
6. pengadaan tanah;
7. kawasan ekonomi;
8. investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategi
nasional;
9. pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan
10. pengenaan sanksi.
Bisa dikatakan bahwa semua peraturan pelaksana dari UU Cipta
Kerja, baik di tingkat peraturan pemerintah sampai dengan peraturan
daerah tidak dibenarkan untuk diterbitkan sampai perbaikan selama dua
tahun terlaksana.
Ini berarti beberapa Perda tindak lanjut UU Cipta Kerja yang
disahkan sebelum adanya Putusan MK tidak bisa diberlakukan lagi
namun masih memiliki daya ikat. Berberapa kebijakan daerah yang
bersifat strategis dan luas yang didasarkan pada UU Cipta Kerja tidak
dapat dilaksanakan.

3.2.2. Implementasi Perda


Hadirnya Putusan MK atas UU Cipta Kerja ini dapat mengubah
haluan pelaksanaan agenda kebijakan pemerintah daerah. Hal ini dapat
dilihat dari salah satu amar Putusan MK Nomor 7, yang menangguhkan
segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas.
Apalagi, putusan ini tidak memberikan definisi yang jelas terkait apa
yang dimaksud dengan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak
luas.
Dalam pengertian umum, strategi adalah cara untuk mendapatkan
kemenangan atau mencapai tujuan. Strategi pada dasarnya merupakan
seni dan ilmu menggunakan dan mengembangkan kekuatan (ideologi,
politik, ekonomi, social budaya, dan hankam) untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian bahwa pengertian
strategis adalah pernyataan yang mengindikasikan suatu rencana ataupun
cara yang terbaik untuk tercapainya tujuan suatu badan maupun lembaga
pemerintah.18
Jika menelusuri Pasal 4 UU Cipta Kerja, kebijakan bersifat
strategis yang dimaksud salah satunya dapat dimaknai sebagai kebijakan
yang memberikan kemudahan berusaha, sementara frasa ‘berdampak
luas’ secara umum dapat dilihat dari Diktum Pertama dari Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 2017 yang pada pokoknya menyatakan bahwa
18
Sarwoto Wijoyo Latisuro, Kebijakan Strategis Pemerintah Mempercepat Terwujudnya Masyarakat
Informasi, 17.
kebijakan yang berdampak luas merupakan peraturan yang dapat
memberikan dampak dalam skala nasional yang berimbas kepada
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kebijakan yang bersifat strategis
dan berdampak luas dalam amar putusan tersebut dimaknai sebagai
kebijakan yang memberikan kemudahan berusaha. Walaupun demikian,
faktanya terdapat berbagai penafsiran berbeda terhadap pelaksanaan
amar putusan MK ini. Dengan beragamnya interpretasi terhadap
pelaksanaan dari Amar ke-7 Putusan MK khususnya aspek keberlakuan
(validity) serta lingkup dari peraturan yang menjadi objek gugatan dalam
Putusan MK dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum, apalagi jika
perbaikan UU Cipta Kerja tidak dilakukan sesuai waktu yang
ditentukan.19 Ketidakpastian hukum ini tentu berdampak tidak hanya
ditingkat pusat, tapi juga akan berdampak ke tingkat daerah.
Salah satu kebijakan yang terdampak dari putusan ini, yakni
kebijakan mengenai Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sebagai
pengganti kebijakan Ijin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB).
Kebijakan ini tertuang dalam PP No 16/2021 tentang Peraturan
Pelaksana Undang Undang (UU) No 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung yang telah diundangkan pada 2 Februari 2021 lalu. Dalam PP
tersebut, pemerintah daerah menetapkan sejumlah peraturan daerah,
yakni Peraturan Daerah tentang Pembongkaran Gedung dan menentukan
harga satuan satuan retribusi dimana harga satuan retribusi tersebut
diatur dengan Peraturan Daerah.
Seperti yang diketahui bahwa berdasarkan Amar 7 Putusan MK
tidak membenarkan penerbitan kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas ditambah juga dengan Amar 3 Putusan MK yang
menyatakan bahwa UUCK tidak berkekuatan hukum mengikat hingga
dilakukannya perbaikan dalam waktu dua tahun semenjak diucapkannya
Putusan MK tersebut. Hal ini dapat dimaknai bahwa Perpres yang
menetapkan tarif pajak dan tarif retribusi tersebut tidak dibenarkan
penerbitannya, dan jikalau pun diterbitkan maka Perpres ini tidak akan
memiliki kekuatan hukum karena adanya prinsip chain of validity.
Pengujian peraturan perundang-undangan sebaiknya dilakukan
dengan konteks disatuatapkan di salah satu mahkamah. Tidak lagi
dengan model UU dilakukan ke MK sedangkan di bawah UU ke
Mahkamah Agung. Upaya ini paling sederhana adalah untuk
menyelesaikan dualisme pengujian akibat dua level yang berbeda. Dapat
dibayangkan kemungkinan adanya UU yang dibatalkan MK akan tetapi
PP atau Perpres-nya masih dianggap hidup hanya karena tidak ada yang
melakukan pengujian ke MA. Serta pada saat yang sama MK tidak
punya kewenangan untuk mengatakan suatu PP atau Perpres batal.
Menyatuatapkan akan mempermudah hal itu dilakukan, cukup sekali
membatalkan UU dan pada saat yang sama bisa dipakai membatalkan
aturan yang berada di bawahnya.
Ini berlaku hingga pengujian ke Perda. Oleh karena tidak lagi
dibolehkan adanya executive review, maka harus diberikan posisi khusus
19
Taufiq Adiyanto, Quo Vadis Legislasi Perpajakan Indonesia Pasca Putusan MK, Policy Paper: Putusan
MK Terkait UU Cipta Kerja, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2022), 94.
pada Pusat tatkala mau meninjau peraturan daerah yang menyalahi
prinsip-prinsip desentralisasi. Maka untuk itu, Pemerintah Pusat dab
Pemerintah Provinsi diberikan legal standing khusus untuk mengajukan
pengujian atas Perda. Khusus mengenai hal ini pun akan saya tuangkan
dalam tulisan tersendiri.20

4. Penutup
Berdasarkan hasil kajian menunjukkan pertama, kedudukan putusan MK
No. 91/PUU-XVIII/2020 terhadap pembentukan Perda yaitu putusan tersebut
telah memerintahkan pemerintah untuk menyesuaikan dan mengakodir Teknik
pembentukan UU Cipta Kerja ke dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Selain itu, aturan pelaksana terhadap UU Cipta Kerja dalam bentuk
Perda harus ditangguhkan oleh pemerintah daerah sebagai implikasi putusan
inkonstitusional bersyarat. Kedua, kedudukan Perda pelaksanaan UU Cipta
Kerja yang telah disahkan sebelum putusan MK tersebut, masih dianggap ada
namun pelaksanaan terhadap Perda tersebut harus ditangguhkan sebagai
konsekuensi putusan MK yang memerintahkan kebijakan bersifat strategis
terhadap pelaksanaan UU Cipta harus ditangguhkan sementara.
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan kepada pemerintah
daerah untuk tidak melakukan revisi atau mencabut Perda yang telah disahkan
terkait pelaksanaan UU Cipta Kerja, dan juga tidak menerapkan Perda tersebut
untuk sementara waktu sampai UU Cipta kerja dinyatakan konstitusional.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Aldwin Rahadian Megantara. Catatan Kritis Omnibus Law UU Cipta Kerja dalam
Sudut Pandang Hukum Administrasi Pemerintahan.Yogyakarta: Penerbit
Deepublish, 2021.
Nukila Evanty dan Nurul Ghufron, Paham Peraturan Daerah (Perda) Berperspektif
HAM (Hak Asasi Manusia), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014.
Syukri Asy’ari, dkk. Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012). Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2013.
Zainal Arifin Mochtar. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang. Yogyakarta:
EA Books. 2022.

Jurnal
Taufiq Adiyanto, “Quo Vadis Legislasi Perpajakan Indonesia Pasca Putusan MK.”
Policy Paper: Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja. Yogyakarta: Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, 2022.

20
Zainal Arifin Mochtar, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang, (Yogyakarta: EA Books, 2022),
234.
Yance Arizona, “UU CK Mati Suri: 10 Proposisi Mengenai UU CK, Putusan MK, dan
Respon Pemerintah.” Policy Paper: Putusan MK Terkait UU Cipta Kerja,
Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2022.
Sarwoto Wijoyo Latisuro, “Kebijakan Strategis Pemerintah Mempercepat
Terwujudnya Masyarakat Informasi,”

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Instruksi Dalam Negeri Nomor 68 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil UU
Cipta Kerja.
Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 188/1185/OTDA tanggal 9 Maret 2021 perihal
Identifikasi Perda dan Perkada Tindaklanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja.

Internet
Data diakses dari: https://setkab.go.id/daftar-tautan-49-aturan-pelaksana-uu-cipta-
kerja/ (5 November 2022, 16.40 WIB).
Data diakses dari: https://setkab.go.id/daftar-tautan-49-aturan-pelaksana-uu-cipta-
kerja/ (4 November 2022, 20.05 WIB).

You might also like