Muharramat Dan Poligami-1

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

MUHARRAMAT DAN POLIGAMI

Aulia wahdini siregar


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN

E-mail: auliawahdinisrg03@gmail.com
Abstract
In essence, marriage is a religious order regulated in Islamic law and is the only legal sexual
relationship in Islam. As rahmatan lil 'alamin, Islam has determined that the only way to fulfill an
individual's biological needs for life is only by getting married. Marriage is one of the things that is very
interesting if we look more closely at the meaning of this marriage problem. The Qur'an has explained that
one of the purposes of marriage is to seek peace in life for both men and women (litaskunu ilaiha). Islam
ordains marriage as a vehicle for starting a family to achieve happiness in life. This research discusses
muharromat and polygamy. Polygamy in the Perspective of Islamic Law. Polygamy is a man having more
than one to four wives. In the Islamic view, polygamy is permissible if it meets the conditions that are clear
in the Koran, namely being able to act fairly. The fairness referred to here includes several parts, namely:
fairness in the distribution of time, fairness in living, fairness in housing and fairness in child expenses. The
Prophet's polygamy was different from the polygamy we see today. The Prophet's practice of polygamy
here was not based on biological needs, but there were several considerations including wanting to give
honor to widows, elevate the status of widows and women who offered themselves for marriage. Nowadays,
polygamy is only based on biological needs, and forgets the uncertainty about justice in it.
The practice of polygamous marriage has more of an impact on welfare than benefit. In polygamous
marriages, there is a lot of neglect of the human rights that should be obtained by a wife and children in the
family. What often arises is the existence of hostility between the families of the wives in polygamous
marriages. The reality is that many cases of polygamy trigger other forms of domestic violence (KDRT),
including physical, psychological, sexual and economic violence and so on experienced by women and
children, which is proof that there should be a review and reconsideration of the practice. marriage.
Polygamy.

Keywords: marriage, law and islam, polygamy, facts of violence.


Abstrak
Pada hakikatnya pernikahan merupakan perintah agama yang diatur dalam syariat Islam dan
merupakan satu-satunya hubungan seksual yang sah dalam Islam. Sebagai rahmatan lil’alamin, Islam telah
menetapkan bahwa satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan biologi indifidu hidup dengan menikah,
pernikahan merupakan salah satu hal yang sangat menarik jika kita melihat lebih dekat isi makna dari
permasalahan pernikahan ini. Al-quran telah menjelaskan bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah untuk
mencari ketenangan hidup baik bagi laki-laki maupun perempuan (litaskunu ilaiha) Islam menghabiskan
pernikahan sebagai wahana berkeluarga untuk mencapai kebahagiaan hidup. Penelitian ini membahas
tentang muharromat dan poligami. Poligami dalam Prespektif Hukum Islam. Poligami merupakan laki-laki
memiliki istri lebih dari satu sampai empat orang. Dalam pandangan Islam, poligami boleh dilakukan jika
memenuhi syarat-syarat yang sudah jelas dalam al-Qur'an yaitu mampu berlaku adil. Adil yang dimaksud
disini beberapa meliputi bagian, yaitu: adil dalam Pembagian waktu, adil dalam nafkah, adil dalam tempat
tinggal dan adil dalam biaya anak. Poligami Rasulullah berbeda dengan poligami yang kita lihat
sekarang ini. Praktek poligami Rasulullah di sini bukan berlandaskan ebutuhan biologi, tetapi ada beberapa
pertimbangan diantaranya ingin memberi kehormatan untuk janda, mengangkat derajat para janda dan
wanita yang menawarkan dirinya untuk dinikahi. Di masa sekarang poligami hanya berlandaskan
kebutuhan biologi, dan melupakan ketidakpastian akan keadilan di dalamnya.
Praktek perkawinan poligami lebih berdampak pada kemadharatan daripada kemaslahatan Dalam
perkawinan poligami banyak terjadi pengabaian hak-hak kemanusiaan yang seharusnya diperoleh oleh
seorang istri dan anak dalam keluarga. Hal ini yang kemudian sering muncul adalah adanya permusuhan di
antara keluarga para istri dalam perkawinan poligami. Realitasnya banyak kasus poligami yang memicu
bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) lainnya, meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual
dan ekonomi dan lain sebagainya yang dialami oleh perempuan dan anak-anak menjadi bukti bahwa
seharusnya ada peninjauan dan pertimbangan kembali tentang adanya praktik perkawinan. poligami.

Kata kunci: pernikahan, hukum dan Islam, poligami, fakta kekerasan.

PENDAHULUAN
Islam diyakini sebagai agama yang menebar rahmat lil-‘alamin (rahmat bagi alam
semesta), dan salah satu bentuk rahmat yang dibawanya adalah ajaran tentang perkawinan.
Perkawinan merupakan aspek penting dalam ajaran islam. Didalam Al-Quran dijumpai tidak
kurang dari 80 ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang memakai kata nikah (berhimpun),
maupun menggunakan kata zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan
tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan agar perkawinan itu dapat
menjadi jembatan yang menghantarkan manusia, laki-laki dan perempuan, menuju kehidupan
sakinah (damai, tenang, dan bahagia) yang diridhai Allah. Untuk itu, Islam merumuskan sejumlah
ketentuan yang harus dipedomani, meliputi tata cara seleksi calon suami atau istri, peminangan,
penentuan mahar, cara ijab kobul, hubungan suami stri, serta pengaturan hak-hak dan kewajiban
keduanya dalam rumah tangga.

Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat muslim
adalah poligami. Banyak orang salah paham tentang poligami. Mereka mengira poligami itu baru
dikenal setelah Islam. Mereka menganggap Islamlah yang membawa ajaran tentang poligami,
bahkan ada secara ekstrem berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal
dalam sejarah manusia. Pendapat demikian sungguh keliru, yang benar adalah berabad-abad
sebelum islam diwahyukan, masyarakat manusia di berbagai belahan dunia telah mengenal dan
memperaktekkan poligami.

Perkawinan atau nikah yang berarti mengumpulkan, menjodohkan atau bersetubuh.


Menurut istilah fikih, nikah adalah suatu akad yang menghalalkan pergaulan antar seorang laki-
laki dan perempuan yang bukan mahram dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.
Dalam pengertian luas, pernikahan adalah suatu ikatan lahir antara dua orang, yaitu laki-laki dan
perempuan, untuk hidup bersama dalam rumah tangga dan untuk mendapatkan keturunan yang
dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam. Salah satu barakah yang Allah berikan
kepada hamba Nya yang menyegerakan dirinya untuk menikah adalah dijamin Nya kecukupan
rezeki. Tetapi tidak semua lawan jenis boleh kita nikahi, ada beberapa golongan yang tidak
dibolehkan atau haram dinikahi , salah satunya yaitu mahram muharromat yang akan dibahas
dalam jurnal ini.

METODE PENELITIAN
Karya ini meggunakan deskritif (penelitian kepustakaan ) juga dikenal sebagai ulasan
literatur, dalam upaya untuk mengumpulkan data, dengan tejnik dan langkah-langkah yang
merujuk buku dan artikel yang relefan. Karya ini menggunakan teknik penelitian deskriptif atau
ulasan literature, yang merupakan proses menggunakan buku dan artikel yang relefan utnuk
mengumpulkan materi.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. MUHARROMAT
Kata muharromat berasal dari bahasa arab yang berarti hal-hal yang haram atau dilarang.
Muharromat menurut bahasa jama’ dari kata muhrim, yang bermakna wanita-wanita, yang
menurut syara’ haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Sedangkan menurut istilah merupakan
sekelompok indifidu yang dilarang untuk menikah menurut syariat Islam. Larangan ini mencakup
beberapa kategori indifidu berdasarkan:

1. hubungan darah, Islam melarang pernikahan antara seseorang yang memiliki hubungan
darah yang dekat , seperti orang tua, anak-anak, saudara kandung, saudara tiri, paman, bibi,
keponakan, dan cucu. Larangan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah genetic
akibat perkawinan sedarah. Hal ini terdapat dalam Firman Allah Swt Q.s An-nisa:23

ُ‫ع ِّة َواُمَّهٰ ت‬ َ ‫ضا‬ َّ َ‫ضعْنَ ُك ْم َواَخ َٰوتُ ُك ْم مِّن‬


َ ‫الر‬ َ ْ‫ت َواُمَّهٰ تُ ُك ُم ا ّٰلتِّ ْْٓي اَر‬ِّ ‫اْل ْخ‬ ُ ْ ُ‫خ َوبَ ٰنت‬ َ ْ ُ‫ع ّٰمتُكُ ْم َو ٰخ ٰلتُكُ ْم َوبَ ٰنت‬
ِّ ‫اْل‬ َ ‫علَيْكُ ْم اُمَّهٰ تُكُ ْم َوبَ ٰنتُكُ ْم َواَخ َٰوتُكُ ْم َو‬
َ ْ‫ح ُِّر َمت‬
ْۙ‫َلىِٕ ُل اَبْن َۤاىِٕكُ ُم الَّ ِّذيْنَ م ِّْن اَص ََْلبِّكُ ْم‬ ۤ َ ‫علَيْكُ ْم َّۖ َو َح‬ َّۖ ۤ
ْ ُ َّ ْ ّٰ ُ
َ ‫ساىِٕك ُم التِّ ْي َدخَلتُ ْم بِّ ِّهنَّ فَا ِّْن ل ْم تَك ْون ُْوا َدخَلتُ ْم بِّ ِّهنَّ ف َََل ُجنَا َح‬ َ ِّ‫س ۤاىِٕكُ ْم َو َربَ ۤاىِٕبُك ُم التِّ ْي فِّ ْي ُحج ُْو ِّرك ْم م ِّْن ن‬
ُ ّٰ ُ َ ِّ‫ن‬
‫غفُ ْو ًرا َّرحِّ يْ ًم‬َ َ‫ّٰللا كَان‬ َ ّٰ َّ‫ِّن‬ ‫ا‬ ۗ ‫ف‬َ َ َ ‫ل‬‫س‬ ْ
‫د‬ َ ‫ق‬ ‫ا‬‫م‬َ َّ
‫ِّْل‬ ‫ا‬ ‫ْن‬
ِّ ‫ي‬َ ‫ت‬ ْ
‫خ‬ ُ ْ
‫اْل‬ َ‫ْن‬ ‫ي‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫و‬
َ ُْ َ‫ع‬ ‫م‬‫ج‬ ْ َ ‫ت‬ ْ
‫ن‬ َ ‫ا‬‫و‬َ

Artinya: Di haramkan atas kamu menikahi ibu, anak-anak mu yang perempuan , saudara-
saudara mu yang perempuan ,saudara bapak mu yang perempuan, saudara-saudara ibu mu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara mu yang laki-laki, anak perempuan dari
saudara mu yang perempuan ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu
sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya), (dan diharamkan
bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, maha penyayang.

2. Hubungan melalui pernikahan, larangan pernikahan juga berlaku untuk seseorang yang
memiliki hubungan pernikahan, seperti ibu atau ayah mertua, anak tiri, menantu, dan adik
atau kakak ipar. Islam juga maelrang seorang laki-laki untuk menkahi dua saudara
perempuan secara bersamaan. Tujuan larangan ini adalah untuk menjaga keharmonisan
dalam keluarga dan menghindari persaingan dan konflik.
3. Hubungan melalui menyusui, islam melarang pernikahan antara seseorang yang memiliki
hubungan melalui menyusui, seperti ibu sususan, saudara susuan, dan anak susuan.
Seorang perempuan yang menyusui bayi lain selama periode waktu tertentu dianggap
memeliki hubungan kekeluargaan dengan bayi tersebut, dan larangan pernikahan
diterapkan pada seseorang yang berhubungan melalui menyusui. Hadis yang berkaitan
dengan larangan menikah karena hubungan melalui menyusui adalah sebagai berikut:

‫ب‬ َ َّ‫اع َما يُ َح ِّر ُم مِّنَ الن‬


ِّ ‫س‬ ِّ ‫ض‬
َ ‫الر‬ َّ ‫عنْ َها أَنَّ النَّ ِّب‬
َّ َ‫ي صلى هللا عليه وسلم قَا َل يُ َح ِّر ُم مِّن‬ َ ‫هللا‬
ُ ‫ي‬ ِّ ‫شةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ ‫ع ْن‬
َ ِّ‫عائ‬ َ
Hadist ini diriwayatkan oleh aisyah, istri nabi Muhammad Saw, dan dalam hadist ini
disebutkan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda: “Apa yang diharamkan karena hubungan
menyusui sama dengan yang diharamkan karena hubungan darah”.

Hadist ini menjelaskan bahwa hubungan melalui menyusui menghasilkan muharramat yang
sama dengan hubungan darah dalam hal pernikahan. Jadi, jika seorang telah disusui oleh seorang
wanita, mereka dilarang menikah dengan orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan
dengan wanita tersebut, seperti anak-anak susuannya, ibu susuannya, maupun saudara-saudara
susuan. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati hubungan kekeluargaan yang telah terbentuk
melalui kegiatan menyusui dan menjaga tata karma dalam hubungan antar anggota keluarga.
Dan ada beberapa wanita yang dilarang dinikahi untuk sementara waktu menurut syariat Islam.
Berikut ini beberapa contohnya:

1. Wanita dalam masa iddah: Jika seorang wanita sedang menjalani masa iddah setelah
bercerai atau ditinggal meninggal oleh suaminya, ia dilarang menikah dengan orang lain
selama masa iddah berlangsung. Masa iddah ini bisa berlangsung selama tiga bulan atau 3
kali haid terhitung dari saat perceraian atau kematian suami.
2. Wanita dalam masa 'iddah selesai haid: Jika seorang wanita yang sedang dalam masa 'iddah
menikah sebelum haidnya selesai, maka dilarang bagi pria lain untuk melamarnya sampai
haid berikutnya selesai.
3. Wanita yang sedang hamil: Jika seorang wanita sedang hamil dan bercerai atau janda, ia
dilarang menikah lagi hingga bayinya dilahirkan dan masa iddah berakhir.
4. Wanita dalam tempoh ta'abbud: Jika seorang wanita telah dijatuhi talak tiga oleh suaminya,
larangan menikah dengan suaminya yang lama hanya akan berakhir setelah ta'abbud (ia
menikah dengan orang lain terlebih dahulu dan bercerai kembali).
5. Wanita yang melakukan i'tikaf atau haji.

Perlu diingat bahwa larangan ini hanya berlaku untuk sementara waktu, dan setelah situasi
yang membuat mereka haram untuk dinikahi berakhir, mereka kembali diizinkan untuk menikah.

JENIS-JENIS MUHARROMAT
Dilihat dari ayat Al-Quran surah An-nisa dan juga hadist beberapa hadist nabi Muhammad
Saw, mahram disini terbagi menjadi dua macam yaitu mahram muabbad dan mahram muaqqot.

1. Mahram muabbad merupakan istilah yang merujuk kepada hubungan kekerabatan yang
permanen dan tidak dapat berubah dalam Islam. Perubahan status mahram ini tidak akan
terpengaruh oleh perubahan situasi, seperti perceraian, kematian suami, atau pernikahan
kembali. Ada beberapa contoh mahram muabbad yaitu mahram berdasarkan hubungan
darah, seperti yang terdapat dalam surah An-nisa ayat 23, mahram berdasarkan hubungan
melalui menyusui, dan mahram berdasarkan hubungan melalui pernikahan.

Dalam konteks pergaulan, mahram muabbad menunjukkan batassan dan interaksi yang lebih
bebas antara pria dan wanita, karena mereka dianggap sebagai anggota keluarga yang dekat dan
tidak diizinkan untuk menikah satu sama lain. Misalnya, seorang wanita tidak perlu mengenakan
hijab di hadapan mahram muabbadnya dan mereka dapat bepergian bersama tanpa keberatan.

2. Mahram muaqqot adalah sebutan untuk orang-orang yang dianggap sebagai mahram atau
dilarang untuk menikah dengan seseorang karena suatu kondisi atau situasi sementara.
Mahram muaqqot atau mahram sementara mengacu pada hubungan kekerabatan yang
bersifat sementara dan dapat berubah seiring waktu atau perubahan situasi tertentu. Dalam
konteks ini, mahram muaqqot adalah orang-orang yang sementara waktu menjadi haram
untuk menikahi satu sama lain karena berada dalam suatu hubungan atau kondisi tertentu.
Ada beberapa contoh mahram muaqqot yaitu yang pertama, istri dan suami yang sedang
menikah, meskipun sepasang suami istri adalah halal satu sama lain, mereka menjadi
mahram muaqqot bagi orang lain yang ingin menikahinya. Jika terjadi perceraian atau
kematian salah satu pasangan, status mahram muaqqot ini akan berakhir, dan istri atau
suami yang amsih hidup diperbolehkan menikah dengan orang lain setelah masa iddah
selesai. Yang kedua, istri dari suami yang melakukan rukhsah atau istri sementara melalui
pernikahan mut’a. dan yang ketiga, istri dari saudara laki-laki, selama dua orang saudara
hidup bersama, istri dari saudara laki-laki tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang
lain (termasuk saudara laki-laki tersebut). namun, jika terjadi perceraian atau kematian
suami, maka setelah masa iddah selesai, istri tersebut diperbolehkan untuk menikah dengan
saudara laki-laki suaminya.

Mahram muaqqot ini dianggap memiliki batasan yang bersifat sementara dan dapat berubah
seiring waktu atau situasi tertentu. Meskipun begitu, aturan tentang mahram muaqqot ini harus
tetap dihormati dan dipatuhi selama mereka masih dalam status tersebut, agar hubungan dalam
keluarga dan masyarakat tetap harmonis dan menjaga tata karma antara pria dan wanita.

B. POLIGAMI
Kata-kata poligami terdiri dari kata “poli” dan “gami”. Secara etimologi, poli artinya banyak,
gami artinya istri. Jadi poligami itu artinya beristri banyak. Secra terminology, poligami yaitu
seorang kali-laki mempunyai lebih dari satu istri atau seorang laki-laki beristri lebih dari satu
seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah
satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-
laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligami.
Dalam Al-Quran maupun hadis-hadis nabi tidak ditemukan secara eksplisit ketentuan yang
mengatur alasan poligami karena keadaan istri. Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara masalah
poligami, misalnya surah an-nisa ayat 3. Allah Swt membolehkan berpoligami sampai empat orang
istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Yaitu adil dalam melayani istri, seperti urusan
nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku
adil maka cukup satu istri saja (monogami) hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam surah An-
nisa ayat 3:

َ‫ع َّۖ فَإِّ ْن خِّ فْتُ ْم أَ َّْل تَ ْع ِّدلُوا ف ََواحِّ َدةً أَ ْو َما َملَكَتْ أَيْ َمانُكُ ْم ۚ ٰذَلِّك‬
َ ‫ساءِّ َمثْن َٰى َوثُ ََلثَ َو ُر َبا‬
َ ِّ‫اب لَكُ ْم مِّنَ الن‬
َ ‫ط‬َ ‫َو ِّإ ْن خِّ فْتُ ْم أَ َّْل تُقْ ِّسطُوا فِّي الْ َيتَا َم ٰى فَانْ ِّكحُوا َما‬
ُ َ
‫أ ْدن َٰى أ َّْل تَعُولوا‬ َ

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
dua,tiga atau empat. Kemudian, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak
berbuat aniaya.

Ayat diatas menyebutkan kebolehan poligami yang dilakukan jika diperlukan karena khawatir
tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yaitu keadilan yang bersifat material. Begitu juga
dengan surah An-nisa ayat 129: “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-
istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian….” Yang menyatakan ketidakmungkinan
manusia untuk bisa berlaku adil (secara immaterial /cinta) walaupun ia sangat ingin dan sudah
berusaha semaksimal mungkin. Sedaangkan dari hadis-hadis Nabi, diantaranya diriwayatkan oleh
Tirmidzi:

“Bahwa Ghailan ibn salamah ketika masuk Islam mempunyai 10 orang istri, maka nabi
berkata kepadanya: “ pilihlah empat (sebagai istrimu) dan ceraikan yang lainnya.”

Hadis di atas menjelaskan bahwa poligami hingga batas empat dibolehkan nabi. Begitu juga
dalam shahih muslim disebutkan, Aisyah memahami surah An-nisa ayat 3 itu bahwa jika para
pemelihara perempuan yatim khawatir dengan mengawini mereka tidak mampu berlaku adil,
sebaiknya mengawini perempuan yang lain. Oleh sebab itu, ayat-ayat yang memperbolehkan
poligami sebernarnya bukanlah menunjuk pada sifat dan makna yang berlaku umum, tapi
mengandung suatu maksud, yaitu menegakkan keadilan terhadap anak yatim.
Tidak sedikit orang yang keliru memahami praktek poligami Nabi Muhammad Saw, termasuk
kaum muslim sendiri. Ada anggapan Nabi melakukan poligami dengan tujuan sebagaimana yang
dilakukan oleh banyak orang, yakni untuk memenuhi tuntunan biologis atau hanya untuk
memuaskan hasrat seksualnya. Pada umumnya poligami dilakukan untuk tujuan-tujuan biologis
semata. Kekeliruan paham ini perlu diluruskan, terutama karena paraktek poligami Nabi dijadikan
dalil pembenaran bagi kebolehan poligami dalam masyarakat muslim. Perlu di ingat bahwa
pernikahan dalam islam , khususnya pada masa Nabi Muhammad Saw memiliki tujuan yang lebih
luas dan lebih kompleks daripada sekedar keinginan pribadi. Tentang hikmah diizinkannya Nabi
Muhammad beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi
ummatnya (yang merupakan khushushiyat bagi nabi) adalah sebgai berikut:

1. Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri nabi sebanyak 9 orang itu bisa
menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran-ajaran nabi
dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama mengenai masalah-masalah
kewanitaan/kerumahtanggan.
2. Untuk kepentingan politik mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik
mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan nabi dengan Juwairiyah, putrinAL-
Harist (kepada suku Bani Musthaliq). Demikian pula perkawinan nabi dengan Shafiyah
seorang tokoh dari bani Quraizhah dan Bani Nazir.
3. Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan nabi dengan beberapa
janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum’ah (suami
meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia). Hafshah ninti umar (suami gugur di
Badar). Zainan binti Khuzaimah (suami gugur di uhud). Mereka memerlukan pelindung
untuk melindungi jiwa dan agamanya, serta penanggung untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya.

Pada waktu Al-Quran turun, praktik poligami sudah bisa dilaksanakan masyarakat arab
dengan jumlah yang tak terbatas. Orang-orang yahudi dan nashrani saat itu juga tidak
mengharamkannya. Jadi tidak diperlukan perintah untuk melaksanakan poligami itu, yang
diperlukan saat itu adalah perintah untuk membatasi poligami pada dua, tiga, atau empat sebagai
batas yang maksimal. Pembatasan ini perlu agar orang jangan sampai terpaksa memakan harta
anak yatim yang dipeliharanya, karena keperluannya untuk memberikan nafkah kepada istri-istri
dan anak-anaknya yang banyak.

Berkaitan dengan masalah ini, rasyid ridha mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh
masyfuk zuhdi, yaitu: Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko/madharat
daripada manfaatnya, karena mansia itu menurut fitrahnya (human natute) mempunyai watak
cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudan timbul dengan kadar
tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa
menjadi sumber komplik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan istri-istri
dan anak-anak dari istri-istrinya, maupun konflik antara istri beserta anak-anaknya masing-masing.
Karena itu hukum asal dalam perkawinan menurut isalm adalah monogamy, sebab dengan
monogamy akan mudah menetralisasi sifta tau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam
kehidupan keluarga yang monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligamis, orang
akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu. Karena itu, poligami hanya
diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya istri ternyata mandul, sebab menurut Islam
anak itu merupakan salah satu dari tiga human infestement yang sangat berguna bagi manusia
setelah ia meninggal dunia, yakni bahwa amalnya tidak tertutup berkah ada keturunan yang shaleh
yang selalu berdoa untuknya, maka dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul
berdasarkan keterangan medis hasil laboratoris, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia
benar-benar mampu mencukupi nafkag untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam
pemberian nafkah lahir dan giliran waktu tinggalnya.

Suami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal,
giliran berada pada masing-masing istri tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri
yang miskin, yang berasal dari keturunan tinngi dengan yang berasal dari golongan bawah. Jika
masing-masing istri mempunyai anak dan jumlahnya berbeda, tentu saja hal ini harus menjadi
pertimbangan dalam memberikan keadilan. Jika suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu
memenuhi semua hak mereka, maka ia haram melakukan poligami. Bila ia hanya sanggup
memenuhi hak-hak istrinya hanya tiga orang, maka ia haram menikahi istri untuk yang ke
empatnya, bila ia hanya sanggup memenuhi hak-hak istrinya dua orang, maka ia haram menikahi
istri untuk yang ketiganya, dan begiti seterusnya. Berkenaan dengan ketidakadilan suami terhadap
istri-istrinya, nabi Saw bersabda:
‫َان يُمِّي ُل ِّإلى ِّإ ْحدَاهُ َما َجا َء يَ ْو َم الْ ِّقيَا َمة َِّو ِّشقُّهُ ُم َع َّوج‬
ِّ ‫ َم ْن كَانَتْ لَهُ ا ْم َرأَت‬:َ‫ع ِّن النَّبِّي ِّ صلى هللا عليه وسلم قَال‬
َ ،ُ‫عنْه‬
َ ‫هللا‬
ُ ‫ي‬ ِّ ‫ع ْن أَبِّي ه َُري َْرةَ َر‬
َ ‫ض‬ َ
"Dari abu Hurairah ra. Sesungguhnya nabi Saw bersabda: barangsiapa yang mempunyai dua
orang istri, lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia akan datang pada hari kiamat
deangan bahunya miring."

Mengenai adil terhadap istri-istri dalam masalah cinta dan kasih sayang, Abu bakar bin Araby
mengatakan bahwa hal ini berada diluar kesanggupan manusia, sebab cinta itu adanya dalam
genggaman Allah Swt yang mampu membolak-balikkannya menurut kehendaknya. Begitu pula
dengan hubungan seksual, terkadang suami bergairah dengan istri yang satu, tetapi tidak bergairah
dengan istri yang lainnya. Dalam hal ini apabila tidak sengaja, ia tidak terkena hukum dosa karena
berada di luar kemampuannya. Oleh karena itu, ia tidak dipaksa untuk berlaku adil. Dalam kaitan
ini, Aisyah r.a berkata:

Rasulullah Saw selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil. Dan beliau pernah
berdoa: ya Allah, ini bagianku yang dapat aku kerjakan. Karena itu, janganlah engaku
mencelakakanku tentang apa yang engkau kuasai sedangkan aku tidak menguasainya. Abu daud
berkata: yang dimaksud dengan yang enkau kuasai tetapi aku tidak menguasai yaitu hati.

Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat


terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan
hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat memandang kedudukan dan derajat
perempuan terhormat, poligami pun berkurang. Jadi perkembangan poligami mengalami pasang
surut mengikuti tinngi rendahnya kedudukan dan derajat perempuan dimata masyarakat. Ketika
Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun setelah ayat yang
menyinggung soal poligami diwahyukan, nabi lalu melakukan perubahan yang radikal sesuai
dengan petunjuk kandungan ayat yaitu.

Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. jumlah riwayat memaparkan
pembatasan poligami tersebut, diantaranta riwayat dari Naufal ibn mu’awiyah. Ia berkata: ketika
aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah berkata: “ceraikannlah yang satu dan
pertanhankan yang empat.”

Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil.
Pesyaratan yang ditetapkan bagi kebolehan poligami itu sangat berat, dan hampir-hampir dapat
dipastikan tidak ada yang mampu mememnuhinya. Artinya, Islam memperketat syarat poligami
sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka
seperti sedia kala. Dengan demikian, terlihat bahwa praktek poligami dimasa Islam sangat berbeda
dengan praktek poligami sebelumnya. Perbedaan itu menonjol pda dua hal. Pertama, pda bilangan
istri, dari tidak terbatas jumlahnya menjadi dibatasi hanya empat. Pembatasan ini dirasakan sangat
berat, sebab laki-laki pada masa itu sudah terbiasa dengan banyak istri, lalu mereka disuruh
memilih empat saja dan menceraikan selebihnya. Kedua, pada syarat poligami, yaitu harus mampu
berlaku adil. Sebelumnya poligami itu tidak mengenal syarat apapun, termasuk syarat keadilan.
Akibatnya, poligami banyak membawa kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan,
karena para suami yang berpoligami tidak terikat pada keharusan berlaku adil, sehingga mereka
berlaku aniaya dan semena-mena mengikuti luapan nafsunya.

Selain poligami, masyarakat arab jahiliyah juga mengenal aneka bentuk perkawinan. Iman
Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra, istri Nabi, bahwa pada masa jahiliyah dikenal empat macam
perkawinan. Pertama, perkawinan istiddha, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki lain
dipandang terhormat karena kebangsawanannya, dengan maksud mendapatkan anak yang
memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian, setelah hamil, suami pertama
mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami istri. Kedua,
perkawinan al-maqthu, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan ibi tirinya. Sudah menjadi
tradisi Arab sebelum Islam bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri mendiang
ayahnya, dan jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya dapat menahan istri
itu sampai anak tersebut dewasa. Ketiga, perkawinan ar-rahthun, yaitu perkawinan antara
sejumlah laki-laki dan seorang perempuan. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu
mengundang semua laki-laki yang pernah menggaulinya lalu menentukan siapa ayah dari bayinya,
dan laki-laki yang ditunjuknya itu harus menerima dan mengakui bayi itu sebgai anaknya.
Keempat, perkawinan khadan, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah. Masyarakat arab ketika itu menganggap hal yang
demikian bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia.

Selain yang diceritakan Aisyah ra tadi, ada lagi dua bentuk perkawianan lainnya, yaitu
perkawinan badal, maksudnya dua orang suami bersepakat tukar-menukar istri tanpa melalui talak.
Tujuannnya semata-mata untuk memuaskan hasrat seksual mereka. Kemudian, perkawinan al-
syighar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuaanya tanpa menerima mahar, tetapi
dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya (tukar-
menukar anak atau saudara perempuan).

Islam datang untuk menghapus segala bentuk perkawinan yang disebutkan diatas. Islam hanya
membenarkan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang keduanya tidak
terhalang menikah secra syar’i (bukan mahram) yang didahului dnegan psroses meminang kepada
orang tua atau wali perempuan, membayar mahar, dan ijab kobul. Pada prinsipnya, Islam tidak
membenarkan semua bentuk perkawinan yang didalamnya ditemukan unsur-unsur kezaliman,
kekerasan, ketidakadilan, pelecehan, pemakasaan dan penindasan.

Faktor-faktor yang mendorong poligami berkara pada mentalitas dominasi (merasa berkuasa)
dan sifat depostis (semena-mena) kaum pria, dan sebagian lagi berasal dari perbedaaan
kecenderungan alami antara perempuan dan laki-laki dalam hal fungsi-fungsi produksi. Poligami
telah dikenal jauh sebelum Islam, bahkan telah menjadi tradisi yang kuat diberbagai masyarakat
dunia, termasuk dalam masyarakat arab. Poligami sebelum Islam mengambil bentuk yang tak
terbatas, seorang suami boleh saja memiliki istri sebanyak mungkin sesuai keinginan nafsunya.
Selain itu, poligami tidak mesti memperhatikan unsur keadilan, sehingga terjadi perampasan hak-
hak perempuan yang pada gilirannya membawa kepada kesengsaraan dan ketidakadilan.

Poligami pada hakikatnya merupakan penghinaan terhadap perempuan. Sebab, mana ada
perempuan yang rela dan bersedia dimadu sebagaimana halnya laki-laki, mana ada yang rela dan
bersedia dimadu. Qasim Amin menggambarkan sosok suami yang memiliki istri banyak tidak
diubahnya seperti seekor ayam jantan yang dikelilingi oleh sekumpulan ayam betina. Yang
demikian itu adalah alamiah di dunia hewan, tetapi tidak alamiah bagi manusia. Berbeda dengan
manusia, binatang tidak memiliki emosi sehingga poligami di dunia binatang tidak menimbulkan
problem psikologis, seperti yang dialami manusia. Dalam masyarakat yang semakin beradab,
poligami semakin sering dijumpai. Konklusinya, semakin tinggi tingkat keberadaban manusia,
semakin berkurang jumlah poligami. Secara psikologis semua istri akan merasa sakit hati bila
melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Setidaknya ada dua faktor, pertama,
didorong oleh rasa cinta setianya yang dalam kepada suaminya. Umumnya istri mempercayai dan
mencintai suaminya sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang utnuk cinta terhadap
laki-laki lain, istri selalu berharap suaminya berlaku sama terhadap dirinya. Karena itu istri tidak
dapat menerima sumainya membagi cintanya kepada perempuan lain. Kedua, istri merasa diri
inferior seolah-olah suaminya berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kemampuan
biologisnya. Memang tidak mustahil ada perempuan yang rela dan bersedia menerima poligami,
namun kerelaan atau kesediaan dari satu atau sejumlah perempuan tidak boleh dijadikan acuan
untuk menggeneralisasi, apalagi untuk memaksakan seluruh perempuan dpat menerima hal yang
sama. Kerelaan yang jarang dan langka terjadi itu muncul apabila perempuan memandang atau
menempatkan dirinya sebagai harta atau objek yang dimiliki suaminya, bukan melihat dirinya
sebagai subjek atau indifidu yang merdeka yang memiliki seperangkat hak. Dengan demikian
penerimaan poligami oleh perempuan bergantung pada seperti apa dia memandang dirinya, apakah
ia memandang dirinya sebagai harta atau objek yang dimiliki ataukah ia melihat dirinya sebagai
subjek atau indifidu yang memiliki hak sebagaimana layaknya seorang manusia.

Bentuk implikasi lain dari poligami adalah kekerasan terhadap perempuan. Defenisi kekerasan
terhadap perempuan menurut pasal 1 dekralasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap
perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaaan jenis kelamin yang berakibat
kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang
terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap perempuan justru lebih
banyak terjadi di rumah tangga, dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Kekerasan terhadap istri
biasanya sulit dan jarang diungkapkan karena dianggap sebagai masalah pribadi. Selain itu istri
selalu diajarkan untuk selalu merahasiakan persoalan keluarganya (persoalan dengan suaminya)
kepada orang lain. Keyakinan ini membuat istri tetap diam, meskipun suaminya sudah
memperlakukannya secara keras, seperti menampar, menendang, dam memukulinya dengan
benda-benda tajam.

Selain dalam bentuk penyiksaan fisik, istri juga mengalami kekerasan seksual dalam bentuk
suami tidak memperhatikan kebutuhan dan kepuasan seksual istrinya. Dari hasil penelitian yang
panjang, Khairuddin N.M. menyimpulkan bahwa poligami merupakan faktor yang paling banyak
memicu pelecehan hak-hak istri, termasuk hak-hak yang berkaitan dengan seksualitas. Hal itu
terjadi karena dalam poligami suami biasanya tertarik melakukan hubungan seksual dengan istri
muda. Sementara istri lain diabaikan dan tidak dipenuhi kebutuhan seksualnya. Poligami seringkali
membuat suami memaksakan kehendak kepada istri. Dari mulut suami tidak jarang terdengar
ancaman terhadap istri.: “Kalau kamu tidak setuju saya kawin lagi, pulang saja kerumah orang
tuamu, saya tidak perlu kamu lagi’’. Sebagian istri, karena malu dan berat kepada orang tua dan
kepada keluarga atau karena lasan kasihan kepada anak, seringkali memilih tinggal bersama suami.
Pada umumnya laki-laki yang merasa puas dan berbahagia dengan poligami adalah laki-laki yang
dalam prakteknya mengabaikan kewajiban dan tanggung jawab yang ditentukan agama. Mereka
mengambil perhatian dengan memenuhi hak-hak seorang istri, tetapi mengabaikan hak istri yang
lain, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran “membiarkan istri terkatung-katung” (Q.s.4:129).
Dari sudut pandang ini, poligami pada hakikatnya adalah perkawinan monogamy yang dinodai
dengan kezaliaman, ketidakadialn, dan kekerasan.

Sebagai agama yang sangat mementingkan keadilan, Islam datang membawa perubahan-
perubahan yang radikal dalam pelaksanaan poligami. Perubahan pertama, membatasi bilangan istri
hanya smapai empat orang, itupun hanya boleh kalau suami mampu berlaku adil. Syarat ini
dirasakan amat berat kalau tidak ingin dikatakan mustahil dapat dipenuhi. Perubahan kedua,
membatasai alasan poligami hanya dibolehkan semata-mata demi menegakkan keadilan, bukan
dalam kerangka memuaskan nafsu biologis. Ini pun ternyata lebih sulit dipenuhi. Jadi singkatnya,
hikmah dilarangnya nikah lebih dari empat istri (bagi manusia biasa) adalah sebagai berikut:

1. Batas maksimal beristri bagi manusia biasa adalah empat istri. Jika lebih dari empat istri
berarti melampaui batas kemampuan, baik dari segi kemampuan fisik, mental maupun
tanggung jawab, sehingga nantinya akan repot sendiri, bingung sendiri, dan akhirnya akan
menimbulkan gangguan kejiwaan (stress).
2. Karena melampui batas kemampuan, maka ia akan terseret melakukan kezaliman (aniaya),
baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap istri-istrinya.
3. Manusia biasa pada umumnya didominasi oleh nafsu syahwatnya, yang cenderung
melakukan penyimpangan-penyimpangan, sehingga ia tidak mempunyai kekuatan untuk
memberikan hak-haknya kepada istri-istrinya.

ALASAN POLIGAMI
Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya sampai empat orang istri.
Ketentuan itu termaktub dalam pasal 3 dan 4 undang-undang perkawinan dan Bab IX pasal 55 s/d
59 KHI. Dalam KHI antara lain disebutkan: syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus
mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-ankanya. (pasal 55 ayat 2). Selain syarat utama
tersebut, ada lagi syarat yang lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU
No. 1 Tahun 1947, yaitu adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin kepeluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Ironisnya, pada pasal 59 dinyatakan: Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan,
dan permohonan izin untuk beristri lebih dari stau orang berdasarkan atasa salah satu alasan
yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, pengadilan agama dapat menetapkan tentang
pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan
pengadilan agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau
kasasi. Pasal ini jelas sekali mengindikasikan betapa lemahnya posisi istri. Sebab, manakala istri
menolak memberikan persetujuannya, pengadilan agama dengan serta merta mengambil alih
kedudukannya sebagai pemberi izin, meskipun diakhir pasal tersebut ada klausul yang
memberikan kesempatan pada istri untuk mengajukan banding. Dalam realitas, umumnya para istri
merasa malu dan berat hati mengajukan banding terhadap keputusan pengadilan yang menyangkut
perkara poligami. Alasan-alasan yang dipakai pengadilan agama memberikan izin kepada suami
berpoligami adalah:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri


2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Ketiga alasan yang diberikan oleh pengadilan agama itu sama sekali tidak mewadahi tuntunan
Allah Swt dalam Q.s an-nisa 4:19

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian, bila kamu tidak
meyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak’’.

Dengan merujuk ayat di atas tampak dengan jelas bahwa semua alasan yang dikemukakan
dalam undang-undang dan peraturan pemerintah untuk membolehkan suami berpoligami hanya
dilihat dari kepentingan suami, sama sekali tidak mempertimbangkan perspetif kepentingan istri.
Tidak pernah dipertimbangkan, misalnya andaikata suami tidak mampu menjalankan
kewajibannya sebagi suami, atau suami mendapat cacat atau penyakit, atau suami mandul, apakah
pengadilan agama juga akan memberikan izin kepda istri untuk menikah lagi? Ketentuan KHI
tentang poligami ini jelas menunjukkkan posisi ketidakberdayaan perempuan di hadapan laki-laki.
Lagi pula, kalau dihayati dengan hati yang jernih, mau tidak mau harus diakui bahwa kondisi istri
yang mandul atau berpenyakit bukanlah kondisi yang disengaja. Kondisi itu lebih merupakan
takdir tuhan, karena tidak ada istri yang menginginkan dirinya mandul atau berpenyakit. Semua
perempuan tentunya menginginkan sehat, tetapi tidak semua keinginan manusia itu terwujud
sesuai harapan. Menghadapi kenyataan pahit yang demikian, apakah wajar kalau suami
memetingkan diri sendiri dengan mengabaikan, atau bahkan menyakiti hati istrinya dengan
mencari perempuan lain? Apakah suami tega mereguk kebahagiaan dibalik penderitaan istrinya?
Tidakkah suami membanyangkan andaikata kondisi tersebut terjadi pada dirinya? Apakah dia juga
bisa menerima kenyataan istrinya bersenang-senang dengan laki-laki lain? Di sinilah agama
berperan memberikan tuntunan agar suami memiliki muru’ah (rasa malu) dan tenggang rasa agar
suami rela menerima seburuk apapun kondisi istrinya. Boleh jadi, dibalik kondisi buruk yang tidak
disukainya itu tersimpan sejumlah hikmah kebaikan bagi dirinya.

Islam adalah agama yang membawa misi pembebasan. Pembebasan tersebut terutama
ditujukan kepda tiga kelompok masyarakat yang sering disebut Al-quran dengan istilah al-
mustadh’afin (orang-orang yang dilemahkan) yaitu para budak, anak yatim, dan kaum perempuan.
Mereka disebut demikian karena hak-hak mereka seringkali diperlemah atau diabaikan. Anak
yatim mendapat perhatian yang tidak kalah pentingnya dari kalangan budak dan perempuan karena
mereka seringkali menjadi objek perempasan harta disebabkan tidak terlindungi oleh walinya.
Ketika itu, perkawinan yang dilakukan dengan anak yatim perempuan sering kali dimaksudkan
hanya sebagai kedok untuk menguasai hartanya. Kepada laki-laki yang tidak mampu berbuat adil
terhadapa anak yatim, Allah Swt menganjurkan agar tidak mengawini anak yatim, dan sebagai
alternatifnya dipersilahkan mengawini perempuan lain yang disukainya sebanyak dua, tiga, atau
emapt. Itu pun jika sanggup berbuat adil, kalu tidak, cukup satu saja. Dari sini jelas sekali bahwa
prinsip perkawinan dalam Islam adalah monogamy, bukan poligami.

SYARAT POLIGAMI
Perlu dicatat bahwa syarat poligami diatur oleh hukum dan peraturan yang berlaku di setiap
negara. Beberapa negara melarang poligami, beberapa lainnya mengizinkannya dengan syarat
tertentu, dan beberapa negara, memiliki peraturan yang berbeda tergantung pada mazhab dan atau
sekte yang dipraktikkan. Poligami dalam Islam mengacu pada praktik seorang pria yang menikahi
lebih dari satu istri (maksimal empat) secara bersamaan. Meskipun poligami diizinkan dalam
ajaran Islam, ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi agar praktik ini dapat diterima. Berikut
adalah beberapa syarat poligami menurut islam:

1. Izin dari istri pertama, pria yang ingin melakukan poligami harus mendapatkan persetujuan
dari istri pertamanya. Persetujuan ini harus tertulis dan disampaikan ke pengadilan agama.
2. Adil dan bijaksana, pria yang memutuskan untuk melakukan poligami harus dapat berlaku
adil dan bijaksana terhadap semua istrinya. Prinsip keadilan mencakup hak-hak dan
perlakuan yang sama terhadap semua istri, baik dalam hal nafkah, perhatian, waktu, dan
kasih sayang. Tidak dapat berbuat adil menjadi alasan yang sangat kuat untuk tidak
melakukan poligami.
3. Kemampuan finansial, pria yang ingin melakukan poligami juga harus memiliki
kemampuan finansial yang cukup untuk memberi nafkah kepada semua istri dan anak-
anaknya. Kemampuan finansial ini mencakup makanan, pakaian, tempat tinggal, dll.
4. Kemampuan emosional, seorang pria yang ingin melakukan poligami juga harus memiliki
kemampuan untuk mengelola hubungan dengan lebih dari satu istri secara emosional.
Poligami bisa menjadi sumber konflik dan ketegangan dalalm keluarga, sehingga pria
tersebut harus memiliki kemampuan emosinal untuk menjaga harmoni dalam keluarga.
5. Tujuan yang sah, poligami hanya boleh dilakukan atas dasar tujuan yang sah, seperti
perlindungan dan kepedulian terhadap janda atau wanita yang memerlukan perlindungan,
serta mempermudah penyebaran agama.

Penting untuk diingat bahwa poligami dalam Islam bukan suatu kewajiban, melainkan izin
yang diberikan dengan syarat-syarat tertentu. Tujuannya adalah untuk memberikan
perlindungan dan memenuhi tanggung jawab terhadap wanita dan anak-anak yang
memerlukan perhatian khusus, serta menjaga masyarakat dari perbuatan yang justru
merugikan.

PENUTUP
Muharromat adalah larangan nikah dalam Islam mencakup beberapa prinsip dasar yang harus
diikuti sutu pernikahan agar dianggap sah dan sesuai dengan ajaran agama. Muharromat nikah
melarang pernikahan antara indifidu yang tidak diperbolehkan menikah satu sama lain karena
alasan agama, seperti hubungan kekerabatan dan latar belakang yang dilarang. Muharromat nikah
dalam Islam dirancang untuk menjaga kehormatan, keharomonisan, dan kebahagiaan dalam
keluarga dan masyarakat. Menghormati larangan nikah ini akan membantu menjaga ketentuan
agama dan hidup bersama secara haromonis sesuai dengan ajaran Islam.

Islam memandang perkawinan sebagai amanat Allah. Amanat adalah sesuatu yang diserahkan
kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaanya bahwa apa
yang diamanatkan itu akan dipelihara dengan baik dana man ditangan yang diberi amanat. Istri
adalah amanat Allah kepada suami, demikian pula suami merupakan amanat Allah kepada istri.
Suami istri keduanya harus berjanji menjaga amanat itu dengan sekuat-kuatnya. Perjanjian inilah
yang disebutkan dalam Al-Quran sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang kokoh). Ajaran
Islam sangat menekankan keadilan. Bukan tanpa alasan kalau ayat yang berisi penjelasan tentang
poligami diturunkan dalam konteks pembicaraan anak yatim. Pemebicaraan tentang poligami
dalam Al-Quran berada dalam satu tarikan nafas dengan pembicaraan mengenai anak yatim. Ada
persamaan antara anak yatim dam perempuan, yaitu bahwa keduanya seringkali menjadi korban
dari perilaku yang tidak adil, dan hak-hak mereka seringkali diabaikan. Allah menegaskan
keharusan berlaku adil terhadap anak yatim, demikian pula terhadap perempuan. Manusia akan
lebih dekat kepada berbuat adil dalam perkawinan monogami daripada dalam poligami. Demi
mewujudkan keadilan, maka prinsip perkawinan yang digariskan Islam adalah monogamy, bukan
poligami.

Bukan Islam yang memperkenalkan poligami, karena berabad sebelum Islam lahir, poligami
telah menjadi tradisi masyarakat di berbagai belahan bumi, termasuk dalam masyarakat arab. Islam
tidak menganjurkan poligami, apalagi mewajibkannya. Pembahasan poligami dalam Islam
hendaknya dilihat dari sudut pandang perlunya pengaturan hukum dalam aneka kondisi yang
mungkin terjadi. Adalah wajar bagi suatu perundang-undangan, apalagi agama yang bersifat
universal dan berlaku untuk semua situasi dan kondisi, untuk mempersiapkan ketetapan hukum
yang tidak mustahil terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadian itu hanya merupakan
kemungkinan belaka. Dengan kata lain, poligami hanyalah sebuah pintu darurat, dan itupun
disertai dengan syarat yang sangat berat, yakni keharusan berlaku adil yang rasanya hanya
segelintir orang dapat memenuhinya.

REFESENSI
Abdurahman, H.,S.H., kompilasi hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Akademika Pressindo,
1995, cet ke-1.
Abu dawud, sunan abu dawud, jilid 1,Dar al-fikr,1990.
Abidin, Slamet, Drs., dan Aminuddin H., Drs., fikih munakahat, Bandung: CV. Pustaja setia, 1999,
Cet. Ke-1 jilid 1 dan 2
Abdulllah, yusuf, Daghfaq, wanita bersiaplah ke berumah tangga, Jakarta: Gema Insan Press, cet.
Ke-2
Al-bukhari Shahis muslim,shahih muslim,kitab an-nikah,hadis ke-4829.
Al-thusiy, Hsan bin ali, al-mabsuth fi fiqh al- imaniyah, Teheran, mathba’ah al-murtadhawiyah,
1338 H.
Al- jahrani, Musfir, poligami dari berbagai persepsi, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.
Daradjat,Zakiah,Prof.,Dr,ilmu fikih,Yogyakarta:proyek pengadaan Kitab suci al-quran, 1984/1985
Gazalba, sidi, Drs., menghadapi soal-soal perkawinan, Jakarta: pustaka Antara PT,1975.
Idhamy, Dahlan, Drs., Asas-asas fikh munakahat hukum keluarga Islam,Surabaya: Al-ikhlas,1994.
Jawad Mughiniyah, Muhammad, fikh lima mazhab (ja’fary, hanafy,malikiy, syafi’iy, hambaliy),
Jakarta: Lentera, 2021, edisi lengkap.
Jaziry Al, Abdurrahman, kitab al-fikh ‘ala al-madzahib al-arba’ah, Qism ahwal al- syakhshiyah,
Mesir: Dar al-Irsyad, tth., juz 4.
Khairuddin N,M., pelecehan seksualterhadap istri, PPK Gajah Mada, Yogyakarta,1998,h.59.
Thalib, Muhammad,Drs., 40 petunjuk menuju perkawinan Islami, Bandung:Irsyad Bitus salam,
1995,
Zuhaily Al, wahbah, Dr., al-fikh al-islamy wa adillatuh, Damaskus: Dar al-fikr, 1989,cet.ke-3 juz7
Zuhdi, masyfuk,prof., Drs., masa’il fiqiyah:kafita selekta hukum Islam, Jakarta: PT.Gita Karya,
Gita Karya, 1998, cet. Ke-1.

You might also like