Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora


UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto
Edisi: Juli-Desember, Vol. 6, No. 2, 2021
DOI: 10.24090/maghza.v6i2.4575

Pemaknaan Jamaah terhadap Khataman Al-Qur’an dalam


Shalat Tarawih;
Studi Living Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an
Klinterejo-Mojokerto

Alvita Eka Rahmah


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
Jalan Mayor Sujadi Timur 46 Tulugagung
Email: ekaalvita00@gmail.com

Adrika Fithrotul Aini


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung
Jalan Mayor Sujadi Timur 46 Tulugagung
Email: adrikaaini01@gmail.com

Abstract:
Khataman Al-Qur'an is an act of reciting Al-Qur'an which starts from surah
al-Fatihah to surah an-Nas according to the mushaf 'Uthmani. These
activities are usually carried out at certain times, for example
for slametan events, praying for people who have died, or carried out in
prayer to maintain memorization, especially for hafidz/hafidzah. This paper
discusses one of the several momenta for the implementation of the
Khataman Al-Qur'an activity, namely the maintenance of Al-Qur'an
memorization carried out at the Tahfidzul Qur'an Islamic Boarding School
by holding Al-Qur'an khataman in tarawih prayers. This study aims to
determine the meaning of the congregation towards this tradition by using
the psychological theory of W.H. Thomas about the four basic desires of
human behavior in religion. This study was designed using qualitative
methods and included in field research by collecting data through interview
and observation techniques. The results of this study are: first, the Khataman
Al-Qur'an in tarawih prayer has been implemented since the time of the
Prophet. until now it has become part of the tradition in the Tahfidzul
Qur'an Islamic Boarding School., second, the Tahfidzul Qur'an Islamic
Boarding School carries out the Khataman Al-Qur’an in tarawih prayers to
follow Salafus Salafus and as a medium for mura{ja’ah., third, The results
of interpreting the congregation use Thomas's theory, namely the desire to
be safe by maintaining their memorization, the desire to be given a response
without being subject to punishment for following this tradition well, and
the desire to gain new experiences by implementing the khataman Al-
Qur’an in tarawih prayers.
Keywords: Khataman Al-Qur’an, Tarawih Prayers, Pondok Pesantren, Tahfidzul
Qur’an Mojokerto

254
Abstrak:
Khataman Al-Qur’an merupakan tindakan membaca Al-Qur’an yang
dimulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas sesuai dengan mushaf
‘Utsmani. Kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan di waktu-waktu tertentu
misalnya untuk acara slametan, mendoakan orang yang sudah meninggal,
atau dilaksanakan di dalam shalat untuk menjaga hafalan khususnya bagi
para hafidz/hafidzah. Tulisan ini membahas salah satu diantara beberapa
momentum pelaksanaan kegiatan khataman Al-Qur’an yaitu tentang
penjagaan hafalan Al-Qur’an yang dilakukan di Pondok Pesantren Tahfidzul
Qur’an dengan mengadakan khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan dari jamaah terhadap
tradisi tersebut dengan menggunakan teori psikologi W.H. Thomas tentang
empat keinginan dasar tingkah laku manusia dalam beragama. Penelitian ini
dirancang menggunakan metode kualitatif dan termasuk ke dalam penelitian
lapangan dengan pengumpulan data melalui teknik wawancara dan
observasi. Hasil dari penelitian ini adalah: pertama, khataman Al-Qur’an
dalam shalat tarawih sudah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah saw.
hingga sekarang menjadi bagian dari tradisi di Pondok Pesantren Tahfidzul
Qur’an., kedua, Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an melaksanakan
khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih untuk mengikuti para Salafus
Shaleh dan sebagai media mura{ja’ah., ketiga, hasil pemaknaan jamaah
menggunakan teori Thomas yaitu keinginan untuk selamat dengan upaya
menjaga hafalan yang dimiliki, keinginan untuk diberikan tanggapan dengan
tidak dikenakan hukuman karna mengikuti tradisi tersebut dengan baik, dan
keinginan untuk mendapatkan pengalaman baru dengan melaksanakan
khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih.
Kata Kunci: Khataman Al-Qur’an, Shalat tarawih, Pondok Pesantren, Tahfidzul
Qur’an Mojokerto

A. PENDAHULUAN

Dialektika antara Al-Qur’an dengan realita yang terjadi di masyarakat pasti akan
melahirkan berbagai penafsiran yang kemudian menghadirkan wacana serta tindakan
praksis dalam ranah pemikiran dan realitas sosial (Junaedi, 2015, p. 170). Pada
hakikatnya, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang berisikan ajaran tentang akhlak guna
menuntun manusia ke jalan yang benar. Namun, ketika Al-Qur’an telah menjadi bagian
dari masyarakat, maka Ia akan mengalami pergeseran paradigma sehingga masyarakat
tentu akan berbeda-beda dalam memaknai, memperlakukan, dan mengekspresikan Al-
Qur’an sesuai dengan keyakinannya. Hal ini merupakan indikator yang konkret bahwa
Al-Qur’an adalah kitab suci yang kontekstual, sesuai dengan zaman dan tempatnya
(s}a{lih} li kulli zama{n wa maka{n) (Zaman, 2019, p. 16).
Dalam surah al-Hijr ayat 9 telah disebutkan bahwa Allah swt. telah menjaga
kemurnian daripada Al-Qur’an;

255
‫الذ ْك حر حواِ اَّن لحهُ حَلٰ ِفظُْو حن‬
ِ ‫اِ اَّن حَْنن نح ازلْنحا‬
ُ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya.”
Allah swt. pula yang memberikan anugrah terhadap orang-orang yang menghafal
Al-Qur’an dan menjaganya agar tetap dalam keotentikannya (Maghfiroh, 2018, p. 2).
Berbagai cara dilakukan untuk mengulang hafalan agar tidak sampai lupa. Hal ini juga
yang dilakukan di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Mojokerto dalam upaya menjaga
keotentikannya. Pondok yang dikenal dengan pondok Al-Qur’an tersebut mempunyai
beberapa kegiatan yang bertujuan untuk menjaga al-Qur’an dan sebagai ajang
mura{ja’ah (mengulang hafalan) bagi santrinya. Salah satu tradisi yang dilakukan
sebagai media mura{ja’ah adalah khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih atau biasa
disebut tarawih Qur’an. Tarawih Al-Qur’an di PPTQ dilaksanakan sendiri-sendiri oleh
jamaah putra dan putri. Jamaah putra terdiri dari dzurriyah pondok, ustadz yang
mengajar di pondok, warga sekitar, dan santri putra. Sedangkan jamaah putri terdiri dari
santri PPTQ yang tahfidz maupun beberapa santri non-tahfidz.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemaknaan dari jamaah
tarawih Qur’an yang ada di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an. Karena seperti yang
telah diketahui bahwa khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih merupakan tradisi
yang masih jarang dilaksanakan kecuali di pondok-pondok tahfidz yang itupun juga
tidak semua pondok tahfidz melaksanakannya. Bisa dikatakan khataman Al-Qur’an
dalam shalat tarawih merupakan sebuah pengalaman baru yang ada di Indonesia. Bagi
santri yang menghafal Al-Qur’an, mura{ja’ah hafalan adalah wajib hukumnya, karena
Al-Qur’an itu bisa memberikan keselamatan maupun sebaliknya yaitu laknat. Selain itu,
mereka beranggapan bahwa dengan mengikuti khataman Al-Qur’an dalam shalat
tarawih ini maka hafalan mereka akan menjadi lebih lancar serta kualitas hafalan akan
semakin baik. Maka, untuk menjawab fokus penelitian penulis memakai teori W.H.
Thomas yaitu The Four Wishes yang meliputi keinginan untuk selamat, keinginan
mendapat penghargaan, keinginan untuk ditanggapi, dan keinginan untuk mendapat
pengalaman baru. (AZ, 2018, hal. 55)
Penelitian ini tentunya tidak menjadi penelitian pertama dalam khazanah ilmu
tafsir, karena sebelumnya juga banyak yang sudah membahas mengenai khataman Al-
Qur’an. Pertama, artikel yang berjudul “Tradisi Khataman Al-Qur’an Via Whatsapp
Studi Kasus Anak-Cucu Mbah Ibrahim al-Ghazali Ponorogo Jawa Timur” oleh Moh
Hasan Fauzi yang berusaha mendeskripsikan tradisi khataman Al-Qur’an melalui media
sosial, yaitu whatsapp. (Fauzi, 2019) Kedua, thesis Elly Maghfiroh (Maghfiroh, 2018)
yang berjudul “Kecerdasan Emosi Para Khatimat Pada Khatm Al-Qur’an di Pondok
Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta” yang di dasarkan pada teori Daniel

256
Goelman. Ketiga, Skripsi oleh Fazat Laila yang berjudul “Praktek Khataman Al-Qur’an
Berjamaah di Desa Suwaduk Wedarijaksa Pati (Kajian Living Hadis)” (Laila, 2017).
Keempat, skripsi karya Sulaimanul Azab (Azab, 2008) dari Universitas Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Sulaiman menjelaskan tentang pemaknaan para jama’ah terhadap ritual
khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih, serta motif apa yang melatarbelakangi
mereka dalam mengikuti tradisi tersebut dengan di dasari oleh pemikiran Ahimsa.
Itulah beberapa karya yang peneliti temukan. Namun, sejauh ini peneliti belum
menemukan studi living Qur’an mengenai khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Mojokerto dengan menggunakan teori W.H.
Thomas. Oleh karena itu, peneliti berpendapat bahwa penting membahas tarawih
Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Mojokerto guna mengisi kekosongan
tersebut sekaligus menjadi tambahan khazanah pengetahuan dalam kajian living Qur’an.

B. TRANSMISI KHATAMAN AL-QUR’AN

Khataman Al-Qur’an diambil dari bahasa Arab “khatam” atau “khitam”, dari akar
kata “khatama yakhtimu” yang dalam kamus Al-Munawwir berarti membubuhi cap,
menyegel, menutup, menjadikan tak dapat memahami, berpaling (kata kiasan), mengairi
untuk pertama kalinya, mulai sembuh, dan menyelesaikan seluruhnya (sampai tamat)
(Munawwir, 1997, p. 332). Dalam hal ini, pengertian yang lebih tepat digunakan adalah
pengertian terakhir. Sedangkan Al-Qur’an adalah kalam Allah sekaligus mukjizat yang
diturunkan kepada Rasulullah saw. melalui perantara malaikat Jibril dengan lafal dan
maknanya dari Allah swt. Al-Qur’an dinukilkan secara mutawatir, membacanya dinilai
sebagai ibadah, dan dimulai dari surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-nas
(Shihab & Dkk., 2013, p. 13).
Frasa khataman Al-Qur’an merupakan sebuah istilah yang digunakan bagi sebuah
tradisi pembacaan Al-Qur’an dari surat Al-Fatihah hingga surat An-Nas sesuai dengan
urutan mushaf ‘Utsmani. Kegiatan khataman Al-Qur’an dapat dilaksanakan di berbagai
momentum, misalnya slametan, mendoakan orang yang sudah meninggal, rutinan untuk
para hafidz/hafidzah sebagai upaya menjaga hafalan mereka, dan lain sebagainya. Ada
dua jenis khataman Al-Qur’an yaitu khataman Al-Qur’an bi al-gaib (tanpa melihat) dan
bi al-naz}r (dengan melihat). Namun, secara umum pelaksanaan khataman Al-Qur’an
ialah seorang qari’ (pembaca) atau beberapa orang melantunkan Al-Qur’an dengan di-
semak (didengar dan diteliti bacaannya) oleh satu atau beberapa orang (Azab, 2008, p.
16). Ada dua jenis khataman Al-Qur’an yang dilaksanakan menurut waktu
pelaksanaannya yaitu khataman Al-Qur’an yang dilaksanakan di dalam dan di luar
shalat.

257
Berbicara mengenai khataman Al-Qur’an yang dilaksanakan dalam shalat, para
salaf terdahulu sudah mengerjakannya tiap malam pada shalat qiyamul lail. Seperti
sayyidina Utsman bin Affan yang mengkhatamkan Al-Qur’an pada shalat witir satu
rakaat. Hal ini dinyatakan dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu
Ubaid dalam Fadha’ilul Qur’an (I/23) dari jalur Hajjaj, dari Ibnu Juraij, yang
dikabarkan oleh Ibnu Khusaifah, dari As-Sa’ib. Sa’ib bin Yazid meriwayatkan bahwa
suatu ketika ada seseorang yang bertanya kepada Abdurrahman bin Utsman At-Tamimi
tentang shalatnya Thalhah bin Ubaidillah. Abdurrahman berkata, “Jika kau
berkehendak, maka aku akan memberitahukan kepadamu shalatnya Thalhah bin
Ubaidillah.” Lalu ia melanjutkan, “Jika kau berkehendak lain, maka aku akan
memberitahukan kepadamu tentang shalatnya Utsman bin Affan.” Kemudian orang itu
menjawab, “Baiklah.”
Abdurrahman bercerita, “Pada suatu malam aku tidur di Hijir. Setelah tidur, aku
bangun dan melihat ada seorang lelaki berpenutup kepala yang menyesaki diriku. Aku
melihatnya, ternyata ia adalah Utsman bin Affan. Aku mundur, dan ia mengerjakan
shalat. Saat dalam posisi sujud, ia sujud lama sekali sehingga aku bertanya-tanya ini
shalat sunnah fajar atau shalat witir satu rakaat. Akan tetapi setelah itu ia tidak
mengerjakan shalat lagi.” (Nawawi et al., 2018, p. 106)
Kegiatan khataman Al-Qur’an memang sudah tidak asing lagi bahkan telah
dilaksanakan sejak zaman Rasulullah saw. dan para sahabat. Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari sejumlah salaf bahwa mereka mengkhatamkan Al-Qur’an setiap dua bulan
sekali. Sebagian lainnya ada yang mengkhatamkan setiap sebulan sekali, sepuluh malam
sekali, delapan malam sekali, dan sebagian besar dari mereka mengkhatamkan setiap
tujuh malam sekali. Dan sebagiannya lagi mengkhatamkan setiap dua malam sekali.
Ada juga yang mengkhatamkan Al-Qur’an selama sehari semalam, bahkan ada yang
dalam sehari mengkhatamkan Al-Qur’an berkali-kali. Adapun yang mengkhatamkan
dalam sehari semalam adalah Utsman bin Affan, Tamim ad-Dari, Sa’id bin Jubair,
Mujahid, Asy-Syafi’i, dan lainnya (Nawawi et al., 2018, p. 101).
Para sahabat memang mempunyai waktu tersendiri untuk mengkhatamkan Al-
Qur’an dari mulai seminggu sekali khatam bahkan sehari semalam dapat
mengkhatamkan Al-Qur’an beberapa kali. Dan tidak ada larangan akan hal itu selagi
mereka bisa memahami isi kandungan Al-Qur’an dan tidak mengganggu kegiatan
mereka yang mempunyai pekerjaan menyebarkan ilmu atau tugas agama maupun
mengurus kepentingan umat muslim secara umum.
Sedangkan pada bulan Ramadhan, para sahabat justru lebih banyak
mengkhatamkan Al-Qur’an karena telah mengetahui keutamaan-keutamaannya.
Diriwayatkan dari Imam Asy-Syafi’i bahwa ia mengkhatamkan Al-Qur’an sehari dua

258
kali ketika bulan Ramadhan dan satu kali sehari di luar bulan Ramadhan (Nawawi et al.,
2018, p. 107). Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah dijelaskan bahwa shalat tarawih
dengan mengkhatamkan Al-Qur’an pada awalnya merupakan perintah dari Umar bin
Khattab ra.

ُّ ‫س ُن حع ْن أِحِب ححنِْي حفةح إِ حَل أح ان‬


‫السناةح أح ْن‬ ‫ح‬ ‫ح‬‫شايِ ِخ ِم حن ا َْلحنح ِفيا ِة حو ُه حو حما حرحواهُ ا َْل‬‫ب ا َْلحنحابِلحةُ حوأح ْكثح ُر ال حْم ح‬
‫ذح ِحه ح‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
:ُ‫ حوقح حل ا َْلحنحفياة‬.‫ص حَلة‬ ‫ْك ال ا‬
ٍ
‫ِف تل ح‬ْ ِ ‫ااسِ حَج ْي حع الْ ُق ْرآ حن‬
ُ ‫الَّتا ِويْ ِح ليح ِْس حم حع الن‬‫ص حَلة اح‬ ‫ِف ح‬ ْ ِ ‫رْيح‬
ْ ‫حَيْت حم الْ ُق ْرآ حن الْ حك‬
ٍ
‫ش حر آيحت أ ْحو حَْن حو حها‬
ِ ْ ِ ُ‫ام ا ْْلحْت حم ل حك ْس ِل الْ حق ْوم بح ْل يح ْق حرأ‬
‫ِف ُك ِل حرْك حعة حع ح‬ ِْ ‫اْلحْت ُم حم ارةً فح حَل يح َّْتُ ُك‬
ُ ‫اْل حم‬
ِ
ْ ُ‫السناة‬ُّ
ِ‫ِف ُكل‬ ِ ِ
ْ ُ‫ يح ْق حرأ‬: ‫سيصلي كل ليلة عشرين ركعة) حوق ْي حل‬ ِ
‫ك ا ْْلحتْ ُم (وهذا مبين على أنه‬
ِ
‫ص ُل ب حذل ح‬ ُ ‫فحيح ْح‬
ٍ
. . .‫ضا حن‬ ‫ِف حرحم ح‬ ِ ٍ ِ
‫ْي آيحةً ِلحن عُ حم حر رضي هللا عنه أ ححم حر ب حذل ح‬ ‫ا‬ ِ
ْ ‫ث حم ارات‬ ‫اْلحْت ُم ثححَل ح‬ْ ‫ك فحيح حق ُع‬ ‫حرْك حعة ثححَلث ْ ح‬
“Ulama mazhab Hanbali dan kebanyakan ulama mazhab Hanafi yang (dasarnya)
adalah yang diriwayatkan oleh al-Hasan dari Abu Hanifah bahwasanya sebuah
kesunnahan mengkhatamkan Al-Qur’an di dalam shalat tarawih dengan tujuan
agar orang-orang dapat mendengarkan seluruh Al-Qur’an saat shalat. Menurut
mazhab Hanafi: sunah khatam Al-Qur’an dalam shalat tarawih minimal sekali,
maka seorang Imam jangan meninggalkan mengkhatamkan Al-Qur’an karena
malasnya jamaah. Justru Imam tetap membaca di setiap rakaat setidaknya sepuluh
ayat atau yang setara dengannya. Maka khatamlah Imam itu membaca Al-Qur’an
saat tarawih selama sebulan (ini di dasari shalatnya selama tiap malam dua puluh
rakaat). Ada pendapat lain: membaca di setiap rakaat 30 ayat karena perintah dari
Umar seperti itu. Maka khatam Al-Qur’an terjadi sebanyak tiga kali selama
sebulan.”(Masrur, 2020)
Jadi, khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih sudah ada sejak zaman sahabat
karena pertama kali diperintahkan oleh Umar bin Khattab. Sebuah keutamaan
mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari satu kali dalam shalat tarawih yang dilaksanakan
selama bulan Ramadhan. Bahkan sebagian ulama menyatakan sunnah jika membaca Al-
Qur’an dalam shalat tarawih karena sangat dianjurkan pula memperbanyak membaca
Al-Qur’an ketika bulan Ramadhan. Namun, terkait khataman Al-Qur’an dalam shalat
tarawih hendaknya Imam mengetahui kondisi jamaah sehingga tidak sampai membuat
makmum menjadi malas mengikuti jamaah tarawih Qur’an. Ada beberapa ulama yang
berpendapat akan hal ini saperti Imam al-Kasani, ulama Mazhab Hanafi dan Imam
Ahmad bin Hanbal.
,ٍ‫ض ْي لح ِة حو ُه حو أح ْن حَيْتِ حم الْ ُق ْرآ حن أح ْكثح حرِم ْن حم ارة‬
ِ ‫ب الْ حف‬ ِ ‫حما أ ححم حر بِ ِه عُ حم ُر رضي هللا تعلى عنه ُه حو ِم ْن حَب‬
‫ فحيح ْق حرأُ قح ْد حرحما‬,‫ال الْ حق ْوِم‬
ِ ‫ب حح‬ ِ‫س‬ ‫ام حعلحى ِ حح ِح‬ ‫ِف حزحمانِنحأ فحاِلحفح ح‬
ُ ‫ض ُل أح ْن يح ْق حرأح ا ِْل حم‬ ْ ِ ‫ حوأح اما‬,‫ِف حزحماِنِِ ْم‬
ْ ِ ‫حو حه حذِا‬
ِ ِ ِ ِ ِ
. ‫ انتهى‬.‫ض ُل م ْن تحطْ ِويْ ِل الْق حراءحة‬ ‫ ِلح ان تحكْث ْ ح‬:‫حَليُنح ف ُر ُه ْم عح ْن ا ْْلح حماعحة‬
‫ْي ا ْْلح حماعحة أحفْ ح‬
“Apa yang diperintahkan Umar bin Khattab ra itu masuk ke dalam kategori
keutamaan. Yang utama itu lebih baik mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari satu
kali, dan itu terdapat di zaman mereka. Adapun di zaman sekarang maka yang
lebih utama ialah imam membaca sesuai dengan kemampuan mereka. Maka imam
membaca Al-Qur’an sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Imam membaca
bacaannya yang tidak sampai membuat masyarakat mennggalkan jamaah. Karena
memperbanyak jamaah lebih utama dari memanjagkan/memperbanyak
bacaan.”(Masrur, 2020)

259
Maka dari itu, di PPTQ khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih dilaksanakan
satu kali khataman saja. Mengingat santri juga masih dalam tahap belajar dan proses
menghafal Al-Qur’an yang mempunyai banyak kegiatan di pondok.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa khataman Al-Qur’an dalam shalat
tarawih sudah ada sejak masa sahabat Rasulullah saw. tepatnya atas perintah Umar bin
Khattab ra. Kemudian turun temurun dilaksanakan dari zaman ke zaman hingga saat ini
menjadi bagian dari tradisi di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Mojokerto.

C. TRADISI KHATAMAN AL-QUR’AN DALAM SHALAT TARAWIH DI PONDOK


PESANTREN TAHFIDZUL QUR’AN

1. Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an (PPTQ) Klinterejo-Mojokerto


Pondok pesantren yang beralamatkan di Jl. KH. Yunus Klinterejo-Sooko-
Mojokerto ini didirikan oleh K.H. Abdul Ghafir Yunus pada tahun 1993. Ibu Nyai Hj.
Mahmudah (biasa dipanggil Ibuk) selaku istri dari KH. Ghafir menceritakan bahwa
Abah Ghafir (sebutan untuk beliau) awalnya hanya mengajar mengaji anak-anak di
sekitar rumahnya dengan dibantu oleh Ibuk. Setiap anak yang sudah khatam Al-Qur’an
akan ditawari untuk menghafal Al-Qur’an baik oleh Abah maupun Ibuk. Saat itu, sekitar
8 anak yang ingin menghafal Al-Qur’an kepada Abah dan pada akhirnya beliau
memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren yang kesemuanya menyetorkan
hafalan setiap hari kepada Abah.
Pda tahun 2006 keluarga ndalem sekaligus para santri berduka karena Abah
Ghafir wafat. Kini, pondok pesantren Tahfidzul Qur’an (PPTQ) diasuh oleh putra dari
Abah Ghafir yaitu, Gus Afif. Gus Afif merupakan putra tunggal dari Abah Ghafir dan
Ibu Nyai Mahmudah, dan saat ini beliaulah yang mengasuh PPTQ membantu Ibuk.
Santri yang menghafal Al-Qur’an menyetorkan hafalannya kepada Gus Afif, Bu Nyai
Ro’ihatul Jannah (adik kandung dari Ibu Nyai Mahmudah), Ning Uliz Zakiyah (putri
dari ibu Nyai Ro’ihatul Jannah) dan dibantu oleh badal (pengganti) yaitu santri yang
sudah khatam dan sedang mengabdi di pondok. Tentu PPTQ sekarang menjadi salah
satu pondok pesantren yang berkembang di daerah Mojokerto. Santrinya yang setiap
tahun bertambah membuat pengasuh juga rutin membangun gedung dan merenovasi
gedung sebelumnya untuk memberikan tempat yang nyaman bagi para santrinya.1
2. Sejarah Khataman Al-Qur’an dalam Shalat Tarawih di PPTQ
Di PPTQ, khataman Al-Qur’an sudah menjadi bagian yang wajib dilaksanakan
tiap bulannya dan bahkan sudah mendarah daging sejak berdirinya pondok tersebut.

1
Wawancara dengan pengasuh dan juga istri dari Abah Ghafir Yunus, yaitu Ibu Nyai Hj. Mahmudah pada
18 November 2020 di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an.

260
PPTQ yang notabene adalah sebuah sebuah pondok yang berbasis tahfidz Al-Qur’an itu
sangat berusaha untuk menjaga hafalan santri-santrinya. Tidak hanya bagi santri yang
masih mondok saja, melainkan pengasuh juga mengadakan rutinan bagi santri yang
sudah menjadi alumni setiap satu bulan sekali yang bertempat di PPTQ. Hal ini
dilakukan untuk menjaga silaturrahim antara santri dan pengasuhnya sekaligus untuk
mengetahui bagaimana kualitas hafalan mereka setelah boyong dari pondok.
Selain rutinan khataman Al-Quran setiap bulan, Pondok Pesantren Tahfidzul
Qur’an juga mempunyai kegiatan khataman yang dilaksanakan pada bulan Ramadhan
khususnya dilaksanakan pada saat shalat tarawih. Dalam hasil wawancara dengan KH.
Masduqi Yunus2, beliau menceritakan bagaimana awal mula tradisi khataman Al-
Qur’an dalam shalat tarawih ini dilaksanakan oleh Abah Ghafir. Abah Duqi (sebutan
untuk KH. Masduqi) dan Abah Ghafir menuntut ilmu di pesantren Tebuireng Jombang
dan menghafal Al-Qur’an pada guru yang sama yaitu KH. Adlan Aly3. Pada saat itu di
Pesantren Tebuireng sudah rutin melaksanakan khataman Al-Qur’an dalam shalat
tarawih. Kemudian atas dasar perintah dari Kiai Adlan, Abah Ghafir mulai menjadi
imam shalat tarawih Qur’an di sana karena dianggap sudah layak untuk menjadi imam
tarawih Qur’an baik dalam hal bacaan maupun kelancaran hafalannya.
Pada tahun sekitar 1975-an, ketika Abah Ghafir dan Abah Duqi pulang dari
pondok pesantren, kebetulan di Pondok Pesantren Al-Ittihad yang bertempat di Desa
Tawangsari, Kecamatan Trowulan-Mojokerto, KH. Nawawi4 mengadakan tarawih
Qur’an. Abah Ghafir dan Abah Duqi mengikuti kegiatan tersebut hingga tahun 1985.
Beliau mengadakan tarawih Qur’an sendiri dengan jamaah 2 orang saja waktu itu di
rumah beliau. Tujuan melaksanakan tarawih Qur’an pada saat itu adalah untuk
mengikuti para Salafus Shaleh sekaligus juga untuk mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Awalnya, pada zaman Nabi saw. sebutan bagi shalat di malam hari pada bulan
ramadhan itu bukan shalat tarawih, melainkan shalat malam atau qiyamul lail atau ada
juga yang menyebutnya sebagai qiyam ramadhan. Hal ini sebagai upaya Nabi saw. dan
para sahabat untuk menghidupkan malamnya bulan ramadhan dengan shalat malam
tersebut. Bahkan dua kali ramadhan Nabi Muhammad saw. melaksanakan shalat

2
KH. Masduqi Yunus merupakan adik kandung dari Abah Ghafir dan pengasuh Pondok Pesantren As-
Salafus Saleh, yaitu pondok pesantren khusus putra yang bertempat di sebelah barat PPTQ.
3
Kiai Adlan Aly merupakan murid dari mbah Yai Hasyim Asy’ari. Semasa mondok beliau ditugaskan
mbah Yai Hasyim untuk mengajar dan menyimak hafalan para santrinya. Beliau juga pendiri Pondok
Pesantren Putri Walisongo, Cukir-Jombang. Hubungan keluarga beliau dengan mbah Yai Hasyim semakin
erat setelah beliau menikah dengan keponakan mbah Yai Hasyim yaitu Nyai Hj. Halimah.
4
KH. Nawawi merupakan pendiri Pondok Pesantren Al-Ittihad yang beralamatkan di Dusun Sumbersuko,
Desa Tawangsari, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Beliau juga sebagai teman akrab ayah
dari Abah Ghafir sekaligus yang menyuruh Abah Ghafir mondok di Tebuireng, Jombang bersama dengan
putranya yang lebih dulu menuntut ilmu disana yaitu KH. Albazi Nawawi.

261
qiyamul lail dengan malaikat jibril untuk menata urutan surah dalam Al-Qur’an.
Kemudian Abah Duqi menyebutkan bahwa disebut tarawih ketika masa khalifah Umar
ra. seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah.
Kegiatan tersebut lalu berlanjut hingga PPTQ berdiri dan Abah Ghafir mulai
mengadakan tarawih Qur’an untuk putri pada tahun 2000.
Khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih di PPTQ diadakan di tiga tempat yaitu
di ndalem-nya Ibu Nyai Hj. Ro’ihatul Jannah dan di aula pondok bagi yang putri dan
bagi yang putra diadakan di ndalem-nya Abah Ghafir. Imam dari jamaah putra ialah:
K.H. Masduqi Yunus, Agus Muhammad Afif Zubaidi, Ustadz Masyhuda5, dan Ustadz
Zaini6. Makmum dari jamaah putra merupakan warga sekitar yang berkenan untuk
mengikuti. Hanya ada 9 orang makmum saja yang terdiri dari 1 imam, 1 santri putra,
warga sekitar dan dzurriyah pondok dengan salah satu sebagai imam.
Secara umum, minat warga sekitar terhadap hal seperti itu kurang tertarik, karena
secara umum juga masih suka dengan tarawih yang cepat dan tidak semua jamaah
secara continue mengikuti kegiatan tersebut. Ada yang ingin mencoba saja dengan
mengikuti tarawih Qur’an sekali, kemudian tahun berikutnya tidak mengikuti lagi, ada
juga yang selama bertahun-tahun mengikuti rutinan tersebut. Untuk kriteria menjadi
imam secara umum adalah yang ditunjuk oleh kyai, bacaannya bagus, lancar, fasih, dan
sudah khatam.7 Seperti dalam hadis riwayat Imam Bukhori,
“Yang lebih berhak memimpin kamu adalah yang paling bagus bacaan Al-
Qur’annya di antara kamu.”(Nurfadila, 2020)
Sedangkan imam dari jamaah putri yang bertempat di ndalem-nya Ibu Nyai Ro’
yaitu beliau sendiri, Ning Uliz Zakiyah, dan Ning Ulil Mawaddah. Makmum dari
jamaah ini ialah dari kalangan santri yang sudah tidak sekolah, pengurus, dan santri
tingkat Madrasah Aliyah kelas 10 dan 11. Dalam hal ini tidak hanya santri tahfidz saja
yang mengikuti, namun ada beberapa santri non-tahfidz yang ikut serta dalam
pelaksanaan tarawih Qur’an. Tarawih Qur’an bagi jamaah putri di ndalem-nya Ibu Nyai
Ro’ dilaksanakan selama 15 hari dengan ketentuan setiap salaman membaca 4 lembar,
yang artinya 1 rakaat membaca 2 lembar atau 2 juz dalam satu malam. Berbeda dengan
jamaah putra lebih fleksibel, kadang membaca 2 juz semalam, kadang juga membaca
1,5 juz dengan 20 hari khataman.
Sedangkan imam tarawih Qur’an yang berada di aula adalah santri kelas 12 yang
sudah selesai hafalannya dengan kualitas hafalan yang baik akan ditunjuk oleh
pengasuh untuk belajar menjadi imam dalam shalat tarawih Qur’an. Makmum dari

5
Ustadz Masyhuda adalah salah satu ustadz yang mengajar kitab di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an.
6
Salah satu ustadz yang mengajar kitab di PPTQ dan salah satu yang menerima setoran hafalan dari
santri.
7
Wawancara dengan Gus Afif pada tanggal 18 November 2020 di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an

262
jamaah yang di aula adalah seluruh santri bi al-gaib tingkat Madrasah Tsanawiyah dan
santri kelas 12. Khusus untuk jamaah tarawih Qur’an yang di aula, mereka hanya
membaca sampai 15 juz saja selama 15 hari, tidak sampai mengkhatamkan Al-Qur’an
karena masih dalam tahap proses belajar. Mereka membaca 1 juz dalam semalam yaitu
2 halaman dalam 1 kali salaman. Hal ini juga yang menjadi karakteristik dalam
pelaksanaan khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih di PPTQ. Selain itu, Abah
Ghafir pernah berkata bahwa seseorang yang menghafal Al-Qur’an bisa dikatakan
lancar apabila pernah menjadi imam dalam shalat tarawih. Seperti pengalaman Abah
sendiri sewaktu mondok, beliau ditunjuk Kiai Adlan Aly untuk menjadi imam shalat
tarawih Qur’an dengan alasan Abah Ghafir dinilai sudah mampu untuk menjadi imam
saat itu dan untuk belajar menjadi imam khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih.8
Khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih di PPTQ dilaksanakan berdasarkan
turun temurun dari guru. Abah Ghafir mengadopsi dari apa yang sudah dilihat dan
dilaksanakan dulu di pondok, kemudian dipraktekkan di lingkungan beliau dan
dilanjutkan oleh dzurriyah beliau hingga sekarang. Secara umum, menurut Gus Afif, hal
itu merupakan fadha’ilul a’mal yang dilakukan dalam rangka memperbanyak hal-hal
yang bersifat ubudiyah sekaligus menambah amalan di bulan Ramadhan salah satunya
membaca Al-Qur’an yang sangat luar biasa pahalanya apalagi dilaksanakan di sebuah
ibadah yang paling diutamakan di bulan Ramadhan itu sendiri yaitu shalat tarawih.
Dari hasil penelusuran peneliti, dalam kitab Risalatul Mu’awwanah karya Sayyid
Asy-Syarif ‘Abdullah ibn ‘Alawiy ibn Muhammad Al-Haddad Al-Husainy dijelaskan
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Lebih utama ibadahnya umatku adalah membaca Al-
Qur’an.” Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata;
“Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an dan dia dalam keadaan mendirikan
shalat, maka baginya setiap huruf 100 kebaikan. Dan jika dia shalat sambil duduk
maka baginya 50 kebaikan dari setiap hurufnya. Dan barangsiapa yang berada di
luar shalat dan dia dalam keadaan suci, maka baginya 25 kebaikan setiap
hurufnya. Dan jika dalam keadaan tidak suci, maka baginya 10 kebaikan dari
setiap hurufnya.” (Al-Husainy, hal. 9)
Diadakannya khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih ini merupakan salah satu
upaya untuk menjaga hafalannya. Selain itu, menurut pengasuh kegiatan tersebut juga
untuk mengharapkan keberkahan dari Al-Qur’an karena ketika membaca Al-Qur’an
setiap hurufnya mendapatkan pahala 10 kebaikan seperti yang dijelaskan dalam hadits
riwayat Imam Tirmidzi,
‫وب بْ ِن‬
‫ حع ْن أحيُّ ح‬،‫اك بْ ُن عُثْ حما حن‬ ‫ ححداثحنحا ال ا‬،‫ ححداثحنحا أحبُو بح ْك ٍر ا َْلحنح ِف ُّي‬،‫شا ٍر‬
ُ ‫ض اح‬ ‫ححداثحنحا ُُمح ام ُد بْ ُن بح ا‬
ٍ ‫اَّلل بْن مسع‬ ِ ِ
ُ ‫ حَِس ْع‬:‫ قحال‬،‫ب الْ ُق حرظ اي‬ ُ ‫ حَِس ْع‬:‫ قحال‬،‫وسى‬
ٍ ‫ت ُُمح ام حد بْ حن حك ْع‬
‫ال‬
‫ قح ح‬:‫ول‬
ُ ‫ يح ُق‬،‫ود‬ ُ ْ ‫ت عح ْب حد ا ح ح‬ ‫ُم ح‬
8
Wawancara dengan Ibu Nyai Hj. Mahmudah pada tanggal 18 November 2020 di Pondok Pesantren
Tahfidzul Qur’an.

263
‫سنحةُ بِ حع ْش ِر‬ ‫ح‬‫ حوا َْل‬،ٌ‫سنحة‬ ِ‫اب ا‬
‫اَّلل فحلحهُ بِِه حح‬ ِ ‫ " حم ْن قح حرأح حح ْرفًا ِم ْن كِتح‬:‫اَّلل صلى هللا عليه وسلم‬ ِ‫ول ا‬ُ ‫حر ُس‬
ِ ‫ح‬ ‫ح‬ ِ ِ
‫يث م ْن‬ ِ
ُ ‫ف " حويُ ْرحوى حه حذا ا َْلحد‬ ٌ ‫يم حح ْر‬
ٌ ‫ف حوم‬ٌ ‫ف حوحَلمٌ حح ْر‬ ٌ ‫ف حح ْر‬ ِ
ٌ ‫ حولحك ْن أحل‬،‫ف‬ ٌ ‫ول امل حح ْر‬ ُ ُ‫ حَل أحق‬،‫أ ْحمثح ِاِلحا‬
ُ‫ض ُه ْم حوحوقح حفه‬ُ ‫ حرفح حعهُ بح ْع‬،‫ود‬ ٍ ‫ حع ِن ابْ ِن مسع‬،‫ص‬ ِ ‫حح حو‬ ٍ ‫ حع ِن ابْ ِن مسع‬،‫غح ِْْي حه حذا الْو ْج ِه‬
ُْ ‫ح‬ ْ ‫ حوحرحواهُ أحبُو ْاِل‬،‫ود‬ ُْ ‫ح‬
،‫يب ِم ْن حه حذا ال حْو ْج ِه‬ ِ
‫ر‬ ‫غ‬ ‫يح‬ ‫ح‬ِ ‫يث حسن ص‬ ِ ‫ حه حذا ح‬:‫ال أحبو ِعيسى‬
‫د‬ ‫ق‬ ، ٍ ‫ حع حِن ابْ ِن مسع‬،‫ض ُهم‬
‫ود‬
ِ ٌ ‫ح‬ ٌ ِ ‫ح حٌ ح‬
ِ
ٌ ‫ح‬ ‫ح‬ ُ ‫ح‬ ‫ح‬ ُْ ‫ح‬
ٍ ْ ُ ‫بح ْع‬
‫اب صلى هللا‬ ِ ِ‫ب الْ ُق حرظ اي ُول حد ِِف ححيحاة الن‬ ٍ ‫ بحلحغحِين أح ان ُُمح ام حد بْ حن حك ْع‬:‫ول‬ ِ
ُ ‫ يح ُق‬،‫حَِس ْعت قُتح ْي بحةح بْ حن حسعيد‬
‫َْن أ ححَب حَحْ حزةح‬
‫ب يُك ح‬ ٍ ‫عليه وسلم حو ُُمح ام ُد بْ ُن حك ْع‬
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar Al Hanafi telah menceritakan kepada kami Adl dlahhak
bin Utsman dari Ayyub bin Musa ia berkata; Aku mendengar Muhammad bin
Ka'ab Al Quradli berkata; Aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa membaca satu
huruf dari Kitabullah (Al Qur`an), maka baginya satu pahala kebaikan dan satu
pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali, aku tidak
mengatakan alif lam mim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, lam satu huruf
dan mim satu huruf." Selain jalur ini, hadis ini juga diriwayatkan dari beberapa
jalur dari sahabat Ibnu Mas'ud. Abul Ahwas telah meriwayatkan hadis ini dari
Ibnu Mas'ud, sebagian perawi merafa'kannya (menyambungkannya sampai
kepada Nabi) dan sebaian yang lainnya mewaqafkannya dari sahabat Ibnu Mas'ud.
Abu Isa berkata; Hadis ini hasan shahih gharib dari jalur ini, aku telah mendengar
Qutaibah berkata; telah sampai berita kepadaku bahwa Muhammad bin Ka'ab Al
Quradli dilahirkan pada masa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, dan
Muhammad bin Ka'ab dijuluki dengan Abu Hamzah.”(Islamweb.net, n.d.)
Di PPTQ juga terdapat anggapan bahwa dengan mengikuti tarawih Qur’an maka
dapat melancarkan hafalan dan memperbaiki kualitas hafalan yang dimiliki. Hal ini
sejalan dengan pendapat Gus Afif terkait anggapan tersebut. Beliau membenarkan atas
anggapan yang beredar di kalangan santri PPTQ karena menurut beliau ada 5 manfaat
yang didapatkan ketika mengikuti tarawih Qur’an, yaitu:
1. Beliau berprinsip bahwasanya sebuah kesalahan menghafal Al-Qur’an ketika
setoran dan ketika dibaca di dalam shalat akan terasa berbeda. Misalnya, 10
kesalahan dalam setoran dengan 10 kesalahan dalam shalat itu lebih terasa
ketika terdapat kesalahan dalam shalat, akan terasa sangat tidak nyaman baik
imam maupun makmum.
2. Potensi untuk melihat Al-Qur’an tidak ada.
3. Mempersiapkan hafalan dengan semaksimal mungkin ketika akan menjadi
imam tarawih Qur’an karena dalam pandangan kita kesalahan membaca Al-
Qur’an dalam shalat itu termasuk kesalahan yang sangat fatal
4. Menambah kualitas hafalan agar lebih baik. Dalam segi murottal juga akan
sangat terbantu karena dalam tarawih sendiri pun meskipun secara emosiaonal
dituntut untuk agak cepat tapi menjaga murottal merupakan suatu kewajiban.
5. Pembiasaan baru ketika sudah melaksanakan tarawih Qur’an.
Abah Duqi menambahkan bahwa ketika melaksanakan tarawih Qur’an ritualnya
memang untuk mengikuti jejak Nabi saw. dan para Salafus Shaleh, akan tetapi ada

264
tujuan lain yang diselipkan yaitu untuk menjaga hafalan Al-Qur’an seperti dalam surah
al-Hijr ayat 9. Beliau menyampaikan bahwa ayat tersebut berhubungan dengan kegiatan
tarawih Qur’an yang dilaksanakan di PPTQ karena menurut Abah Duqi salah satu cara
Allah untuk menjaga Al-Qur’an adalah dengan adanya orang-orang yang menghafal Al-
Qur’an. Sedangkan cara hafidz/hafidzah dalam menjaga Al-Qur’an adalah salah satunya
dilaksanakan ketika bulan ramadhan yaitu tarawih Qur’an tersebut.
Dalam tafsir Al-Misbah karya Pak Quraish Shihab dijelaskan bahwa surah al-Hijr
ayat 9 merupakan bantahan atas orang-orang yang meragukan Al-Qur’an. Bentuk jamak
yang digunakan dalam ayat ini (‫ن نح ازلْنحا‬ ُ ‫ ) حَْن‬merujuk kepada Allah swt. dalam hal
penurunan Al-Qur’an dan juga keterlibatan malaikat Jibril as. sedangkan dalam
pemeliharaannya ayat ini merujuk pada kaum muslimin yang juga ikut menjaga keaslian
Al-Qur’an. Upaya memelihara Al-Qur’an dilakukan dengan banyak cara baik dengan
menghafalnya, menulis maupun membukukan Al-Qur’an. Selain itu, di masa modern
seperti ini banyak orang-orang yang merekam bacaan Al-Qur’annya kemudian
merekamnya dengan berbagai alat seperti kaset, CD, piringan hitam, dan lain-lain. Di
samping itu juga untuk menjaga makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Karena
apabila ada yang salah dalam membaca atau menafsirkan maknanya maka akan ada
yang meluruskan kesalahan tersebut. (Shihab, 2017, hal. 421)
Dari hasil observasi di atas peneliti dapat mengetahui bahwa proses khataman Al-
Qur’an dalam shalat tarawih yang dilakukan dari zaman Rasulullah saw. hingga
sekarang telah mengalami transformasi. Di zaman Rasulullah saw. tarawih Qur’an
sudah dilaksanakan, namun sebutannya adalah qiyam ramadhan atau shalat malam di
bulan ramadhan untuk menghidupkan malam ramadhan. Kemudian pada zaman sahabat
Rasul yaitu Umar bin Khattab ra. khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih dilakukan
hingga beberapa kali khataman selama satu bulan Ramadhan bahkan sahabat Utsman
bin ‘Affan ra. mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu rakaat shalat witir. Sedangkan di
masa sekarang, tarawih Qur’an setidaknya dilakukan satu kali khataman dalam satu
bulan. Seperti pendapat dari Imam al-Kasani, ulama Mazhab Hanafi dan Imam Ahmad
bin Hanbal, sebuah keutamaan mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari satu kali dalam
shalat tarawih akan tetapi di zaman sekarang ini yang lebih utama ialah imam membaca
sesuai dengan kondisi masyarakatnya seperti yang dilaksanakan di PPTQ. Imam
membaca bacaannya yang tidak sampai membuat masyarakat/santri meninggalkan
jamaah. Karena memperbanyak jamaah lebih utama dari memperbanyak bacaan.

D. PEMAKNAAN JAMAAH TERHADAP KHATAMAN AL-QUR’AN DALAM SHALAT


TARAWIH DI PPTQ

265
Untuk menjawab bagaimana makna khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih di
Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an menurut jamaah, maka peneliti menggunakan teori
psikologi agama W.H. Thomas. Secara garis besar, ada dua teori dalam sumber
kejiwaan agama, yaitu: teori monistik9 dan teori fakulti10. Thomas termasuk penganut
perkembangan kejiwaan agama yang di dasarkan pada beberapa unsur yaitu teori
fakulti. Teori fakulti mempunyai dasar tingkah laku manusia dalam perkembangan
beragama, yaitu: cipta (reason), rasa (emotion), dan karsa (will). Cipta adalah fungsi
intelektual dalam jiwa manusia untuk bisa menilai, membandingkan, dan memutuskan
sesuau. Rasa ialah suatu tenaga dalam jiwa manusia yang dapat membantu untuk
membentuk motivasi dalam tingkah laku seseorang. Sedangkan karsa merupakan funsi
eksekutif dalam jiwa manusia yang mendorong adanya doktrin dan ajaran agama
berdasarkan fungsi kejiwaan.(Az, 2018, p. 54)
Menurut Thomas, sumber kejiwaan dalam beragama dibagi menjadi 4 keinginan
paling dasar dalam jiwa manusia (The Four Wishes), yaitu: keinginan untuk selamat,
keinginan untuk mendapat penghargaan, keinginan untuk ditanggapi, dan keinginan
untuk mendapat pengalaman baru. (Az, 2018, p. 55)
1. Keinginan Untuk Selamat
Dalam hasil wawancara dengan Gus Afif, beliau mengatakan bahwa kegiatan
tarawih Qur’an merupakan salah satu media mura{ja’ah karena ketika membaca Al-
Qur’an di dalam shalat dengan membaca Al-Qur’an di luar shalat akan berbeda rasanya
apalagi jika terjadi kesalahan. Hal ini menjadi pendorong untuk lebih giat mengulang
hafalan agar tidak sampai lupa ketika dibaca di dalam shalat.
Sedangkan salah satu alumni yang pernah menjadi imam shalat tarawih Al-
Qur’an, yaitu mbak Zahro mengatakan tentu saja menjadi imam itu tidak mudah.
Beberapa orang telah menganggap kalau bacaan imam tidak boleh salah dan harus
sempurna, sedikit menjadi beban karena takut kalau sewaktu menjadi imam lupa
beberapa ayat, karena memang akan terasa sekali kesalahan membaca Al-Qur’an ketika
dilaksanakan dalam shalat. Hal ini menjadi semangat tersendiri untuk berusaha
muroja’ah semaksimal mungkin untuk persiapan menjadi imam tarawih Qur’an.
Berbeda ketika menjadi makmum, meskipun hanya mendengarkan saja, akan tetapi
santri bisa menyimak bacaan imam dengan maksud untuk menjaga hafalan sendiri yang
tentu akan berdampak pada kualitas hafalannya.11
9
Teori Monistik merupakan teori yang menganggap bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama
adalah satu sumber kejiwaan. Sumber kejiwaan tersebut bisa berupa akal pikiran manusia, ilmu
pengetahuan, maupun berasal dari instink. Lihat (Az, 2018, p. 54)
10
Teori Fakulti merupakan teori yang menganggap bahwa tingkah laku beragama manusia terdiri atas
beberapa unsur yaitu cipta, rasa, dan karsa. Lihat (Az, 2018, p. 54)
11
Wawancara dengan alumni PPTQ, Zahrotul Fitriyah pada 1 Desember 2020 via Whatsapp

266
Menurut santri tahfidz yang mengikuti tradisi tersebut juga sangat membantu
untuk mengulang hafalan mereka. Mereka percaya bahwa Al-Qur’an dapat memberikan
syafaat jika kita menjaga hafalannya, namun juga dapat memberikan laknat jika kita
lalai dalam menjaga hafalan.12 Maka untuk menjaga hafalan mereka salah satunya
dengan mengikuti kegiatan tersebut dengan harapan akan mendapat keselamatan di
akhirat kelak seiring dengan melakukan berbagai upaya untuk menjaga hafalan.
Hampir seluruh jamaah santri PPTQ yang mengikuti kegiatan tarawih Qur’an
yakin bahwa dengan mengikuti tarawih Qur’an maka hafalan menjadi lebih lancar,
apalagi bagi santri yang menjadi imam tarawih. Mbak Midah, salah satu santri yang
menjadi imam tarawih, berpendapat bahwa tarawih Qur’an merupakan salah satu upaya
mura{ja’ah yang utama untuk memperkuat hafalan. Ia merasakan bahwa ketika setor
hafalan ke guru itu berbeda rasanya dengan setor hafalan kepada Allah swt. yaitu dalam
keadaan shalat. Maka dari itu, ia berharap dengan mengikuti tarawih Qur’an, hafalannya
akan bertambah lancar dan mendapatkan lebih banyak pahala karena dilaksanakan
dalam shalat.13
Al-Qur’an dapat berperan sebagai pemberi syafaat kelak di akhirat bagi orang
yang membacanya, seperti dalam hadis riwayat Muslim,
‫ ححداثحنحا ُم حعا ِويحةُ يح ْع ِين ابْ حن‬،‫يع بْ ُن حَّنفِ ٍع‬ ُ ِ‫ ححداثحنحا أحبُو تح ْوبحةح حو ُه حو ال ارب‬،ُّ‫س ُن بْ ُن حعلِ ٍي ا َْلُل حْو ِاِن‬ ‫حح ادثحِين ا َْلح ح‬
ِ‫اَّلل‬
‫ول ا‬ ‫ت حر ُس ح‬ ِ
ُ ‫ حَس ْع‬:‫ال‬ ِ ِ
‫ قح ح‬،‫ حح ادثحِين أحبُو أ حُم حامةح الْبحاهل ُّي‬:‫ول‬ ِ ٍ
ُ ‫ يح ُق‬،‫ أحناهُ حَس حع أ ححَب حس اَلٍم‬،‫ حع ْن حزيْد‬،‫حس اَلٍم‬
ِ
‫ اق حْرءُوا‬،‫حص ححابِه‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫يعا ِل‬ ً ‫ فحِإناهُ حَيِِْت يح ْوحم الْقيح حامة حشف‬،‫ " اق حْرءُوا الْ ُق ْرآ حن‬:‫ول‬ ُ ‫صلى هللا عليه وسلم يح ُق‬
‫ا‬ ِ ‫ا‬ ِ ِ ِ ِ ‫ا‬ ِ ِ ِ
‫ أ ْحو حكأحِنُ حما‬،‫ حكأحِنُ حما غح حم حامتحان‬،‫ورةح آل ع ْم حرا حن فحإِنُ حما حَتْتيحان يح ْوحم الْقيح حامة‬
ِ ِ ‫ال از ْه حر حاويْ ِن الْبح حق حرةح حو ُسِ ح‬
ِِ ِ ِ ِ ‫غحياي تح‬
ِ
‫ورةح الْبح حق حرة فحإ ان‬ ‫ اق حْرءُوا ُس ح‬،‫حص ححاِب حما‬ ْ ‫ص حواف ُُتحا اجان حع ْن أ‬ ‫ا‬ ‫ أ ْحو حكأح اِنُ حما ف ْرقحان م ْن طح ٍْْي ح‬،‫ان‬ ‫حح‬
.ُ‫س حح حرة‬ ‫ال‬
‫ح ح ا‬ ‫ة‬ ‫ل‬
‫ح‬ ‫ط‬
‫ح‬ ‫ْب‬
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ن‬‫ا‬ ‫ح‬
‫أ‬ ‫ين‬ِ ‫غ‬ ‫ل‬
‫ح‬ ‫ب‬ : ‫ة‬
‫ُ ح حُ ح ح‬ ‫ي‬ِ
‫و‬ ‫ا‬ ‫ع‬‫م‬ ‫ال‬
‫ح‬ ‫ق‬
‫ح‬ ،" ‫ح‬ ‫ح‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫يع‬ ‫ط‬ِ
ُ ‫أح ْخ ح ح ح ح ح ٌ ح ح ْ ح ح ح ْ ح ٌ ح ح ح ْ ح ُ ح ح‬
‫ة‬ ‫ل‬ ‫ط‬ ‫ْب‬
‫ل‬ ‫ا‬ ‫ت‬ ‫س‬ ‫ت‬ ‫َل‬ ‫و‬ ، ‫ة‬‫ر‬‫س‬ ‫ح‬ ‫ا‬ ‫ه‬‫ك‬‫ر‬ ‫ت‬‫و‬ ، ‫ة‬ ‫ك‬ ‫ر‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ذ‬
‫ ِِبح حذا‬،ُ‫ حح ادثحنحا ُم حعا ِويحة‬،‫سا حن‬ ِ ِ ِ‫وحداثحنحا عحب ُد ا‬
‫َبحَّن حَْي حَي يح ْع ِين ابْ حن حح ا‬ ‫ أح ْخ حح‬،‫اَّلل بْ ُن عح ْبد ال ار َْحح ِن الداا ِرِم ُّي‬ ْ
ِ ِ
‫ح‬
‫ بحلحغحِين‬:‫ حوحملْ يح ْذ ُك ْر قح ْو حل ُم حعا ِويحةح‬،‫ حوحكأح اِنُ حما ِِف كلحْي ِه حما‬:‫ال‬‫ْي أحناهُ قح ح‬ ‫ح‬‫غ‬
‫ُ ْح‬ ، ‫ه‬ ‫ل‬
‫ح‬ ‫ث‬
ْ ‫م‬ ‫اد‬ ‫ا ِْل ْ ح‬
‫ن‬‫س‬
“Telah menceritakan kepadaku Al Hasan bin Ali Al Hulwani telah menceritakan
kepada kami Abu Taubah ia adalah Ar Rabi’ bin Nafi’, telah menceritakan kepada
kami Mu’awiyah yakni Ibnu Sallam, dari Zaid bahwa ia mendengar Abu Sallam
berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Umamah Al Bahili ia berkata; Saya
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bacalah Al Qur`an,
karena ia akan datang memberi syafa’at kepada para pembacanya pada hari
kiamat nanti. Bacalah Zahrawain, yakni surat Al Baqarah dan Ali Imran, karena
keduanya akan datang pada hari kiamat nanti, seperti dua tumpuk awan menaungi
pembacanya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam
formasi hendak membela pembacanya. Bacalah Al Baqarah, karena dengan
membacanya akan memperoleh barokah, dan dengan tidak membacanya akan
menyebabkan penyesalan, dan pembacanya tidak dapat dikuasai (dikalahkan) oleh
tukang-tukang sihir.” Mu’awiyah berkata; “Telah sampai (khabar) kepadaku
bahwa, Al Bathalah adalah tukang-tukang sihir.” Dan telah menceritakan kepada

12
Wawancara dengan santri tahfidz, Rizka Maulidiyah dan Dzakiyaturrahmah Nuruzzahrah pada 18
November 2020
13
Wawancara dengan Khamidatun Hidayah pada 8 Februari 2020 via whatsapp.

267
kami Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi telah mengabarkan kepada kami
Yahya yakni Ibnu Hassan, Telah menceritakan kepada kami Mu’awiyah dengan
isnad ini, hanya saja ia mentatakan; “Wa Ka`annahumaa fii Kilaihimaa.” dan ia
tidak menyebutkan ungkapan Mu’awiyah, “Telah sampai (khabar)
padaku.”(Islamweb.net, n.d.)
Bagi orang yang menghafalkan Al-Qur’an, mura{ja’ah (mengulang hafalan)
merupakan kegiatan wajib yang harus dilakukan. Ketika seseorang memutuskan untuk
menghafal Al-Qur’an, maka seseorang itu harus mampu menjaga hafalannya dengan
baik, menjadikan mura{ja’ah sebagi wirid yang terus dilantunkan. Karena menghafal
merupakan kegiatan yang mudah, akan tetapi menjaga hafalan merupakan suatu hal
yang sulit dilakukan. Imam Bukhari meriwayatkan dalam salah satu hadisnya,
‫ول‬
‫ أحن حر ُس ح‬،‫اَّللُ عحنْ ُه حما‬ ِ ‫ عحن ابْ ِن عُمر ر‬،‫ عحن حَّنفِ ٍع‬،‫ك‬
‫ض حي ا‬ ْ ْ ٌ ِ‫َبحَّن حمال‬‫ أح ْخ ح‬،‫ف‬ ‫وس ح‬ ُ ُ
ِ‫حداثحنحا عحب ُد ا‬
‫اَّلل بْ ُن ي‬ ْ
‫ إِ ْن‬،‫اْلبِ ِل ال ُْم حع اقلح ِة‬
ِْ ‫ب‬ ِ ‫اح‬
‫ح‬ ‫ح‬ ‫ح‬
ِ ‫آن حكمثح ِل ص‬
ِ ‫ر‬ ‫ق‬
ُ ْ
‫ل‬ ‫ا‬ ِ
‫ب‬ ‫اح‬
‫ح‬
ِ ‫ " إِ اَّنحا مثحل ص‬:‫ال‬ ‫ح‬ ‫ق‬
‫ح‬ ‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬ ِ‫حا‬
‫اَّلل‬
‫ح ح‬ ْ ‫ح ُ ح‬
"‫ت‬ْ ‫ حوإِ ْن أحطْلح حق حها ذح حهبح‬،‫س حك حها‬
‫اه حد حعلحْي حها أ ْحم ح‬
‫حع ح‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada
kami Malik, dari Nafi’, dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya
Rasulullah saw. berkata: “Sesungguhnya perumpamaan penghafal Al-Qur’an
seperti pemilik unta yang diikat. Jika ia dijaga dan dipelihara maka ia akan diam
dan jinak, dan jika ia dibiarkan terlantar maka dia akan pergi lepas dari
ikatannya.””(Islamweb.net, n.d.)
Dengan begitu, orang yang menghafal Al-Qur’an hendaknya menjaga hafalannya
dengan baik karena sebentar saja lalai tidak mura{ja’ah maka hafalannya akan mudah
sekali hilang. Ada berbagai upaya yang dilakukan untuk menjaga hafalan di PPTQ,
antara lain mengadakan khataman Al-Qur’an tiap bulan, adanya kegiatan mura{ja’ah di
jam-jam tertentu, hingga mengadakan khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih.
Kegiatan tersebut tak lain adalah sebagai salah satu media mura{ja’ah bagi santri ketika
dilaksanakan dalam shalat.
2. Keinginan Untuk Mendapat Penghargaan dan Keinginan Untuk Ditanggapi
Dalam komponen teori Thomas yang kedua ini, peneliti tidak menemukan
pemaknaan jamaah yang ingin mendapatkan penghargaan. Namun, ada yang menarik
dari wawancara dengan salah satu alumni yang menjelaskan makna Al-Qur’an. Ia
berpendapat bahwa makna Al-Qur’an seringnya berubah-ubah seiring bertambahnya
pengalaman. Waktu kecil Al-Qur’an hanya sebagai formalitas bacaan keagamaan yang
kelancaran dan keistiqomahan membacanya selalu dipantau oleh guru dan orang tua.
Waktu mulai beranjak remaja, lebih luas lagi memaknai Al-Qur’an sebagai sumber-
sumber hukum dan pengetahuan sesuai dengan materi belajar di sekolah beserta contoh-
contoh penerapannya. Kemudian makna itu kembali berubah ketika sudah berada dalam
tahap proses mengahafal dan menjaganya, bukan hanya sekedar sebagai ritual
keagamaan dan hanya berfokus pada makna pedoman atas segala hukum, lebih

268
mendalam lagi Al-Qur’an sudah menjadi bagian dari hidup, sebagai teman juga bahkan
sebagai obat dari segala duka.14 Secara tidak langsung, dari kecil hingga remaja
keinginan untuk ditanggapi menjadi semangat untuk belajar Al-Qur’an.
Kembali ke topik awal mengenai tarawih Qur’an, tradisi khataman Al-Qur’an di
PPTQ merupakan salah satu kegiatan yang wajib diikuti oleh santri tahfidz dan mubah
bagi santri non-tahfidz. Apabila ada yang melanggar dengan tidak mengikuti tarawih
Qur’an bagi santri tahfidz maka akan ada ta’zir atau hukuman yang diberikan pengurus.
Maka dari itu, dari hasil wawancara peneliti dengan santri tahfidz yaitu mbak Rizka dan
mbak Dzakiyah menjelaskan bahwa mau tidak mau harus mengikuti kegiatan tersebut.
Namun, berawal dari dipaksa itulah akan muncul sebuah kebiasaan yang jika tidak
dilakukan akan terasa hambar dan merasa ada yang kurang, apalagi kegiatan tersebut
termasuk ke dalam kegiatan ubudiyah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan upaya
menjaga hafalan. Dari situ juga muncul perasaan keinginan mendapatkan tanggapan
atas apa yang dilakukan yaitu dengan tidak dikenakan hukuman karena telah mengikuti
kegiatan dengan baik.15
3. Keinginan Untuk Mendapatkan Pengalaman Baru
Seperti yang sudah kita ketahui bahwa khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih
merupakan kegiatan yang sudah dilaksanakan sejak zaman sahabat Umar bin Khattab.
Akan tetapi, tradisi tarawih Qur’an yang dilaksanakan di PPTQ merupakan sebuah
kegiatan yang masih jarang terjadi di lingkungan sekitar pondok, begitupun juga di
daerah Mojokerto. Hal ini membuat santri (non-tahfidz) maupun warga sekitar ingin
mencoba mengikuti kegiatan yang sudah menjadi tradisi di PPTQ tersebut sebagai
pengetahuan akan pengalaman baru dalam melaksanakan shalat tarawih. Jadi tidak
semua santri non-tahfidz dan warga sekitar yang mengikuti tarawih Qur’an secara
continue dari tahun ke tahun. Ada warga yang hanya mengikuti satu kali saja sampai
khatam, ada juga yang mengikuti tidak sampai khatam bahkan ada yang mengikuti
hanya beberapa hari saja. Untuk santri tahfidz memang diwajibkan oleh pengasuh
mengikuti tarawih Qur’an untuk menambah kegiatan bersama Al-Qur’an yaitu sebagai
ajang mura{ja’ah yang dilaksanakan didalam shalat dan mengharapkan keberkahan Al-
Qur’an di bulan Ramadhan.
Salah satu imam tarawih Qur’an di aula mengatakan bahwa sebuah pengalaman
baru mengikuti tarawih Qur’an, karena jika tidak dilaksanakan di pondok maka akan
jarang sekali menemui masjid-masjid atau mushalla yang mengadakan kegiatan

14
Wawancara dengan Zahrotul Fitriyah pada 1 Desember 2020 via Whatsapp
15
Wawancara dengan santri tahfidz, Rizka Maulidiyah dan Dzakiyaturrahmah Nuruzzahrah pada 18
November 2020

269
tersebut.16 Kesan capek yang mereka dapatkan tidak menyurutkan para santri untuk
mengikuti tarawih Qur’an dengan khusyu’. Selain itu, salah satu santri yang tidak
menghafal mengatakan bahwa mereka merasa tenang saat mengikuti tarawih Qur’an
bersama.17
Dari hasil observasi yang sudah peneliti lakukan, maka menurut peneliti
pemaknaan jamaah terhadap tarawih Qur’an ini tidak semuanya terwujud dalam teori
Thomas. Ada satu komponen yang peneliti tidak temukan dari pemaknaan para jamaah
yaitu keinginan untuk mendapatkan penghargaan. Jadi, dari hasil analisis yang telah
dilakukan dapat diketahui bahwa jamaah shalat tarawih Qur’an di Pondok Pesantren
Tahfidzul Qur’an mempunyai pandangan dan pendapat yang berbeda-beda mengenai
tradisi yang telah lama dijalankan tersebut. Khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih
sebagai salah satu media untuk menjaga hafalan Al-Qur’an khususnya bagi para
penghafal Qur’an. Selain itu, para jamaah percaya bahwa dengan mengikuti tarawih
Qur’an maka akan mendapatkan keselamatan di akhirat kelak karena mereka sudah
berusaha untuk menjaga apa yang telah mereka hafalkan. Kemudian juga mereka akan
mendapatkan tanggapan atas apa yang telah dilakukan (khususnya bagi santri PPTQ)
dengan tidak dikenakan sanksi karena telah mengikuti tarawih Qur’an dengan baik.
Dan yang terakhir para jamaah juga mendapatkan pengalaman baru karena tarawih
Qur’an memang masih jarang dilaksanakan khususnya di lingkungan sekitar pondok.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait pemaknaan jamaah terhadap


khataman Al-Qur’an di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Klinterejo-Mojokerto
terkait perkembangan psikologisnya dengan mengumpulkan berbagai sumber data,
maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa:
1. Khataman Al-Qur’an dalam shalat tarawih sudah dilaksanakan sejak zaman
Rasulullah saw. akan tetapi perintah untuk tarawih Qur’an dimulai sejak zaman sahabat
khususnya atas perintah sayyidina Umar bin Khattab ra., dan berlanjut dari zaman ke
zaman hingga saat ini telah menjadi tradisi di Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an.,
2. Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an mengadakan kegiatan tarawih Qur’an
adalah untuk mengikuti para Salafus Shaleh. Selain itu, sebagai salah satu media untuk
mura{ja’ah (mengulang hafalan) dalam shalat, khususnya bagi imam. Akan tetapi,
meskipun menjadi makmum hanya mendengarkan bacaan imam saja, santri dapat
menyimak dan mengikuti secara lirih bacaan imam sehingga dapat meningkatkan
kualitas hafalan mereka.

16
Wawancara dengan Khamidatun Hidayah pada 8 Februari 2020 via whatsapp.
17
Wawancara dengan Rikha Aurel Gusti Aini pada 18 November 2020

270
3. Untuk mengetahui makna yang dapat ditangkap dari khataman Al-Qur’an di
PPTQ, peneliti menggunakan teori psikologi W.H. Thomas, namun tidak semuanya
terwujud dalam teori Thomas. Peneliti tidak menemukan pemaknaan jamaah terhadap
tarawih Qur’an yang menginginkan untuk mendapatkan penghargaan. Jadi, hasil
analisis peneliti terhadap pemaknaan jamaah terhadap khataman Al-Qur’an dalam shalat
tarawih, yaitu: pertama, keinginan untuk selamat menyimpulkan bahwa santri berusaha
menjaga hafalannya dengan mengikuti kegiatan tersebut agar mendapatkan keselamatan
di akhirat karena tidak melalaikan hafalannya, karena menjaga hafalan adalah wajib
bagi seorang hafidz. Kedua, keinginan untuk mendapatkan tanggapan menyimpulkan
dengan mengikuti kegiatan tersebut santri berharap mendapatkan penghargaan dan
tanggapan yaitu dengan cara tidak akan dikenakan ta’zir atau hukuman karena kegiatan
tersebut merupakan salah satu kegiatan wajib bagi santri tahfidz. Ketiga, keinginan
mendapatkan pengalaman baru menjelaskan karena masih jarang pelaksanaan tarawih
Qur’an di daerah Mojokerto khususnya di lingkungan sekitar pondok, maka sebagian
dari jamaah ada yang menginginkan mendapatkan pengalaman baru. Maka dari itu,
tidak semua jamaah secara continue mengikuti tradisi tarawih Qur’an. Selain dari
keempat makna yang terkandung, ada juga sebagian santri yang merasakan ketenangan
ketika mengikuti tarawih Qur’an di PPTQ, karena menurut mereka mendengarkan
bacaan Al-Qur’an di dalam shalat terasa berbeda dengan di luar shalat.

F. DAFTAR PUSTAKA

Al-Husainy, '. i.-H. (n.d.). Risalatul Muawwanah. Jeddah: Al-Haramain.

Az, N. (2018). Resensi Judul Buku “Psikologi Agama” Karangan Prof. Dr. H.
Jalaluddin. LEGALITE: Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam,
III(01), 50–72.

Azab, S. (2008). Pemaknaan Jama'ah Terhadap Tradisi Mengkhatamkan Al-Qur'an


Dalam Shalat Tarawih Di Masjid Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Fauzi, M. H. (2019). Tradisi Khataman Al-Qur'an Via Whatsapp Studi Kasus Anak-
Cucu Mbah Ibrahim al-Ghazali Ponorogo Jawa Timur . Dialogia: Jurnal Studi
Islam dan Sosial.

Islamweb.net. (n.d.). Gawami’ El Kaleem (4.5).

Junaedi, D. (2015). Living Qur'an : Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Qur 'an.
Journal of Qur’an and Hadith Studies, 4(2), 169–190.

271
Laila, F. (2017). Praktek Khataman Al-Qur'an Berjamaah Di Desa Suwaduk
Wedarijaksa Pati (Kajian Living Hadis) . Skripsi Fakultas Ushuluddin dan
Humaniora Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

Maghfiroh, E. (2018). Kecerdasan Emosi Para Khatimat Pada Khatm Al-Qur'an Di


Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Universitas Negeri Islam
Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Masrur, M. (2020). Selama Tarawih Mengkhatamkan Al-Qur’an, Apa Hukumnya?


Bincangsyariah.Com. http://bincangsyariah.com/kalam/selama-tarawih-
mengkhatamkan-al-quran-apa-hukumnya/

Munawwir, A. W. (1997). Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Pustaka Progresis.

Nawawi, I., Terj., & Mujtahid, U. (2018). At-Tibyan: Adab Membaca dan Menghafal
Al-Qur’an. Pustaka Qur’an Sunnah.

Nurfadila, D. (2020). Keutamaan Menghafal Al-Qur’an. Rumah-Yatim.Org.


http://rumah-yatim.org/keutamaan-menghafal-al-quran

Shihab, Q. (2017). Tafsir Al-Misbah. Tangerang: Penerbit Lentera Hati.

Shihab, M. Q., & Dkk. (2013). Sejarah dan ’Ulum Al-Qur’an. Pustaka Firdaus.

Zaman, A. R. B. (2019). Resepsi Al- Qur’an Di Pondok Pesantren Al -Hidayah


Karangsuci Purwokerto. Journal Maghza, 4(1), 15–31.

272

You might also like