Polarisasi Opini

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

ISSN XXXX-XXXX

POLARISASI OPINI DI MEDIA SOSIAL MENJELANG


PEMILU TAHUN 2024 DI INDONESIA

Suhaeri
Universitas Kebangsaan Republik Indonesia
E-mail: suhaeri@universitaskebangsaan.ac.id

Abstract:. The year 2024 is the year of the party as well as the stake of
democracy in Indonesia, because in this year the presidential and legislative
elections will be held. Ahead of the elections, the mainstream media and social
media have provided many issues related to the 2024 elections so that the
polarization of opinion in Indonesian society is getting stronger. This
polarization divides the public into several groups supporting each candidate
pair, namely groups supporting Anis-Muhaimin (AMIN), Prabowo-Gibran and
Ganjar-Mahfud. This polarization is also supported by various efforts made by
the three groups of candidate pairs, including the change movement carried by
Anies-Muhaimin, continuing Jokowi's program carried by the Prabowo-Gibran
candidate pair and accelerating towards superior Indonesia carried by the
Ganjar-Mahfud candidate pair. However, there is a narrative being spread in
the community related to the 2024 presidential election, namely dynastic politics,
where it seems that there is an imposition of will from Jokowi to pass his son
Gibran to become a vice presidential candidate to accompany Prabowo Subianto.
This movement is very active in discussing and spreading narratives on social
media. This study sought to explore and compare the polarization of opinions
that developed in society through social media. This research uses a qualitative
approach using the virtual ethnography method. The results show that the
polarization of opinion that occurs on social media is not as significant as the
polarization of opinion on social media.

Keywords: Opinion Polarization, Social Media, National Disintegration

Abstrak: Tahun 2024 merupakan tahun pesta sekaligus pertaruhan demokrasi


di Indonesia, karena pada tahun ini diadakan pemilihan umum presiden dan
legislatif. Menjelang pemilihan umum tersebut, media mainstream maupun media
sosial sudah banyak memberikan isu-isu terkait pemilu tahun 2024 sehingga
polarisasi opini pada masyarakat Indonesia semakin kuat. Polarisasi ini membelah
masyarakat ke dalam beberapa kelompok pendukun pasangan calon masing-
masing yakni kelompok yang mendukung pasangan Anis-Muhaimin (AMIN),
Prabowo- Gibran dan Ganjar-Mahfud. Polarisasi ini juga didukung dengan
berbagai usaha yang dilakukan oleh ketiga kelompok pasangan calon tersebut di
antaranya adalah gerakan perubahan yg diusung Anies-Muhaimin, Melanjutkan
program Jokowi yang diusung pasangan calon Prabowo-Gibran serta percepatan
menuju Indonesia unggul yang diusung oleh pasangan calon Ganjar-Mahfud.
Namun ada narasi yang ditebar di Masyarakat terkait pilpres 2024 yaitu politik
dinasti, dimana seolah ada pemaksaan kehendak dari Jokowi untuk meloloskan
putranya Gibran menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Gerakan ini sangat aktif dalam berdiskusi dan menebarkan narasi di media sosial.
Penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi dan membandingkan polarisasi
opini yang berkembang di Masyarakat melalui media sosial. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode etnografi
virtual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa polarisasi opini yang terjadi di
media sosial semakin menguat menjelang pemilihan umum 2024 dan hal ini bisa
menjadi disintegrasi bangsa. Ketiga kelompok memiliki opini yang saling
bertentangan terhadap pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka
tidak dukung, dan saling menguatkan terhadap pasangan yang mereka dukung.
Kata kunci: Polarisasi Opini, Media Sosial, Disintegrasi bangsa

JURNAL KEBANGSAAN RI, Volume 1, No 1, Bulan, Tahun


PENDAHULUAN
Salah satu produk dari perkembangan tenologi informasi dan Komunikasi yang telah
memberikan dampak besar pada kehidupan Masyarakat salah satu diantaranya adalah
media sosial. Denga media sosial Masyarakat dapat berkomunikasi, berbagi informasi dan
berinteraksi dalam mengekspresikan dirinya dengan mudah dan cepat. Media sosial telah
menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari, Namun ada potensi dari media
sosial untuk menggiring masyarakat dalam beropini baik secara positif maupun negative.
Media sosial dapat menjadi ajang polarisasi opini yang dapat menebarkan isu-isu
sensitive yang dapat menimbulkan silang sengketa di Masyarakat yang pada akhirnya
dapat menimbulkan perpecahan kesatuan bangsa. Dalam menghadapi pesta demokrasi
pada tahun 2024 seiring dengan ditetapkannya calon legislatif dan pasangan calon
presiden serta wakilnya maka polarisasi opini semakin merebak di Masyarakat.
Isu terkait suku, agama ras dan antar golongan (SARA) tetap menjadi hal yang paling
mudah untuk dijadikan ajang polarisasi opini, terlebih sampai saat ini control kebebasan
bermedia sosial masih belum memiliki regulasi yang jelas selain mempergunakan regulasi
UU ITE dengan berbagai macam pasal karet yang membuat ambigu dalam keputusannya.
Kampanye hitam dan kampanye negative dengan mempergunakan media sosial acapkali
dipergunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyerang pihak lain sehingga polarisasi
opini cepat terbentuk.
Pembagian masyarakat menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan dalam
pandangan politik, ideologi, nilai, atau agama merupakan sebuah rujukan bagi sebuah
polarisasi. Dalam menghadapi pemilu 2024, polarisasi sering terjadi Ketika terjadi sudut
pandang yang berbeda dari para kandidat dan kontestan pemilu, sehingga terjadi kubu-
kubu yang saling melawan yang berakibat masyarakat terpecah. Dalam pemilihan
presiden tahun 2024 di Indonesia terdapat tiga kandidat pada pemilu presiden sehingga
terdapat tiga kubu yang saling bertentangan.
Dalam pemilu peran polarisasi dapat berpengaruh besar terhadap hasil pemilu dan politik
secara umum. Ketika masyarakat terpecah menjadi beberapa kubu yang saling
bertentangan, hal ini dapat memicu sikap permusuhan, intoleransi, dan ketidakadilan
dalam pemilihan. Besar kemungkinan para pemilih akan mengabaikan program dan
kebijakan dari kandidat atau partai dan hanya memilih berdasarkan identitas atau afiliasi
politik. Selain itu, polarisasi juga dapat memperparah ketegangan sosial dan politik yang
ada di masyarakat.
Polarisasi dapat mengancam integrasi dalam masyarakat dengan memperburuk konflik
yang sudah ada dengan isu-isu lain. Demokrasi dapat menurun kualitasnya akibat
polarisasi tersebut dengan cara memperlemah dukungan terhadap keputusan bersama
dan memperkuat sikap oposisi. Stabilitas politik terganggu sehingga sulit dalam membuat
sebuah keputusan, pada sisi yang lain ketidakpercayaan pada pemerintah dan institusi
media dan Lembaga penegak hukum yang dipandang hanya melayani kepentingan
kelompok tertentu yang tidak berpihak pada Masyarakat.
Pada posisi yang lain, sebuah polarisasi dapat juga berperan sebagai salah satu faktor
yang membangun kesadaran politik dan partisipasi masyarakat dalam menentukan
pilihannya. Respon Masyarakat bila merasa terpolarisasi, masyarakat cenderung lebih
aktif dalam menyuarakan pendapatnya dan mengikuti perkembangan politik, baik
melalui media sosial maupun melalui partai politik. Sisi positif dari polarisasi diantaranya
dapat memotivasi masyarakat untuk lebih memahami pandangan politik dan ideologi
yang berbeda, sehingga dapat memperkaya wawasan politik dan memperkuat nilai
demokrasi.
Bagi Masyarakat, media sosial dapat menjadi sumber informasi, edukasi, hiburan, dan
persuasi bahkan juga dapat menjadi ruang diskusi, debat, kritik, dan partisipasi politik
bagi masyarakat.Tentunya yang diharapkan adalah sesuatu yang konstruktif yang dapat

2
ISSN XXXX-XXXX

membangun kepercayaan publik bukan sebaliknya yang membuat polarisasi opini yang
salah yang pada akhirnya dapat menimbulkan perpecahan.
Bawaslu sendiri seperti yang dialansir oleh Kompas.com, ada empat persoalan utama
menjelang pemilihan umum tahun 2024 mendatang yaitu netralitas Aparatur Sipil
Negara (ASN), politik uang, politisasi Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) serta
kampanye di media sosial. Harus secara komperhensif, kreatif dan progresif sebagai
upaya pencegahan potensi pelanggaran yang muncul.

TINJUAN PUSTAKA
Pernyataan tentang sikap mengenai masalah tertentu yang bersifat kontroversial
merupakan pernyataan dari Cutlip dan center tentang Opini. Timbulnya Opini
merupakan hasil pembicaraan tentang masalah yang kontroversial yang menimbulkan
pendapat berbeda-beda. Opini adalah serapan dari bahasa asing “opinion” berhubungan
erat dengan kata “option” dan “hope” yang artinya pilihan atau harapan. Jawaban
terbuka atau tanggapan terhadap suatu persoalan yang dinyatakan berdasarkan kata-kata
(intangible), baik dalam bentuk opini tertulis maupun lisan atau sebagai perilaku, sikap
tindak, pandangan dan tanggapan dan lain sebagainya. (dalam Olii dan Erlita, 2011: 39).
Guna memahami Opini seseorang menurut R.P Abelson (Ruslan, 2007:66) bukanlah
perkara mudah karena berkaitan erat dengan kepercayaan mengenai sesuatu (belief), apa
yang sebenarnya dirasakan atau menjadi sikapnya (attitude) serta persepsi (perception)
yang berakar dari beberapa factor baik latar belakang budaya, pengalaman masa lalu,
nilai-nilai yang dianut serta berita-berita dan pendapat-pendapat yang berkembang yang
kemudian dapat mempengaruhi terhadap pandangan seseorang.
Secara konseptual, para ilmuwan politik memiliki pandangan yang beragam mengenai
polarisasi. Polarisasi terbagi dalam dua hal, pertama sebagai keadaan dan kedua sebagai
proses. Polarisasi sebagai suatu keadaan mengacu kepada sejauh mana suatu masalah
ditentang dalam kaitannya dengan beberapa paradigma, sedangkan polarisasi yang
dianggap sebagai proses mengacu kepada peningkatan oposisi dari waktu ke waktu
(DiMaggio., 1996).
polarisasi menekankan kehadiran simultan dari prinsip, kecenderungan, atau sudut
pandang yang berlawanan atau bertentangan (Fiorina & Abrams, 2008), sedangkan
polarisasi juga dipandang sebagai peningkatan dukungan untuk pandangan politik
ekstrim dibandingkan dengan dukungan untuk pandangan sentris atau moderat
(McCarty, 2019). McCoy dan Somer (2019) mendefinisikan. polarisasi sebagai proses
ketika keragaman atau perbedaan dalam masyarakat semakin selaras dalam satu dimensi,
dan orang-orang semakin mempersepsikan, serta menggambarkan politik dan
masyarakat dalam istilah "kami" versus “mereka”. Istilah “kami” versus “mereka”
merupakan suatu keadaan masyarakat yang terpecah dan saling tidak percaya. Dari
berbagai pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa polarisasi politik merujuk kepada
terpecahnya masyarakat akibat adanya perbedaan pilihan politik, yang mana dalam
perpecahan ini muncul rasa saling tidak percaya dan kebencian, sehingga memunculkan
permusuhan.
Dalam menjelaskan penyebab terjadinya polarisasi, studi oleh Slater dan Arugay berfokus
kepada pengelolaan kekuasaan oleh eksekutif sebagai pemicu munculnya polarisasi dan
tidak terlalu memperhatikan faktor identitas. Desain demokrasi yang menyediakan
pembatasan kekuasaan eksekutif oleh parlemen atau pengadilan akan memicu
ketegangan antar institusional, sehingga dapat memicu polarisasi (Slater & Arugay, 2018).
McCoy dan Somer kemudian mencoba menjelaskan polarisasi dari sudut yang berbeda.
Mereka menganggap bahwa penyebab polarisasi politik bukan berkaitan dengan susunan
institusional tertentu, melainkan berkaitan dengan strategi aktor politik, sekaligus tidak
mengabaikan adanya faktor perpecahan mendasar dari suatu negara, yang salah satunya
adalah perpecahan identitas (McCarty, 2019).

JURNAL KEBANGSAAN RI, Volume 1, No 1, Bulan, Tahun


McCoy dan Somer (2019) mengidentifikasi tiga jenis keresahan utama. Pertama adalah
keresahan politik atau krisis perwakilan. Keresahan ini timbul akibat adanya kelompok
masyarakat yang terpinggirkan dan merasa tidak terwakili. Kedua adalah keresahan
ekonomi. Ekonomi adalah sasaran empuk untuk dieksploitasi oleh aktor politik, karena
berkaitan dengan ketimpangan ekonomi yang dapat berfungsi sebagai alat mobilisasi.
Ketiga adalah keresahan kultural. Keresahan kultural ini juga berkaitan dengan agama,
misalnya perdebatan antara Gereja versus Negara, atau antara pemikiran sekuler dan
konservatif di antara penganut agama yang sama. Mereka juga berpendapat bahwa
keresahan kultural bisa muncul dari perasaan kehilangan atau adanya ancaman
kehilangan status sosial atau ekonomi oleh kelompok dominan dalam masyarakat.
Analisis McCoy dan Somer (2019) juga menjelaskan pola polarisasi. Menurut mereka,
polarisasi dimulai ketika para pemimpin politik dan pendukungnya menggambarkan
kelompok politik mereka dan kelompok politik lawan dalam istilah “hitam” dan “putih”
atau “baik” dan “jahat”. Banyak dari studi kasus mereka melibatkan pemimpin populis
yang membungkus populisme dengan narasi polarisasi. Hasil studi menunjukkan bahwa
dalam sebagian besar kasus polarisasi, aktor politik menggolongkan masyarakat sebagai
“baik” dan elite sebagai “jahat”,dengan begini para aktor politik dapat mencerca
kemapanan atau elite, menyalahkan elite atas penderitaan rakyat, sambil menjunjung
tinggi kebajikan “rakyat” yang mereka klaim untuk diwakili. Penggolongan dan pelabelan
kelompok tersebut menimbulkan efek psikologis, bahwa identitas sosial mengerahkan
anggota kelompok untuk memegang sentimen positif terhadapanggota dan sentimen
negatif terhadap kelompok lawan. Efek psikologis ini menjadi penting, karena sebagai
mekanisme dehumanisasi, depersonalisasi, dan stereotip yang bermuara kepada
kebencian emosional, ketakutan, dan rasa saling tidak percaya. McCoy dan Somer
berpendapat bahwa politisi yang menggunakan simbol dan bahasa untuk menciptakan
identitas “kita” versus “mereka”, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja, akan
berkontribusi atas terciptanya mekanisme psikologis ini.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan paradigma partisipatoris dan pendekatan kualitatif.
Penelitian kualitatif mengandalkan data kualitatif dan deskripsi yang rinci dan padat
sebagai hasil pengumpulan data secara mendalam. Dalam tipe penelitian ini, peneliti
mencatat secara langsung perspektif dan pengalaman pribadi orang-orang (Soejoeti,
1999). Dengan paradigma partisipatoris, peneliti berusaha melihat subjek penelitian
dari sudut pandang subjek dan peneliti, dan hasil penelitian juga diamati dari sudut
pandang bersama antara objek penelitian dan peneliti (Imran, 2013).
Penelitian ini menggunakan metode etnografi virtual. Hine dalam Hadiyat (2017)
menjelaskan bahwa virtual ethnography can exploit mobility to explore the making
of spaces and times, and the relationships between them. The mobility of this
ethnography across the different social spaces of newsgroups highlighted the ways in
which these spaces were sustained in the interactions of participants. Menurut Hadiyat
(2017), sederhananya etnografi virtual mengacu pada praktik mengamati dan/atau
berpartisipasi dalam grup daring atau komunitas tertentu selama periode waktu
tertentu. Subjek dalam penelitian ini adalah para peserta yang menjadi menjelaskan
bahwa metode pengumpulan data dalam etnografi virtual dilakukan dengan tiga cara,
yakni observasi daring, dokumentasi, dan kajian literatur. Denzin dan Lincoln dalam
Hadiyat (2017) menjelaskan bahwa metode observasi memungkinkan peneliti
mengetahui secara mendalam tentang objek yang akan diteliti dan memiliki
fleksibilitas ketika mewujudkan gagasan menjadi realitas. Observasi jika digabungkan
dengan penelitian lain akan menghasilkan temuan yang dalam dan luas. Spradley
dalam Arif (2012) menjelaskan mengenai alur dan prosedur dalam melakukan
etnografi virtual, yang dapat dilakukan melalui enam tahap yang dimulai dengan
pemilihan suatu proyek etnografi. Menurut Hymes dalam Arif (2012), terdapat tiga
model penelitian etnografi yang dapat digunakan untuk membantu menemukan fokus

4
ISSN XXXX-XXXX

penelitian, yaitu: 1) Etnografi komprehensif, yang bertujuan untuk mencari dokumen


jalan total kehidupan. Pada bagian ini, peneliti melakukan penelitian di suatu
komunitas virtual yang diinginkan melalui observasi partisipan dan mencoba
mendeskripsikan secara luas tentang adat istiadat atau etika virtual. (2) Etnografi
berorientasi topik. Dalam etnografi jenis ini, peneliti mempersempit fokus pada satu
aspek kehidupan dalam suatu masyarakat virtual, misalnya hubungan keluarga,
perilaku pengguna Facebook, Twitter, dan lain-lain. (3) Etnografi berorientasi
hipotesis, yang ditujukan untuk menggali pengaruh budaya pada kehidupan manusia
atau pengguna internet. Berdasarkan ketiga model tersebut, dalam tulisan ini peneliti
menggunakan pendekatan yang kedua, yakni etnografi berorientasi topik. Peneliti
memilih topik opini publik dalam fenomena polarisasi pada perilaku pengguna media
sosial.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Polarisasi opini dalam menghadapi pemiliu 2024 di Indonesia adalah suatu fenomena
yang menunjukkan kesamaan dan kesegaran pendukung dan pengunci politik terhadap
kandidat dan partai politik yang mereka preferensi. Pada umumnya, polarisasi opini
dapat mempengaruhi dan mempengaruhi hasil pemilihan, karena pendukung kandidat
dan partai politik yang mereka preferensi akan menjadi pemilih yang lebih aktif dan
menghasilkan suara lebih banyak. Di Indonesia, polarisasi opini publik dalam pemiliu
telah menjadi fenomena yang terus meningkat sejak pemilihan presiden 2014.Dimana
pada waktu pemilu 2014 kedua kandidat utama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto,
memiliki banyak pendukung dan pengunci politik yang sangat keras dan terbukti dalam
pemilihan sebelumnya. Pada saat ini, sangat berbeda dengan sebelumnya pada pemilu
2024 ada tiga kandidat utama untuk pemilihan presiden, yaitu nomo urut satu Anies
Baswedan dan Muhaimin Iskandar, nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran
Rakabuming serta nomor urut tiga Ganjar Pranowo dan M. Mahfud MD. Pemilihan 2024
di Indonesia akan menunjukkan polarisasi opini yang sangat keras, dan ketiga kandidat
utama akan menghadapi kesulitan yang besar untuk mendapatkan banyak pendukung
dan pengunci politik serta menghadapi kesulitan yang besar pula untuk menghasilkan
suara lebih banyak dari pendukung dan pengunci politik yang mereka preferensi. Di sisi
lain, polarisasi opini publik di Indonesia juga menunjukkan banyak pemilih yang tidak
tercatat dan tidak memilih suatu kandidat atau partai politik. Pemilih ini akan menjadi
faktor yang sangat penting dalam menentukan hasil pemilihan, karena mereka dapat
menghasilkan suara yang sangat banyak dan menentukan hasil pemilihan secara
bersamaan dengan pendukung dan pengunci politik yang telah disepakat.
Pola narasi terkait pemilu 2024 trennya dinilai masih menunjukkan peta yang mirip
dengan pemilu tahun 2019 terutama pola narasi di media sosial, hal ini berdasarkan
pantauan dan analisis dari percakapan di media sosial, terutama di facebook dan twitter.
Praktik buruk politik yang menciptakan polarisasi opini akan terjadi di masyarakat dan
hal ini sangat mengkhawatirkan, dimana media sosial banyak yang menyampaikan
informasi yang misinformasi, disinformasi bahkan berita bohong (hoaks), juga dengan
terjadinya politik oligarki, pelemahan ruang public dan membatasi kebebasan bersuara.
Pemilu seharusnya dipandang sebagai suatu momen berdemokrasi yang baik yang adil
dan setara, juga menyenangkan dan perbedaan pandangan harus saling dihargai, saling
percaya dan toleramsi.
Proses reformasi yang dijalankan saat ini menunjukkan bahwa tingkat demokrasi sebuah
bangsa semakin besar maka tantangan yang dihadapi juga akan semakin tinggi yang
terkadang membuat masyarakat mudah merasakan frustasi atau kesal apalagi dengan
banyaknya opini mengenai kemunduran dan stagnasi demokrasi.Hal ini yang harus
segera diantisipasi agar sentimen teresebut tidak membuat bangsa kita mundur atau
menyerah.
Sulit untuk mempertahankan dan merawat dalam pemilu 2024, dimana faktor utama
yang menjadi penyebabnya adalah politik identitas yang digunakan para elit politik kita

JURNAL KEBANGSAAN RI, Volume 1, No 1, Bulan, Tahun


dalam meraih dukungan politik di masyarakat. Litbang Kompas yang telah melakukan
survei tentang bagaimana situasi nasional menjelang pemilu 2024, respondennya banyak
yang menilai kalau buzzer/influencer dapat menciptakan polarisasi opini di masyarakat
semakin memanas. Menurut responden litbang Kompas, 21,6% penyebaran informasi
yang tidak lengkap atau berita hoaks bisa menciptakan polarisasi opini semakin
meruncing, 13.4% para tokoh bangsa kurang bisa meredam dan meredakan perselisihan
dan 5.8% karena media sosial.

Tabel 1. Faktor yang Membuat Polarisasi Opini menurut Responden Kompas


(Mei2022)

95%CI
Condition M(SD) LL UL
Letters 14.5(28.6) 5.4 23.6
Digits 31.8(33.2) 21.2 42.4

Polarisasi di pemilu 2024 Indonesia mungkin akan terjadi karena beberapa faktor.
Pertama, ketidakpemahaman dan ketidakbijakan politik masih sangat tinggi di Indonesia.
Banyak warga Indonesia belum memahami dan menghafal perundang-undangan dan
hak-hak mereka sebagai warga negara. Kedua, ada ketidakpercayaan dan ketidakpeduhan
antar kalangan politik. Ketidakpercayaan ini diakibatkan oleh sejarah dan pengalaman
buruk dalam pemilu sebelumnya. Banyak kalangan politik di Indonesia masih memiliki
persepsi negatif satu sama lain, yang membuat mereka tidak mau bekerja sama dan
memilih kandidat yang berbeda politis.Ketiga, ada ketidakpemahaman dan
ketidakbijaksan masyarakat terhadap pemilu. Banyak warga Indonesia tidak mengetahui
cara dan waktu melakukan pemilu, sehingga mereka tidak mampu menjadi calon yang
layak. Kedalaman dan ketahanan politik juga menjadi faktor utama dalam polarisasi di
pemilu 2024 Indonesia. Banyak kalangan politik di Indonesia memiliki ketahanan politik
yang sangat tinggi, yang membuat mereka tidak mau bekerja sama dan memilih kandidat
yang berbeda politis.
Untuk mengatasi polarisasi di pemilu 2024 Indonesia, perlu dilakukan beberapa hal.
Pertama, harus dilakukan pembelajaran dan pengembangan politik yang berkualitas.
Masyarakat harus diberi pembelajaran dan pengembangan politik yang berkualitas,
sehingga mereka bisa memahami dan menghafal perundang-undangan dan hak-hak
mereka sebagai warga negara. Kedua, harus dilakukan penggalian dan pengembangan
politik yang berkualitas. Ketidakpercayaan dan ketidakpeduhan antar kalangan politik
harus diatasi dengan penggalian dan pengembangan politik yang berkualitas, sehingga
mereka bisa memilih kandidat yang layak dan berbeda politis. Ketiga, harus dilakukan

6
ISSN XXXX-XXXX

pengembangan dan pemahaman masyarakat terhadap pemilu. Masyarakat harus diberi


pengembangan dan pemahaman terhadap pemilu, sehingga mereka bisa menjadi calon
yang layak dan memilih kandidat yang layak. Kedalaman dan ketahanan politik juga
harus diatasi dengan pengembangan dan pemahaman masyarakat terhadap pemilu.
Masyarakat harus diberi pengembangan dan pemahaman terhadap pemilu, sehingga
mereka bisa menjadi calon yang layak dan memilih kandidat yang layak dan memilih
kandidat yang berbeda politis. Jadi, untuk mengatasi polarisasi di pemilu 2024 Indonesia,
perlu dilakukan beberapa hal, yaitu pembelajaran dan pengembangan politik yang
berkualitas, penggalian dan pengembangan politik yang berkualitas, pengembangan dan
pemahaman masyarakat terhadap pemilu, dan pengembangan dan pemahaman
masyarakat terhadap pemilu untuk mengatasi ketidakpemahaman dan ketidakbijaksan
masyarakat terhadap pemilu.
Media sosial dan polarisasi di pemilu 2024 Indonesia akan menjadi faktor penting dalam
proses pemilihan. Selama beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi platform
utama untuk interaksi politik dan komunikasi politik. Pemilihan 2024 akan menghasilkan
sebuah generasi baru pengguna media sosial yang lebih aktif dan berinvestasi dalam
proses pemilihan.Polarisasi politik akan menjadi faktor penting dalam pemilihan 2024,
dan media sosial akan menjadi alat utama untuk mempromosikan agenda politik dan
menggalakan pendukung. Kandidat politik akan menggunakan media sosial untuk
menggalakan pendukung dan mengumpulkan donasi. Media sosial akan juga menjadi alat
untuk menggalakan pemilihan massal dan mempercepat proses pemilihan. Kandidat
politik akan menggunakan media sosial untuk mengajak masyarakat untuk memilih
secara massal.Tetapi, media sosial juga akan menjadi alat untuk menyebabkan polarisasi
politik. Kandidat politik akan menggunakan media sosial untuk menggalakan pendukung
dan membuat kritik terhadap pemerintah dan kandidat politik.
Polarisasi melalui media sosial pada pemilu 2024 di Indonesia dapat terjadi dalam
berbagai bentuk, antara lain:
1. Penyebaran informasi tendensius: Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan
informasi yang cenderung memihak pada salah satu kubu politik. Hal ini dapat memicu
perpecahan di masyarakat dan memperkuat polarisasi antar pendukung partai politik.
2. Kampanye hitam: Media sosial seringkali menjadi tempat untuk menyebarkan
kampanye hitam atau serangan pribadi terhadap kandidat atau partai politik lawan. Hal
ini dapat memperburuk polarisasi dan menimbulkan ketegangan di antara pendukung.
3. Pembentukan filter bubble: Pengguna media sosial cenderung terpapar pada konten
yang sejalan dengan pandangan politik mereka sendiri, membentuk filter bubble di mana
mereka hanya terpapar pada opini dan informasi yang mendukung pandangan mereka.
Hal ini dapat memperkuat polarisasi dan mengurangi kesempatan untuk berdialog antar
pandangan yang berbeda.
4. Hoaks dan disinformasi: Media sosial rentan terhadap penyebaran hoaks dan
disinformasi terkait pemilu. Informasi yang tidak valid atau hoaks dapat memengaruhi
pandangan masyarakat terhadap kandidat dan partai politik, memperkuat polarisasi, dan
memicu konflik di masyarakat.
Polarisasi melalui media sosial dapat menjadi tantangan serius dalam pemilu 2024, dan
penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dalam menyerap informasi dari media sosial
serta bagi pihak terkait untuk memanfaatkan media sosial dengan bijak dalam upaya
meminimalisir polarisasi yang terjadi. Penyebaran Hoaks: Misalnya, seorang akun di
Twitter menyebarkan informasi palsu tentang kandidat tertentu yang dapat
mempengaruhi opini publik. Informasi palsu semacam ini dapat memperkuat polarisasi
antara pendukung kandidat tersebut dengan pendukung kandidat lain. Kampanye Hitam:
Sebuah halaman Facebook atau akun Instagram dapat melakukan kampanye hitam
dengan menyebarkan informasi negatif atau serangan pribadi terhadap kandidat atau
partai politik lawan. Hal ini dapat memperburuk polarisasi di antara pendukung kubu-
kubu politik yang berbeda. Filter Bubble: Pengguna media sosial dapat terjebak dalam

JURNAL KEBANGSAAN RI, Volume 1, No 1, Bulan, Tahun


filter bubble di mana mereka hanya terpapar pada konten yang sejalan dengan pandangan
politik mereka sendiri. Sebagai contoh, di Twitter, pengguna hanya melihat opini dan
informasi yang mendukung pandangan politik mereka, dan hal ini dapat memperkuat
polarisasi dengan mengurangi kesempatan untuk berdialog antar pandangan yang
berbeda. Konflik Opini: Di Instagram, komentar-komentar yang menyuarakan pendapat
politik tertentu dapat memicu konflik di antara pengguna. Diskusi yang tidak sehat dan
saling serang antar pengguna media sosial dapat memperkuat polarisasi di masyarakat.
Polarisasi di media sosial dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan platform, dan dapat
mempengaruhi opini publik serta suasana politik di masa pemilu. Oleh karena itu,
penting untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memeriksa kebenaran
informasi, mempromosikan diskusi yang sehat, dan memerangi penyebaran hoaks dan
disinformasi untuk mengurangi polarisasi di media sosial selama pemilu 2024.
Polarisasi opini melalui media sosial dalam pemilu 2024 di Indonesia diperkirakan akan
semakin intensif. Dengan semakin banyaknya pengguna media sosial, berbagai opini dan
pandangan politik akan tersebar dengan cepat dan luas. Hal ini dapat memicu polarisasi
di masyarakat, di mana pendukung berbagai kubu politik akan saling bertentangan dan
memperkuat keyakinan masing-masing dan hal ini dapat berpotensi terjadinya
disintegrasi bangsa. Media sosial juga dapat menjadi sarana untuk menyebarkan
informasi yang tidak valid atau hoaks, yang dapat memengaruhi pandangan masyarakat
terhadap calon-calon pemimpin dan partai politik. Oleh karena itu, penting bagi
masyarakat untuk lebih kritis dalam menyerap informasi dari media sosial dan
melakukan verifikasi sebelum mempercayainya. Selain itu, pihak yang terlibat dalam
pemilu juga perlu memanfaatkan media sosial dengan bijak, untuk menyebarkan
informasi yang akurat dan membangun dialog yang konstruktif dengan masyarakat. Hal
ini diharapkan dapat mengurangi polarisasi opini dan menciptakan pemilu yang lebih adil
dan demokratis.
Untuk mencegah disintegrasi bangsa yang diakibatkan polarisasi media sosial dalam
pemilu 2024 di Indonesia, dapat dilakukan beberapa langkah sebagai berikut:
1. Penyuluhan dan Edukasi Publik: Pemerintah dan lembaga terkait dapat melakukan
penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memeriksa kebenaran
informasi sebelum menyebarkannya di media sosial. Masyarakat perlu diberikan
pemahaman tentang bahaya hoaks dan bagaimana cara memverifikasi kebenaran
informasi sebelum membagikannya.
2. Pengawasan Konten: Pemerintah dapat mengawasi konten yang tersebar di media
sosial terkait dengan pemilu. Langkah ini bertujuan untuk mencegah penyebaran hoaks,
kampanye hitam, dan informasi tendensius yang dapat memicu polarisasi.
3. Mendorong Diskusi yang Sehat: Pihak terkait, termasuk partai politik dan calon-calon
pemilu, dapat mendorong diskusi yang sehat dan konstruktif di media sosial. Hal ini
dapat dilakukan dengan menyebarkan informasi yang akurat, menghindari kampanye
hitam, dan membangun dialog yang menghormati pendapat orang lain.
4. Penyebaran Informasi yang Akurat: Pihak terkait pemilu dapat memanfaatkan media
sosial untuk menyebarkan informasi yang akurat dan transparan terkait dengan agenda,
visi, dan program kerja dari masing-masing kandidat dan partai politik.
5. Keterlibatan Masyarakat: Masyarakat juga perlu terlibat aktif dalam memeriksa
kebenaran informasi yang mereka terima di media sosial. Mendorong kesadaran akan
pentingnya memeriksa sumber dan kebenaran informasi sebelum menyebarkannya akan
membantu mencegah polarisasi.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan polarisasi akibat media sosial dalam
pemilu 2024 dapat diminimalisir, sehingga proses pemilihan dapat berjalan dengan lebih
adil, transparan, dan damai.

KESIMPULAN
Polarisasi opini bukan sebuah fenomena yang baru di Indonesia. Pada periode 1950-an,
polarisasi opini terutama dalm hal politik di Indonesia menguat diakibatkan politik

8
ISSN XXXX-XXXX

aliran. Namun, polarisasi politik menurun di bawah pemerintahan represif dan


sentralistis pada era Orde Baru. Polarisasi politik pada era Reformasi, yang membuka
keran politik di Indonesia, pada awalnya dapat ditekan, karena adanya fenomena yang
oleh Ilmuwan politik disebut “dealiranisasi”. Hingga pada tahun 2014, beberapa kajian
politik menggambarkan polarisasi politik di Indonesia kembali menguat. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa penyebab polarisasi antara kelompok Islamis dan pluralis di
Indonesia pada tahun 2014-2019 disebabkan oleh strategi aktor politik. Kedua aktor
politik yang sedang bertarung dikategorikan oleh beberapa ilmuwan politik sebagai tokoh
populis. Selain itu, terdapat upaya pecah belah masyarakat, dengan melakukan pelabelan
antar kelompok, adanya penggunaan ujaran kebencian, dan masing-masing aktor
mencoba mengeksploitasi keresahan masyarakat. Hal ini pun diperparah dengan
pengaruh media terutama media sosial, dimana Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya
dapat memilah dan memilih berita serta informasi yang beredar di media sosial Untuk
mencegah disintegrasi bangsa yang diakibatkan polarisasi media sosial dalam pemilu
2024 di Indonesia, dapat dilakukan beberapa langkah diantaranya; Penyuluhan dan
Edukasi Publik, Pengawasan Konten, Mendorong Diskusi yang Sehat, Penyebaran
Informasi yang Akurat dan Keterlibatan Masyarakat. Dengan langkah-langkah tersebut,
diharapkan polarisasi opini akibat media sosial dalam pemilu 2024 dapat diminimalisir
sehingga tidak terjadi perpecahan yang berakibat disintegrasi bangsa.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Denzin, N., & Lincoln, Y. (2017). Handbook of Qualitative Research. Sage Publications.
Hennessy, B. C. (1975). Public Opinion. Duxbury Press: 3rd edition (1975).

Artikel dalam Jurnal/Majalah


Afrimadona. (2021). Revisiting Political Polarisation in Indonesia: A Case Study of
Jakarta’s Electorate. Journal of Current Asian Affairs 40(2):1–25.
Aji, N., & Dartanto, T. (2018). Behind Jokowi’s Victory: Did Economic Voting Matter
in the 2014 Indonesian Presidential Election? Asia Pasific Journal Regional
Science 2(1):115–38.
Arif, M. C. (2012). Etnografi Virtual. Sebuah Tawaran Metodologi Kajian Media Berbasis
Virtual. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.2, No.2, Oktober 2012.
Druckman, J. N., Peterson, E., Slothuus, R. (2013). How Elite Partisan Polarization
Affects
Public Opinion Formation. American Political Science. Vol. 107(1).
Hadiyat, Y. D. (2017). Pola Komunikasi Prostitusi Daring di Twitter. Jurnal PIKOM,
Vol.18(2).
hal.125-135.
Novelia. (2017). Media Sosial Membentuk Polarisasi Perilaku Politik. Diakses pada
tanggal 31
Agustus 2018 dari https://www.validnews.id/ MEDIA SOSIAL-MEMBENTUK
POLARISASI-PERILAKU-POLITIK
Litbang Kompas (2023)
https://nasional.kompas.com/read/2023/07/11/05344661/survei-
litbang-kompas-publik-khawatir-polarisasi-terulang-pada-pemilu-2024

JURNAL KEBANGSAAN RI, Volume 1, No 1, Bulan, Tahun

You might also like