Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Antropologi Indonesia

Volume 43 Article 3
Issue 2 Antropologi Indonesia

December 2022

Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit: Studi


Terhadap Masyarakat Maneo Seram Utara, Maluku Tengah
George Likumahwa
Program Doktoral Konsentrasi Studi Agama dan Kebangsaan, Universitas Kristen Indonesia Maluku

Marcho David Pentury


Alumnus Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/jai

Part of the Anthropology Commons, and the Arts and Humanities Commons

Recommended Citation
Likumahwa, George and Pentury, Marcho David (2022) "Dinamika Resistensi Subtil Terhadap
Penyerobotan Sawit: Studi Terhadap Masyarakat Maneo Seram Utara, Maluku Tengah," Antropologi
Indonesia: Vol. 43: Iss. 2, Article 3.
Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3

This Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Social and Political Sciences at UI Scholars
Hub. It has been accepted for inclusion in Antropologi Indonesia by an authorized editor of UI Scholars Hub.
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit:


Studi Terhadap Masyarakat Maneo Seram Utara,
Maluku Tengah
George Likumahwa
Program Doktoral Konsentrasi Studi Agama dan Kebangsaan, Universitas Kristen Indonesia
Maluku

Marcho David Pentury


Alumnus Magister Sosiologi Agama, Universitas Kristen Satya Wacana

Abstrak

This article analyzes the discontent of the Maneo people of North Seram against Nusaina, a
palm oil company that operates on their custom (adat) territory. Nusaina obtained land for its
operation in Seram through various cunning schemes, deceiving the Maneo people into agreeing
to lease their land by exploiting their lack of access to legal assistance. The uneasy relationship
that has unfolded ever since has led to perpetual and subtle tension between Maneo and Nusaina.
The situation that the Maneo find themselves in is illustrative of that of many indigenous
Austronesians. Although the traditional norm among Austronesian societies dictates that earlier
arriving groups are to be ranked higher, the expansion of extractive capitalism has disrupted
this. The presence of extractive corporates has created a situation where Austronesian
indigenous societies are losing access to their traditional land and resources. In resisting
potentially devastative changes brought about by Nusaina, the Maneo incorporate symbols that
associate their people with the land and assert the traditional order of precedence.

Keywords: indigenous movement; palm oil; Maneo; North Seram; Central Maluku

Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan menganalisis kemunculan dinamika resistensi subtil masyarakat adat
Maneo di Seram Utara. Dinamika resistensi ini muncul sebagai respons terhadap keberadaan
Nusaina, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah tanah adat (petuanan)
mereka. Masyarakat adat di Indonesia secara konstan dihadapkan dengan ancaman penggusuran
ruang hidup. Intrusi bisnis ekstraktif yakni industri penebangan kayu, tambang dan eksplorasi
migas, serta perkebunan sawit berpotensi menghancurkan hutan yang secara tradisional menjadi
wilayah bermukim, mencari penghidupan, serta ritual mereka. Situasi ini memantik perlawanan-
perlawanan yang acap menjadi sorotan dan menimbulkan keprihatinan serta solidaritas
masyarakat sipil.
Beberapa contoh dari gerakan agraria tersebut yakni adalah yang dilakukan oleh
masyarakat adat di Basipae, Nusa Tenggara Timur serta Dayak Siang Murung di Kalimantan

142
Published by UI Scholars Hub, 2022 1
Antropologi Indonesia, Vol. 43, Iss. 2 [2022], Art. 3
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Tengah. Bila yang pertama berusaha menghadang pembangunan peternakan di atas lahan adat
mereka, yang kedua adalah resistensi terhadap perusahaan tambang emas yang menggusur
pertambangan rakyat. Dalam kedua kasus ini, kesinambungan hidup ekonomi dan kebudayaan
masyarakat setempat terbahayakan. Buat orang Dayak Siang Murung, emas bukan cuma
merepresentasikan kekayaan melainkan juga sesuatu yang sudah lama dipakai dalam berbagai
ritual. Pun, dalam kedua kasus ini, perlawanan dilakukan dengan mengadopsi simbol-simbol
kebudayaan. Orang-orang Dayak Siang Murung menamakan gerakan mereka Ji Tempun Petak
Manana Sarai. Istilah ini sendiri berarti tersingkir dari ruang kehidupannya sendiri sehingga
yang menanam di pinggir-pinggir (Siahainenia, 2017). Sementara itu, orang-orang Basipae
melakukan performa seperti telanjang dada. Aksi ini dimaknai sebagai ekspresi dukacita karena
hutan mereka yang telah dimiliki jauh sebelum kehadiran negara telah dirampas oleh negara
melalui sertifikat kepemilikan tanah.1
Di Seram, perlawanan semacam tercermin pada perlawanan balik masyarakat Sabuai
terhadap perusahaan kayu. Masyarakat Sabuai mengadang alat-alat berat yang hendak masuk
ke lahan yang merupakan kuburan leluhur mereka. Yang terjadi selanjutnya adalah warga
Sabuai yang mengadang diamankan oleh kepolisian dan dua orang ditangkap dengan tudingan
perusakan peralatan milik perusahaan. Berselang beberapa saat, kabar tentang adanya
kriminalisasi warga Sabuai menyebar. Diorganisir pertama-tama melalui jaringan mahasiswa
yang juga merupakan warga Sabuai, masyarakat luas tergerak oleh isu ini. Masyarakat luas turut
marah karena membayangkan pemilik lahan adat yang sah harus tunduk terhadap perusahaan
yang hendak mengeksploitasi wilayah mereka, semata demi keuntungan. LSM dan DPRD
bereaksi keras dan mendorong adanya peraturan yang melindungi kepemilikan lahan adat.2
Apa yang menonjol dari perlawanan-perlawanan ini adalah kentalnya imajinasi tentang
tanah adat yang diserobot. Tanah yang sudah dimukimi dan diolah jauh sebelum kehadiran
negara diambil alih oleh pihak-pihak luar yang berorientasi mengeksploitasinya untuk
kepentingan segelintir. Meskipun akhirnya gerakan seperti Ji Tempun Petak Manana Sarai
membangun konsolidasi melalui platform daring, mengajak para penambang rakyat terlibat dan
masyarakat bersimpati lewat unggahan-unggahan di internet, alasan wacananya berkembang tak
lepas dari imajinasi kepemilikan asali yang dibangunnya. Mobilisasi-mobilisasi mereka
berujung bentrok yang pada akhirnya memaksa Gubernur Kalimantan Tengah pada tahun 2013
untuk menghentikan sementara operasi mereka. Langkah yang terakhir disebutkan
menyebabkan perusahaan pailit karena tidak bisa merestrukturisasi hutangnya. Bila pada kasus
gerakan perlawanan Dayak Siang Murung perusahaan akhirnya “angkat kaki”, di Sabuai, Pemda
Seram Bagian Timur akhirnya mencabut hak perusahaan bersangkutan melakukan eksploitasi
hutan.3

1
Ayomi Amindoni. (2020). Masyarakat Adat Besipae di NTT yang ‘Digusur’ dari Hutan Adat Pubabu: Anak-anak
dan Perempuan ‘Trauma’ dan ‘Hidup di Bawah Pohon’. Available online from:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53839101. [Accessed August 17, 2022].
2
Nurdin Tubaka. (2020). Berusaha Pertahankan Hutan Adat, Warga Sabuai Terjerat Hukum. Available online
from: https://www.mongabay.co.id/2020/02/28/berusaha-pertahankan-hutan-adat-warga-sabuai-terjerat-
hukum/. [Accessed August 17, 2022].
3
Christ Belseran. (2021). Saat Khaleb dan Josua Stop Kuliah, Demi Bela Hutan Leluhur Negeri. Available online
from: https://www.mongabay.co.id/2021/02/22/saat-khaleb-dan-josua-setop-kuliah-demi-bela-hutan-leluhur-
negeri-sabuai/. [Accessed August 18, 2022].

143
https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3 2
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Tentu saja, kedua kasus ini relatif eksepsional. Tak banyak dari antara perlawanan
serupa yang membuahkan hasil berarti. Apa yang terjadi dengan masyarakat Nuaulu di Maluku
Tengah, misalnya. Lantaran dikeluarkannya izin konsesi untuk PT Bintang Lima Makmur yang
merentang dari Amahai hingga Teluk Elpaputih, hutan masyarakat Nuaulu bertumpang tindih
dengan lokasi pembalakan perusahaan. Masyarakat Nuaulu kian kekurangan bahan untuk ritual
adat dan hewan konsumsi, yang biasa didapatkan dari hutan keramatnya, dan aksi-aksi mereka
yang mencakup unjuk rasa hingga dialog dengan pemerintah belum mendapatkan respons.4 Pun,
sebenarnya masih ada pertanyaan-pertanyaan selanjutnya dari kasus-kasus yang perlawanannya
dapat dianggap berhasil. Apa yang menjamin perusahaan tidak akan kembali lagi dengan skema
baru yang dapat berdampak buruk terhadap ekologi masyarakat adat? Sudah adakah ketentuan
legal formal yang menjamin hak masyarakat adat atas lahannya? Terkait pertanyaan yang
terakhir, belum ada satu peraturan yang secara jelas memberikan kepada masyarakat adat
jaminan terkait.
Terlepas dari keraguan-keraguan di atas, logika kepemilikan asali nampaknya tetap
memiliki kekuatan moral untuk menyatukan secara sosial dan memobilisasi tuntutan hak
masyarakat setempat. Ia juga yang membentuk karakter serta nuansa dari gerakan agraria. Hal
ini tak bisa dilepaskan dari karakter masyarakat Austronesia yang menempatkan lebih tinggi
mereka yang datang lebih awal (Reuter, 1992). Kecenderungan ini dibentuk oleh pergerakan
dan mobilitas masyarakat Austronesia sepanjang berabad-abad (Bellwood, 2006). Masyarakat
Austronesia lazim mengelompok dalam komunitas-komunitas kecil dan bergerak, biasanya
untuk mencari tempat yang memberikan penghidupan yang lebih baik atau lantaran adanya
permasalahan di tempat yang mereka mukimi sebelumnya. Untuk memastikan di tempat baru
tidak terjadi persengketaan pelik, akan ada pembentukan hierarki di mana mereka yang datang
lebih dahulu bakal diprioritaskan sementara sebaliknya dengan mereka yang datang belakangan.
Hierarki ini akan berpengaruh terhadap bagaimana satu kelompok dapat mengakses lahan
maupun sumber daya lainnya serta menjadi otoritas adat dan politik. Dengan sistem ini, tiap
pihak diharapkan mengetahui di manakah posisinya terhadap pihak lain serta tidak melanggar
apa yang menjadi hak masing-masing pihak (Reuter, 2006).

Di Seram sendiri, norma ini terlihat kentara dalam kehidupan sosial (Riyanto, 2022;
Valeri, 2000). Meskipun menjadi yang ada terlebih dulu tak selalu memberikan satu kelompok
otoritas administratif yang lebih, masyarakat gunung secara umum dihormati karena dianggap
sebagai asal-muasal. Pun, di antara masyarakat pesisir, posisi yang dihormati idealnya dimiliki
mereka yang datang lebih dahulu. Orang tua biasanya akan dianggap sebagai orang yang lebih
berhak memperoleh posisi dan kesempatan sosial (Boulan-Smit, 1998). Sejarah masyarakat-
masyarakat yang ada di Seram maupun Maluku Tengah itu sendiri erat dengan mobilitas.
Masyarakat berpindah permukiman lantaran kelaparan atau perang (Sachse, 1922; Tauern,
1918). Di tempat yang baru, mereka akan mengikuti masyarakat yang sudah ada. Tak heran bila
norma mendahulukan yang awal mula berkembang. Dari perspektif norma Austronesia inilah,
kita akan membaca dinamika resistensi masyarakat Maneo. Ketidakpuasan mereka dibungkus
dalam wacana pentingnya mendahulukan yang awal mula dan menghargai kehadiran mereka

4
M. Jaya Barends. (2020). Suku Nuaulu, Hutan Keramat dan Semakin Hilangnya Hutan Pulau Seram. Available
online from: https://www.mongabay.co.id/2020/12/13/suku-nuaulu-hutan-keramat-dan-semakin-hilangnya-
hutan-pulau-seram/. [Accessed August 18, 2022].

144
Published by UI Scholars Hub, 2022 3
Antropologi Indonesia, Vol. 43, Iss. 2 [2022], Art. 3
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

yang sudah bersekutu dengan wilayahnya.


Dalam banyak kasus, situasi ini kini didisrupsi oleh praktik-praktik kapitalisme
ekstraktif,5 baik yang difasilitasi secara legal oleh negara maupun yang dilakukan dengan
menerabas berbagai aturan meski biasanya tetap dilindungi oleh aparat negara lewat berbagai
bentuk kongkalikong. Lahan yang secara normatif menjadi hak masyarakat yang awal mula
menempatinya dikuasai oleh pihak yang kepentingan utamanya adalah mengeruk sumber daya
dan mencetak keuntungan finansial darinya. Praktik semacam yang difasilitasi secara legal
adalah seperti yang terjadi di wilayah adat Nuaulu. Sementara itu, yang terjadi di Maneo ada di
wilayah yang lebih abu-abu. Perkebunan kelapa sawit menggunakan sejumlah siasat sehingga
mereka dapat memanfaatkan lahan yang secara legal belum bisa mereka eksploitasi, termasuk
lahan adat Maneo. Kendati demikian, dari kedua kasus ini terlihat pula kelemahan kedudukan
legal masyarakat adat di Maluku. Baik masyarakat Nuaulu maupun masyarakat Maneo tidak
dapat melawan karena tidak adanya kerangka hukum yang secara gamblang berpihak kepada
mereka. Keduanya juga menjadi indikasi bagaimana kecenderungan kapitalistis
memberdayakan lahan untuk eksploitasi demi memperoleh keuntungan finansial mengalahkan
norma tradisional.
Meskipun tanah adat diakui oleh UU Agraria Republik Indonesia Tahun 1960 dan
perkembangan termutakhir hukum internasional mendorong pengakuan kepemilikan semacam
ini, tetap saja banyak ambiguitas dalam kerangka hukum di Indonesia yang dapat dimanfaatkan
untuk melemahkan posisi masyarakat adat (Berenschot, 2022; Wiratraman, 2022). Belum lagi,
hak atas lahan masyarakat adat acap menghalangi pemanfaatan lahan yang berpotensi
mendatangkan keuntungan ekonomis yang masif. Hal ini menyebabkan adanya ketegangan tak
kunjung henti di antara rezim legal negara dengan norma mendahulukan yang awal mula yang
berlaku secara sosial. Dengan mendeskripsikan dinamika masyarakat Maneo yang
mencerminkan ketegangan ini, tulisan ini ingin berkontribusi terhadap diskusi tentang situasi
modern masyarakat Austronesia. Bagaimana mereka mengatur kehidupannya bersama
kelompok-kelompok lain sudah acap menjadi bahan diskusi di antara para sarjana Austronesia.
Namun, bagaimana mereka merespons kepelikan yang dimunculkan oleh rezim legal negara
pascakolonial dan kapitalisme ekstraktif serta logika perlawanan yang mencuat dari sini masih
belum banyak menjadi percakapan.6 Hal ini berharga untuk didiskusikan di sini.

Metode Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada wawancara dan pengamatan terlibat yang dilakukan oleh penulis
terhadap masyarakat Maneo, Seram Utara, Maluku Tengah. Penulis sudah berinteraksi dengan
orang maneo sejak tahun 2013 ketika bertugas sebagai Ketua Klasis (tingkatan kemajelisan)
Gereja Protestan Maluku di Klasis Telutih. Penulis secara khusus mulai mempelajari dan acap
mengunjungi masyarakat Maneo sejak 2016. Penelitian ini juga ditunjang dengan studi
kepustakaan. Sejumlah studi terdahulu telah memperlihatkan secara mendalam pola kehidupan
masyarakat pegunungan Seram serta masyarakat Maneo sendiri. Studi-studi yang dilakukan
bertahun-tahun ini memberikan informasi yang sangat berguna bagi studi kami. Dalam artikel

5
Lihat Byrnes dan Collins (2017) untuk diskusi tentang kapitalisme ekstraktif.
6
Satu dari antara segelintir analisis berharga terkait tema ini yakni Yoder and Joireman (2019).

145
https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3 4
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

ini, kami tidak menuliskan nama para narasumber kami. Alasannya kami adalah demi menjaga
kerahasiaan dan keamanan mereka.

Hasil Dan Pembahasan

Kosmologi Orang Maneo


Masyarakat Maneo acap dipandang sebagai masyarakat yang outback, dan negerinya
terisolasi serta berada di daerah pegunungan. Terisolasi merupakan kategori yang dapat
diperdebatkan lantaran betapa seringnya ia digunakan untuk memaksa komunitas-komunitas di
daerah-daerah terintegrasi dengan pusat ekonomi politik sebuah negara (Li, 1999), tapi satu hal
yang tak dapat ditampik adalah karakter masyarakat pegunungan Seram tertanam pada
masyarakat Maneo. Atribut kultural orang Maneo mencerminkan atribut kultural masyarakat
pegunungan Seram. Sebagaimana orang-orang gunung lainnya di Seram seperti Huaulu (Damm,
2016), Nuaulu, atau Maraina, mereka memandang dirinya sebagai pusat dari semesta.
Kehidupan bermula dari mereka yang berada di gunung dan selanjutnya memancar ke luar, ke
berbagai belahan dunia. Selain itu, mereka mempraktikkan tradisi-tradisi yang dilakoni
masyarakat gunung Seram lainnya seperti mengambil kepala dan tarian perang, meski tentu saja
tradisi-tradisi ini kini sudah ditinggalkan atau digantikan.
Maneo sendiri sebagaimana yang diuraikan oleh Hagen (2006) tidak mengacu pada
tempat tertentu, atau orang-orang tertentu yang memiliki keberasalan sama sebagai pengikat,
tetapi merujuk pada nama leluhur. Nama ini kemudian ditempelkan pada sekelompok orang
yang mendiami wilayah antara Samal dan Kobi di utara, antara desa Kabauhari dan Manusela
di barat, Seti di timur serta meluas ke sisi selatan. Menurut cerita yang didapatkan Hagen dari
penelitiannya di tahun 1980-an, sang nenek moyang Maneo turun ke bumi secara acak. Ia turun
tanpa terlebih dahulu memeriksa apakah tempat pendaratannya sudah kering atau belum.
Lantaran bumi saat itu masih seperti ipapeta atau sagu yang sudah dimasak, sang nenek moyang
tenggelam sampai tinggal kepalanya. Ia dibebaskan berkat bantuan saudara-saudaranya,
sedangkan klan lain dengan sabar menunggu sampai tanah terbentuk sebelum mereka
melompat. Lebih lanjut, dalam percakapan dengan Hagen, para tetua Maneo menegaskan segala
sesuatu yang saat ini ada di dunia berasal dari Maneo. Dari pesawat, sepeda motor, hingga Ratu
Elizabeth, hal-hal ini terpancar dari Maneo.
Dalam versi yang lain, Maneo merujuk pada suatu komunitas yang mendiami tempat di
pegunungan yang muncul dari peristiwa Pususu. Komunitas masyarakat Maneo memiliki
tatanan hubungan sosial dengan leluhur yang telah terbangun dari dahulu. Menurut penelitian
Paays dkk. (Paays, Gaspersz, & Hetharia, 2022) yang dilakukan lebih belakangan, pada awalnya
Maneo berlindung di bawah Supa Maraina, yang oleh orang Maneo sebut sebagai Nusa
Mutuania (dunia lama). Kemudian mereka melakukan migrasi ke dunia baru (Nusa Holua). Pada
saat leluhur melakukan perjalanan migrasi, mereka melihat api sudah menyala yang berarti
bahwa di sana sudah ada orang yang beraktivitas, sekaligus menandakan bahwa gunung Pususu
(Maneo) sudah siap. Para leluhur awalnya tinggal di pohon batu, yang dikenal dengan nama
Supa Hulawano yang dalam pemaknaan orang Maneo berarti beringin emas. Beringin Emas dan
Pususu adalah simbol kekayaan alam yang tersedia untuk menjamin keberlangsungan
kehidupan mereka.

146
Published by UI Scholars Hub, 2022 5
Antropologi Indonesia, Vol. 43, Iss. 2 [2022], Art. 3
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Beringin emas ini sendiri mungkin mengingatkan pembaca yang akrab dengan cerita-
cerita asal-usul di Maluku Tengah dengan mitos Nunusaku. Nunusaku merupakan pohon
beringin tak kasat mata yang menaungi umat manusia awal mula serta menjadi dari mana
manusia berasal. Bila pohon beringin ini dikenal sebagai Nunusaku di Seram Barat (Bartels,
2017), di Seram Utara pohon serupa ada di jantung dari cerita asal-usul masyarakat
pegunungannya. Mereka membuat perjanjian di depan pohon ini untuk berpencar ke seluruh
penjuru Seram dan dunia. Pohon ini dikenal di Seram Utara dengan nama Supa Maraina dan
jelas bahwa ia merupakan referensi bagi cerita asal-usul orang Maneo tersebut.

Gambar 1. Negeri Maneo yang berada di pegunungan

Terlepas dari adanya versi cerita asal-usul yang berbeda, orang Maneo dapat dikatakan
secara umum memperlakukan masyarakatnya sebagai turunan dari leluhur pertama.
Kecenderungan ini sangat mungkin beririsan dengan sejarah yang aktual di Seram. Barisan
pegunungan Manusela di Seram tengah merupakan wilayah permukiman masyarakat gunung
yang bukan saja memiliki kultur serupa sebagaimana telah disebutkan, melainkan juga
dihormati di antara masyarakat pesisir sebagai masyarakat yang awal mula. Masyarakat di
pesisir secara sadar memandang diri mereka sebagai pihak yang datang ke Seram belakangan,
sementara yang dianggap penduduk yang pertama-tama adalah mereka yang hidup di gunung.
Pengakuan ini beserta mitos kemanusiaan yang memancar dari gunung di antara masyarakat
pegunungan dan bukti arkeologis yang menunjukkan tersedianya air dan bahan makanan untuk
mendukung kehidupan manusia sejak setidaknya 3.000 tahun silam di barisan pegunungan
Manusela memperlihatkan kemungkinan mereka yang di gunung hadir lebih awal dari
kelompok masyarakat lainnya (Mujabuddawat, 2022). Konsekuensi dari keadaan yang demikian
adalah dikaitkannya masyarakat pegunungan dengan tanah Seram, baik secara internal dari
antara mereka sendiri maupun eksternal oleh pihak-pihak luar. Masyarakat pegunungan,
misalnya, memiliki pengaruh politik dan ideologis yang kuat pada masa kolonial Belanda
(Valeri, 2000, pp. 16-18). Belakangan, pengaruh ini terlihat pada luasnya kepemilikan tanah
yang diakui dimiliki oleh masyarakat pegunungan, terlepas dari persoalan-persoalan yang juga
sudah dipaparkan di muka tulisan ini.
Terkait bentuk pola pengelolaan sumber daya alam, masyarakat Maneo sendiri memiliki
orientasi subsisten. Mereka menggarap ladang secara kolektif, merambah hutan dan juga
berburu sambil membagikan hasilnya di antara mereka. Meskipun sebagian terlibat dalam
perekonomian berorientasi komoditas atau menjadi pekerja di perusahaan-perusahaan, sebagian
besar penduduk Maneo masih mempertahankan pola-pola perekonomian tradisional yang
bergantung pada hutan. Mereka dapat menghabiskan waktu berhari-hari di dalam hutan, baik

147
https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3 6
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

itu untuk membuka dan bekerja di ladang maupun berburu. Pola permukiman mereka,
karenanya, tak terpusat di satu kampung saja melainkan tersebar. Masyarakat hidup di sejumlah
kampung yang terpisah. Suatu rumah tangga cenderung akan memilih untuk tinggal di tempat
yang dekat dengan ladang, tempat bekerjanya, atau yang lebih cocok dengan preferensi
kulturalnya. Lantaran ketergantungan terhadap hutan, orang Maneo meyakini pentingnya
keselarasan kehidupan manusia dengan alam semesta. Dalam sistem sosial-religi mereka,
sumber kehidupan tertinggi adalah Lahatala yakni Tuhan yang menciptakan manusia, tanah,
hewan, dan tumbuhan sebagai suatu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan.
Ikatan-ikatan sosial masih banyak yang didasarkan pada pertukaran dan redistribusi
kebutuhan hidup sehari-hari. Aktivitas-aktivitas komunal seperti pembagian makanan dari hasil
berburu dan tuaian bersama masih terus dilangsungkan. Dalam kegiatan berburu atau yang biasa
mereka namakan jerat (pilatu/dodesu), mereka memanfaatkan benda-benda lokal seperti bambu,
kayu, dan rotan sebagai jebakan untuk hewan-hewan di hutan. Hewan buruan utama mereka
antara lain adalah babi dan kus-kus. Hasil buruan yang didapatkan biasanya dikelola dengan
prinsip-prinsip redistribusi. Daging mentah yang diperoleh akan dibagikan kepada setiap
tetangga dan ini sudah menjadi kewajiban sosial. Sistem ini juga berlaku terkait pengelolaan
hasil alam lainya, misalnya hasil dari meramu sagu, sayur-sayuran maupun buah-buahan.
Karenanya, salah satu nilai yang ada di jantung kehidupan sosial orang Maneo ialah kemurahan
hati. Akumulasi kekayaan maupun penggunaan sumber daya alam di wilayahnya secara
berlebihan menjadi sesuatu yang tidak didorong secara sosial.

Penyerobotan Tanah di Seram Utara

Petuanan Maneo Rendah memiliki luas wilayah mencapai 75 km2 berdasarkan


pencatatan Badan Pusat Statistik Maluku Tengah tahun 2021. Sementara itu, hutan desa yang
sedang diusulkan agar disahkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan luasnya
mencapai 464,79 hektare. Hutan desa mencakup wilayah yang belum diakui oleh negara sebagai
hak dari Petuanan Maneo Rendah namun secara tradisional dianggap merupakan bagian dari
wilayah Maneo. Perkebunan Nusaina merentang di atas lahan sejumlah negeri Seram Utara
seperti Maneo, Kobi, Kabauhari, dan Aketernate. Nusaina masuk ke wilayah Maneo sejak 11
Maret 2008 dengan memegang izin usaha perkebunan dari Pemerintah Kabupaten Maluku
Tengah. Sebagai entitas bisnis, Nusaina beroperasi dengan lima entitas perusahaan antara lain
adalah PT Nusaina Aketernate Manise, PT Nusaina Agro Kobi Manise, PT Nusaina Agro
Huaulu Manise, PT Nusaina Tanah Merah Manise, dan PT Nusaina Agro Manusela Manise.
Induk kelima perusahaan ini adalah Nusaina Group. Di antara masyarakat Seram Utara, ia
dikenal cukup dengan nama Nusaina.7

7
Rusman Paraqbueq. (2020). Buntung Janji di Ladang Sawit. Available online from:
https://majalah.tempo.co/read/hukum/160698/kemarahan-penduduk-maluku-tengah-terhadap-perusahaan-
sihar-sitorus?usefree=true. [Accessed August 22, 2022].

148
Published by UI Scholars Hub, 2022 7
Antropologi Indonesia, Vol. 43, Iss. 2 [2022], Art. 3
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Gambar 2. Keberadaan perusahaan Nusaina di Petuanan Maneo

Pemilik saham perusahaan-perusahaan Nusaina tersebut adalah Sihar Sitorus, politisi


yang saat ini merupakan anggota DPR dari fraksi PDIP. Sihar juga merupakan anak DL Sitorus
yang dikenal sebagai raja sawit di Medan. Area kebun sawit kelima perusahaan Sihar mencapai
40.796 hektare. Sebagian dari antaranya yakni 15 ribu hektare merupakan tanah mitra. Tanah
ini tidak dimiliki oleh Nusaina melainkan masyarakat dan Nusaina mengklaim berhasil
mendapatkan persetujuan penggunaan tanah dari masyarakat dengan skema bagi hasil 70:30.
Pihak Nusaina akan mendapatkan 70 persen dari keuntungan, sisanya 30 persen untuk
masyarakat pemilik lahan. Izin penggunaan lahan yang dikantonginya memungkinkannya untuk
beroperasi sampai dengan tiga puluh tahun ke depan.8
Pada kenyataannya, tidak semua pihak mengetahui tentang kontrak penggunaan lahan
oleh Nusaina tersebut. Sebagian pemilik tanah mengaku tidak pernah dilibatkan dalam
penyusunan maupun penyepakatan akta notaris perjanjian kerja sama kemitraan.9 Masyarakat
Maneo pun mengalami hal serupa. Mereka tidak memiliki suara dalam mengambil keputusan
terkait penggunaan lahan di petuanan mereka untuk perkebunan Nusaina. Persisnya, mereka
menjadi korban intrik legal pihak Nusaina. Ketika Nusaina datang ke wilayah mereka, petugas
resmi memperlihatkan surat izin beroperasi mereka. Melihat surat tersebut, masyarakat hanya
bisa menurut. Meski hal ini jelas bermasalah karena untuk membuka perkebunan di atas lahan
masyarakat perusahaan memerlukan persetujuan pemilik lahan, banyak yang memilih untuk
tidak melawan karena mereka memiliki ingatan yang tidak spesifik tentang buruknya
konsekuensi melawan pemerintah, yang sangat mungkin tertoreh akibat represi pemerintah
terhadap masyarakat mereka sejak masa kolonial. Pun, masyarakat Maneo tidak memiliki
pengetahuan legal maupun akses ke pendamping hukum yang memadai. Kerumitan-kerumitan
legal yang diiringi dengan ancaman represi menjadi hal yang menakutkan buat mereka. Pihak
Nusaina lantas menindaklanjutinya dengan meminta masyarakat Maneo menyerahkan hak
menggunakan tanah adatnya lewat perjanjian. Perjanjian penyerahan tanah adat pun dilakukan
melalui akta notaris.
Dalam perkembangannya, Nusaina menawarkan sejumlah janji agar masyarakat melihat
perkebunan kelapa sawit sebagai peluang, di antaranya pembukaan jalan perkebunan yang dapat
mempermudah akses masyarakat dari Maneo ke pusat kecamatan atau pasar, menyediakan
kesempatan kerja bagi masyarakat lokal. Mereka juga menegaskan adanya peningkatan taraf

8
Ibid.
9
Ibid.

149
https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3 8
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

kehidupan masyarakat melalui perputaran uang yang hampir Rp10 miliar per bulan di wilayah
perusahaan.10 Demi memperkuat posisi perusahaan terhadap masyarakat, tokoh masyarakat dan
adat dilibatkan dalam sebuah kelompok yang disebut sebagai hubungan masyarakat (humas).
Wadah ini diharapkan dapat menengahi kepentingan perusahaan dengan masyarakat. Namun,
keberadaan perusahaan telanjur dirasakan sebagai sesuatu yang negatif karena adanya intrusi ke
wilayah mereka. Mereka tak pernah memiliki suara dalam keputusan mengizinkan Nusaina
masuk ke wilayah mereka.
Di samping mereka merasa apa yang menjadi haknya sebagai yang datang awal mula
dilanggar, ada sejumlah dampak ekologis negatif akibat perkebunan kelapa sawit yang mereka
rasakan langsung. Ladang-ladang yang posisinya berdekatan dengan kelapa sawit menyebabkan
tanaman lain kehilangan produktivitas. Sawit menyerap air dengan agresif dari tanah di
sekitarnya, membuat lahan menjadi kekurangan nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
tanaman. Data pun menunjukkan bahwa produksi beras di Seram Utara menurun drastis setelah
adanya perkebunan sawit. Produksi beras yang mencapai 6-7 ton pada 1982-1985 menurun
menjadi 2-4 ton pada 2021. Petani di Kobi dan Seti enggan menanam padi karena sawit
menyebabkan padi mereka tidak produktif.11
Di sisi lain, meski perusahaan telah beroperasi beberapa tahun, jatah bagi hasil mereka
tidak dibayarkan sampai dengan tahun 2021. Ketika ia dibayar, itu pun tidak dibayarkan penuh
sesuai apa yang dijanjikan dari awal oleh perusahaan terhadap masyarakat. Ada pemotongan
dengan alasan hasil penjualan tandan buah sawit segar tak sepadan dengan biaya-biaya yang
dikeluarkan perusahaan untuk penanaman, pemeliharaan, dan produksi. Pada 2017, diputuskan
secara sepihak oleh Nusaina bahwa masyarakat hanya mendapatkan dana kemitraan sebesar
Rp70 ribu per hektare untuk pembayaran bagi hasil empat tahun. Dalam skema perjanjian awal,
masyarakat mitra memperhitungkan mereka bisa mendapatkan hingga Rp2 juta per bulan.
Keleluasaan Nusaina untuk melakukan intrik-intrik semacam itu nampaknya bisa dipahami.
Nusaina disinyalir dibeking oleh mantan Bupati Maluku Tengah yang kini menjadi anggota
DPR dari Partai Nasdem, Abdullah Tuasikal. Abdullah Tuasikal bukan saja bermitra dengan
Nusaina Group, ia juga memberikan izin usaha perkebunan kepada perusahaan-perusahaannya
terlepas separuh area masih berada di kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK) yang belum
dilepaskan.12
Kejengkelan dan kecurigaan terhadap Nusaina berkembang seiring waktu di antara
orang-orang Maneo. Pada tahun 2018, berita bahwa ada beberapa anggota suku terasing di
Seram meninggal lantaran busung lapar ramai diangkat media nasional. “Suku terasing” ini
adalah orang-orang Mausu Ane. Masyarakat Mausu Ane hidup secara nomaden di hutan yang
tercakup dalam Petuanan Maneo Rendah. Belakangan, berita ini diketahui sebagai kabar burung
meskipun memang kebakaran sebelumnya melanda dusun sagu di wilayah ini. Namun, orang-
orang Mausu Ane sudah telanjur dimukimkan kembali ke lokasi bernama Siahari. Permukiman
kembali ini lazim dilakukan negara dalam kerangka proyek pembinaan terhadap suku-suku
terasing. Dari apa yang dijelaskan terhadap masyarakat yang dimukimkan kembali, program ini
dilaksanakan agar anak-anak “suku terasing” dapat bersekolah, memudahkan penyuluhan dan

10
Ibid.
11
Chris Belseran. (2021). Ketika Sawit Masuk Pulau Seram. Available online from:
https://www.mongabay.co.id/2021/08/24/ketika-sawit-masuk-pulau-seram-2/. [Accessed August 23, 2022].
12
Rusman Paraqbueq. Op. cit.

150
Published by UI Scholars Hub, 2022 9
Antropologi Indonesia, Vol. 43, Iss. 2 [2022], Art. 3
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

pembinaan agar hidup mereka tidak terasing. Kendati demikian, rumah-rumah yang dibangun
bertentangan keseharian orang-orang Mausu Ane. Rumah-rumah ini dibuat dengan desain urban
dari dinding papan separuh terbuka ke bagian atas, beratap seng berbentuk panjang, sementara
rumah asli masyarakat Mausu Ane berdinding gaba-gaba, beratap rumbia (anyaman daun sagu)
berbentuk ceper. Akibatnya, rumah-rumah baru menjadi sangat panas pada siang hari dan sangat
dingin di malam hari, ditambah air hujan masuk ke dalam rumah lantaran ada dinding dan langit-
langit yang separuh terbuka. Dusun-dusun sagu sumber pokok makanan mereka dan hutan, kini
menjadi jauh. Mereka harus menempuh perjalanan kaki 20 km, untuk memperoleh sagu dan
meramu makanan di hutan.
Permukiman kembali masyarakat Mausu Ane ini dilihat oleh orang Maneo sebagai
bentuk pengasingan. Lebih-lebih, permukiman ini dijaga dengan pos tentara agar masyarakat
Mausu Ane tidak kembali ke gaya hidup tradisional mereka yang nomaden. Tumbuh kecurigaan
bahwa motif dari kebijakan ini adalah agar ekspansi perkebunan sawit lebih leluasa dilakukan
di petuanan mereka. Kebakaran yang sempat terjadi di wilayah hidup orang Mausu Ane
dicurigai dilakukan secara sengaja. Kebakaran yang diikuti dengan pembukaan kembali lahan
bersangkutan sebagai perkebunan sawit adalah hal yang lumrah terjadi di berbagai wilayah
Indonesia, mengingat “insiden” ini bermanfaat untuk mengusir masyarakat yang tinggal di
sekitaran wilayah tersebut sekaligus menjadikan lahan bekas pembakaran subur untuk ditanami
sawit. Dengan bayangan demikian, masyarakat Maneo pun merasakan bahwa saat ini mereka
juga sama-sama terancam terasing oleh keberadaan perusahaan sawit.

Gambar 3. Perumahan pemukiman kembali yang telah ditinggalkan oleh orang Mausu Ane di
Petuanan Maneo

Reproduksi Identitas Maneo dan Dinamika Resistensi Subtil

Perasaan kelekatan orang Maneo dengan tanahnya dibangun lewat proses pewarisan
nilai internal di dalam keluarga, khususnya melalui percakapan di ruangan dapur. Melalui proses
ini, orang-orang Maneo terus mereproduksi identitas di antara generasi selanjutnya maupun
memperkuatnya di antara orang-orang dewasa itu sendiri. Hal ini menarik untuk dicermati,
pasalnya ketika kita membayangkan apa yang menjadi kegiatan pewarisan nilai, perhatian kita
cenderung akan terpaku pada aktivitas ritual akbar atau tahunan. Di antara masyarakat gunung
Seram, kegiatan seperti Kahua diiringi dengan penuturan sejarah dari orang-orang tua. Generasi

151
https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3 10
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

yang lebih muda akan disadarkan dengan betapa panjang sejarah mereka sebagai komunitas di
tanah Seram, yang biasanya merentang sejak awal sejarah manusia. Akan tetapi, kegiatan
bercerita yang membangun identitas komunal, dengan nuansa yang lebih informal, berlangsung
juga di ruang dapur orang-orang Maneo dan dikenal dengan nama hitinawa. Sepulang dari
kebun, sebelum maupun setelah makan, orang-orang dewasa dan anak-anak akan duduk-duduk
di dapur. Pada saat duduk-duduk di dapur inilah, anak-anak akan diberitahukan oleh orang tua
sejarah, filsafat, kepercayaan, ajaran, dan hukum-hukum adat orang Maneo. Proses ini
berlangsung terus-menerus sampai anak-anak dapat memahami apa yang disampaikan oleh
orang tua mereka.
Di dapur pula, anak-anak mendapatkan pengetahuan bahwa mereka perlu menjaga
tanahnya, belakangan dari ancaman-ancaman kehilangan lahan yang menjadi sangat nyata
lantaran kehadiran Nusaina. Dapur sendiri memiliki signifikansi sosial yang sentral dalam
kosmologi Maneo. Rumah dalam bayangan ideal masyarakat Maneo adalah tempat di mana
adik-kakak yang telah berbeda pilihan kehidupan tetap tinggal bersama. Mereka menempati
kamar tidurnya masing-masing yang menjadi ruang privat mereka, tapi mereka tetap saudara
kandung yang hidup sebagai keluarga. Mereka memiliki satu ruang keluarga, ruang publik di
mana mereka setiap hari bertemu, berdialog bukan cuma dengan di antara anggota keluarga
melainkan juga orang-orang luar. Sisanya adalah dapur. Dapur adalah ruang semi-publik yang
hanya dimiliki oleh keluarga. Ia dipergunakan untuk berbagi kehidupan, memecahkan
persoalan, dan mencari solusi bersama. Di dapur pula, bahan makanan yang berasal dari hutan
diolah menjadi makanan yang memberikan energi bagi anggota keluarga. Ia adalah bagian dari
rumah yang selalu terhubung dengan hutan dan tanah.
Dapur, karenanya, menyimbolkan apa yang menyangga kehidupan keluarga dan
mempererat hubungan di antara para anggotanya. Ia menghubungkan antara orang Maneo
dengan tanah serta dan hutan serta lokasi di mana nilai-nilai yang menjadikan mereka ada
direproduksi. Berikut kami gambarkan struktur bangunan rumah ideal yang diimajinasikan
orang Maneo, yang mungkin dapat menerangkan apa yang tak tersampaikan dengan paparan
lisan:

`
KAKAK

Ruang Keluarga KAKAK

adik
TERAS
p
Poros
tengah adik

DAPUR

Gambar 4. Imajinasi rumah ideal orang Maneo

152
Published by UI Scholars Hub, 2022 11
Antropologi Indonesia, Vol. 43, Iss. 2 [2022], Art. 3
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Apa yang belum terjelaskan adalah peran teras. Peran teras beroposisi tapi juga
berkesinambungan dengan dapur. Teras adalah bagian yang secara langsung menghadap ke
dunia sosial dan eksternal. Ia menghadap ke rumah-rumah lain dan merupakan tempat di mana
apa yang datang dari luar disambut. Sebaliknya, dapur merupakan ranah yang berhubungan
dengan tanah, lahan, kebun, serta hal-hal yang berasal dari alam yang berfaedah untuk diolah
menjadi makanan dan kehidupan.
Dengan struktur imajinasi yang demikian, kami pikir dapur menjadi penting dalam
membangun resistensi terhadap ancaman marginalisasi akibat aktivitas perusahaan Nusaina.
Meskipun saat ini masyarakat Maneo nampak tidak menunjukkan resistensi terbuka terhadap
keberadaan perusahaan, penolakan selalu diperbincangkan di antara mereka. Hal ini juga yang
menjadi alasan mengapa para pekerja dari Maneo cenderung tidak patuh dalam bekerja buat
Nusaina. Mereka bermalas-malasan, tidak datang tepat waktu, dan tidak menaati perintah
atasan. Di sisi lain, perusahaan tidak dapat melakukan apa pun karena mereka ditempatkan
sebagai pihak yang menempati tanah mereka.
James Scott (1985) menunjukan bahwa para petani penyakap di Malaysia tidak
melakukan pembangkangan secara terbuka. Pembangkangan terjadi dalam keseharian. Ide-ide
pembangkangan ini bersirkulasi di tempat yang dinamakannya transkrip rahasia (hidden
transcript), yang merupakan kebalikan dari transkrip publik (public transcript). Bentuk
perlawanan diam-diam ini dapat berupa desas-desus, pembunuhan karakter kaum petani kaya
dan sekutunya, pembakaran kebun diam-diam, bahkan pemaculan gelengan sawah hingga
sawahnya kering tak berair, serta hal-hal remeh lain. Ini sebabnya dalam kata-kata ikonik Scott,
penduduk desa bisa menundukkan badan seakan hormat kepada penguasa tapi seraya diam-diam
kentut. Dengan minimnya pilihan perlawanan terbuka yang dimiliki oleh penduduk desa,
pembangkangan secara diam-diam menjadi hal yang bisa dipahami. Situasi serupa dihadapi
orang-orang Maneo. Orang-orang Maneo tidak hanya dihadapkan dengan perusahaan
melainkan juga tentara. Mereka memiliki memori kolektif historis yang buruk terhadap aparat
negara, yang sangat mungkin tak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan pemindahan
permukiman paksa untuk melakukan pasifikasi masyarakat pegunungan dan menghentikan
perburuan kepala sejak zaman kolonial.
Mobilisasi terbuka masyarakat Maneo untuk melawan keberadaan perusahaan sempat
terjadi pada 2018. Masyarakat melakukan aksi pemalangan jalan perusahaan dengan
menggunakan simbol budaya, dalam hal ini sirih pinang. Mereka berusaha menghentikan
operasi perusahan karena perusahaan mangkir dalam persoalan pembayaran sewa tanah yang
sudah dijanjikan sejak awal. Selain itu, para pekerja Maneo hanya dibayar setengah dari upah
kerja di perusahaan. Sirih pinang sendiri acap dikonsumsi dalam keseharian maupun acara adat.
Keberadaan sirih pinang dalam sesajen merepresentasikan upaya membangun hubungan dengan
nenek moyang yang sudah meninggal. Dalam situasi ini, adanya ritual sirih pinang menjadi
sesuatu untuk menyatakan bahwa tanah yang kini dieksploitasi oleh perusahaan tanpa
mengindahkan hak masyarakat Maneo merupakan milik Maneo secara turun-temurun.
Buntutnya, kemarahan masyarakat Maneo secara terang-terangan diekspresikan dengan
pembakaran kantor perusahaan. Lantaran insiden ini, sembilan warga Maneo dipenjara selama
delapan bulan.

153
https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3 12
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Gambar 5. Ritual Siri Pinang sebagai simbolisasi protes terhadap pihak perusahaan

Saat ini, orang Maneo masih harus hidup dengan posisi pihak perusahaan yang belum
tergoyahkan. Keberpihakan politik dari negara belum jelas meskipun indikasi-indikasi
pelanggaran Nusaina sudah gamblang. Nusaina sendiri menggunakan nama yang merupakan
bagian dari mitos asal-usul di Seram dan dimuliakan. Nusaina itu sendiri berarti pulau ibu atau
pulau awal mula sebelum adanya pulau-pulau lain di dunia ini. Nusaina merupakan nama lain
dari Seram. Selain itu, perusahaan-perusahaan Nusaina mengadopsi nama masyarakat setempat
seperti Huaulu, Manusela, Kobi dan ditambahkan manise. Dari sini, terlihat bahwa ada usaha
untuk mengomunikasikan bahwa keberadaan perusahaan akan memberdayakan lahan dan
memberikan faedah untuk masyarakat. Tetap saja, hal ini tak menghilangkan kelekatan
perusahaan dengan penyerobotan lahan masyarakat di Seram Utara. Masyarakat memilah
Nusaina sebagai perusahaan yang mereka lawan dengan Nusaina yang merupakan simbol
kebudayaan penting mereka.
Sementara itu, simbol-simbol adat lain yang diberdayakan masyarakat untuk menentang
Nusaina berubah fungsi menjadi representasi kedaulatan. Dapur yang merupakan ranah di mana
kehidupan direproduksi dan hubungan kekeluargaan dilanggengkan menjadi penegas dan
pengingat bahwa mereka perlu mempertahankan tanah mereka dari penyerobotan Nusaina.
Dengan lemahnya posisi masyarakat adat di hadapan hukum dan kekuasaan, akan sangat
mungkin mereka masih akan terus menghadapi Nusaina dan intrik-intriknya dalam beberapa
waktu ke depan. Akan tetapi, pada saat yang sama hal tersebut akan menguatkan perlawanan
mereka dan simbol-simbolnya. Simbol-simbol adat dalam hal ini tidak muncul tanpa konteks
melainkan di tengah relasi eksploitatif dan sebagai bagian dari perjuangan untuk memulihkan
kedudukan bermartabat sebagai yang awal mula.

Kesimpulan
Dinamika resistensi subtil masyarakat Maneo muncul sebagai respons terhadap
penyerobotan lahan yang dilakukan Nusaina dengan memanfaatkan intrik legal serta kedekatan
dengan pemegang kekuasaan. Simbol-simbol yang dipakai dalam perlawanan merupakan
simbol-simbol adat. Mereka menunjukkan keterpautan tua di antara masyarakat Maneo dengan
tanahnya yang seyogianya dihormati oleh pihak-pihak lain. Penggunaan representasi dapur juga
membangun perasaan ketakutan yang menggugah orang-orang Maneo. Dapur diimajinasikan di
antara mereka bukan saja sebagai tempat di mana hasil alam diolah dan menghidupi mereka

154
Published by UI Scholars Hub, 2022 13
Antropologi Indonesia, Vol. 43, Iss. 2 [2022], Art. 3
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

melainkan juga di mana kebudayaan mereka dilestarikan. Hancurnya dapur berarti hancurnya
kehidupan mereka sebagai keutuhan sosial.
Dengan lemahnya perlindungan terhadap masyarakat adat maupun haknya atas tanah
serta ekspansi industri ekstraksi yang hanya akan semakin kencang, kemelut yang dihadapi oleh
masyarakat Maneo belum akan berakhir dalam waktu dekat. Demikian juga dengan di tempat-
tempat lain. Situasi serupa akan terus muncul. Masyarakat pendahulu yang dihormati dan
memiliki hak tradisional atas lahan bakal secara konstan dihadapkan dengan rezim kapitalisme
ekstraktif yang memperlakukan tanah dengan cara yang sama sekali lain. Bila tanah dibagi di
antara masyarakat Austronesia berdasarkan urutan kedatangan kelompok-kelompok masyarakat
di suatu tempat, logika kapitalisme ekstraktif melihat tanah sebagai sesuatu yang harus
dimaksimalkan potensi ekonomisnya. Kedua logika ini berseberangan dan perbenturan di antara
keduanya ada di jantung dari banyak konflik agraria di Indonesia. Kendati demikian, hal ini
berarti perlawanan juga akan terus muncul terhadap perusahaan seperti Nusaina, yang
melakukan segala cara untuk menguasai lahan yang diinginkan. Tuntutan untuk menghormati
tradisi, adat, dan yang terdahulu akan selalu menghantui mereka.

Pustaka

Bartels, D. (2017). Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku: Muslim Kristen Hidup


Berdampingan di Maluku Tengah (Jilid 1: Kebudayaan) [Under the Shadow of
Nunusaku: Christians-Muslims Living Together in Central Maluku Vol. 1]. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
Bellwood, P. (2006). Hierarchy, Founder Ideology and Austronesian Expansion. In J. J. Fox
& C. Sather (Eds.), Origins, Ancestry, Alliance: Explorations on Austronesian
Ethnography (pp. 19-41). Canberra: ANU E Press.
Berenschot, W. (2022). Land-Use Change Conflicts and Anti-Corporate Activism in
Indonesia: A Review Essay. Journal of East Asian Studies, 22(2), 333-356.
Boulan-Smit, M. C. (1998). We, of the Banyan Tree: Traditions of Origin of the Alune of
West Seram. (PhD thesis). The Australian National University, Canberra.
Byrnes, S., & Collins, C. (2017). The Equity Crisis: The True Costs of Extractive Capitalism.
In D. Lerch (Ed.), The Community Resilience Reader (pp. 95-109). New York:
Springer.
Damm, M. (2016). Spatial arrangement and the making of cosmos in Huaulu society.
Kawalu: Journal of Local Culture, 3(2), 70-95.
Hagen, J. (2006). Community in the Balance: Morality and Social Change in an Indonesian
Society. New York: Routledge.
Li, T. M. (1999). Marginality, Power and Production: Analysing Upland Transformations. In
T. M. Li (Ed.), Transforming the Indonesian Uplands: Marginality, Power and
Production (pp. 1-46). Amsterdam: Harwood Academic Publishers.
Mujabuddawat, M. A. (2022). Villages in the Foot of Manusela Mountains, Seram Island:
Reconstruction of Ancient Human Migration Based on Oral Traditions. Paper
presented at the The Southeast Asian Frontiers Workshop Series #1: Highlands,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

155
https://scholarhub.ui.ac.id/jai/vol43/iss2/3 14
Likumahwa and Pentury: Dinamika Resistensi Subtil Terhadap Penyerobotan Sawit
ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 43 NO. 1 2022

Paays, H. J., Gaspersz, S. G. C., & Hetharia, H. H. (2022). "U Puna Maisi'a Yari Maisi'a":
Kajian Teologi Kontekstual terkait Pandangan Orang Maneo di Seram Utara tentang
Tanah dan Hutan bagi Kemanusiaan Mereka. Gema Teologika: Jurnal teologi
Kontekstual dan Filsafat Keilahian, 7(1), 1-18. doi:10.21460/gema.2022.71.700.
Reuter, T. (1992). Precedence in Sumatra: An Analysis of the Construction of Status in
Affinal Relations and Origin Groups. Bijdragen tot de taal-, land-en
volkenkunde(3/4de Afl), 489-520.
Reuter, T. (2006). Land and Territory in the Austronesian World. In T. Reuter (Ed.), Sharing
the Earth, Dividing the Land: Land and Territory in the Austronesian World (pp. 11-
38). Canberra: ANU E Press.
Riyanto, G. (2022). Suspicion and Overlapping Orders of Precedence: Imagining Secret
History in Founder‐Focused Societies of Eastern Indonesia. Oceania.
Sachse, F. J. P. (1922). Mededeelingen Vanhetbureauvoordebestuurszakenderbuitengewesten
Bezittingenbewerkt door het Encyclopaedisch Bureau, Aflevering XXIX [Notices
From the Office for Administrative Affairs of the Outer Regions Assets edited by the
Encyclopaedic Office, Episode XXIX]. Weltevreden: O. Kolff.
Scott, J. C. (1985). Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance: yale
university Press.
Siahainenia, R. R. (2017). Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru
dalam Ruang Publik Virtual. Salatiga: Satya Wacana University Press.
Tauern, O. D. (1918). Patasiwa dan Patalima: Tentang Pulau Seram di Maluku dan
Penduduknya, sebuah Sumbangan untuk Ilmu Bangsa-bangsa [Patasiwa and
Patalima: On Seram Island in Maluku and Its People, a Contribution to the Science
of Nations] (F. Rijoly, Trans.). Ambon: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisonal
Maluku dan Maluku Utara.
Valeri, V. (2000). The Forest of Taboos: Morality, Hunting, and Identity among the Huaulu
of the Moluccas. Wisconsin: The University of Wisconsin Press.
Wiratraman, H. P. (2022). Adat Court in Indonesia’s Judiciary System: A Socio-Legal
Inquiry. Journal of Asian Social Science Research, 4(1), 43-62.
Yoder, L. S. M., & Joireman, S. F. (2019). Possession and Precedence: Juxtaposing
Customary and Legal Events to Establish Land Authority. Land, 8(8), 126.

156
Published by UI Scholars Hub, 2022 15

You might also like