Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

PENGALAMAN MULTIKULTURAL DAN KECERDASAN KULTURAL

(Membangun Kesadaran Multikultural Studi Kasus Pada Siswa di Sekolah Berbasis Agama)

Nina Kardina
Kardinanina753@gmail.com
BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP

ABSTRACK

This study aims to investigate students' multicultural experiences in religion-based schools and
their relationship to the development of their cultural intelligence. Globalization and increasing
cultural diversity in today's society demand education to prepare students to become individuals
who are able to interact effectively in a multicultural environment. This study uses a qualitative
approach with the case study method involving students from different cultural backgrounds at a
secondary school in a Religion-Based School. Data collection was carried out through in-depth
interviews, participatory observation, and document analysis. The collected data will be analyzed
using a thematic analysis approach to identify themes and patterns that emerge from students'
multicultural experiences. In addition, the development of students' cultural intelligence will also
be assessed through relevant assessment instruments. This research is expected to reveal students'
multicultural experiences, including social interactions with classmates from various cultures,
experiences in extracurricular activities that introduce cultural traditions, as well as experiences in
school events that emphasize cultural differences. Furthermore, this study will also evaluate the
effect of this multicultural experience on the development of students' cultural intelligence,
including understanding of other people's cultures, respect for cultural differences, and adaptability
in multicultural contexts. The implication of this research is to provide recommendations for faith-
based schools to increase students' multicultural awareness through the development of an
inclusive curriculum, social activities that encourage intercultural interaction, as well as training
and education for teachers to support understanding and respect for cultural diversity.
Keywords: multicultural experience, cultural intelligence, multicultural awareness, religion-based
schools

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki pengalaman multikultural siswa di sekolah berbasis
agama dan hubungannya dengan pengembangan kecerdasan kultural mereka. Globalisasi dan
meningkatnya keragaman budaya di masyarakat saat ini menuntut pendidikan untuk
mempersiapkan siswa agar menjadi individu yang mampu berinteraksi secara efektif dalam
lingkungan multikultural. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus
yang melibatkan siswa-siswa dari latar belakang budaya yang berbeda di sebuah sekolah
menengah di Sekolah Berbasis Agama. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
mendalam, observasi partisipatif, dan analisis dokumen. Data yang terkumpul akan dianalisis
menggunakan pendekatan analisis tematik untuk mengidentifikasi tema dan pola yang muncul dari
pengalaman multikultural siswa. Selain itu, pengembangan kecerdasan kultural siswa juga akan
dinilai melalui instrumen penilaian yang relevan. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap
pengalaman multikultural siswa, termasuk interaksi sosial dengan teman sekelas dari berbagai
budaya, pengalaman dalam kegiatan ekstrakurikuler yang memperkenalkan tradisi budaya, serta
pengalaman dalam acara sekolah yang menekankan perbedaan budaya. Selanjutnya, penelitian ini
juga akan mengevaluasi pengaruh pengalaman multikultural tersebut terhadap pengembangan
kecerdasan kultural siswa, termasuk pemahaman tentang budaya orang lain, penghargaan terhadap
perbedaan budaya, dan kemampuan beradaptasi dalam konteks multikultural. Implikasi dari
penelitian ini adalah memberikan rekomendasi bagi sekolah berbasis agama untuk meningkatkan
kesadaran multikultural siswa melalui pengembangan kurikulum yang inklusif, kegiatan sosial
yang mendorong interaksi antarbudaya, serta pelatihan dan pendidikan bagi guru untuk
mendukung pemahaman dan penghormatan terhadap keragaman budaya.
Kata Kunci: pengalaman multikultural, kecerdasan kultural, kesadaran multikultural, sekolah
berbasis agama

PENDAHULUAN

Pendidikan dan kebudayaan merupakan dua unsur dari hasil perkembangan peradaban
manusia yang sangat berkaitan antara satu dan yang lainnya. Lalu seharusnya kemajuan suatu
pendidikan tidak boleh terlepas dari kebudayaan, karena jika pendidikan lepas dari nilai-nilai
kebudayaan maka akan tercipta suatu ruang isolasi atau jarak yang cukup lebar diantara
masyarakat dan peserta didik. Pendidikan yang berjarak atau terisolasi dari masyarakat akan
menimbulkan manusia-manusia yang asing dalam lingkungannya sendiri.

Terlepas dari semua itu maka fungsi utama pendidikan bukan hanya sekedar memajukan
atau mengembangkan kebudayaan di lingkungan peserta didik, namun lebih dari itu yakni juga
sebagai miniatur kehidupan masyarakat (Dani Nurcholis, 2019). Secara garis besar maka
pendidikan dapat didefinisikan sebagai suatu usaha untuk memperkenalkan budaya dan juga
memajukan peradaban. Pendidikan juga harus dilakukan dilngkungan keluarga, sekolah dan
masyarakat guna menumbuhkan kesadaran serta sikap budaya bangsa dalam upaya untuk
menambah pengetahuan dan juga keterampilan bangsa Indonesia. (Rahman, 2015)
Pendidikan diharapkan untuk terus mampu untuk membentuk karakter bangsa yang kelak
bisa menjadi ciri khas suatu bangsa diantara bangsa bangsa lain di dunia, hal tersebut tentu tidak
terlepas dari asas pengembangan masyarakat yang berbudaya dan sadar terhadap indentitas
bangsanya sendiri. Pendidikan juga memiliki peran sebagai pengembang peradaban yang yang
dapat menyeleksi ulang nilai-nilai yang sudah tidak relevan dengan perkembangan atau kemajuan.
Pendidikan memiliki manfaat dan dimensi individual dan juga sosial.

Pada dimensi individual, dalam praktiknya ilmu yang didapat akan menjadikan perilaku
semakin arif dan juga produktif. Sedangkan dimensi sosial, akan dapat menghasilkan kebaikan,
kedisiplinan, dan sikap toleran antara sesama. Upaya untuk membangun kesadaran dalam
menghadapi suatu perbedaan memang bukanlahhal yang mudah, perlu adanya usaha yang serius
dan dilakukan secara konsisten. Sikap multikulturalisme harus terus ditanamkan bukan hanya
sekedar untuk memahami perbedaannamun juga sebagai upaya untuk terus bisa melakukan tolong
menolong 1 terhadap sesama. Selain itu upaya untuk menciptakan rasa persatuan dan kesatuan,
dan rasa kebangsaan, diperlukan langkah-langkah sistematis yang dapat digunakan sebagai respon
terhadap kontradiksi kebhinekaan yang diuraikan diatas.

Maka dalam artikel ini penulis menyampaikan penyelasaian melalui “Implementasi


Pendidikan Mutlikutural di Sekolah”. Pendidikan multikultural bisa menjadi instrumen strategis
guna membangun kesadaran atas kebanggaan seseorang terhadap keanekaragaman yang ada di
dalam bangsa dan negaranya. Adanya pengajaran multikultural di suatu lembaga pendidikan
formal diharapkan mampu mengayomi seluruh peserta didik tanpa melihat status sosioekonomi,
jenis kelamin, latar belakang kedaerahan, suku. Semua memiliki peluang untuk bisa mengenyam
pembelajaran di sekolah.

Pendidikan multikultural juga didasari oleh fakta bahwasannya siswa tidak belajar hanya
dari perbedaan, etnis yang mereka miliki mempengaruhi belajar mereka (Al Arifin, 2012).
sehingga dapat diperoleh dengan pengalaman multikultural yang didapat siswa dilingkungan
sekolah disertai dengan pendidikan multikultural yang baik disekolah diharapkan siswa dapat
memperoleh kecerdasaan kultur yang baik untuk bekal mereka dalam menghadapi perbedaan
budaya yang lebih luas lagi di lingkungan masyarakat. Berdasarkan pemaparan di atas, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menyusun artikel penelitian dengan judul
”PENGALAMAN MULTIKULTURAL DAN KECERDASAN KULTURAL”.
KAJIAN TEORI

1. Pengertian Pengalaman Multikultural


a. Pengertian Pengalaman
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengalaman adalah yang
pernah dialami (dirasai, dijalani, ditanggung, dan sebagainya) Pengalaman bisa berupa
kejadian yang terjadi baik yang sudah lama atau baru saja terjadi, dan yang terpenting
dari pengalaman adalah hikmah atau pelajaran yang bisa diambil Pengalaman juga
dapat diartikan sebagai memori episodik, yaitu memori yang menerima dan
menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat
tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi. Pengalaman dapat diperoleh
maupun dirasakan saat peristiwa baru terjadi maupun sudah lama berlangsung.
Pengalaman juga dapat menjadi tolak ukur manusia dalam melakukan aktifitas
atau merespon segala sesuatu di masa yang akan datang. Namun, pengalaman
bertentangan dengan kerja nalar formal yang memungkinkan untuk membangun teori.
Pengalaman adalah peristiwa yang benar-benar pernah dialami. Pengungkapan
pengalaman secara narasi berarti mengemukakan atau memaparkan suatu peristiwa
atau pengalaman yang pernah dialami berdasarkan urutan waktu terjadinya peristiwa.
b. Pengertian Multikultural
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan
(2002:25) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang
dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks
pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang
disebut multikulturalisme.
Akar kata multikultural adalah budaya. Pengertian kebudayaan menurut para ahli
sangat beragam, namun dalam konteks itu kebudayaan dilihat dari fungsinya yang
terarah dalam kehidupan manusia. Dalam konteks perspektif budaya ini,
multikulturalisme merupakan ideologi yang dapat menjadi alat atau sarana untuk
meningkatkan derajat kemanusiaan dan kemanusiaan. Multikulturalisme diartikan
sebagai keragaman budaya, keragaman sopan santun.
Pendidikan multikultural telah didefinisikan dari banyak perspektif dan dalam
banyak bidang ilmiah seperti antropologi, sosiologi, filsafat dan psikologi. Pendidikan
multikultural lahir karena permasalahan mereka yang tertindas karena perbedaan.
Pendidikan multikultural yang benar-benar menghargai manusia karena
memperlakukan semua orang secara setara, mampu bekerja sama, dan saling
menghormati tanpa membedakan budaya, ras, suku, agama, gender, dan pendapat.
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan
derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan
dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan
manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang
mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat
kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.
Menurut Choirul Mahfud (2011: 75) multikulturalisme dibentuk dari kata multi
(banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham).
Secara hakiki dalam kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia
yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Pengertian pendidikan multikultural menurut Andersen dan Cusher (1994:320) dalam
choirul Mahfud (2011:167) pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai
pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. James Bank (1993:3) dalam Choirul
Mahfud Pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah Tuhan). Selanjutnya Suparlan mengutip Fay Brian (1996:203),
menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi acuan utama bagi terwujudnya
masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan
mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual
maupun secara kebudayaan.
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku
umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Dapat
dismpulkan bahwa pengalaman multikultural adalah peritiwa yang pernah dialami
terkait kebudayaan pada suatu waktu.
2. Kecerdasan Kultur
a. Pengertian Kecerdasan
Definisi kecerdasan dapat dijelaskan dalam dua metode, yaitu kecerdasan secara
kuantitatif adalah kecerdasan proses belajar untuk memecahkan masalah yang dapat
diukur dengan tes inteligensi, sedangkan secara kualitatif kecerdasan merupakan suatu
cara berpikir dalam membentuk konstruk bagaimana menghubungkan dan mengelola
informasi dari luar yang disesuaikan dengan dirinya. Selain itu, pengertian kecerdasan
juga dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: 1) kemampuan menyesuaikan diri dengan
lingkungan, beradaptasi dengan situasisituasi baru atau menghadapi situasi-situasi
yang sangat beragam; 2) kemampuan untuk belajar atau kapasitas untuk menerima
pendidikan; dan 3) kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menggunakan konsep-
konsep abstrak dan menggunakan secara luas simbol-simbol serta konsep-konsep.
Menurut Daryanto (2014), kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk
memecahkan masalah yang dihadapi, dalam hal ini adalah masalah yang menuntut
kemampuan pikiran. Sedangkan, menurut Armstrong (2013), kecerdasan adalah
kapasitas/kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah dan menciptakan produk-
produk dan karya-karya dalam sebuah konteks yang kaya dan keadaan yang
naturalistik. Dan, menurut Bustomi (2012), kecerdasan adalah suatu kemampuan yang
digunakan untuk memahami informasi dalam membentuk pengetahuan dan kesadaran;
dan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses informasi sehingga masalah
yang dihadapi mampu dipecahkan serta menambah pengetahuan. Kemudian, menurut
Gardner (2013), kecerdasan adalah kemampuan umum yang ditemukan dalam berbagai
tingkat yang dimiliki oleh seorang individu untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Menurut Desmita (2015), secara umum perkembangan kecerdasan terdiri dari
empat tahapan, yaitu sebagai berikut:
a) Intelligence Quotient (IQ)
Intelligence Quotient (IQ) atau kecerdasan intelektual menggambarkan
intelegensi atau kecerdasan sebagai rasio antara usia mental (MA) dan usia
kronologis (CA). Usia mental (MA) dapat diartikan sebagai kapasitas otak yang
diukur berdasarkan usia rata-rata anak yang memiliki standar berpikir yang sama
sedangkan usia kronologis (CA) adalah umur anak ketika dilakukan tes IQ.
Dalam pandangan IQ, kecerdasan atau intelegensi seseorang diukur dengan
menggunakan sebuah tes dan hasilnya dihitung melalui sebuah rumus tertentu.
Hasil tes yang didapat menentukan tingkatan kecerdasan seseorang. Semakin tinggi
hasil tes yang didapat maka semakin tinggi pula tingkatan inteligensi seseorang,
begitupun sebaliknya.
b) Emotional Intelligence (EQ)
Emotional Intelligence (EQ) merujuk pada kemampuan mengenali perasaan
diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri maupun hubungan dengan orang
lain. Kecerdasan emosional merupakan sebuah perkembangan teori kecerdasan
yang dipopulerkan oleh Daniel Goleman. Kecerdasan ini ditemukan berdasarkan
hasil penelitian tentang neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan setiap kegiatan atau
pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang meluap-luap yang
didasarkan pada pikiran yang sehat.
c) Spiritual Quotient (SQ)
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan
untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
memfasilitasi suatu dialog antara akal dan emosi, antara pikiran dan tubuh;
menyediakan titik tumpu bagi pertumbuhan dan perubahan; menyediakan pusat
pemberi makna yang aktif dan menyatu bagi diri.
d) Multiple Intelligences (MI)
Multiple Intelligences (MI) disebut juga dengan kecerdasan jamak, yaitu jenis
kecerdasan hasil penemuan dari Howard Gardner. Menurut Gardner, manusia tidak
mempunyai satu intelegensi, tetapi memiliki banyak intelegensi, yang masing-
masing berbeda pada setiap individu. Masing-masing intelegensi ini meliputi
keterampilan-keterampilan yang unik. Selain itu, pada sebagian individu (berbakat
dan keterbelakangan mental) bisa memiliki beberapa kecerdasan sekaligus. Multiple
Intelligence adalah sebuah penilaian yang melihat secara deskriptif bagaimana
individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan sesuatu. Pendekatan ini merupakan alat untuk melihat bagaimana
pikiran manusia mengoperasikan dunia, baik hal yang bersifat konkret maupun
abstrak.
b. Pengertian kultur
Taylor (Dayakisni & Yuniardi, 2005) berpendapat bahwa kultur adalah suatu
keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan,
hukum, adat istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari manusia
sebagai anggota masyarakat. Adapun Kluckhohn dan Kelly (1945) berpendapat bahwa
kultur merupakan semua rancangan hidup yang tercipta secara historis, baik yang
eksplisit maupun implisit, rasional, irasional, yang ada pada suatu waktu, sebagai
pedoman yang potensial untuk perilaku manusia. Terdapat tiga wujud kultur yaitu :
wujud pikiran, gagasan, ide-ide, normanorma, peraturan, dan sebagainya. Wujud
pertama dari kebudayaan ini bersifat abstrak, berada dalam pikiran masing-masing
anggota masyarakat di tempat kebudayaan itu hidup.
aktifitas kelakuan berpola manusia dalam masyarakat. Sistem sosial terdiri atas
aktifitas-aktifitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu
dengan yang lain setiap saat dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat
kelakuan. Sistem sosial ini bersifat nyata atau konkret;
wujud fisik, merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan dan karya
manusia dalam masyarakat. Wujud kultur yang bersifat konkret berpola dari tindakan
atau peraturan dan aktivitas manusia di dalam masyarakat yang dapat diraba, dilihat,
diamati, disimpan atau diphoto.
Koentjaraningrat (1994) menyebutkan sifat kultur dengan sistem sosial dan fisik,
yang terdiri atas: perilaku, bahasa dan materi. Yang akan dibahas lebih lanjut disini
adalah mengenai perilaku manusia. Perilaku adalah cara bertindak atau bertingkah laku
dalam situasi tertentu. Setiap perilaku manusia dalam masyarakat harus mengikuti
pola-pola perilaku (pattern of behavior) masyarakatnya. Benedict berpendapat bahwa
penelitian yang meneliti perilaku manusia, hal pertama yang harus dipahami adalah
institusi sosial di dalam suatu masyarakat yang diteliti.
Hal tersebut dikarenakan manusia turut ditentukan oleh bentukbentuk institusi
dalam masyarakat, termasuk perilaku yang ekstrim, merupakan bagian dari
kebudayaan setempat. Mengutip kata institusi, Linton dan Kardiner mendefinisikan apa
yang disebut ‘institusi’ tersebut sebagai apa yang dilakukan, dipikirkan, dipercayai,
atau dirasakan manusia. Tempatnya ada dalam perilaku manusia, dan diakomodasi
dalam institusi tersebut. Dalam pandangan itu, kultur membangun tiap individu dan
ditemukan dalam studi terhadap perilaku individu. Dengan kata lain kecerdasan kultur
adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan situasi-
situasi baru atau menghadapi situasi-situasi yang sangat beragamdi dalam masyarakat
yang memiliki sistem sosial, kebudayaan, pola fikir yang berbeda-beda.
3. Hubungan Antara Pengalaman Multikultural Dan Kecerdasan Kultur
Dari pembahasan diatas dapat kita lihat sangat erat hubungannya pengalaman
multikural dalam membanggun kecerdasan kultur pada siswa. Dengan adanya keragaman
budaya disekolah akan memberikan pengalaman multikultural yang berbeda bagi setiap
peserta didik, sehingga butuh kecerdasan kultur dalam menanggapi keragaman tersebut,
kecerdasan ini akan didapatkan jika siswa mendapatkan pendidikan multikultural
disekolah.
Adapaun manfaat yang akan didapat siswa jika mereka memiliki kecerdasan kultur
yang didapat dari pengalaman multikultural yang ada disekolah antara lain : Seorang yang
mempunyai pengalaman multikultural biasanya akan lebih kreatif terutama dalam bidang
sosial dan budaya. Kebiasaan bertemu orang dan berkunjung ke suatu tempat dengan
beragam budaya serta adat istiadat yang berbeda menjadikannya banyak belajar dari hal
tersebut.
Keberagaman yang ada menjadikannya terus bisa mengembangkan diri terutama
dalam bidang budaya yang juga baik untuk perkembangan karier kedepannya. Seringnya
bertemu dengan orang dengan latar belakang serta kebiasaan yang berbeda akan
membuatnya mempunyai pandangan dan pengetahuan yang luas.
Pandangan serta pengetahuan itu berasal dari pembelajaran yang ia lakukan dari
berbagai karakter setiap orang dari masing-masing latar belakang yang unik dan punya
khasnya masing-masing, hal ini bisa diterapkan di dunia kerja sehingga akan meningkatkan
karier yang ada. Orang sering bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang
serta pandangan yang berbeda-beda akan mampu berpikir terbuka. Pandangan setiap orang
yang beragam membuatnya mampu belajar hingga menerapkannya di kehidupannya
seperti contohnya di tempat kerja.
Hal semacam ini akan menjadikan poin lebih di antara yang lainnya hingga bisa
mendukung dan memajukan karier yang sedang dijalani Kebiasaan yang sering bertemu
orang dari berbagai latar bekalang akan membuat kita secara perlahan akan menghargai
perbedaan. Perbedaan yang bisa membuat kita saling melengkapi satu sama lain dan bisa
belajar akan artinya rasa saling menghargai satu sama lain.
Jika hal ini kita terapkan di tempat kerja akan membuat kita dewasa dalam setiap
tindakan dan keputusan yang kita ambil hingga secara perlahan akan menjadi nilai tambah
bagi karier kita kedepan. Mempunyai pengalaman multikultural akan menjadikan kita
seseorang yang pandai dalam bersosialisasi dengan berbagai kalangan. Kebiasaan bertemu
dengan banyak orang dari berbagai latar belakang yang beragam akan membuat kita
terlatih dalam bersikap hingga berhubungan baik dengan mereka. Perlu keberanian dan
rasa percaya tinggi untuk dapat melakukan hal tersebut yang bisa saja kita terapkan untuk
memajukan karier kita sendiri.

METODELOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus untuk
menyelidiki pengalaman multikultural siswa di sekolah berbasis agama dan hubungannya dengan
pengembangan kecerdasan kultural mereka. Partisipan penelitian terdiri dari siswa-siswa yang
bersekolah di sebuah sekolah menengah berbasis agama.

Adapun tekinik pengumpulan datanya berupa; Wawancara Mendalam: Wawancara


mendalam akan dilakukan dengan siswa-siswa untuk mengeksplorasi pengalaman multikultural
mereka di lingkungan sekolah. Wawancara akan berfokus pada topik-topik seperti interaksi sosial
dengan teman sekelas dari berbagai budaya, pengalaman dalam kegiatan ekstrakurikuler yang
memperkenalkan tradisi budaya, dan pengalaman dalam acara sekolah yang menekankan
perbedaan budaya. Dan, Observasi Partisipatif: Peneliti akan mengamati partisipan dalam konteks
sekolah, baik dalam interaksi kelas, kegiatan ekstrakurikuler, maupun acara sekolah. Observasi
akan dilakukan dengan catatan lapangan yang mencakup pengamatan tentang pengalaman
multikultural yang muncul dalam situasi tersebut.

Data yang terkumpul akan dianalisis menggunakan pendekatan analisis tematik. Langkah-
langkah analisis meliputi pemilihan unit analisis, pengkodean data, identifikasi tema, dan
pembuatan kategori. Data wawancara, catatan lapangan, dan dokumen akan dianalisis secara
terpisah dan kemudian akan digabungkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif
tentang pengalaman multikultural siswa. Untuk meningkatkan keabsahan penelitian, langkah-
langkah yang akan diambil meliputi triangulasi data dengan menggunakan metode pengumpulan
data yang berbeda, refleksi peneliti, dan memberikan laporan temuan awal kepada partisipan guna
mendapatkan umpan balik mereka.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Membangun Kesadaran Multikultural Pada Siswa di Sekolah Berbasis Agama. James


Banks mengemukakan beberapa tipologi sikap seseorang terhadap identitas etnik atau cultural
identity, yaitu:

1. Ethnic psychological capacity: pada tingkat ini seseorang masih terperangkap dalam stereotipe
kelompoknya sendiri, dan menunjukkan rasa harga diri yang rendah. Sikap tersebut
menunjukkan sikap kefanatikan terhadap nilai-nilai budaya sendiri dan menganggap budaya
lain inferior.
2. Ethnic encapsulation: pribadi demikian juga terperangkap dalam kapsul kebudayaan sendiri
terpisah dari budaya lain. Sikap ini biasanya mempunyai perkiraan bahwa hanya nilai-nilai
budayanya sendiri yang paling baik dan paling tinggi, biasanya memiliki sikap curiga terhadap
budaya atau bangsa lain.
3. Ethnic identities clarification: pribadi semacam ini mengembangkan sikapnya yang positif
terhadap budayanya sendiri dan menunjukkan sikap menerima dan memberikan jawaban
positif kepada kepada budaya – budaya lainya.
4. The ethnicity: pribadi ini menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap budaya yang
datang dari etnis lain, seperti budayanya sendiri.
5. Multicultural ethnicity: pribadi ini menunjukkan sikap yang mendalam dalam menghayati
kebudayaan lain di lingkungan masyarakat bangsanya.
6. Globalism: pribadi ini dapat menerima di berbagai jenis budaya dan bangsa lain. Mereka dapat
beraul secara internasional dan mengembangkan keseimbangan keterikatannya terhadap
budaya budaya bangsa dan global. Implementasi pendidikan multikultural di sekolah memiliki
beberapa spesifikasi.

Dikatakan oleh Banks (1993: 254) bahwa “Schools that have a commitment to develop
pluralism must appear in: (1) developing respect for school activities for ethnic diversity, (2)
developing cohesiveness based on joint participation from several cultural groups, (3) giving
maximum opportunities for all individuals and groups, (4) facilitating constructive change that can
enhance the dignity and ideals of democracy.

Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru-guru di sekolah perlu memperhatikan aspek-
aspek di atas dengan caracara: pertama, mengajar bukanlah sekedar mengucapkan kata-kata,
namun perlu memberi kesempatan peserta didik untuk mengembangkan dan aktif mencari serta
mengolah pengetahuan/informasi yang diperoleh, sehingga menjadi suatu pemahaman yang
terintegrasi dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik, kedua,
pengembangan budaya agar dapat difahami dengan baik dan bersifat sesuai dengan realita
kehidupan peserta didik, ketiga, peserta didik datang ke sekolah dengan pengetahuan awal yang
dimilikinya, sehingga pembelajaran harus mampu mengkaitkan konsep baru dengan pengalaman
yang telah dimilikinya.

Model pendidikan multikultural pada konteks sekolah mengelompok berdasarkan etnis-


agama (ethno-religio segregation/ E-RS) di Kota Pontianak berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Supardi dan Sumarno (2014) adalah pendidikan yang mengendorkan tingkat prasangka
(prejudice) dan stereotip negatif antarkelompok etnis-agama. Model ini dikembangkan dari
konsep-konsep pendidikan multikultural lainnya, misalnya model akomodasi keragaman identitas
agama, ras, etnis, dan potensi individu dari Baso (2003), Semiawan (2003), dan Bank (Hammond,
1993); keragaman budaya (cultural diversity) dan kesetaraan (equality) dari Gollnick & Chinn
(2007) dan Banks (2003, 2001); reformasi sekolah dari Fullan (1997); inklusif dari Yaqin (2006),
Walker & Dimmock (2005), dan Swetnam (2003); model integrasi dan keterwakilan dari Salomon
(Beardslee, 2004); atau model tiga dimensi usaha perubahan dari Banks (Banks, 1997; Hammond,
1993), yaitu penguatan budaya sekolah (empowering school culture), integrasi muatan kurikulum
(content integration), dan pengendoran prasangka (prejudice reduction). Prasangka (prejudice) dan
stereotip antar kelompok etnis-agama berkembang dalam masyarakat etnis Melayu, Dayak,
Tionghoa, dan Madura di Kota Pontianak disebakan oleh faktor sejarah sosial-politik masa lalu di
Kalimantan Barat.

Pendekatan diskriminatif pemerintahan kolonial, struktur politik kekuasaan sentralistik


pemerintahan pra-reformasi, dan konflik komunal telah merenggangkan ikatan sosial
antarkelompok masyarakat dan memupuk prasangka (prejudice) dan stereotip, membenci dan
memberi sifat bias pada kelompok lain yang berbeda. Di bidang pendidikan siswa dari kelompok-
kelompok etnis korban bencana sosialpolitik masa lalu ini mengelompok di sekolahsekolah swasta
berdasarkan etnisagama. Pola hubungan antarkelompok etnisagama dari sekolah berbasis agama
ini ini dapat dilihat dari sikap dan perilaku berprasangka (prejudice) dan stereotip siswa terhadap
kelompok etnis-agama diri (ingroup) dan kelompok etnis-agama lain (outgroup).

Pola ethno-sentrisme khas terdapat pada masing-masing kelompok, yaitu adanya


kecenderungan sikap untuk menaikan nilai dan harga diri kelompok, dan secara bersamaan
menurunkannya pada kelompok yang lain. Hubungan kelompok etnis Melayu-Dayak, Melayu-
Tionghoa, Melayu-Madura membentuk pola cinta-benci (approach-avoidance) atau benci-cinta
(avoidanceapproach); DayakTionghoa, saling menyukai (approachapproach), bagaikan dua
kelompok berbulan madu (honey moon) yang saling mendukung; Dayak-Madura, saling
membenci (avoidance-avoidance) atau cenderung berseteru (conflicting pair). Terdapat juga
indikasi yang menjadikan kelompok etnis Madura sebagai target konflik dan Tionghoa sebagai
etnis sanjungan. Tinggi rendah prasangka (prejudice) dan stereotip yang pada masingmasing
kelompok juga menunjukkan sensitivitas kelompok, kuat-lemahnya sikap dan perilaku kejiwaan
dan kedalaman emosi yang memandang penting kehadiran lembaga etnis dan agama pada diri
individu atau kelompok.

Kelompok etnis Dayak sangat sensistif pada faktor etnis, Melayu sangat sensisitif pada
faktor agama, Madura pada keduanya, sebaliknya Tionghoa pada faktorfaktor lain selain etnis dan
agama. Efektifitas dan keberhasilan dalam membina hubungan antarkelompok dengan masing-
masing kelompok ini tergantung pada kecerdasan dalam memahami dan membedakan faktor-
faktor sensitivitas ini pada kelompok dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Sifat dan sikap ramah
atau keramahan melalui pendidikan multikultural diyakini dapat mengendorkan sikap dan perilaku
berprasangka (prejudice) dan stereotip antarkelompok di sekolah-sekolah berbasis agama.
Menurut hasil penelitian Supardi dan Sumarno dan Sumarno (2014) bahwa untuk membangun
kesadaran multikultural pada siswa yang bersekolah di sekolah berbasis aama yaitu denan
melakukan aksi RAMAH (Rencana Aksi Pendidikan Multikultural Agar Harmonis) ramah atau
keramahan dalam sifat dan sikap siswa dibangun melalui berbagai usaha pendidikan dan usaha
sekolah, seperti pembauran (kontak) siswa pada kegiatankegiatan sosial kooperatif yang dirancang
bersama, memuati kurikulum dan materi pengajaran dengan informasi multibudaya yang relevan,
beragam, dan bernilai positif, terutama tentang norma dan nilai budaya dan aama kelompok etnis
yang diteliti.

Dalam hal ini model pendidikan critical multikulturalisme dapat dipakai untuk membangun
kesadaran multikultural di sekolah yang berbasis agama agar setiap etnis bisa saling terbuka dan
akhirnya memahami perbedaan masing-masing. Usaha konstruktif ini diharapkan menumbuhkan
citra positif, secara bersamaan mengendorkan tinkat prasanka (prejudice) dan bias pendapat
(stereotip) terhadap pihak lain yang berbeda, hingga akhirnya terjalin kerja sama dan kehidupan
yang harmoni.

KESIMPULAN

Kesadaran multikultural pada siswa yang bersekolah di lingkungan monokultural seperti


sekolah berbasis agama bisa ditanamkan dengan usaha sekolah untuk memberikan kesempatan
berbaur (kontak) antar siswa pada kegiatankegiatan social kooperatif yang dirancang bersama,
memuati kurikulum dan materi pengajaran dengan informasi multibudaya yang relevan, beragam,
dan bernilai positif, terutama tentang norma dan nilai budaya dan agama kelompok etnis yang
diteliti. Dalam hal ini model pendidikan critical multikulturalisme dapat dipakai untuk
membangun kesadaran multikultural di sekolah yang berbasis agama agar setiap etnis bisa saling
terbuka dan akhirnya memahami perbedaan masing-masing. Usaha konstruktif ini diharapkan
menumbuhkan citra positif, secara bersamaan mengendorkan tingkat prasangka dan bias pendapat
terhadap pihak lain yang berbeda, hinga akhirnya terjalin kerja sama dan kehidupan yang
harmonis.
DAFTAR PUSTAKA

Bustomi, M. Yazid. 2012. Panduan Lengkap PAUD (Melejitkan Potensi dan Kecerdasan Anak
Usia Dini. Jakarta: Citra Publishing.

Choirul,Mahfud. 2011. Pendidikan Multikultural. Jakarta: Pustaka Pelajar

Daryanto. 2014. Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogyakarta: Gava Media.

Desmita. 2015. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Gardner, Howard. 2013. Multiple Intelligences, Kecerdasan Majemuk Teori dalam Praktik.
Jakarta: Interaksara

Kluckhohn, C., & Kelly, W.H. (1945). The concept of culture. In R. Linton (Ed.). The Science of
Man in the World Culture. New York.

You might also like