Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam

Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-130.

Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak


Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

Basyir Arif
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia
arifbasyir@uinjkt.ac.id
Arif Dwi Haryanto
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia
arif.haryanto9618@mhs.uinjkt.ac.id

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam is licensed under a CC BY

Abstract: This research discusses the implementation of good and bad in moral
philosophy from the perspective of Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, one of the
contemporary philosophers from Iran. The purpose of this research is because in today's
reality there are still many people who do not know the true meaning of good and bad.
The words good and bad are so abstract in value for most people. This research is a
literature study with a qualitative approach where research data is obtained from
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi's works in the form of books and lectures. The result of
this study is that Muhammad Taqi Mishbah Yazdi stands on his rational argument, he
believes that human beings are able to know what good and bad mean independently.
Also that the concept of good and bad has only two postulates, the first postulate is
everything that is useful in achieving the goals we want is good, and the second postulate
is everything that hinders the achievement of the goals we want is bad. Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi's moral arguments are based on epistemological conditions. In his
formulations, he also gets references from Western thought (pragmatism and
utilitarianism). His ideas are influenced by Mullā Shādrā's philosophy of
transcendentalism.
Keywords: Good and bad, Morals, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

Abstrak: Penelitian ini membahas tentang implementasi baik dan buruk dalam filsafat
akhlak menurut perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, salah satu filsuf kontemporer
asal Iran. Bahwa dimaksudkan adanya penelitian ini adalah karena dalam realitas
sekarang masih banyak yang awam tentang arti baik dan buruk yang sesungguhnya. Kata
baik dan buruk begitu abstrak nilainya bagi kebanyakan orang. Penelitian ini adalah
kajian pustaka dengan pendekatan kualitatif, dimana data penelitian diperoleh dari
karya Muhammad Taqi Mishbah Yazdi berupa buku dan ceramahnya. Hasil penelitian
ini bahwa Muhammad Taqi Mishbah Yazdi berdiri pada argumen rasionalnya, ia
menganggap bahwa manusia mampu mengetahui apa makna baik dan buruk secara
mandiri. Juga bahwa konsep baik dan buruk hanya memiliki dua postulat, postulat
pertama adalah segala sesuatu yang berguna dalam pencapaian tujuan yang kita

113
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

inginkan adalah baik, dan postulat kedua adalah apa saja yang menghambat pencapaian
tujuan yang kita inginkan adalah buruk. Argumen-argumen akhlak dari Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi dibangun dari keadaan epistemologis. Dalam formulasinya, ia juga
mendapat referensi dari pemikiran barat (pragmatism dan utilitarianisme). Gagasan
pemikirannya dipengaruhi oleh filsafat transendentalisme dari Mullā Shādrā.
Kata Kunci: Akhlak, Baik dan buruk, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi
Pendahuluan
Nabi saw. diutus kepada umat untuk menyempurnakan akhlak. Hifdz al-‘Irdh
(menjaga kehormatan) termasuk dari satu tujuan dari tujuan syariat agama itu diturunkan
dan diterapkan dalam kehidupan manusia.1 Syariat agama mengajarkan kedamaian.
Namun, paradoksnya tidak sedikit kasus-kasus kekerasan non-moral yang
mengatasnamakan agama bahkan mengatasnamakan Tuhan.
Pembahasan akhlak di dalam Islam termasuk pada tingkatan ilmu yang utama
untuk dipahami. Bahkan al-Quran menyatakan bahwa pembinaan akhlak dan penyucian
jiwa merupakan salah satu tujuan diutusnya para Rasul dan Nabi. 2 Akhlak adalah salah
satu ajaran yang fundamental dalam Islam selain ajaran akidah dan syariat. Akhlak juga
disebut sebagai jalan hidup (way of life) dan jalan menuju kesempurnaan yang hakiki.
Akhlak sebagai pembimbing manusia untuk selalu dapat terhubung dengan Tuhan.3
Esensi dari pembahasan akhlak dalam Islam adalah akhlak Qur’ani, yang juga
sebagai jembatan antara teologi dengan hukum.4 Lalu, al-Qur’an yang dianggap terlibat
dalam setiap kehidupan moral, kehidupan keagamaan, dan kehidupan sosial umat
Muslim, tidak berisikan teori-teori etika secara baku dan jelas, meskipun secara tersirat
al-Qur’an mampu membentuk dari keseluruhan ethos Islam. Pertanyaannya adalah
bagaimana cara supaya ethos menjadi sesuatu yang penting untuk dipelajari dalam
aktivitas intelektual dalam Islam? Para filosof sendiripun dalam membangun argumen
moral tidaklah sepenuhnya berasal dari al-Qur’an, ada pengaruh dari India, Yunani,
Kristen, dan lainnya yang membentuk argumen moralnya.5
Permasalahan akhlak berada pada posisi yang sentral di pergulatan intelektual
Islam. Para akademisi telah mendalami dan memperdebatkan berbagai aspek akhlak

1
Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat, vol. 1 (Saudi Arabia: Dar Ibn Affan, 1997).
2
Terj. QS. Al-Jumuah: 2
3
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, The Philosophy of Ethics (Qom: Hikmah Publications, 2013),
18–19.
4
Fazlur Rahman, Islam & Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual Terj. Ahsin Mohammad
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), 186.
5
Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, Terj. Zakiyuddin Baidhawy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996).

114
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

selama berabad-abad, mencari jawaban atas berbagai pertanyaan etis yang muncul dari
konteks kehidupan. Lebih dari itu, aktivitas sosial secara umum tidak akan terlepas dari
penilaian baik dan buruk yang begitu banyak perspektif atas standarisasinya. Pada
hakikatnya akhlak cakupannya melebihi dari sekedar perbuatan atau tindakan manusia,
melainkan akhlak adalah gambaran bagi jiwa manusia yang tersembunyi. Oleh karenanya
dapatlah disebutkan bahwa akhlak itu adalah bersifat kejiwaan atau sesuatu yang abstrak
dan bentuknya yang terlihat bernama tindakan atau perilaku, maka akhlak adalah sumber
dan perilaku adalah bentuknya.6
Seperti yang kita ketahui bahwa konsep akhlak dan konsep agama itu sama-sama
menuju kepada kebenaran, tetapi ada saja manusia yang memang menolak pada
kebenaran. Keterhubungan antara agama dan akhlak sebenarnya dapat dikaji dengan
ruang lingkup yang luas bahkan kajian ini memiliki latar belakang yang sudah berumur
ribuan tahun. Beberapa pemikir menempatkan agama dan akhlak pada tingkatan yang
setara, ada juga beberapa yang menempatkan akhlak sebagai bagian dari agama dan
memasukan ajaran-ajaran agama ke dalam prinsip-prinsip akhlak. Ada yang berpendapat
jika kedudukan agama dalam tatanan kehidupan sudah tersingkir, maka prinsip akhlak
secara otomatispun juga akan hilang, namun ada pula yang berpendapat sebaliknya, yakni
bahwa kepercayaan manusia terhadap Tuhan, justru hal itulah yiang menjadi perusak
prinsip akhlak.7 Lalu apakah hanya agama yang memiliki otoritas penuh terhadap
pembentukan konsepsi akhlak.
Ibn Miskawayh (932-1030 M), etikawan asal Persia dengan masterpiecenya
Tahdhib al-Akhlaq menyampaikan bahwa akhlak merupakan inti dari kebahagiaan dan
keselamatan seseorang, serta merupakan fondasi bagi kesuksesan di dunia dan akhirat.
Ibn Miskawayh berpendapat bahwa tindakan-tindakan manusia dan karakternya secara
langsung mempengaruhi kehidupan mereka dan nasib mereka di masa depan.8
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa perbuatan manusia dipersepsi ada yang
baik dan ada yang buruk. Tindakan manusia bisa berbeda nilainya dari sudut pandang
subjektif, kadang dianggap baik oleh seseorang, kadang pula dianggap buruk oleh
seseorang lainnya. Lalu bagaimanakah tolak ukur yang sebenarnya? Pada dasarnya nilai

6
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 53.
7
Hasan Yusufian, Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama, terj. Ali Passolowangi
(Jakarta: Sadra International Institute, 2014), 379.
8
Ibn Misykawayh, Tahdhib Al-Akhlaq, vol. 1 (Baghdad: Mansyurat al-Jamal, 2011).

115
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

dari perbuatan itu adalah relatif. Karena banyaknya sebab dalam penentuan nilai tersebut,
seperti aspek agama, kepercayaan, cara berpikir, ideologi, lingkungan, dan lain
sebagainya.
Dari sejarah yang panjang tentang perdebatan-perdebatan akhlak dan banyaknya
persepsi perihal kebaikan dan keburukan, merujuk pada penjelasan dari Harun Nasution
yang mengatakan bahwa posisi tentang konsep baik dan buruk dalam Islam sangatlah
penting. Dimana konsep yang menjadi perdebatan hangat bagi para kaum teolog, dan
pokok masalah dari konsep tentang baik dan buruk adalah: Dapatkah manusia dengan
akalnya mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk? Ataukah manusia
sangat membutuhkan wahyu untuk mengetahui konsep tersebut?9
Dalam penentuan nilai dari perbuatan manusia ada beberapa istilah yang
sebenarnya memiliki makna yang senada. Beberapa istilah itu adalah “etika” dan “moral”
yang biasa digunakan dalam suku bahasa latin, serta istilah “akhlak” yakni serapan yang
berasal dari bahasa Arab. Dalam penelitian ini sendiri akan menggunakan istilah akhlak
agar sesuai dengan tema penelitian yakni filsafat Islam dan juga sesuai dengan objek
penelitian bahwa Muhammad Taqi Mishbah Yazdi yang menggunakan istilah akhlak
dalam menjelaskan tentang perbuatan manusia. Sebelum masuk lebih jauh tentang
bagaimana konsep-konsep dari baik dan buruknya perbuatan manusia, maka bagaimana
perbedaan dan cara pakai antara istilah seperti “etika”, “moral”, dan “akhlak”?
Yang pertama adalah istilah etika, secara bahasa “etika” berasal dari bahasa
Yunani kuno yakni dari kata ethos yang dalam bentuk jamak memiliki banyak arti:
habitat, kebiasaan, adat, watak, sikap, cara berpikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ta
etha memiliki arti adat kebiasaan.10 Dalam bentuk jamak itulah Aristoteles gunakan
sebagai istilah filsafat moral. Jika dibatasi istilah etika ini pada latarbelakang bahasa
tersebut, maka etika bisa diartikan sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau
ilmu tentang adat kebiasaan. Bisa juga diartikan bahwa etika adalah yang membahas
konvensi-konvensi sosial yang ditemukan dalam kehidupan bermasyarakat.11
Tapi apakah istilah etika ini hanya istilah yang bisa digunakan sebagai sesuatu
yang dimaksudkan sebagai ilmu? Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi baru, maka terdapat tiga bentuk penjelasan: “1) ilmu tentang apa yang baik dan apa

9
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, vol. 1 (Jakarta: UI Press, 2018).
10
Kees Bertens, Etika (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 4.
11
Bertens, Etika, 3–4.

116
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; 2) kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan moral; 3) nilai mengenai benar atau salah yang dianut oleh golongan
atau masyarakat”. Para ahli bahasa juga menambahkan istilah “etik”,12 istilah ini
dipergunakan untuk arti ke-2 dan ke-3 dalam KBBI, sedangkan “etika” dikhususkan
untuk aktivitas keilmuan. Dapat diartikan bahwa “etika” adalah ilmu yang mempelajari
“etik”.13
Dari segala penjelasan latar belakang bahasa tersebut, istilah etika ini merujuk
pada ranah intelektual. Etika adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang arti baik dan
buruk.14 Etika adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah perbuatan dan tingkah
laku manusia, segala sesuatu yang dapat dinilai baik dan dapat dinilai buruk,15 inilah
“etika sebagai istilah intelektual”. Etika (sebagai istilah intelektual) akan bisa digunakan
ketika segala keyakinan-keyakinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang sesuatu yang
dianggap baik atau buruk) yang tanpa disadari bisa begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat dijadikan bahan refleksi kritis bagi suatu penelitian yang sistematis dan
metodis.16
Istilah moral dalam kajian etimologi tidak berbeda jauh pengertiannya dengan
etika. Kata moral berasal dari bahasa latin mos yang berarti kebiasaan namun kata mos
ini adalah bentuk dari kata sifat atau kata keterangan, jadi kata ini hanya bisa digunakan
jika dihubungkan dengan kata lainnya, dengan kata lain istilah moral ini tidak bisa berdiri
sendiri. Seperti contohnya dalam dunia intelektual ada istilah scientia moral atau
philosophia moral.17
Seperti yang telah disebutkan tadi bahwa istilah moral sesungguhnya memiliki
makna yang senada dengan istilah etika sekalipun berbeda bahasa dan latar belakang.
Dari istilah moral ini juga muncul istilah yang lebih abtrak yaitu “moralitas” (dari bahasa
Latin moralis), istilah yang membicarakan sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai

12
Istilah “etik” ditambahkan di KBBI edisi ke-2 tahun 1991, yang mana pada KBBI edisi pertama
tahun 1988 belum tercantum istilah “etik”. Dimana istilah “etik” ini ditambahkan supaya ada pembeda
antara arti pertama “Etika” dengan arti ke-2 dan ke-3nya. Karena, menurut para ahli bahasa, kata yang
berakhiran “-ika” harus digunakan untuk menunjukkan ilmu, maka ditambahkan istilah “etik” untuk
mengacu pada arti ke-2 dan ke-3.
13
Bertens, Etika, 4–5.
14
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 3.
15
Burhanuddin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),
3.
16
Bertens, Etika, 5.
17
Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral, 1.

117
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

yang berkenaan dengan baik dan buruk.18 Moral dianggap sebagai kata sifat dan moralitas
adalah kata benda yang merujuk pada arti kondisionalnya atau keadaan bermoral.
Kemudian pada istilah yang akan digunakan pada penelitian ini yakni istilah
akhlak. Kata akhlak ini berasal dari bahasa Arab yang mana merupakan bentuk plural dari
kata khulq yang memiliki arti karakter atau sifat.19 Ada beberapa pengertian dari istilah
akhlak yang dikemukakan oleh Muhammad Taqi Mishbah Yazdi.
Pertama, akhlak sebagai sifat batin yang mapan, arti ini adalah arti yang paling
sering digunakan oleh para kalangan ulama, yakni akhlak adalah sifat-sifat yang melekat
kuat pada jiwa manusia.20 Seperti pandangan dari Ibn Miskawaih yang mengatakan,
“Akhlak adalah karakter yang melekat pada jiwa manusia yang mendorong
penyandangnya untuk melakukan suatu perbuatan atau tindakan tertentu, bahkan tanpa
melalui pertimbangan dari pikiran”.21
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi juga menjelaskan bahwa akhlak adalah karakter
dari jiwa manusia yang akan dengan mudah melahirkan suatu tindakan dari
penyandangnya, sebagian karakter ini bersifat inheren dan kodrati pada diri manusia dan
Sebagian lainnya bersifat aksidental yang diperoleh jiwa lewat pertimbangan pikiran,
usaha berulang-ulang dan pembiasaan diri.22 Maka dari penjelasan tersebut, akhlak hanya
bisa digunakan jika memang sudah melekat kuat pada diri seorang manusia, seperti
contoh dari sikap sabarnya dari seorang yang memang penyabar ini bisa dikatakan dengan
akhlak, tetapi marahnya seorang yang penyabar ini tidak termasuk akhlak.
Kedua, akhlak sebagai sifat batin. Arti ini berbeda dari yang pertama, arti ini tidak
mementingkan seberapa kuat atau lemahnya karakter pada jiwa, beberapa ulama
berpendapat bahwa akhlak ini sifat batin yang menyebabkan munculnya tindakan-
tindakan yang baik ataupun yang buruk tanpa mementingkan kuat atau lemahnya
kelekatan sifat tersebut ddengan jiwa manusia.23
Ketiga, akhlak sebagai lembaga. Dalam pengertian ini, akhlak disejajarkan
dengan seni, sains, hukum, dan agama. Akhlak dianggap sudah ada bahkan sebelum

18
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), 51.
19
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, The Philosophy of Ethics, terj. Shiraz Husain Agha (Qom:
Hikmah Publications, 2013), 1.
20
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 2.
21
Barsihannor Nizar dan Muhammad Amri, “Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih,” Jurnal Kuriositas
11, no. 1 (2017): 54.
22
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 3.
23
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 3.

118
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

manusia ada, maka dari itu manusialah yang ikut masuk ke dalam sistem akhlak dan
terlibat aktif bersamanya. Jadi akhlak sama sekali tidak bergantung pada manusia sebagai
pelakunya, karena ia akan tetap ada setelah umat manusia tidak ada, akhlak akan menjadi
sebuah perangkat sosial bagi manusia.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi hadir dengan menyesuaikan perdebatan-
perdebatan akhlak dengan isu yang kebaruan dan juga berusaha melerai serta mengikis
habis persilihan persoalan moral yang ada dengan menyamakan persepsi terlebih dahulu
tentang kebaikan dan keburukan tindakan. Landasan akhlak dan prinsip yang utuh tentang
baik dan benar bagi Muhammad Taqi Mishbah Yazdi juga akan membawa peradaban
manusia ke arah yang harmonis.

Konsepsi Akhlak dan Posisi Pemikiran Muhammad Taqi Misbah Yazdi


Perdebatan-perdebatan konsep akhlak dalam dunia Islam, Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi menjelaskan bahwa muncul tiga teori universal akhlak. Yang pertama
adalah konsep universal esensial (bahwa akhlak itu konsep yang esensial seperti halnya
konsep manusia atau konsep warna), yang kedua adalah konsep universal logis (seperti
halnya konsep universal dan partikular), dan yang ketiga adalah konsep universal falsafi
(bahwa konsep akhlak itu seperti konsep kausalitas).24
Pertama, konsep universal esensial, secara singkat konsep ini ingin mengatakan
bahwa konsep universal ini adalah yang telah terabstraksi oleh akal setelah menangkap
konsep-konsep yang partikular.25 Maka artinya dengan konsep ini akal manusia secara
pasti mampu mengabstraksi konsep-konsep yang universal esensial dari pengetahuan-
pengetahuan partikular yang telah didapatnya melalui indra maupun intuisi. Jika konsepsi
akhlak adalah universal esensial maka pembahasannya akan berada pada seputar keapaan
atau esensi dari realitas objektifnya. Maka konsepsi akhlak secara universal baru akan
tercapai jika akal manusia sudah bertemu dengan konsep akhlak yang secara partikular,
sama seperti konsep “putih” yang baru bisa tercapai konsep universalnya ketika kita
sudah melakukan kontak atau mempersepsi beberapa entitas (partikular) yang berwarna
putih.

24
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 23–24.
25
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 24.

119
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

Kedua, konsep logis, berbeda dengan konsep esensial, konsep logis ini sama
sekali tidak berkaitan dengan realitas objektif (entitas-entitas). Konsep logis hanya
menjelaskan pada ranah ciri khas konsep-konsep di mental. Adapun proses
kemunculannya adalah pengamatan pada konsep-konsep esensial yang telah ditangkap
oleh mental dan hasil dari pengamatan itu muncul sebagai atribut untuk seseorang secara
personal. Dengan kata lain bahwa konsep universal logis ini tidak dapat dikaitkan dengan
realitas objektif di luar karena mereka adalah yang parsial tidak universal.26 Singkatnya,
konsep-konsep logis hanyalah karakter atau ciri khas yang melekat pada konsep mental.
Penggunaannya sama seperti pada ilmu-ilmu logika.
Ketiga, konsep universal falsafi. Konsep ini adalah konsep universal yang mana
akal manusia mampu memperolehnya dan dalam prosesnya terdapat komparasi atas
beberapa entitas.27 Secara singkatnya konsep ini menjelaskan hubungan antara entitas-
entitas yang ada di luar dengan ciri khas eksistensialnya atau lebih tepatnya konsep
universal falsafi ini bekerja pada kedua koridor universal esensial dan universal logis.
Konsepsi akhlak akan seperti konsep kausalitas yaitu yang diperoleh oleh akal atas
pengamatan terhadap dua entitas dan pengamatan atas hubungan dua entitas tersebut.
Demikianlah penjabaran tentang pembagian konsep universal dari konsepsi
akhlak, lalu pertanyaannya adalah dimanakah posisi filsafat akhlak dalam pandangannya
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi?
Menurut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi bahwa terdapat dua bentuk dalam
kemunculan dari statemen-statemen akhlak yaitu yang pertama adalah sebuah konsep
yang berfungsi sebagai subjek (seperti keadilan, kejujuran, kebohongan, dan sebagainya)
dan konsep yang memiliki fungsi sebagai predikat (seperti baik, buruk, harus, tidak boleh,
dan sebagainya).28 Dalam upaya penetapan sebuah konsep yang nantinya akan berfungsi
sebagai subjek dari statemen-statemen akhlak, meskipun bersifat konvensional tetapi
pada hakikatnya dalam penetapannya dibutuhkan pertimbangan akan relasi-relasi yang
faktual dan nyata di antara tindakan manusia dengan dampaknya.29 Maka dari sejauh
pengamatan tersebut, sudah jelas bahwa Muhammad Taqi Mishbah Yazdi tidak

26
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 25.
27
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 26.
28
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 28.
29
Yazdi, The Philosophy of Ethics, 30.

120
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

menempatkan konsepsi akhlak ini pada konsep esensial ataupun konsep logis. Baginya
secara subjek statemen akhlak, mereka adalah konsep universal falsafi.
Dengan dasar pemikiran yang mengatakan bahwa konsepsi akhlak adalah konsep
universal yang falsafi, maka Muhammad Taqi Mishbah Yazdi berpandangan bahwa
akhlak adalah konsep yang juga bersifat analitikal dan rasional.30 Baginya adalah bahwa
konsepsi akhlak tidak akan terlepas pada dasar epistemologisnya. Seperti yang telah
disebutkan di atas bahwa menurut objeknya, akhlak memiliki dua macam, yaitu predikat
(pernyataan atas tindakan manusia) dan subjek (pernyataan atas manusia itu sendiri).31
Bagi Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, konsepsi akhlak harus bisa dianalisis secara
intelektual dan bisa ditelusuri objektivitasnya dan realitas eksternalnya.32 Baginya
konsepsi akhlak akan hanya terpikirkan dan diteliti oleh orang-orang yang berpandangan
adanya multiplisitas itu riil pada eksistensi dan orang-orang yang berpandangan perihal
keragaman dan multiplisitas adalah tidak riil (pada dasarnya eksistensi itu satu).33 Melalui
argumen ini Muhammad Taqi Mishbah Yazdi berada pada keyakinan fundamentalis
eksistensi.34
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi memiliki kesimpulan bahwa keragaman jenis
dan juga tingkatan kualitas eksistensi di realitas ini merupakan konsekuensi dari adanya
teori hukum sebab dan akibat.35 Baginya kedudukan epistemologis pada hukum sebab-
akibat itu sangat fundamental, karena hal tersebut merupakan kunci dari argumentasi bagi
teori-teori filsafatnya. Secara epistemologis hukum sebab-akibat adalah pengetahuan
yang muncul di dalam diri manusia secara sendirinya atau pengetahuan yang dihadirkan
secara langsung (ḥuḍūri atau presentational knowledge). Manusia akan secara pasti

30
Nurasiah Nurasiah, “Pemikiran Taqi Misbah Yazdi tentang Etika Islam Kontemporer,” Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 1 (2015): 55.
31
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary
Islamic Philosophy, terj. Muhammad Legenhausen dan Azim Sarvdalir (Institute of Global Cultural
Studies, 1999), 123–27.
32
Dijelaskan bahwa akal adalah sebuah bentuk dari kesempurnaannya manusia, maka akal
pemberian dari Tuhan untuk manusia tidaklah boleh menjadi sia-sia, maka dari itu akal juga harus berperan
dalam setiap tingkah laku dan tindakan manusia. Lihat Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Iman Semesta:
Merancang Piramida Keyakinan, terj. Ahmad Marzuki Amin (Jakarta: Al-Huda, 2005), 47.
33
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan melalui Nalar dan Firman,
terj. M Habib Wijaksana (Bandung: Arasy, 2003), 201.
34
Di berbagai kuliah-kuliahnya, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi memang seringkali
mengekspresikan dukungan-dukungannya pada filsafat Mulla Sadra (fundamentalitas eksistensi). Filsafat
Mulla Sadra banyak mengilhami pemikirannya dan memperkaya argumentasinya dalam berbagai masalah.
Lihat Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 277.
35
Yusufian, Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama, 397.

121
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

mengalami proses-proses sebab-akibat dalam dirinya dan dengan ini ia akan mengetahui
bahwa setiap proses itu tergantung pada dirinya. Dan pengetahuan akan ketergantungan
satu hal dengan hal lainnya ini akan diabstraksikan kemudian diaplikasikan serta
digeneralisasi ke berbagai eksistensi-eksistensi lainnya.36
Menurut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, pengetahuan kausalitas tidaklah bisa
muncul dari hasil observasi terhadap objek material. Manusia menyimpulkan konsep
sebab-akibat dari peristiwa yang terjadi namun sebagai penguat atas keyakinan atau
bahkan pengetahuan yang telah ada dalam dirinya. Singkatnya, seorang peneliti sebelum
meniliti sesuatu ia telah memiliki pengetahuan tentang adanya hukum sebab terhadap
sesuatu tersebut. Dan penelitian itu adalah usaha dalam pencapaiannya menemukan
hukum sebab-akibatnya (memverivikasi mana sebab dan mana akibatnya).37
Selanjutnya, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menjelaskan tentang bagaimana
mengetahui adanya hubungan kausalitas di antara eksistensi tertentu dan bagaimana
manusia dapat memverifikasi hubungan sebab dan akibat dalam suatu keterhubungan.
Menurutnya, dalam kasus-kasus yang berkategorikan mental dalam diri manusia
(peristiwa psikologi) maka pengetahuan kausalitasnya hadir dengan sendirinya (ḥuḍūri).
Sedangkan pada kasus-kasus yang berkategorikan material yang terjadi di luar diri
manusia, penetapannya tidak datang melalui pengetahuan yang langsung, pengetahuan
kausalitasnya itu harus hadir berdasarkan argumen. Perihal ini menurut Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi ada dua macam: yang pertama, untuk eksistensi yang bersifat metafisik
itu didapat melalui analisis dari akal murni, lalu yang kedua, untuk eksistensi objek materi
pengetahuannya didapat dari kesimpulan rasional yang didukung oleh premis-premis
empiris.38
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi yakin bahwa akal dari manusia itu dapat
berkembang dan ketika pada puncaknya akal akan mampu menganalisis hingga
sempurna, akal mampu melahirkan pengetahuan yang dapat terbukti dengan sendirinya.39
Akal manusia akan mengabstraksi hubungan kausalitas yang ada pada fenomena-
fenomena di alam setelah melalui pengamatan yang berungkali atas fenomena yang tejadi
secara berurutan tersebut. Melalui segala perkembangan analisisnya serta didukung oleh

36
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 261.
37
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 275.
38
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 277.
39
Yazdi, Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan, 46–48.

122
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

bukti-bukti empiris yang didapat, manusia akan mampu menentukan proposisi akhlak
yang tergolong benar dan logis namun belum sampai pada tingkatan kepastian.40
Konsepsi akhlak dari Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, bahwa setiap tindakan
akhlak atau tindakan manusia pada dasarnya terkait dengan hukum sebab akibat, dan
dengan ini maka tindakan manusia menurutnya akan memiliki makna dan nilai serta
makna dan nilai tersebut adalah rasional (manusia mampu mengetahuinya).

Sumber Akhlak dan Implementasinya dalam Mencapai Kebahagiaan


Sebuah premis yang diucapkan oleh Muhammad Taqi Yazdi yakni segala
tindakan manusia pasti disertai dengan tujuan seperti kebahagiaan, kepuasan,
kecendrungan atau ketertarikan. Dan sebaliknya, manusia tidaklah mungkin melakukan
perbuatan yang itu benar-benar didorong sepenuhnya dengan hal-hal yang dibencinya
atau tidak diinginkan dan tidak disukai. Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa
kebebasan manusia dalam bertindak itu berdasarkan kesesuaiannya dengan apa yang
disukai dan diinginkan dari pelaku. Yang mana artinya adalah kriteria kebenaran
proposisi etika adalah dari kebutuhan dan kecenderungan sang pelaku.41
Jika sebelumnya berbicara tentang pembedaan antara kehendak manusia dengan
kehendak Tuhan, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi juga melakukan kualifikasi yang
berbeda tentang tujuan Tuhan dengan tujuan manusia. Pada Tuhan, tujuan ini
dimaksudkan pada limpahan dari kesempurnaan-Nya. Karena Tuhan sudah memiliki
semuanya, maka kesempurnaan diri-Nya adalah sumber dan arah tujuan dari tindakan-
Nya (tindakan Tuhan addalah efek dari kesempurnaan-Nya) sedangkan manusia adalah
sebaliknya, karena ketidaksempurnaan manusia maka muncul tujuan sebagai bentuk
untuk pemenuhan dari ketidaksempurnaan manusia, dan kebutuhan untuk pemenuhan
atas kekurangan tersebutlah yang menjadi sumber dan tujuan dari tindakan manusia. Jika
tindakan Tuhan adalah efek dari kesempurnaan-Nya, maka manusia sebaliknya yakni
tindakannya adalah efek dari kekurangan dirinya.42

40
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 283.
41
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 321–
322.
42
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 322.

123
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

Pandangan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi sepertinya mengarah pada


pandangan utilitarianisme.43 Karena ketika keterangannya yang menyatakan bahwa dari
setiap tindakan bebas adalah puncak kebahagiaan dan kesempurnaan manusia, justru ia
lebih mengarah pada manusia sebagai individu. Muhammad Taqi Misbah Yazdi meyakini
dan menegaskan bahwa setiap tindakan manusia pasti memiliki unsur kepentingan
kebaikan dirinya. Hal ini diperkuat dengan kata khayr (kebaikan) dan ikhtiyār (tindakan
bebas) yang berarti setiap manusia yang bebas hanya akan melakukan tindakan yang
menghasilkan kesempurnaan dan kebahagiaan akan dirinya. Sebagaimanapun bentuk
kebahagiaan itu, maupun bahagia yang riil, bahagia yang masih hanya bayangan atau
bahagia yang sesaat.44
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi berpendapat bahwa penyempurnaan spiritualitas
manusia adalah kebutuhan yang paling mendasar, ia bersifat konstan, eternal, dan
universal. Tujuan ini secara pasti melekat dalam diri manusia dan tidak akan terpengaruh
dengan tendensi-tendensi yang sifatnya jasmaniah dan hewani. Atas dasar tujuan manusia
yang seperti itulah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menyatakan bahwa proposisi-
proposisi etika dapat menemukan nilai-nilai kebenarannya dan aturan-aturan hukum
mendapatkan legitimasinya.45 Dengan ini bisa dikatakan bahwa orientasi dalam argumen
tujuan kebahagiaan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi tidak bersandar pada hedonisme
dan materialisme.
Balasannya terhadap argumen relativitas yang menyatakan bahwa manusia
memiliki standar kebahagiaan yang beragam, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi
menegaskan justru standarisasi dan pengenalan tujuan manusia itu adalah bagian dari
kesempurnaan hakikat dan spiritualitas yang dimiliki manusia. Ia menyatakan jika teori
kesempurnaan spiritualitas manusia sejalan dengan kebenaran empiris yang universal,
dari kedua hal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam penetapannya itu kurang lebih
memiliki kesamaan yaitu dengan melalui pencarian dan penemuan atas sebab untuk
munculnya sebuah fenomena (potensi dalam menemukan dan mencapai kebaikan

43
Utilitarianisme adalah aliran etika yang bersandar pada makna “kebermanfaatan” Karena asal
katanya berasal dari bahasa latin utilis atau berguna, utilitarianisme sering dianggap sebagai “etika sukses”,
yakni etika yang menilai kebaikan orang dari seberapa besar perbuatannya tersebut berdampak pada
perilaku baik atau tidak. Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral
(Yogyakarta: Kanisius, 2005), 122.
44
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 323.
45
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 165.

124
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

universal) serta upaya dalam menghilangkan hambatan yang mencegah munculnya


fenomena (potensi untuk menghilangkan titik keburukan dalam mencapai kebaikan).
Sebab dari munculnya teori relativitas ini secara filosofis karena adanya kesulitan
dalam mendeteksi sebab-sebab yang terjadi pada fenomena yang ada atau terlalu
kompleksnya maksud dari tujuan-tujuan dari suatu tindakan. Artinya adalah relativitas ini
dapat muncul karena kekurangan manusia dalam memenuhi potensi dalam mencapai
tujuan penyempurnaan spiritualitas manusia itu sendiri.
Fenomena material dan fenomena etika tidak berbeda jauh, keduanya akan terjadi
kekeliruan jika tidak terpenuhinya kondisi yang dapat menyebabkan munculnya sebuah
fenomena. Fenomena etik akan sulit diverifikasi kebenarannya apabila terjadi kekeliruan
dan kesalahan dalam mendeteksi tujuan serta jika masih ada tidak kepastian di dalam
tujuan maka tidak akan terjadi sebuah tindakan. Dalam penentuan prinsip-prinsip etika
dan hukum yang nilainya bersifat umum dan absolut, maka haruslah dipahami secara
benar tujuan-tujuan dari tindakan manusia serta harus diverifikasi dengan standar tertentu
dan kondisi atau ketebatasan dari sang pelaku.46 Meskipun begitu, kesalahan-kesalahan
yang muncul dalam menilai tindakan dan kesalahan yang timbul dalam merumuskan nilai
etika bagi Muhammad Taqi Mishbah Yazdi sama sekali tidak membatalkan prinsip relasi
kausalitas antara tindakan dan tujuannya.

Esensi Baik dan Buruk dalam Perpesktif Muhammad Taqi Misbah Yazdi
Dengan segala bangunan konsepsi akhlak yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka kita bisa mulai masuk dan menganalisa bagaimana maksud dan kriteria yang
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi jelaskan tentang konsep baik dan buruknya. Bahwa
landasan filosofis yang dibawa oleh Muhammad Taqi Mishbah Yazdi berasal dari posisi
epistemologis dari proposisi-proposisi terkait akhlak. Bahwa akhlak adalah sesuatu yang
dapat dicapai dengan rasional karena ia berkaitan dengan kausalitas atau hukum sebab
akibat. Dengan bangunan akhlak yang seperti itu lalu bagaimanakah konsep baik dan
buruk menurut pandangan Muhammad Taqi Mishbah Yazdi?
Apakah menurut Muhammad Taqi Mishbah Yazdi konsep tentang baik dan buruk
itu sama saja dengan konsep perintah dan larangan? Apakah yang baik itu secara otomatis
sebagai perintah (harus dilakukan) dan yang buruk itu sebagai larangan (jangan atau tidak

46
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 168.

125
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

boleh dilakukan). Dengan struktur konsep akhlak yang dibangun oleh Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi, sudah sepastinya konsep perintah dan larangan dan konsep baik dan
buruk dibedakan olehnya. Bahwa dari pengertian-pengertian tentang baik dan buruk akan
membentuk predikat argumen moral yang normatif atau evaluatif.47 Lalu bagaimanakah
penetapan atas konsep baik dan buruk ini?
Argumen pertama Muhammad Taqi Mishbah Yazdi tentang konsep baik dan
buruk yaitu melalui analisanya pada bidang linguistik. Ia mengatakan bahwa kata al-khair
seakar kata dengan kata ikhtiyār, yang berarti kebaikan itu terikat pada konsep
kepemilihan.48 Singkatnya kita bisa tarik pengertian al-khair itu pada apa saja yang
dipilih dan dikehendaki manusia. Dan ini mengartikan bahwa segala apa yang diinginkan
manusia pada dasarnya adalah baik. Maka argumen pertama Muhammad Taqi Mishbah
Yazdi tentang kebaikan adalah bahwa kebaikan adalah sesuatu atau tindakan yang asal-
usulnya dari pilihan dan kehendak manusia. Sejalan dengan para filosof Muslim seperti
Ibnū Sīnā dan Mullā Shādrā yang mengatakan bahwa kebaikan adalah sesuatu yang pasti
didambakan oleh setiap manusia atau sebagai sesuatu yang secara universal pasti juga
disukai oleh semua manusia.49
Apakah konsep kebaikan dan keburukan ini bersifat subjektif ataukah objektif?
Maka dalam menjawab pertanyaan ini, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi mencoba untuk
memecah kebuntuan melalui perdebatan lama dalam tradisi intelektual Islam yakni antara
kaum etika rasionalisme dengan etika voluntarisme. Sedikit kilas balik tentang
perdebatan tersebut yakni kaum rasionalisme yang berpendapat bahwa baik dan buruk
adalah sifat substansial dan intrinsik dari suatu tindakan, maka akal akan memiliki
kemampuan untuk mencapai pada konsep-konsep baik dan duruk. Sedangkan kaum
voluntarisme menyatakan hal yang berbanding terbalik yakni konsep baik dan buruk
terbentuk atas perintah dan larangan Tuhan. Bahwa tindakan manusia sama sekali tidak
memiliki esensi konsep baik dan buruknya. Kebaikan dan keburukan bertitik tumpu pada
syariat.
Dengan begitu bisa ditarik bahwa pandangan kaum rasionalis berjalan pada objektivitas
konsep baik dan buruk dan hakikatnya sebagai konsep yang universal falsafi.50 Bahwa

47
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 63.
48
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 64.
49
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan
Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001), 127.
50
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 71.

126
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

konsep baik dan buruk itu adalah secara pasti menjelaskan kualitas objektif yang melekat
pada suatu entitas dan tindakan. Baik dan buruk adalah sebuah konsep yang esensial,
dimana ia memiliki objektivitasnya di realitas luar. Melalui pengamatan dan analisanya,
akal manusia memiliki potensi untuk menemukan konsep-konsep baik dan buruk.
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menyatakan bahwa konsep baik dan buruk tidak
hanya sekedar simbol yang mengekspresikan perasaan individu, juga tidak hanya sekedar
bentuk konvensi semata, entah itu konvensi kolektif atau individu (makhluk) maupun
konvensi atas perintah dan larangan Tuhan. Namun bagi Muhammad Taqi Mishbah Yazdi
bahwa baik dan buruk adalah konsep-konsep faktual, ia adalah konsep falsafi yang
memiliki realitas objektif di luar. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menjelaskan bahwa
kebaikan dan hakikat dari konsep baik dan buruk adalah pada keharmonisan atau
kesesuaian yang terjadi pada entitas-entitas objektif (lebih dari satu entitas objektif).51
Yang dapat dipastikan adalah bahwa kesesuaian ini haruslah pada entitas yang di luar,
bukan pada minat subjektif. Namun meskipun pada dua atau lebih entitas tersebut, salah
satunya bisa saja manusia itu sendiri, tetapi manusia ini tidak dianggap sebagai realitas
subjektif, melainkan dianggap sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan khas.
Entitas yang ada pada manusia itu dapat disebut sebagai tindakan manusia dan entitas
yang lainnya adalah kesempurnaan sejati manusia. Maka dari itu, Muhammad Taqi
Mishbah Yazdi mengatakan bahwa segala tindakan manusia yang mengarahkannya pada
kesempurnaan sejati manusia itu adalah baik, dan tindakan yang menjauhkan manusia
dari kesempurnaan sejatinya itulah buruk.
Pada akhirnya, kebaikan dan keburukan dari tindakan sengaja manusia dapat
dilihat esensinya setelah melalui pertimbangan rasional dan pengamatan serta
perbandingan di antara tindakan itu dengan kesempurnaan sejatinya. Maka jika dianalisa
dari keterhubungan antara tindakan sengaja manusia dengan kesempurnaan sejati
manusia, akan ada tiga kemungkinan hal yang terjadi, yang pertama adalah hubungan
positif diantara keduanya yang artinya adalah tindakan kita akan membantu kita dalam
mencapai kesempurnaan tertinggi manusia, dan hal tersebut akan kita katakan sebagai
kebaikan (baik). Yang kedua adalah hubugan negatif diantaranya keduanya yang artinya
adalah terhambatnya kita untuk mencapai kesempurnaan tertinggi manusia, maka hal
tersebut akan disebut sebagai keburukan (buruk). Dan yang ketiga adalaha ketika diantara

51
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 84.

127
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

keduanya tidak bermakna positif maupun negatif, maka dalam hal ini tidak dapat
dinyatakan sebagai baik maupun buruk, tindakan ini nirnilai.
Standar dari kebaikan suatu tindakan sengaja manusia adalah keharmonisan dan
kesesuaian antara tindaka-tindakan sengaja manusia dengan tujuan yang hakiki dari
manusia. Sementara standar dari keburukan suatu tindakan sengaja manusia yaitu
ketidaksesuaian antara tindakan dengan kesempurnaan tujuan manusia. Dan sesuai
dengan bangunan konsepsi akhlak dari Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, bahwa ia ingin
menyampaikan jika konsep baik dan buruk adalah berdasar pada ekstensi-ekstensi konsep
kausalitas.
Dalam pernyataan-pernyataan moral, hanya ada dua postulat mutlak. Postulat
pertama adalah segala sesuatu yang berguna dalam pencapaian tujuan yang kita inginkan
adalah baik, dan postulat kedua adalah apa saja yang menghambat pencapaian tujuan yang
kita inginkan adalah buruk.52 Dengan begitu, kesimpulan terakhir yang didapat adalah
bahwa benar kebaikan dan keburukan bertitik tumpu pada akal manusia. Bahwa kebaikan
adalah memang keharmonisan antara tindakan dengan kesempurnaan sejati manusia, dan
keburukan adalah dimana terjadinya kesalahan berpikir dalam memahami ketersesuaian
antara tindakan sengaja manusia dengan kesempurnaan sejati manusia.

Kesimpulan
Kesimpulan pertama, begitu kompleksnya bangunan argumen tentang baik dan
buruk dari Muhammad Taqi Mishbah Yazdi dari pengkonsepsiannya tentang akhlak.
Baginya, konsep baik dan buruk adalah konsep universal falsafi, ia bukanlah konsep yang
sekedar terbentuk dari konvensi-konvensi (tidak subjektif), yang mana konsep buruk
semestinya memiliki acuan faktual abstraksi di realitas luar. Baik dan buruk bukanlah
konsep yang dogmatis, ia lebih bersifat rasional dan analitik. Konsekuensi dari konsep
universal falsafi, maka baik dan buruk juga akan menjadi sesuatu yang dapat dijelaskan
melalui hukum sebab-akibat. Bahwa melalui akal dengan pemahaman dan pengamatan
atas entitas-entitas.
Kesimpulan kedua, bahwa konsep baik dan buruk haruslah berdiri pada lebih dari
satu entitas. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kesempurnaan sejati (dari segi
tujuan jiwa) dapat digolongkan sebagai entitas pembentuk nilai tindakan yang bisa

52
Yazdi, Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy, 116.

128
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 14, No. 1 (Januari-Juni) 2023, p. 113-
130.

disebut baik ataupun buruk tersebut. Entitas yang ada pada manusia sebagai pembentuk
nilai baik dan buruk itu ada dua, entitas pertama adalah tindakan sengaja manusia dan
entitas yang kedua adalah kesempurnaan sejati manusia.
Kesimpulan ketiga, Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menyimpulkan nilai
kebaikan dan keburukan tindakan manusia dapat dicapai dengan akal melalui
pertimbangan rasional, pengamatan, serta perbandingan antara dua entitas yang dimiliki
manusia yaitu tindakan sengaja manusia dan kesempurnaan sejati manusia. Lanjutnya
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi menjelaskan bahwa kunci dari standar kebaikan adalah
keharmonisan yang terjadi pada hubungan dua entitas tersebut, sedangkan standar
keburukan adalah ketidakharmonisan yang terjadi pada dua entitas tersebut. Bahwa
segala tindakan sengaja manusia yang mengarahkan manusia dalam mencapai
kesempurnaan sejati manusia akan menjadi suatu tindakan yang baik, sedangkan segala
tindakan manusia yang justru menjauhkan dari kesempurnaan jiwa manusia akan menjadi
suatu tindakan yang buruk.
Secara epistemologis Muhammad Taqi Mishbah Yazdi juga punya kesimpulan
bahwa konsep baik dan buruk hanya memiliki dua postulat, postulat pertama adalah
segala sesuatu yang berguna dalam pencapaian tujuan yang kita inginkan adalah baik, dan
postulat kedua adalah apa saja yang menghambat pencapaian tujuan yang kita inginkan
adalah buruk.

Daftar Pustaka

Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak). Translated by Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang,
1975.

Asy-Syathibi. Al-Muwafaqat. Vol. 1. Saudi Arabia: Dar Ibn Affan, 1997.

Bertens, Kees. Etika. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

Fazlur Rahman. Islam & Modernitas, Tentang Transformasi Intelektual Terj. Ahsin
Mohammad. Bandung: Penerbit Pustaka, 1985.

Ibn Misykawayh. Tahdhib Al-Akhlaq. Vol. 1. Baghdad: Mansyurat al-Jamal, 2011.

Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis. Translated by


Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2001.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral.


Yogyakarta: Kanisius, 2005.

129
Basyir Arif, Arif Dwi Haryanto: Implementasi Baik dan Buruk dalam Filsafat Akhlak
Menurut Perspektif Muhammad Taqi Mishbah Yazdi

Majid Fakhry. Etika Dalam Islam, Terj. Zakiyuddin Baidhawy. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.

Mustofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Vol. 1. Jakarta: UI Press, 2018.

Nizar, Barsihannor, and Muhammad Amri. “Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih.” Jurnal
Kuriositas 11, no. 1 (2017).

Nurasiah, Nurasiah. “Pemikiran Taqi Misbah Yazdi Tentang Etika Islam Kontemporer.”
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 1 (2015): 50–79.

Salam, Burhanuddin. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka Cipta,
2000.

Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. Filsafat Tauhid: Mengenal Tuhan Melalui Nalar Dan
Firman. Translated by M Habib Wijaksana. Bandung: Arasy, 2003.

———. Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Translated by Ahmad Marzuki


Amin. Jakarta: Al-Huda, 2005.

———. Philosophical Instructions: An Introduction to Contemporary Islamic


Philosophy. Translated by Muhammad Legenhausen and Azim Sarvdalir.
Institute of Global Cultural Studies, 1999.

———. The Philosophy of Ethics. Qom: Hikmah Publications, 2013.

———. The Philosophy of Ethics. Translated by Shiraz Husain Agha. Qom: Hikmah
Publications, 2013.

Yusufian, Hasan. Kalam Jadid: Pendekatan Baru Dalam Isu-Isu Agama. Translated by
Ali Passolowangi. Jakarta: Sadra International Institute, 2014.

Zubair, Achmad Charris. Kuliah Etika. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.

130

You might also like