Perubahan
Model, Pola, dan Bentuk
Pemerintahan Daerah :
Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi
Bhenyamin Hoessein
& By) Departemen IImu Administrasi
Y S Fakultas Iimu Sosial dan Ilmu Politik
a Universitas Indonesia
Sy
=6>"Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Perubahan Model, Pola, dan Bentuk
Pemerintahan Daerah :
Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi
Copyright DIA FISIP UI, Agustus 2009
ISBN 978-979-99184-7-5
193 him + XIV, 15cm X 22cm
Penyunting :M. Imam Alfie S.
Layout :Suyatno
DisainSampul : Dwi Pamungkas
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang
mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku tanpa izin tertulis dari Penerbit.Bab1
Sentralisasi dan Desentralisasi:
Masalah dan Prospek!
T
Sejak kelahirannya, Orde Baru selalu menyatakan tekadnya
untuk melaksanakan Undang Undang Dasar (UUD) 1945 secara
murni dan konsekuen. Tentu saja termasuk di dalamnya tekad
untuk menyelenggarakan desentralisasi dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh
UUD 1945. Tekad tersebut membawa konsekuensi sentralisasi
dan desentralisasi sebagai asas organisasi pemerintahan masing-
masing tidak ditempatkan pada kutub yang berlawanan, tetapi
ditempatkan dalam suatu rangkaian kesatuan (continuum).
Kecuali dalam kurun waktu Negara Republik Indonesia Serikat,
konsensus demikian sebenarnya telah lama hidup dalam
masyarakat dan di kalangan pemerintahan dalam setiap periode.
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana mengaktualisasikan
asas-asas organisasi pemerintahan yang telah lama diterima
secara doktriner dalam bingkai format politik Orde Baru?
~T Perna diterbitkan dalam buku Menelagh Kembali Format Politik Orde Baru,
oleh Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi (Ed.), diterbitkan atas kerja sama PPWI-LIPI,
Yayasan Insan Politika, dan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, dengan upaya
penyempurnaan.Dalam masa Orde Baru, proses pembentukan kebijakan yang
akan melandasi danmenggerakkan mekanisme penyelenggaraan
sentralisasi dan desentralisasi ternyata berlangsung cukup
lama. Pada awal Orde Baru, kebijakan tersebut tertuang dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 1965. UU ini dipandang
tidak sesuai dengan semangat Orde Baru. Dengan Ketetapan
No. XXI/MPRS/1966, MPRS menugaskan Presiden dan DPRGR
untuk segera membentuk UU baru guna menggantikan UU No.
18Tahun 1965. Dalam kaitan ini pemerintah dan DPRGR dituntut
untuk memberikan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti
segala urusan pemerintahan yang bersifat nasional ditentukan
dan diatur dalam undang-undang, sedangkan sisanya sebagai
reserve of powers diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom
berikut perangkat dan keuangannya. Di samping itu, daerah
otonom diberi tanggung jawab dan wewenang sepenuhnya
mengatur kepegawaian daerah. Untuk memungkinkan
terselenggaranya otonomi yang seluas-luasnya, perlu diatur
pula perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah.
Dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS tersebut, pemerintah
mengajukan tiga rancangan undang-undang (RUU) kepada
DPRGR, yakni RUU tentang Kedudukan dan Hubungan
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, RUU tentang Daerah
Swatantra, dan RUU tentang Dekonsentrasi. Bahasan ketiga RUU
tersebut di DPRGR ternyata mengalami kemacetan, sehingga
ketiga-tiganya ditarik kembali oleh Pemerintah. Selanjutnya,
ketiga RUU tersebut disempurnakan dan disatukan oleh Panitia
Undang Undang Daerah yang dibentuk oleh Amirmachmud
selaku Menteri Dalam Negeri. Panitia tersebut diketuai oleh A.
E, Manihuruk.
Sekalipun panitia berhasil menyusun RUU tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah sebagai penyempurnaan
terhadap ketiga RUU sebelumnya, namun dicapai suatu
kesepakatan dalam rapat terakhir di Departemen Dalam Negeri,
September 1972, yang menghendaki agar RUU diajukan ke DPR
setelah Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditetapkan oleh3
MPR hasil pemilu 1971. Hal ini dilakukan meningat substansi
RUU secara diametral berlawanan dengan substansi TAP MPRS
No. XXI/MPRS/1966. Untuk keberhasilan RUU, maka perlu
dilakukan koreksi terhadap materi Tap MPRS melalui GBHN
1973. Dalam TAP MPRS No. IV/MPR/1973 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara telah digariskan prinsip-prinsip pokok
tentang penyelenggaraan otonomi daerah:
Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan
yang tersebar di seluruh pelosok negara, dan dalam
membina kestabilan politik serta bangsa maka hubungan
yang serasi antara Pemerintahan Pusat dan Daerah
atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada
pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung
jawab yang dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan daerah, dan dilaksanakan bersama-sama
dengan dekonsentrasi.
Setelah diresmikannya TAP MPR tersebut, RUU diajukan
kepada DPR dan pada 23 Juli 1974 disahkan menjadi UU No.
5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
(Manihuruk: 1991). UU inilah yang menjadi landasan dan
penggerak mekanisme penyelenggaraan sentralisasi dan
desentralisasi semasa Orde Baru.
II
Melalui kerangka hukum tersebut, Pemerintah Orde Baru
membangun struktur pemerintahan di daerah menurut asas-
asas dekonsentrasi sebagai penghalusan sentralisasi dan
desentralisasi. Struktur yang dibangun sebenarnya stuktur yang
selama ini telah memberikan stabilitas. Secara teoritis, struktur
pemerintahan di daerah yang dibangun itu tergolong integrated
prefectoral system (Fried: 1963).Sejumlah bagian utama dari sistem pemerintahan daerah
yang dibangun merupakan kesinambungan dari berbagai
bagian utama sistem pemerintahan daerah yang dianut dalam
kurun waktu pemerntahan sebelumnya dan bahkan bermula
dari sistem yang dibangun oleh UU Desentralisasi 1903.
Bagian-bagian utama yang dimaksud antara lain adalah jumlah
tingkatan wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi
lebih banyak daripada jumlah tingkatan daerah otonom dalam
rangka desentralisasi, keharusan berimpitnya daerah otonom
dan wilayah administrasi yang setara, peran ganda dari kepala
daerah selaku kepala wilayah, dan mekanisme pengawasan
terhadap daerah otonom terbawah yang cenderung lebih
intensif daripada terhadap daerah otonom tingkat teratas.
Bertolak dari bagian-bagian utama sistem tersebut, menurut
Legge (1963), sistem pemerintahan daerah di Indonesia dalam
masa kemerdekaan memiliki colonial flavor.
Secara historis, sistem pemerintahan daerah yarg dianut
berasal dari lembaga-lembaga monarki di Eropa Barat setelah
dirasionalisasi dan dimedernisasikan oleh Napoleon Bonaparte.
Pengaruh organisasi militer yang dimasukkan Napoleon dalam
sistem ini terlihat pada model pertanggungjawaban dan garis
komando. Model ini menghendaki adanya pertanggungjawaban
tunggal dari kepala wilayah dan garis komando yang tak
terputus dari atas ke bawah. Namun dalam perkembangan
sejarah berikutnya, kedua ciri ini mengalami penyesuaian
tertentu. (Fried: 1963)
Menurut pengamatan para pakar, integrated prefectoral
system sangat bermanfaat bagi masyarakat yang memiliki
derajat konsensus rendah, sering mengalami perpecahan,
ataupun ketidakstabilan politik. Dalam sistem ini, kepala
wilayah mengusahakan terciptanya ketertiban dan kestabilan
politik. Selaku wakil pemerintah pusat, kepala wilayah tetap
mengusahakan pembinaan bangsa danmenerjemahkankebijakan
nasional di wilayah yurisdiksinya. Secara terus-menerus, kepala
wilayah melakukan penyeimbangan kepentingan (balancing5
agent) di antara berbagai kekuatan politik dan sosial serta
mengintegrasikannya ke dalam kepentingan nasional. Di antara
berbagai perangkat pemerintahan di wilayahnya, kepala wilayah
yang secara historis adalah subordinator kini bertindak selaku
Koordinator. (Smith: 1967)
Pada sisi lain, sistem ini lebih mengutamakan keperluan
membangun _birokrasi_ pemerintahan pusat daripada
mendistribusikan kekuasaan antara Pusat dan Daerah,
Dengan kata lain, pemilihan atas sistem ini lebih didasarkan
pada pertimbangan dekonsentrasi daripada desentralisasi
pemerintahan. Manifestasi pengutamaan dekonsentrasi daripada
desentralisasi tergambar dari penilaian Legge (1963) mengenai
peran ganda kepala daerah:
-.the exercise of the duties of kepala daerah by the person who
was at the same time the central government's chief executive
in the region concerned meant that the role of these officers as
central government servants was more apparent and that the
prestige of the local government was overshadowed by that of the
centre even where local matters were concerned.
Dalam sistem ini cenderung pula terjadi dominasi
kepala daerah terhadap lembaga perwakilan takyat daerah.
Ciri demikian sedikit banyak bertalian dengan tujuan
penyelenggaraan desentralisasi.
TIL
Pada hakikatnya, desentralisasi merupakan sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu. Rangkaian tujuan yang akan
dicapai melalui desentralisasi biasanya tersurat secara jelas
dalam kerangka hukum atau kebijakan yang mendasarinya atau
dalam berbagai pernyataan politik para elit yang berkuasa. Ada
kalanya pula tujuan-tujuan yang akan dicapai tidak dinyatakan
secara terbuka. (Leemans: 1970)see ee US
ro
Hasi! pengamatan terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai
melalui desentralisasi dalam berbagai kurun waktu terlihat
sebagai lingkaran penuh. Tujuan desentralisasi dalam kurun
waktu UU Desentralisasi 1903 adalah “efisiensi” (Furnivall:
1956), kemudian menjadi “efisiensi dan partisipasi” dalam
kurun Bestuurhervormingswet 1922 (Furnivall: 1976; Benda: 1971,
dan Sutherland: 1979). Tujuan desentralisasi dalam masa UU
No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun
4957 adalah “demokrasi atau pendemokrasian pemerintahan”
(Maryanov: 1958). Tujuan desentralisasi dalam masa Demokrasi
Terpimpin (UU No. 18 Tahun 1965) adali “stabilitas dan efisiensi
pemerintahan”, sedangkan tujuan desentralisasi menurut format
politik Orde Baru secara utuh dapat disimak dalam UU No. 5
Tahun 1974:
tujuan pemberian otonomi kepada Daerah adalah untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, terutania dalam pelaksanaan
pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta
untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan
kesatuan bangsa.
Daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektivitas) merupakan
dua tujuan desentralisasi yang sangat ditonjolkan dalam masa
Orde Baru. Kedua istilah itu setidak-tidaknya disebutkan empat
belas kali, sedangkan istilah demokrasi hanya disebut sekali
dalam UU No. 5 Tahun 1974. Terasa sekali UU ini sesungguhnya
tidaklah bernuansa demokrasi.
Pencanangan efisiensi sebagai tujuan desentralisasi
di berbagai negara berkembang ering menimbulkan
kecenderungan dikorbankannya kepentingan demokrasi dalam
penyelenggaraanpemerintahan (Leemans:1970). Kecenderungan
semacam itu dapat diamati pada struktur, kedudukan, dan
fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di Indonesia
dewasa ini.7
Selaras dengan tujuan desentralisasi yang dicanangkannya,
secara hukum pengisian keanggotaan DPRD yang dikehendaki
UU No. 22 Tahun 1948 dan UU No. 1 Tahun 1957 adalahatas dasar
pemilihan. Bahkan pemilihan umum yang khususnya untuk
mengisi keanggotaan DPRD telah dimulai di Jawa, Sumatera
Selatan, dan Kalimantan secara terpisah-pisah pada 1957 dan
1958 (Legge: 1963; dan Alfian: 1978). Dalam penyelenggaraan
desentralisasi semasa Hindia-Belanda, UU No. 18 Tahun 1965
dan UU No. 5 Tahun 1974, keanggotaan DPRD secara hukum
maupun praktik didasarkan atas kombinasi beberapa sistem.
Sebagian dari anggota direkrut melalui pemilihan, dan sebagian
anggota lainnya direkrut melalui pengangkatan. Bahkan terdapat
kemiripan antara komposisi anggota dalam (stads)-gemeenteraad
dan DPRD masa kini. Mayoritas keanggotaan dewan dalam dua
kurun waktu yang berbeda itu adalah pejabat.
Selaras dengan perubahan tujuan desentralisasi, terjadi
pula perubahan kedudukan DPRD. Sebagaimana pada masa
Demokrasi Terpimpin, saat ini DPRD didudukkan bersama
kepala daerah sebagai pemerintah daerah. Menurut rumusan
resmi dalam UU, “Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, Rumusan yang sama
muncul dalam Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 dan UU
No. 18 Tahun 1965. Tetapi rumusan semacam itu tidak terdapat
dalam kurun waktu Demorasi Parlementer. Baik dalam UU No.
22 Tahun 1948 maupun dalam UU No. 1 Tahun 1957 dinyatakan
bahwa pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan Dewan
Pemerintah Daerah. Anggota-anggota Dewan Pemerintah
Daerah dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPRD atas dasar
pemilihan berimbang. Kepala Daerah karena jabatannya adalah
menjadi anggota merangkap Ketua Dewan Pemerintah Daerah.
Struktur seperti itu tidak dapat dianut di masa Orde Baru dengan
pertimbangan seperti dikemukakan oleh Manihuruk:
Karena anggota-anggota Dewan Pemerintah Daerah
dipilih oleh dan dari anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah atas dasar perwakilan berimbang, makadalam kenyataannya penyelenggaraan pemerintahan
daerah sulit ditakukan secara efektif dan efisien, karena-
harus melalui kompromi-kompromi yang memakan
waktu lama. Kompromi itu bukan hanya kompromiantara
Dewan Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, tetapi juga kompromi di antara anggota-anggota
Dewan Pemerintah Daerah itu sendiri.
Ditempatkannya DPRD bersama kepala daerah (KDH)
sebagai pemerintah daerah menurut konstruksi UU No. 5 Tahun
1974 adalah untuk menjamin adanya kerja sama antara kepala
daerah dan DPRD. Jaminan semacam itu dipandang sebagai
prasyarat untuk terciptanya efisiensi, efektivitas, dan stabilitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Demokrasi sebagai tujuan desentralisasi membawa
konsekuensi penempatan DPRD pada posisi sentral dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya efisiensi dan
efektivitas sebagai tujuan desentralisasi membawa konsekuensi
penempatan kepala daerah pada posisi sentral dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perbedaan posisi sentral
dari kedua lembaga terlihat dalam perbedaan rumusan tentang
pemerintahan daerah tersebut. Posisi sentral yang ditempati oleh
DPRD terlihat pada tanggung jawab yang dimiliki oleh lembaga
ini untuk menyalurkan aspirasi rakyat dan daerahnya kepada
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang lebih tinggi. Baik
dalam UU No. 22 Tahun 1948 maupun UU No. 1 Tahun 1957
dinyatakan bahwa DPRD dapat membela kepentingan Daerah
dan penduduknya di hadapan Pemerintah Pusat dan DPR atau
Dewan Pemerintah Daerah serta DPRD atasnya. Rumusan
demikian telah mengalami perubahan dalam masa Demokrasi
Terpimpin. Dalam pasal 55 ditentukan bahwa:
1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela
kepentingan Daerah dan penduduknya kepada
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan
sepengetahuan Kepala Daerah yang bersangkutan.9
2) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat membela
kepentingan Daerah dan penduduknya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau Kepala Daerah
yang lebih tinggi tingkatannya dengan sepengetahuan
Kepaia Daerah yang bersangkutan.
Rumusan-rumusan tersebut sama sekali tidak muncul
dalam UU No. 5 Tahun 1974. Menurut Syafrudin (1985), tidak
diberikannya wewenang dan tanggung jawab kepada DPRD
untuk membela kepentingan Daerahnya terhadap pemerintah
yang lebih tinggi merupakan salah satu pertanda surutnya
otonomi di Indonesia.
Sentralnya posisi DPRD membawa konsekuensi kewajiban
bagi kepala daerah untuk memberikan pertanggungjawabannya
kepada DPRD. Kewajiban demikian tidak dianut dalam UU No.
5 Tahun 1974. Sejalan dengan peran ganda yang diemban oleh
DPRD serta pengangkatan oleh pemerintah pusat, maka dalam
sistem yang dianut sekarang kepala daerah hanya bertanggung
jawab kepada pemerintah pusat. Dalam penjelasan UU No. 5
Tahun 1974 terdapat pertimbangan mengenai dianutnya sistem
pertanggungjawaban tersebut.
-Undang-undang ini menetapkan bahwa Kepala Daerah
menurut hirarki bertanggung jawab kepada Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri. Hal ini adalah sesuai
dengan kedudukan Presiden sebagai penanggung jawab
tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan di
seluruh wilayah Negara. Dan ditinjau dari segi prinsip-
prinsip organisasi dan ketatalaksanaan adalah tepat
sekali jika Kepala Daerah hanya mengenal satu garis
pertanggungjawaban. Oleh karena itu Kepala Daerah tidak
bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Namun demikian, Kepala Daerah berkewajiban
memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang pelaksanaan
pemerintahan daerah yang dipimpinnya, agar supaya10
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu
unsur pemerintah daerah mengikuti dan mengawasi
jalannya pemerintahan daerah.
Struktur dan kedudukan DPRD sebagaimana telah diuraikan
menurut sistem UU No. 5 Tahun 1974 berpengaruh terhadap
peran yang diembannya dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Tidak efektifnya peran DPRD sebagai lembaga penyalur
aspirasi dan lembaga control juga bertalian dalam permainan
hukum yang dirancang. Sekalipun DPRD berperan daiam
pemilihan calon-calon kepala daerah, namun menurut hukum
pemerintah berwenang mengangkat salah seorang calon
yang diajukan DPRD tanpa terikat dengan jumlah suara yang
diperoleh calon yang bersangkutan. Adapun sehubungan
dengan fungsi control yang diemban oleh DPRD terhadap kepala
daerah, sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974 hingga kini,
dewan belum dapat melaksanakan hak penyelidikannya. Salah
satu penyebabnya adalah belum adanya UU yang mengatur hak
penyelidikan seperti yang dijanjikan UU No. 5 Tahun 1974.
Berangkat dari struktur keanggotaan, kedudukan, dan
peran DPRD yang dirancang untuk menyelaraskan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan sebagai tujuan
desentralisasi dewasa ini dapat dipahami dari pernyataan
Leemans (1970) berikut.
Efficiency, it is frequently and loudly proclaimed, requires
restricting the participation of representative bodies (local
councils) in public policy making and especially in execution
of policy. This explains the hesitancy to introduce proper
representative institutions with decision making power in
regions...
Manifestasi lain dari tujuan efisiensi dalam penyelenggaraan
desentralisasi menurut pakar yang sama adalah pengurangan
hirarki daerah otonom. Seperti di masa Hindia-Belanda, dalam
era Orde Baru dianut dua tingkatan daerah ctonom. Hal ini