THE GEOLOGY AND TECTONIC EVOLUTION OF WAIGEO ISLAND, NE-

INDONESIA

T. R. CHARLTON,*~ R. HALL* and E. PARTOYOt

*Department of Geological Sciences, University College, Gower Street, London WC1E 6BT, U.K. and
tGeological Research and Development Centre, Jalan Diponegoro 57, Bandung, Indonesia
(Received 20 August 1990; accepted for publication 5 May 1991)

Abstract
Waigeo occupies a critical position between the Halmahera-Philippine arcs to the northwest
and Australia-New Guinea to the southeast. The island consists of a deformed ophiolitic basement
of supra-sabduction zone type overlain by probable Paleogene forearc sedimentary rocks. The
forearc basement is cut by mylonite shear zones and the basement and sedimentary cover rocks
were deformed by southward-directed thrusts and associated folds during the Oligocene. The
deformed sequences are intruded by basic dykes, thought to be coeval with basalts and andesites of
Late Oligocene age. The entire Paleogene sequence is overlain unconformably by a thick (up to 2000
m) sequence of Miocene limestones which accumulated during a tectonically quiet period. A final
phase of deformation occurred during the Pliocene which caused the development of two very large
anticlines and an intervening syncline, associated with left-lateral wrench faults.
Waigeo is interpreted to have been situated in a forearc position in an intra-oceanic island
arc during the early Paleogene, forming part of the East Halmahera-Waigeo forearc terrane. The
Waigeo arc terrane collided with a continental block in about the Middle Oligocene,
contemporaneous with similar arc-continent collision in northern New Guinea. A period of tectonic
quiescence during the Miocene was followed by Pliocene deformation in Waigeo related to a left-
lateral wrench faulting on splays of the Sorong Fault in northern New Guinea. The Pliocene
deformation is interpreted as resulting from compression on a right-stepping restraining bend in
this wrench fault system.

Abstrak

Waigeo menempati posisi penting antara busur Halmahera-Filipina di barat laut dan
Australia-New Guinea di tenggara. Pulau ini terdiri dari basement ofiolit dari tipe zona supra-
sabduction yang ditindih oleh kemungkinan batuan sedimen forearc Paleogen. Basement forearc
dipotong oleh zona geser mylonite dan basement dan batuan sedimen penutup yang dibentuk oleh
dorongan ke arah selatan dan beberapa lipatan selama Oligosen. Sekuen yang terbentuk adalah
intrusi dykes basa, yang seumur dengan batuan basalt dan andesit pada Oligosen Akhir. Seluruh
sekuen Paleogen yang ditindih secara selaras oleh sekuen batugamping Miosen dengan tebal
hingga 2000 m, yang terakumulasi selama periode tektonik yang stabil. Pada fase akhir deformasi
terjadi selama Pliosen yang mengakibatkan pembentukan dua antiklin dan sinklin yang sangat
besar, yang terkait dengan sesar geser left-lateral.
Waigeo ditafsirkan telah berada dalam posisi forearc di sebuah busur kepulauan intra-
oseanik (intra-oceanic island arc) selama Paleogen Awal, sebagai bagian dari terrane forearc
Halmahera Timur-Waigeo (East Halmahera-Waigeo forearc terrane). Terrane busur Waigeo
bertubrukan dengan blok kontinen di sekitar Oligosen Tengah, sezaman dengan jenis tubrukan
busur kontinen di utara New Guinea. Periode tektonik yang stabil/tenang selama Miosen yang
diikuti oleh deformasi Pliosen di Waigeo yang berhubungan dengan sesar geser left-lateral pada
splays dari Sorong Sesar di utara New Guinea. Deformasi Pliosen diduga sebagai akibat dari
kompresi pada right-stepping restraining bend dalam sistem sesar geser (wrench fault system).
Pendahuluan

The Island of Waigeo occupies an intermediate position between the Bird's Head region of
Irian Jaya (western New Guinea) and the island of Halmahera (Fig. 1). It is situated about 75km
north of the town of Sorong in western Irian Jaya, and about 250 km ESE of Halmahera. Waigeo is
the easternmost of the island terranes of the Sorong Fault Zone, a zone of inferred regional left-
lateral shear linking northern New Guinea with Sulawesi (e.g. Visser and Hermes 1962, Tjia 1973,
Hamilton 1979; Fig. 1). The island therefore occupies a critical position in this tectonically complex
region and contributes important evidence towards unravelling the evolution of the NE Indonesia
region, and in particular the relationships between the Halmahera-Philippine arcs on the one hand
and New Guinea-Australia on the other. During 1987, 1988 and 1990, geologists from University
College London and the Indonesian Geological Research and Development Centre (GRDC) carried
out geological surveys of Waigeo Island as part of ongoing projects investigating the geology of
Halmahera and the Sorong Fault Zone. This paper presents some of the results of this fieldwork.
Pulau Waigeo menempati sebuah posisi tengah antara daerah Kepala Burung, Irian Jaya
(Barat New Guinea) dan pulau Halmahera (Gbr. 1). Hal ini terletak sekitar 75 km sebelah utara dari
kota Sorong di bagian barat Irian Jaya, dan sekitar 250 km timur-tenggara Halmahera. Waigeo
adalah paling timur dari terrane pulau dari Zona Sesar Sorong, sebuah zona regional geser left-
lateral yang menghubungkan bagian utara New Guinea dengan Sulawesi (Visser dan Hermes 1962,
Tjia 1973, Hamilton 1979; Gambar. 1). Oleh karena itu pulau menempati posisi kritis di wilayah
tektonik yang kompleks dan kontribusi bukti penting untuk mengungkapkan evolusi wilayah Timur
laut Indonesia, dan khususnya hubungan antara Halmahera-busur Filipina di satu sisi dan New
Guinea-Australia di sisi lainnya. Selama tahun 1987, 1988 dan 1990, ahli geologi dari University
College London dan Geologi Indonesia Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang Geologi)
melakukan survei geologi di Pulau Waigeo sebagai bagian dari proyek penyelidikan geologi yang
sedang berlangsung di Halmahera dan Zone Sesar Sorong. Makalah ini menyajikan beberapa dari
hasil penelitian lapangan ini.

Waigeo is approximately 125km in an east-west direction and up to 50 km from north to

south (Fig. 2). The most striking geographical feature of the island is the large lagoon of Teluk (Bay)
Mayalibit which almost divides Waigeo into two separate islands. To the east and west of the bay
the topography is rugged, but with generally rounded morphology. The highest peak, Gunung
(Mount) Samlor, reaches 1000 m. A lesser peak, Gunung Lok, reaches a height of only 670 m, but
forms an impressive pinnacle peak, known in Dutch colonial times as the Buffelhoorn. The island is
very sparsely inhabited, with the entire population living in coastal villages. The interior of Waigeo
is thickly covered by rain forest with only limited geological exposure, but exposure is often
excellent around the coastline, particularly on the north coast. Because of the reconnaissance
nature of the investigations, fieldwork concentrated mainly on these coastal exposures, and
knowledge of the geology further inland is limited to a few river traverses. However, good quality
aerial photographs cover most of Waigeo, and this has permitted the extrapolation of the coastal
observations to produce a new geological map of the island (Fig. 3).
Waigeo terletak sekitar 125 km di arah timur-barat dan lebih 50 km dari utara ke selatan
(Gambar. 2). Secara geografis yang paling menonjol dari pulau ini adalah laguna besar Teluk (Bay)
Mayalibit yang hampir membagi Waigeo menjadi dua pulau terpisah. Topografi teluk bagian timur
dan barat adalah kasar, tetapi pada umumnya morfologinya berbentuk bulat. Puncak tertinggi,
Gunung (Gunung) Samlor, mencapai 1000 m, dan puncak yang lebih rendah adalah Gunung Lok,
mencapai ketinggian hanya 670 m, tetapi ada puncak-puncak pegunungan membentuk sebagai
Buffelhoorn (Belanda). Pulau ini sangat jarang dihuni, dan seluruh penduduk menempati pesisir
desa. P. Waigeo ditutupi oleh hutan hujan sehingga kenampakan geologi sangat terbatas, tetapi
umumya memperlihatkan kenampakan geologi yang baik terutama di sekitar garis pantai,
khususnya di pantai utara. Pengamatan lapangan geologi sangat terbatas khususnya pengamatan
geologi di bagian dalam pulau, sehingga konsentrasi pengamatan hanya di peisisr pantai dan
lintasan sungai. Namun, foto udara berkualitas baik hampir menjangkau Waigeo, dan
memungkinkan ekstrapolasi dari pengamatan pesisir untuk menghasilkan peta geologi baru pulau
(Gbr. 3).

Stratigrafi

The stratigraphy of Waigeo as summarised in Fig. 4 is basically that developed by Supriatna

and Apandi (1982) following reconnaissance geological mapping by GRDC. The only significant
difference is that their Volcanic Member of the Rumai Formation is here upgraded to formation
status and renamed the Mayatibit Formation.
Stratigrafi Waigeo seperti ringkasan dalam Gambar. 4, yang dikembangkan oleh Supriatna
dan Apandi (1982), dalam pemetaan geologi oleh Puslitbang Geologi. Satu-satunya perbedaan yang
signifikan adalah bahwa Anggota vulkanik dari Formasi Rumai ditingkatkan statusnya dan berganti
nama menjadi Formasi Mayatibit.

Kompleks Ofiolit

The basement of Waigeo comprises an Ophiolite Complex, consisting of deformed and

extensively serpentinised ultrabasic rocks (dunites and harzburgites) with smaller amounts of
gabbros, dolerites and basalts. Many of the ultramafics have cumulate textures, and represent the
lower part of a layered sequence. The Ophiolite Complex forms part of the East Halmahera-Waigeo
Ophiolite terrane. Ballantyne (1990, 1991, in press a,b) has shown that the East Halmahera
ophiolite has the geochemical characteristics of a supra-subduction zone ophiolite and is thought to
represent an ophiolite formed in the non-accretionary forearc of an intra-oceanic (Marianas-type)
island arc.
Basement Waigeo terdiri Kompleks ofiolit, yang terdiri dari batuan ultrabasa serpentinit
(dunites dan harzburgites) dengan jumlah yang lebih kecil dari gabbros, dolerites dan basalt.
Banyak dari ultramafik memiliki tekstur cumulate (cumulate textures), dan terdapat didengan
bagian bawah sekuen berlapis. Kompleks ofiolit bagian dari terrane ofiolit Halmahera Timur-
Waigeo. Ballantyne (1990, 1991), menunjukkan bahwa ofiolit Halmahera Timur memiliki
karakteristik geokimia dari zona ofiolit supra-subduksi dan dianggap mewakili ofiolit yang dibentuk
di forearc non-akresi dari sebuah intra-oseanik (intra-oceanic), seperti tipe busur kepulauan
Marianas (Marianas-type).

The age of the Ophiolite Complex on Waigeo is not accurately known. A single sample from
a sheeted dyke complex faulted against harzburgites on the nearby island of Gag (Fig. 2) has been
dated as 148 + 8 Ma (Upper Jurassic) using the K/Ar radiometric method (Pieters et al. 1979). Based
on this dating, Supriatna and Apandi (1982) assigned a Jurassic or greater age to the Waigeo
Ophiolite Complex. However, because of the low potassium content of the dolerite, and the
possibility of low-grade metamorphism, this age determination must be treated with considerable
caution. Supriatna and Apandi (1982), quoting unpublished results by Shell oil company, reported
Calpionella from float material collected in the Kayawat River at the NW end of Teluk Mayalibit, but
it has not been found in any of our samples from this area. Calpionella is typical of the Upper
Jurassic and Lower Cretaceous and would be unusual in this area although one species was
reported from DSDP Leg 60 drilling in the Marianas forearc (Azrma and Blanchet 1981). If present, it
may be derived from sedimentary rocks associated with the Ophiolite Complex which crops out
extensively in this area (Fig. 2).

Umur komplex ofiolit di Waigeo tidak pasti diketahui. Sebuah sampel tunggal dari kompleks
dyke yang melembar (sheeted dyke complex) tersesarkan kembali menjadi harzburgites di dekat
Pulau Gag (Gbr. 2), telah di dating berumur 148 + 8 juta tahun (Jura Atas) dengan menggunakan
metode radiometrik K/Ar (Pieters et al. 1979). Berdasarkan dating ini, Supriatna dan Apandi (1982),
telah menentukan umur batuan sekitar Jurassic atau lebih besar di Komplek ofiolit Waigeo.
Namun, karena kandungan kalium dolerite yang rendah, dan kemungkinan adalah batuan
metamorf dari derajat rendah, penentuan umur ini harus diperlakukan dengan sangat hati-hati.
Supriatna dan Apandi (1982), mengutip hasil yang tidak dipublikasikan oleh perusahaan minyak
Shell, dilaporkan mengumpulkan Calpionella dari bahan mengambang di Sungai Kayawat di ujung
barat laut Teluk Mayalibit, tetapi belum ditemukan dari setiap sampel di daerah ini. Calpionella
merupakan ciri khas dari Jura Atas dan Kapur Bawah dan tidak akan didapatkan di daerah ini
meskipun satu spesies dilaporkan dari pengeboran DSDP Leg 60 di forearc Marianas, (Azrma dan
Blanchett 1981). Jika ada, mungkin berasal dari batuan sedimen yang berhubungan dengan
Kompleks ofiolit yang tersingkap keluar secara ekstensif di daerah ini, (Gambar. 2).

Sekuen Sedimen Paleogen-Kapur

Three distinct sedimentary units, the Tanjung Bomas, Lamlam and Rumai formations were
identified in the pre-Neogene of Waigeo by Supriatna and Apandi (1982). Although this threefold
division is justified, the ages and stratigraphic relationships of these formations are still rather
poorly constrained, The pre-Neogene history of Waigeo will therefore be covered only briefly in the
present paper.
Tiga unit sedimen yang berbeda, yaitu Formasi Tanjung Bomas, Lamlam dan Rumai, yang
diidentifikasi dalam pra-Neogen dari Waigeo oleh Supriatna dan Apandi (1982). Meskipun divisi ini
tiga kali lipatan dibenarkan, umur dan hubungan stratigrafi dari formasi ini masih terkendala agak
buruk, karena itu pembahasan sejarah pra-Neogen Waigeo hanya sekilas dalam tulisan ini.

The oldest of the three formations is the Tanjung Bomas Formation (Supriatna and Apandi
1982). At the type locality on Tanjung (Point) Bomas, in the eastern part of the island, the formation
consists of brittle, black-weathering pink, green or white volcanogenic mudstones and fine
sandstones. Where bedding is visible, it is picked out as a mm-scale flat lamination defined by
grading from siltstone to mudstone. Locally metre-scale slump structures are seen. The bedding
lamination is cut by very steep (to bedding) minor normal faults which may represent syn-
sedimentary deformation or postdepositional compaction.
Formasi tertua dari tiga formasi ini adalah Fm. Tanjung Bomas (Supriatna dan Apandi
1982). Pada lokasi tipe di Tanjung (Point) Bomas, di bagian timur dari pulau, formasi terdiri dari
batupasir halus dan batulumpur vulkanik (volcanogenic mudstones), rapuh, pelapukan warna pink-
hitam, hijau atau putih. Terdapat perlapisan, berupa laminasi sejajar dengan skala mm, yang
didefinisikan sebagai derajat dari batulanau ke batulempung. Secara lokal, terdapat struktur slump
dalam skala beberapa meter. Lapisan laminasi dipotong oleh sangat curam (lapisan) oleh sesar
normal minor, yang mungkin mewakili deformasi syn-sedimen atau kompaksi setelah
pengendapan.

A further area of Tanjung Bomas Formation not identified by Supriatna and Apandi (1982)
occurs along the southern shoreline of Teluk Fofak (Fig. 3). These are also brittle volcanogenic
mudstones and fine sandstones. The sedimentary rocks are often laminated as at Tanjung Bomas,
but in addition sometimes show cm—dm scale bedding. Thin sedimentary breccia horizons occur
locally.
Daerah selanjutnya dari Formasi Tanjung Bomas tidak diidentifikasi oleh Supriatna dan
Apandi (1982), yang terdapat di sepanjang garis pantai selatan Teluk Fofak (Gbr. 3). Terdiri dari
batupasir halus dan batulumpur vulkanik (mudstones volcanogenic), bersifat rapuh. Batuan
sedimen biasanya berlapis laminasi seperti di Tanjung Bomas, tetapi di samping itu kadang-kadang
menunjukkan perlapisan skala beberapa cm–dm. Secara local terdapat sedimen breksi berlapis
tipis.

The formation was dated by Supriatna and Apandi (1982) as Jurassic, based on the
Calpionellabearing material mentioned above, interpreted as derived from this formation, which
they show on their geological map as exposed in the Kayawat River valley. A geological traverse
along the Kayawat River shows that the river cuts through the Ophiolite Complex and the Tanjung
Bomas Formation which are faulted together. No calpionellids were found in the rocks we collected.
If the calpionellids reported were from this sequence it seems probable that they were reworked
from older sedimentary rocks associated with the Ophiolite Complex. Chert blocks found as float in
this river yielded a radiolarian fauna of Eocene age (Ling et al. 1991). The Tanjung Bomas
Formation is lithologically similar to the Upper Cretaceous Gowonli Formation of Halmahera (Hall et
al. in press), and a Late Cretaceous age is possible for this unit. An alternative correlation is with the
Middle Eocene Sagea Formation of Halmahera, which the Tanjung Bomas Formation also closely
resembles, and this is consistent with the Eocene radiolaria reported by Ling et al. (1991).
Pembentukan itu tanggal oleh Supriatna dan Apandi (1982) sebagai Jurassic, berdasarkan
Calpionellabearing bahan yang disebutkan di atas, diartikan sebagai berasal dari formasi ini, yang
mereka menunjukkan pada peta geologi sebagai terpapar di lembah Sungai Kayawat. Sebuah
melintasi geologi di sepanjang Sungai Kayawat menunjukkan bahwa sungai memotong melalui
kompleks ofiolit dan Formasi Tanjung Bomas yang menyalahkan bersama-sama. Tidak ada
calpionellids ditemukan di batu kami mengumpulkan. Jika calpionellids dilaporkan adalah
dari urutan ini tampaknya mungkin bahwa mereka ulang dari batuan sedimen yang lebih tua terkait
dengan Kompleks ofiolit. Blok rijang ditemukan sebagai pelampung di sungai ini menghasilkan
fauna radiolaria usia Eosen (Ling et al. 1991). Formasi Tanjung Bomas adalah litologi mirip dengan
Upper Cretaceous Gowonli Pembentukan Halmahera (Hall et al. Dalam pers), dan Usia Kapur Akhir
mungkin untuk unit ini. Sebuah alternatif korelasi dengan Eosen Tengah Sagea Pembentukan
Halmahera, yang Tanjung Bomas Pembentukan juga mirip, dan ini konsisten dengan Eosen
radiolaria dilaporkan oleh Ling et al. (1991).

The Tanjung Bomas Formation is overlain by the Lamlam Formation, which is composed
predominantly of ultrabasic sandstones and sedimentary breccias. Although no stratigraphic
contact has yet been seen between the Lamlam and Tanjung Bomas formations, field mapping
suggests a stratigraphic contact in Teluk Fofak, and the occurrence of boulders of the Tanjung
Bomas Formation reworked into the Lamlam Formation suggests an unconformable relationship.
Clear unconformable contacts are seen between the Lamlam Formation and the Ophiolite Complex,
for instance on the north coast of Waigeo just east of the entrance to Teluk Fofak (Fig. 3).
Formasi Tanjung Bomas yang ditindih oleh Formasi Lamlam, yang terdiri didominasi
batupasir ultrabasa dan sedimen breksi.Meskipun tidak ada kontak stratigrafi belum terlihat antara
Lamlam dan Tanjung Bomas formasi, pemetaan lapangan menunjukkan kontak stratigrafi di Teluk
Fofak, dan terjadinya batu dari Tanjung Pembentukan Bomas ulang ke dalam Formasi Lamlam
menunjukkan hubungan unconformable. Jelas kontak unconformable terlihat antara Lamlam
Pembentukan dan Kompleks ofiolit, misalnya di pantai utara Waigeo di timur pintu masuk ke
Teluk Fofak (Gbr. 3).

The Lamlam Formation is well exposed in many places along the north coast of Waigeo,
and was studied in detail by us in Teluk Fofak, which is the type locality (Supriatna and Apandi
1982), and also on the western shore of Teluk Kabare (Fig. 2). The formation consists of interbedded
sandstones and siltstones at the base, passing up into a thick sequence of sedimentary breccias. In
Teluk Fofak, the basal Lamlam Formation comprises about 50 m of parallel- and cross-laminated
sandstones and siltstones with minor sedimentary breccia horizons. These basal sandstones are well
exposed on the small island of Delphine in the eastern part of the bay where graded bedding, grain
flow and dewatering structures are seen. In most places a thick sequence of poorly bedded
sedimentary breccias succeeds the basal sandstones. Locally, for example on the north coast of
Waigeo immediately NE of Teluk Fofak, the basal sandstones are absent and the sedimentary
breccias overlie the Ophiolite Complex directly. The breccias are composed mainly of serpentinite
clasts, but also include basaltic material and clasts of the Tanjung Bomas Formation.
Formasi Lamlam baik terkena di banyak tempat sepanjang pantai utara Waigeo, dan
dipelajari secara rinci oleh kami di Teluk Fofak, yang merupakan lokalitas jenis (Supriatna dan
Apandi 1982), dan juga pada Barat pantai Teluk Kabare (Gbr. 2). Formasi ini terdiri
batupasir interbedded dan siltstones di dasar, melewati ke dalam urutan tebal sedimen
breksi. Di Teluk Fofak, Formasi Lamlam basal terdiri dari sekitar 50 m dari paralel dan cross-
dilaminasi batupasir dan siltstones dengan minor sedimen breksi cakrawala. Ini batupasir basal baik
terpapar pada pulau kecil Delphine di bagian timur Teluk mana bergradasi tidur, aliran gandum dan
struktur dewatering terlihat. Di kebanyakan tempat urutan tebal buruk breksi sedimen bedded
berhasil batupasir basal. Secara lokal, misalnya di pantai utara dari Waigeo segera TL dari Teluk
Fofak, basal yang batupasir adalah breksi hadir dan sedimen berbaring di atas kompleks ofiolit
langsung. The breksi yang terutama terdiri dari clasts serpentinit, tetapi juga mencakup bahan
basaltik dan clasts dari Tanjung Bomas Formasi.

At the position of the unexposed contact between the Lamlam and Tanjung Bomas
formations in Teluk Fofak, there are boulders of a bioclastic lithic sandstone that differ from other
boulders in the Lamlam Formation. This sandstone contains numerous Paleogene (probably Eocene)
larger benthic foraminifera in addition to the more typical serpentinite, ultrabasic and basaltic
fragments.
Pada posisi kontak terpajan antara formasi Lamlam dan Tanjung Bomas di Teluk Fofak, ada
batu-batu dari batu pasir lithic bioklastika yang berbeda dari batu lainnya di Lamlam yang Formasi.
Batu pasir ini mengandung banyak Paleogen (mungkin Eosen) bentik foraminifera besar di samping
serpentinit lebih khas, ultrabasa dan fragmen basaltik.

In Teluk Kabare the Lamlam Formation overlies the Ophiolite Complex unconformably. The
basal sandstone member is here only 8 m thick, below a 25 m thick sedimentary breccia sequence.
This breccia is in turn succeeded by 15 m of parallel-laminated sandstones and siltstones
interbedded with several 30-100 cm thick sedimentary breccia horizons. After a 100m gap in
exposure, about 80m of sedimentary breccias are exposed before a more extensive gap in exposure.
A broadly similar sequence is exposed further north in the bay, and this is probably the same
sequence repeated by thrusting. The breccias in Teluk Kabare are composed of basalt and ultrabasic
material, with fragments of red chert. Higher in the sequence, reworked boulders of sandstone are
common.
Di Teluk Kabare Formasi ignimbrit Lamlam yang ofiolit Kompleks selaras. Batupasir basal
anggota di sini hanya 8 m tebal, bawah tebal 25 m Urutan breksi sedimen. Breksi ini pada gilirannya
digantikan oleh 15 m paralel-dilaminasi batupasir dan siltstones interbedded dengan beberapa 30-
100 cm cakrawala breksi sedimen. Setelah 100m celah di paparan, sekitar 80 m dari breksi sedimen
yang terkena sebelum kesenjangan yang lebih luas dalam paparan. SEBUAH luas urutan yang sama
terkena lanjut utara di bay, dan ini mungkin adalah urutan yang sama diulang oleh menyodorkan.
The breksi di Teluk Kabare terdiri basal dan bahan ultrabasa, dengan fragmen rijang merah. Lebih
tinggi dalam urutan, ulang batu-batu dari batu pasir yang umum.

Discontinuous exposure, poor bedding and structural thickening by thrusting make it

difficult to estimate the original thickness of the Lamlam Formation with any accuracy. It is at least
250 m thick at Teluk Kabare and is probably thicker at Teluk Fofak. Supriatna and Apandi (1982) did
not report any fossil ages for the formation, and so its exact stratigraphic position has not been
clearly established. However, the basal sandstone boulders in Teluk Fofak contain reworked
Paleogene (probably Eocene) benthic foraminifera which suggests a maximum age for the
formation. The Lamlam Formation may be the equivalent of the Eocene Paniti Formation of SE
Halmahera (Hall et al. in press), which is also dominated by ultrabasic clastic debris and contains
red chert fragments, as well as limestones with volcaniclastic, ultrabasic and shallow water
bioclastic debris, comparable to the benthic foraminifera-bearing calcareous sandstone from the
base of the Lamlam Formation.
Paparan terputus, tidur yang buruk dan struktural penebalan dengan menyodorkan
membuat sulit untuk memperkirakan ketebalan asli dari Formasi Lamlam dengan akurasi. Hal ini
setidaknya 250 m tebal di Teluk Kabare dan mungkin lebih tebal di Teluk Fofak. Supriatna dan
Apandi (1982) tidak melaporkan setiap usia fosil untuk pembentukan, dan posisi stratigrafi pastinya
belum didirikan jelas. Namun, batu pasir basal batu di Teluk Fofak berisi ulang Paleogen (mungkin
Eosen) foraminifera bentik yang menunjukkan usia maksimum untuk formasi. Formasi Lamlam
mungkin setara dengan Eosen Paniti Pembentukan SE Halmahera (Hall et al. Dalam pers), yang juga
didominasi oleh puing-puing klastik ultrabasa dan berisi fragmen rijang merah, serta batugamping
dengan gunung api, ultrabasa dan dangkal bioklastika air puing-puing, sebanding dengan bentik
foraminifera-bearing batu pasir berkapur dari dasar Lamlam Formasi.

The third pre-Neogene sedimentary sequence identified by Supriatna and Apandi (1982) is
the Rumai Formation. This consists predominantly of sandstones and siltstones, with occasional
conglomerate horizons. The formation is similar in many respects to the basal sandstones of the
Lamlam Formation, but differs in having a predominant grey-brown colour (in contrast to the
greenish Lamlam Formation), in being less indurated, more frequently cross-bedded, and in having
greater rounding of the conglomerate clasts. In thin section the Rumai Formation is
petrographically different from the Lamlam Formation in having a volcanic arc provenance, in
contrast to the Lamlam Formation which contains debris derived primarily from the ophiolitic
basement.
Urutan sedimen pra-Neogen ketiga diidentifikasi oleh Supriatna dan Apandi (1982) adalah
Rumai Formasi. Ini terdiri terutama dari batupasir dan siltstones, dengan cakrawala konglomerat
sesekali. Formasi ini mirip dalam banyak hal dengan basal batupasir Formasi Lamlam, tetapi
berbeda dalam memiliki abu-coklat warna dominan (kontras untuk Formasi Lamlam kehijauan), di
menjadi kurang indurated, lebih sering lintas-bedded, dan memiliki pembulatan yang lebih besar
dari clasts konglomerat. dalam tipis Bagian Formasi Rumai adalah petrografinya berbeda dari
Formasi Lamlam dalam memiliki busur vulkanik asal, berbeda dengan Formasi Lamlam yang berisi
puing-puing terutama berasal dari ophiolitic yang basement.

The Rumai Formation crops out extensively in the SE of the island and also at the northern
end of Mayalabit Bay. It is best exposed on Tanjung Monfafa, the easternmost point of Waigeo,
where it is almost continuously exposed over a distance of about 1.5 km. The lowest exposed part of
the Rumai Formation crops out in the core of one of a series of anticlines on Tanjung Monfafa. This
basal unit is exposed over a horizontal distance of about 200 m but is of unknown stratigraphic
thickness due to the absence of bedding. It consists of a massive sandstone body containing large
intraclastic blocks, including rafts of bedded sedimentary rocks up to 10m across. This basal unit is
interpreted as an olistostrome. Above this are interbedded sandstones and siltstones with
occasional conglomeratic horizons. The conglomerate beds are up to several metres thick, and are
typically composed of subrounded clasts 1-2 cm diameter, with occasional clasts up to 10 cm
across. The conglomerates show little internal grading, although they have sharp bases and pass
upwards gradationally into sandstones. The sandstones are typically medium to fine grained and
decimetre to metre bedded, with parallel- or cross-lamination and occasional slump structures. The
siltstone beds are generally structureless, and typically only a few centimetres thick. The Rumai
Formation is interpreted as a turbiditic sequence (Supriatna and Apandi 1982).
Formasi Rumai tanaman keluar secara ekstensif dalam SE dari pulau dan juga di ujung utara
Mayalabit Bay. Hal ini paling terkena di Tanjung Monfafa, titik paling timur Waigeo, di mana hampir
terus terkena lebih dari jarak sekitar 1,5 km. Bagian terkena terendah dari tanaman Formasi Rumai
dalam inti satu dari serangkaian anticlines di Tanjung Monfafa. Unit basal ini terkena lebih dari satu
horisontal jarak sekitar 200 m tetapi ketebalan stratigrafi diketahui karena tidak adanya tempat
tidur. Ini terdiri dari tubuh pasir besar berisi intraclastic besar blok, termasuk rakit dari tempat tidur
batuan sedimen up 10m di. Unit basal ini ditafsirkan sebagai olistostrom. Di atas ini adalah
batupasir interbedded dan siltstones dengan cakrawala konglomeratan sesekali. Itu tidur
konglomerat yang sampai beberapa meter tebal, dan biasanya terdiri dari clasts subrounded 1-2
cm diameter, dengan clasts sesekali hingga 10 cm. Itu konglomerat menunjukkan gradasi internal
yang sedikit, meskipun mereka memiliki basis yang tajam dan lulus atas gradationally dalam
batupasir. Batupasir biasanya media untuk fine grained dan desimeter ke meteran tempat tidur,
dengan paralel atau cross-laminasi dan struktur kemerosotan sesekali. Tempat tidur batulanau
umumnya structureless, dan biasanya hanya beberapa sentimeter tebal. The Rumai Formasi
ditafsirkan sebagai urutan turbidit (Supriatna dan Apandi 1982).

The stratigraphic contact between the Rumai Formation and older units was not observed
in our fieldwork or by Supriatna and Apandi (1982). However, mapping based on aerial
photographic interpretation combined with stratigraphic control from reconnaissance mapping by
Supriatna and Apandi (1982) suggests that the Rumai Formation stratigraphically overlies the
Lamlam Formation, for instance at the northern end of Teluk Mayalibit (Fig. 3). The exact age of the
formation is not known, but planktonic foraminifera reported by Supriatna and Apandi
(Cassigerinella chipolensis and Globigerina ampliapertura) indicate an Early to Middle Oligocene
age range, and this is accepted as the most likely age for the formation.
Kontak stratigrafi antara Formasi Rumai dan unit yang lebih tua tidak diamati di lapangan
kami atau dengan Supriatna dan Apandi (1982). Namun, pemetaan berdasarkan interpretasi foto
udara dikombinasikan dengan kontrol stratigrafi dari pengintaian pemetaan oleh Supriatna dan
Apandi (1982) menunjukkan bahwa Pembentukan Rumai stratigrafi ignimbrit. Pembentukan
Lamlam, misalnya di ujung utara dari Teluk Mayalibit (Gbr. 3). Usia yang tepat dari formasi tidak
diketahui, tetapi foraminifera planktonik dilansir Supriatna dan Apandi (Cassigerinella chipolensis
dan Globigerina ampliapertura) mengindikasikan awal untuk Tengah Oligosen rentang usia, dan ini
diterima sebagai yang paling kemungkinan usia untuk formasi.

Mayalibit Formation

Supriatna and Apandi (1982) identified a Volcanic Member of the Rumai Formation, which
they interpreted as a lateral facies equivalent of the main formation. This member is assigned here
to a separate formation overlying the Rumai Formation and provisionally named the Mayalibit
Formation after exposures along the SW shore of Mayalibit Bay.
Supriatna dan Apandi (1982) mengidentifikasi Vulkanik Anggota dari Formasi Rumai, yang
mereka ditafsirkan sebagai fasies setara lateral formasi utama. Anggota ini ditugaskan di sini untuk
terpisah pembentukan atasnya Formasi Rumai dan sementara bernama Formasi Mayalibit setelah
eksposur sepanjang pantai SW dari Teluk Mayalibit.

The Mayalibit Formation in SW Teluk Mayalibit consists predominantly of coarse, pyroxene-

phyric, basalts together with volcaniclastic sedimentary rocks including possible lahar deposits
(matrix-supported volcanic diamictites), bedded sandstones with large basaltic and andesitic
boulders, and other sandstones with large (5-10 mm) euhedral pyroxene crystals. Two basalts
sampled from this area have distinctly different characteristics. The first is a typical calcalkaline
island arc basalt with large zoned clinopyroxene phenocrysts, large but less abundant plagioclase
and rare altered olivine phenocrysts. The second may be alkaline or even peralkaline, with large,
faintly green, pyroxene glomerocrysts and a sub-trachytic texture.
Formasi Mayalibit di SW Teluk Mayalibit terdiri terutama kasar, piroksen-phyric, basal
bersama-sama dengan batuan sedimen gunung api termasuk kemungkinan deposito lahar
(matriks-didukung vulkanik diamictites), tempat tidur batupasir dengan basaltik besar dan batu-
batu andesit, dan batu pasir lainnya dengan besar (5-10 mm) kristal euhedral piroksen. Dua basal
sampel dari daerah ini memiliki karakteristik yang jelas berbeda. Yang pertama adalah calcalkaline
khas pulau busur basaltdengan fenokris clinopyroxene dikategorikan besar, besar tapi kurang
plagioklas melimpah dan langka fenokris olivin berubah. Yang kedua mungkin basa atau bahkan
peralkaline, dengan besar, samar-samar hijau, glomerocrysts piroksen dan tekstur sub-trachytic.

The Rumai Formation at Tanjung Monfafa is intruded by basic dykes which are interpreted
to be cogenetic with the volcanic rocks of the Mayalibit Formation. As with some of the volcanic
rocks from Teluk Mayalibit, the basic dykes intruding the Rumai Formation show petrographic
characteristics more typical of alkaline rather than calcalkaline volcanism.
Formasi Rumai di Tanjung Monfafa adalah diterobos oleh tanggul dasar yang ditafsirkan
cogenetic dengan batuan vulkanik dari Mayalibit Formasi. Seperti dengan beberapa batuan
vulkanik dari Teluk Mayalibit, tanggul dasar mengganggu yang Rumai Pembentukan acara
karakteristik petrografi lebih khas alkali daripada calcalkaline vulkanisme.

Most samples from the Mayalibit formation are barren of fossils, which taken together with
sedimentological evidence (possible lahar type sedimentary rocks; predominant red weathering of
freshly exposed rocks) may indicate that the Mayalibit Formation was at least partly a terrestrial
deposit. A small number of samples contain limestone clasts of shallow water origin, including coral
and algal debris. Volcaniclastic sedimentary rocks beneath the Waigeo Formation on Beeuw island
in the north of Teluk Mayalibit were dated as Tern_3 (Upper Oligocene) by Van der Wegen (1963).
Elsewhere around Teluk Mayalibit the Waigeo Formation invariably overlies the Mayalibit
Formation (Fig. 3), and so it is likely that this dating refers to the Mayalibit Formation. The
Mayalibit Formation is therefore provisionally interpreted to be of Upper Oligocene age.
Sebagian besar sampel dari pembentukan Mayalibit adalah tandus fosil, yang diambil
bersama-sama dengan sedimentological bukti (mungkin jenis lahar batuan sedimen; pelapukan
merah dominan batuan baru terkena) mungkin menunjukkan bahwa Formasi Mayalibit setidaknya
sebagian deposit terestrial. Sejumlah kecil sampel mengandung clasts kapur dangkal asal air,
termasuk karang dan alga puing-puing. sedimen gunung api batuan di bawah Formasi Waigeo di
pulau Beeuw di utara Teluk Mayalibit adalah tanggal sebagai Tern_3 (Atas Oligosen) oleh Van der
Wegen (1963). di tempat lain sekitar Teluk Mayalibit Formasi Waigeo selalu ignimbrit Formasi
Mayalibit (Gbr. 3), dan sehingga ada kemungkinan bahwa kencan ini mengacu pada Mayalibit
Formasi. Oleh karena itu Formasi Mayalibit adalah sementara ditafsirkan usia Atas Oligosen.

Waigeo Formation
The Mayalibit Formation is succeeded by the Waigeo Formation (Visser and Hermes 1962),
which comprises a thick sequence of Miocene limestones. The Waigeo Formation is well exposed
around Teluk Mayalibit and to the east of Selat Rabiai, in the NE of the island around Kabare, and
also in west Waigeo (Supriatna and Apandi 1982; Fig. 3). The extent of the Waigeo Formation is
somewhat greater than that shown by Supriatna and Apandi (1982) because areas in NE Waigeo
previously mapped as Quaternary reef are rather parts of the Miocene Waigeo Formation (see Van
der Wegen 1963). The Waigeo Formation has an unconformable relationship with the underlying
strata, generally resting on the Mayalibit Formation, but elsewhere overlying the Ophiolite Complex
and the Lamlam Formation (Fig. 3). The formation comprises a uniform and rather monotonous
sequence of thickly bedded limestones ranging from coral-bearing at the base, through limestones
relatively rich in benthic foraminifera, to planktonic foraminiferal calcilutites higher in the sequence.
This suggests a gradual deepening of the sedimentary environment through the Miocene, following
the probable subaerial to marginal marine conditions prevailing during deposition of the Mayalibit
Formation. In the highest parts of the sequence, there is a reversion to predominant benthic species,
suggesting a final shallowing of the depositional environment.
Formasi Mayalibit digantikan oleh Waigeo Pembentukan (Visser dan Hermes 1962), yang
terdiri dari urutan tebal Miosen batugamping. The Waigeo Formasi ini juga terkena sekitar Teluk
Mayalibit dan di sebelah timur Selat Rabiai, di NE pulau sekitar Kabare, dan juga di barat Waigeo
(Supriatna dan Apandi 1982; Gambar. 3). Luasnya Waigeo Pembentukan agak lebih besar dari yang
ditunjukkan oleh Supriatna dan Apandi (1982) karena daerah di NE Waigeo sebelumnya dipetakan
sebagai Kuarter terumbu agak bagian dari Formasi Miocene Waigeo (lihat Van der Wegen 1963).
Formasi Waigeo memiliki unconformable hubungan dengan strata yang mendasari, umumnya
bertumpu pada Formasi Mayalibit, tapi tempat lain yang melapisi ofiolit Complex dan
Pembentukan Lamlam (Gbr. 3). Formasi terdiri dari seragam dan urutan agak monoton tebal
batugamping bedded mulai dari karang-bearing di dasar, melalui batugamping yang relatif kaya
bentik foraminifera, untuk planktonik calcilutites foraminifera lebih tinggi dalam urutan. Hal ini
menunjukkan pendalaman bertahap lingkungan sedimen melalui Miosen, mengikuti subaerial
kemungkinan untuk marjinal kondisi laut yang berlaku selama deposisi dari Formasi Mayalibit. Di
bagian tertinggi dari urutan, ada pembalikan ke bentik dominan spesies, menunjukkan
pendangkalan akhir pengendapan yang lingkungan Hidup.

The thickness of the Waigeo Formation is difficult to determine by direct observation

because of its poor exposure as a result of tropical karstic weathering. Thickness is likely to vary
locally. The best estimates of its thickness can be obtained indirectly by cross-section reconstruction
(see below) which suggests a thickness of up to 2000 m. As for the other formations, the age range
of the Waigeo Formation is poorly constrained. Van der Wegen (1963) indicated a Tf2-g (Middle-
Upper Miocene) range, whilst Supriatna and Apandi (1982) suggested a Lower-Upper Miocene
range. New micropalaeontological dating using calcareous nannoplankton (L. Gallagher, pers.
commun. 1990) confirmed a Late Miocene age for rocks near the top of the formation, but was
unable to constrain the lower part on the sequence due to poor preservation of fossil material.
Ketebalan Formasi Waigeo sulit untuk menentukan dengan pengamatan langsung karena
sifatnya yang buruk paparan akibat pelapukan karst tropis. Ketebalan cenderung bervariasi secara
lokal. Perkiraan terbaik ketebalannya dapat diperoleh secara tidak langsung dengan penampang
Rekonstruksi (lihat di bawah) yang menunjukkan ketebalan sampai dengan 2000 m. Adapun
formasi lainnya, usia Kisaran Formasi Waigeo buruk dibatasi. Van der Wegen (1963) menunjukkan
TF2-g (Tengah-Atas Miosen) Kisaran, sementara Supriatna dan Apandi (1982) menyarankan
berbagai Bawah-Atas Miosen. micropalaeontological baru kencan menggunakan nannoplankton
berkapur(L. Gallagher, pers. Commun. 1990) menegaskan Akhir Usia Miosen untuk batu di dekat
bagian atas formasi, tapi tidak dapat membatasi bagian bawah pada urutan karena pelestarian
miskin bahan fosil.

According to Supriatna and Apandi (1982), the Waigeo Formation is succeeded in SW Teluk
Mayalibit by an Upper Miocene arkosic sandstone. The area indicated on the geological map was
searched thoroughly, but we were not able to confirm this relationship; only limestones of the
Waigeo Formation were found there. Supriatna and Apandi (1982) also indicated Pliocene
limestones overlying the Waigeo Formation at the western end of the island in Teluk Ayui. This area
was not visited during the fieldwork described here, and so this relationship cannot be confirmed.
However, the interpretation seems plausible, based on the slightly less karstic appearance of the
indicated region as seen from the aerial photographs. In Fig. 3 these possible Pliocene limestones
are included within the area mapped as Waigeo Formation.
Formasi Waigeo yang berhasil SW Teluk Mayalibit oleh arkosic pasir Miosen. Daerah
ditunjukkan pada peta geologi digeledah secara menyeluruh, tapi kami tidak bisa mengkonfirmasi
ini hubungan; hanya batugamping Formasi Waigeo yang ditemukan di sana. Supriatna dan Apandi
(1982) juga ditunjukkan batugamping Pliosen melapisi Waigeo Formasi di ujung barat pulau di
Teluk Ayui. Daerah ini tidak dikunjungi selama kerja lapangan dijelaskan di sini, dan hubungan ini
tidak bisa dikonfirmasi. Namun, interpretasi tampaknya masuk akal, berdasarkan penampilan
sedikit kurang karst dari daerah ditunjukkan seperti yang terlihat dari foto udara. Di Gambar. 3 ini
mungkin batugamping Pliosen termasuk dalam wilayah dipetakan sebagai Formasi Waigeo.

STRUCTURE

Two, or possibly three, phases of pervasive deformation can be recognised in Waigeo, with
some evidence of earlier deformation events. The first phase is recognized in the Ophiolite Complex,
the Tanjung Bomas and Lamlam formations, and is therefore an Eocene or younger event, although
this might be only the end of a longer phase of deformation. A comparable style of deformation is
also seen in the overlying Rumai Formation, but structures in the younger rocks have markedly
different orientations to those in the pre- Oligocene units. The final phase of deformation affects all
stratigraphic elements up to, and including, the Miocene Waigeo Formation, and is interpreted as a
Pliocene event. The variation in deformation at successive stratigraphic levels can be seen, for
instance, in stereographic plots of bedding orientations for the Tanjung Bomas and Lamlam
formations, the Rumai Formation, and the Mayalibit and Waigeo formations (Fig. 5).
Dua, atau mungkin tiga, fase deformasi meresap dapat diakui di Waigeo, dengan beberapa
bukti peristiwa deformasi sebelumnya. Tahap pertama diakui di Kompleks ofiolit, Tanjung Bomas
dan Formasi Lamlam, dan karena itu adalah Eosen atau Acara muda, meskipun ini mungkin hanya
akhir fase lagi deformasi. Sebuah gaya yang sebanding deformasi juga terlihat di atasnya Rumai
Pembentukan, tetapi struktur dalam batuan yang lebih muda memiliki orientasi sangat berbeda
dengan yang di pra tersebut Unit Oligosen. Tahap akhir deformasi mempengaruhi semua elemen
stratigrafi sampai dengan, dan termasuk, yang Formasi Miosen Waigeo, dan ditafsirkan sebagai
Acara Pliosen. Variasi deformasi pada berturut-turut tingkat stratigrafi dapat dilihat, misalnya,
dalam plot stereographic dari tempat tidur orientasi untuk Tanjung Bomas dan Lamlam formasi,
yang Rumai Pembentukan, dan Mayalibit dan formasi Waigeo (Gbr. 5).

The Ophiolite Complex and the Tanjung Bomas and Lamlam formations all show fairly
intense deformation manifested in rather different ways because of very different mechanical
properties of the three rock types. The Ophiolite Complex is strongly serpentinised and is highly
disrupted by thrusting. Some boulders of the Ophiolite Complex reworked into the Lamlam
Formation have well-developed mylonitic fabrics cut by veins of albite and prehnite, suggesting that
significant deformation and low-grade metamorphism also occurred prior to the Eocene. The
Tanjung Bomas Formation is strongly deformed particularly in its type locality, although little can be
determined of its deformation history because the brittle nature of these sedimentary rocks results
in the rock breaking into rhomboidal fragments a few cm across. The pattern of deformation in the
pre-Oligocene sequence is most clearly displayed in the bedded sandstones at the base of the
Lamlam Formation. Outcrop-scale folding is seen only locally in the Lamlam Formation, for example
in a short coastal section in the middle of the western side of Teluk Kabare. In this locality, metre-
scale folds are open to tight (locally isoclinal), and are typically asymmetrical, with the shorter limb
terminated by faults which minor associated structures indicate were originally thrusts. Evidence of
multiple phases of deformation in this zone include refolded folds, and an inverted synform which
was formerly a hangingwall anticline above a thrust fault. The accompanying thrust has been
reoriented by subsequent deformation so that it now has a steep attitude. This intensity of
deformation is, however, not typical of the Lamlam Formation: more typically, exposed sections of
the formation comprise uniclinally dipping strata. The intense small-scale folding seen on the west
side of Teluk Kabare is interpreted as deformation in the hangingwall of a major thrust which
duplicates the Lamlam stratigraphy exposed along the west side of the bay (Fig. 3). Further away
from this major thrust, deformation is less intense, and folding is of a more open style and of larger
wavelength. However, minor thrusts are fairly commonly seen cutting even the less deformed parts
of the Lamlam stratigraphy.
The ofiolit Complex dan Tanjung Bomas dan Lamlam formasi semua menunjukkan
deformasi yang cukup intens diwujudkan dalam cara yang agak berbeda karena sangat sifat
mekanik yang berbeda dari jenis batuan tiga. The ofiolit Kompleks sangat serpentinised dan
sangat terganggu dengan menyodorkan. Beberapa batu dari Kompleks ofiolit ulang ke Lamlam
Pembentukan telah berkembang dengan baik kain mylonitic cut oleh pembuluh darah dari albite
dan prehnite, menunjukkan bahwa signifikan deformasi dan kelas rendah metamorfosis juga terjadi
sebelum Eosen. Tanjung Bomas Pembentukan sangat cacat khususnya di nya ketik wilayah,
meskipun sedikit dapat ditentukan dari yang sejarah deformasi karena sifat rapuh ini sedimen hasil
batu dalam pemecahan batu ke rhomboidal fragmen beberapa cm di. Pola deformasi di urutan pra-
Oligosen yang paling jelas ditampilkan dalam batupasir bersetubuh di dasar Formasi Lamlam.
Singkapan skala lipat terlihat hanya secara lokal di Formasi Lamlam, misalnya dalam bagian pesisir
singkat di tengah-tengah sisi barat Teluk Kabare. Di wilayah ini, lipatan meter skala terbuka untuk
ketat (lokal isoclinal), dan biasanya asimetris, dengan tungkai yang lebih pendek diakhiri oleh
kesalahan yang kecil terkait struktur menunjukkan Were awalnya menyodorkan. Bukti beberapa
fase deformasi di zona ini meliputi lipatan melipat, dan terbalik synform yang sebelumnya
hangingwall sebuah antiklin atas kesalahan dorong. Dorongan yang menyertainya telah reorientasi
oleh deformasi berikutnya sehingga sekarang memiliki sikap yang curam. Ini intensitas deformasi
Namun, tidak khas Formasi Lamlam: lebih biasanya, bagian terbuka dari formasi terdiri uniclinally
mencelupkan strata. Lipat skala kecil intens terlihat di sisi barat Teluk Kabare ditafsirkan sebagai
deformasi di hangingwall dari dorongan utama yang duplikat stratigrafi Lamlam terkena sepanjang
sisi barat teluk (Gbr. 3). Lebih jauh dari inidorong utama, deformasi kurang intens, dan lipat dari
gaya yang lebih terbuka dan panjang gelombang yang lebih besar. Namun, menyodorkan minor
cukup sering terlihat memotong bahkan bagian kurang cacat dari stratigrafi Lamlam.

The distribution of bedding attitudes recorded from the Tanjung Bomas and Lamlam
formations on the north coast of Waigeo is represented stereographically in Fig. 5a. The bedding
attitudes were recorded from two areas: Teluk Fofak and Teluk Kabare. The data were also plotted
by geographical area, but despite their 25 km separation, the two areas showed a remarkably
similar distribution of data points, suggesting that both areas have similar deformation histories.
The Tanjung Bomas and Lamlam formations are the oldest bedded sedimentary rocks in Waigeo,
and have therefore also been affected by the younger deformation mentioned above. Despite this
multiple deformation, a strongly bimodal pattern is apparent in the stereogram, with clusters of
data points in the SW and NE quadrants. North-dipping strata predominate over south-dipping,
suggesting an asymmetry to the folding. The distribution shown in Fig. 5a is interpreted to result
from folding in which the primary shortening direction was in a NE-SW direction relative to present-
day geographical coordinates.
Distribusi sikap tidur direkam dari Tanjung Bomas dan Lamlam formasi pada utara pantai
Waigeo diwakili stereographically di Gambar. 5a. Tempat tidur sikap dicatat dari dua daerah: Teluk
Fofak dan Teluk Kabare. Data yang juga diplot oleh wilayah geografis, tetapi meskipun mereka 25
km pemisahan, dua daerah menunjukkan sangat distribusi yang sama dari titik data, menunjukkan
bahwa kedua daerah memiliki sejarah deformasi yang sama. Tanjung Bomas dan Lamlam formasi
adalah bedded tertua batuan sedimen di Waigeo, dan karena itu juga memiliki dipengaruhi oleh
deformasi muda disebutkan di atas. Meskipun deformasi beberapa ini, sangat Pola bimodal terlihat
dalam stereogram, dengan cluster titik data dalam SW dan NE kuadran. Strata utara-mencelupkan
mendominasi lebih dari selatan-mencelupkan, menunjukkan asimetri untuk melipat. Distribusi
ditunjukkan pada Gambar. 5a ditafsirkan hasil dari lipat di mana arah pemendekan utama adalah
dalam NE-SW arah relatif terhadap masa kini geografis koordinat.

The Rumai Formation on Tanjung Monfafa is also affected by fairly intense thrusting and
thrust-related folding. In a long, continuous coastal exposure, a series of alternating anticlines and
synclines are seen striking approximately E W and with a predominant vergence to the south. The
folds have typical wavelengths of several hundred metres, and interlimb angles are typically 60-90°.
Anticlines generally have a high degree of cylindricity, although some fold hinges do plunge gently
to east and west. Synclines are to a greater or lesser extent cut out by south-verging thrusts.
Parasitic minor folds on the larger fold limbs have a comparable asymmetry, and can occasionally
be seen to result from fault propagation folding (e.g. Suppe 1982).
Formasi Rumai di Tanjung Monfafa juga dipengaruhi oleh menyodorkan cukup intens dan
dorong-terkait lipat. Dalam panjang, paparan pesisir yang berkelanjutan, seri bolak anticlines dan
synclines terlihat mencolok sekitar E W dan dengan Vergence dominan ke selatan. Lipatan memiliki
panjang gelombang khas beberapa ratus meter, dan sudut interlimb biasanya 60-9ff ~. Anticlines
umumnya memiliki tingkat tinggi cylindricity, meskipun beberapa engsel lipat yang terjun lembut
ke arah timur dan barat. Synclines harus lebih besar atau lebih kecil Sejauh dipotong oleh
menyodorkan selatan-verging. kecil parasit lipatan pada tungkai lipat lebih besar memiliki asimetri
sebanding, dan kadang-kadang dapat dilihat hasil dari kesalahan propagasi lipat (misalnya Suppe
1982).

Figure 5b shows a stereographic plot of bedding attitudes from Tanjung Monfafa. As for the
pre- Oligocene rocks on the north coast of Waigeo, there is a clear bimodal distribution with a
predominance of north-dipping over south-dipping strata. However, the girdle in Fig. 5b
(corresponding to the primary shortening direction in the folding) is oriented NNW-SSE, offset about
45 ° anticlockwise with respect to the pre- Oligocene units in Fig. 5a. The clustering of data points in
Fig. 5b is also considerably tighter than that in the older rocks from the north coast (Fig. 5a).
Gambar 5b menunjukkan plot stereographic tempat tidur sikap dari Tanjung Monfafa.
Adapun pra tersebut Batuan Oligosen di pantai utara Waigeo, ada distribusi bimodal yang jelas
dengan dominasi utara-selatan-mencelupkan lebih mencelupkan strata. Namun, korset pada
Gambar. 5b (sesuai dengan shortening utama arah dalam melipat) berorientasi NNW-SSE,
mengimbangi sekitar 45 ° berlawanan arah jarum jam sehubungan dengan pra tersebut Unit
Oligosen pada Gambar. 5a. Pengelompokan titik data pada Gambar. 5b juga jauh lebih ketat
daripada yang di batuan yang lebih tua dari pantai utara (Gambar. 5a).

It is not clear whether the stereographic distributions in Fig. 5a and b reflect a single phase
of thrust-related folding in which the two geographical areas (northern and eastern Waigeo) have
subsequently undergone relative block rotations, or whether these two stereograms record two
separate phases of folding. The distribution in Fig. 5a is more diffuse than that in Fig. 5b, and if the
pre-Oligocene rocks first had a distribution similar to that in Fig. 5b but with an orientation in a NE-
SW direction, subsequent folding with compression in a NNW-SSE direction would produce the
degree of scatter seen in Fig. 5a. However, overprinting of fold phases on the north coast is limited
to refolding in the hangingwalls of major thrusts, and this can be adequately explained by repeated
thrusting within the same deformation event. Based on this lack of evidence for pervasive fold
overprinting, it is most likely that the folding recorded in Fig. 5a and b was produced in a single
phase of deformation, and that parts of Waigeo have subsequently undergone significant relative
block rotations.
 Tidak jelas apakah distribusi stereographic pada Gambar. 5a dan b mencerminkan fase
tunggal dorong-terkait lipatan di mana dua wilayah geografis (utara dan timur Waigeo) telah
mengalami relatif rotasi blok, atau apakah dua stereogram ini merekam dua fase terpisah lipatan.
Distribusi pada Gambar. 5a lebih menyebar dibandingkan pada Gambar. 5b, dan jika batuan
pertama pra-Oligosen memiliki distribusi yang sama dengan yang pada Gambar. 5b tetapi dengan
orientasi di arah timur laut-barat daya, lipatan berikutnya dengan kompresi di arah utara barat
laut-selatan tenggara akan menghasilkan tingkat pencar terlihat pada Gambar. 5a. Namun,
overprinting dari fase lipatan di pantai utara dibatasi untuk melipat pada hangingwalls dari
dorongan utama, dan ini dapat dijelaskan oleh dorongan ulang dalam peristiwa deformasi yang
sama. Berdasarkan bukti yang kurang untuk menembus lipatan, kemungkinan besar bahwa lipatan
yang tercatat pada Gambar. 5a dan b diproduksi di fase tunggal deformasi, dan bahwa bagian-
bagian dari Waigeo telah mengalami relatif rotasi blok yang signifikan.

The folded Lower Oligocene Rumai Formation is intruded by near-vertical, non-folded dykes
which are here suggested to be coeval with volcanic rocks in the Upper Oligocene Mayalibit
Formation. No younger episode of volcanic activity is known from Waigeo. This suggests that the
main phase of deformation affecting the Rumai Formation (and probably also the older sequences)
occurred during or before the Late Oligocene.
Formasi Rumai Oligosen Bawah terlipat karena diintrusi vertikal, dykes tidak terlipat
diperkirakan seusia dengan batuan vulkanik dari Formasi Mayalibit Oligosen Atas. Tidak ada
episode yang lebih muda dari aktivitas vulkanik diketahui dari Waigeo. Hal ini menunjukkan bahwa
fase utama deformasi yang mempengaruhi Formasi Rumai (dan mungkin juga sekuen yang lebih
tua) terjadi selama atau sebelum Oligosen Akhir.

Following tectonic quiescence during deposition of the Miocene Waigeo Formation, when
the Waigeo area became submerged and subsided relative to sea-level, a final important phase of
deformation occurred during the Pliocene. This deformation is most strikingly displayed by a pair of
very large anticlines bounding a syncline centred on Teluk Mayalibit (Figs 3 and 6). In addition to
this large-scale folding, left-lateral wrench faulting is recognised throughout Waigeo, but
particularly in the NW and SE of the island (Fig. 3). As argued below, the wrench faulting and the
large-scale folding are genetically related.
Menyusul kondisi tektonik stabil terjadi proses pengendapan dari Formasi Waigeo selama
Miosen, saat daerah Waigeo berada dalam kondisi di bawah permukaan laut, sebuah fase akhir
deformasi penting yang terjadi selama Pliosen. Deformasi ini paling menonjol karena dicirikan oleh
sepasang antiklin sangat besar yang berbatasan dengan sebuah sinklin berpusat di Teluk Mayalibit
(Gambar 3 dan 6). Di Selain itu lipatan skala besar, dikenal sebuah sesar geser left-lateral melalui
Waigeo, tetapi terutama di bagian barat laut dan tenggara, (Gbr. 3). Anggapan, bahwa seasar geser
dan lipatan skala besar secara genesa saling terkait.

The late-stage folding is best demonstrated by the structural disposition of the Waigeo and
Mayalibit formations which post-date the Mid-Oligocene deformation (e.g. Fig. 5c). Teluk Mayalibit
has long been recognised as occupying the core of a syncline developed in the Waigeo Formation
(Verstappen 1960, Van der Wegen 1963, Supriatna and Apandi 1982). This syncline is symmetrical,
with both limbs of the fold dipping into the core at about 30-35 °. The synclinal fold axis can be
traced for about 35 km in a NW-SE direction along the centre of Teluk Mayalibit. This orientation is
noticeably oblique to the long and short axes of Waigeo Island. Verstappen (1960) noted a
conspicuous absence of large-scale faulting associated with the Teluk Mayalibit Syncline.
Tahap akhir lipat yang terbaik ditunjukkan oleh disposisi struktur dari Fm. Waigeo dan
Mayalibit setelah deformasi Oligosen Tengah, (Gambar. 5c). Teluk Mayalibit telah lama diketahui
yang merupakan inti dari sinklin Formasi Waigeo (Verstappen 1960, Van der Wegen 1963,
Supriatna dan Apandi 1982). Sinklin ini simetris, dengan kedua bagian/lengan dari kemiringan
lipatan sampai ke inti sekitar 30-35°. Sumbu lipatan sinklin bisa ditelusuri sekitar 35 km ke arah
barat laut-tenggara sepanjang pusat Teluk Mayalibit. Orientasi mungkin miring ke sumbu panjang
dan pendek dari Pulau Waigeo. Verstappen (1960) mencatat adanya kumpulan sesar skala besar
yang berhubungan dengan sinklin Teluk Mayalibit.

The eastern and western halves of Waigeo are corresponding anticlines flanking the Teluk
Mayalibit Syncline. The eastern flank of the East Waigeo Anticline is seen around Teluk Kabare (Fig.
3). The most northeasterly occurrences of the Waigeo Formation in that area are virtually flat-lying,
hence their misidentification as Quaternary reef limestones by Supriatna and Apandi (1982).
Southwest of a monoclinal fold axis immediately north of Teluk Kabare, the Waigeo Formation dips
fairly uniformly to the NE at 20-40 ° (Figs 3 and 6). The East Waigeo Anticline thus extends from the
eastern margin of Teluk Mayalibit to the NE coast of Waigeo, a distance of about 25 km. Simple
upward extrapolation of the two anticlinal limbs would suggest unreasonably great elevations for
this anticline prior to erosion (>10km), and it is more likely that the limestone cover did not rise
much above the dissected peneplane surface of east Waigeo which is typically in the range 600-
1000 m. This interpretation is supported by a single erosional remnant of the Waigeo Formation
occupying the pyramidal summit of Gunung Lok. The probable pre-erosional shape of the East
Waigeo Anticline is shown in Fig. 6.
Bagian timur dan barat Waigeo adalah merupakan sayap antiklin yang mengapit sinklin
Teluk Mayalibit. Sayap timur dari Antiklin Waigeo Timur terlihat di sekitar Teluk Kabare (Gbr. 3).
Paling timur laut dari Formasi Waigeo di daerah yang hampir datar, maka identifikasi sebagai batu
gamping karang (terumbu) Kuarter oleh Supriatna dan Apandi (1982). Sumbu lipatan monoclinal
barat daya dekat dengan utara dari Teluk Kabare, kemiringan Formasi Waigeo cukup seragam ke
arah timur laut antara 20-40° (Gambar 3 dan 6). Antiklin Waigeo Timur menerus dari bagian timur
Teluk Mayalibit ke timur laut pantai Waigeo, jaraknya sekitar 25 km. Jika diekstrapolasi ke atas dari
dua bagian antiklin tidak masuk akal karena ketinggiannya yang cukup tinggi sebelum proses erosi
(> 10 km), dan itu lebih mungkin bahwa lapisan penutup batu kapur tidak berkembang jauh di atas
permukaan peneplane di Waigeo timur yang biasanya dalam kisaran 600-1000 m. Penafsiran ini
didukung oleh sisa erosi Formasi Waigeo yang menempati piramida dari Gunung Lok. Kemungkinan
bentuk Antiklin Waigeo Timur pra-erosi seperti ditunjukkan pada Gambar. 6.

The West Waigeo Anticline is somewhat smaller than its eastern counterpart. As in NE
Waigeo, there is a monoclonal axis close to the SW coast of Waigeo, with SW-dipping strata inland
passing seaward across a clearly defined hinge into fiat-lying limestones of the Waigeo Formation.
The Ophiolite Complex again occupies much of the core of this anticline, but locally the Waigeo
Formation almost extends unbroken from one flank to the other. In this most complete region, the
anticlincal crest can be clearly recognised in the aerial photographs.
Barat Waigeo Antiklin agak lebih kecil dari bagian timur. Seperti di timur laut Waigeo, ada
sumbu monoklonal dekat dengan pantai barat daya Waigeo, dengan kemiringan lapisan barat daya
menerus ke arah laut di batugamping dari Formasi Waigeo. Kompleks ofiolit banyak menempati
dari inti (basement) antiklin , tetapi secara lokal Formasi Waigeo hampir meluas tak terputus dari
salah satu sayap ke sayap yang lain. Daerah ini yang paling lengkap, puncak anticlincal dapat
dengan jelas dikenal dari foto udara.

A third, largely eroded anticline is inferred to the SW of Waigeo, the eastern limb can be
locally identified from the aerial photographs where limestones of the Waigeo Formation dip to the
NE on the peninsula of Waigeo north of Gam island (Fig. 3). The western flank is partially preserved
on the NW peninsula of Gam, and is also marked by a series of coral islets running from there
towards the NW.
Sepertiga, sebagian besar antiklin tererosi yang disimpulkan barat daya dari Waigeo, bagian
sisi timur dapat diidentifikasi secara lokal dari foto udara di mana batugamping dari Fm. Waigeo
miring ke arah timur laut di semenanjung utara Waigeo pulau Gam (Gbr. 3). Sisi barat
sebagian ditunjukkan arah barat laut semenanjung Gam, dan juga ditandai oleh serangkaian pulau
karang sepanjang jalan ke arah barat laut.

Figure 6 shows a structural cross-section through Waigeo, interpreting these anticlines and
synclines in terms of fault-bend folding above a ramp-flat thrust geometry. The precision with which
bedding attitudes and the various monoclinal bends are known along this line of section allows
fairly precise reconstruction of the thrust system which generated the folding. It also permits a well-
constrained estimate of the crustal shortening taken up on this thrust, which is calculated at 20 km
oriented in a NE-SW direction.
Gambar 6, menunjukkan penampang struktural melalui Waigeo, interpretasi antiklin dan
sinklin dalam batasan sesar-lipatan menekuk (bend folding) di atas sebuah jalur geometri
dorongan. Presisi dengan yang tidur sikap dan berbagai tikungan monoclinal dikenal bersama ini
garis bagian memungkinkan rekonstruksi cukup tepat dari sistem dorong yang dihasilkan melipat.
Hal ini juga memungkinkan perkiraan baik dibatasi dari pemendekan kerak diambil pada dorong ini,
yang dihitung pada 20 km berorientasi pada arah NE-SW.

In addition to the thrust-ramp folding described above, the Waigeo Formation is also cut by
numerous wrench and normal faults (Fig. 3). The majority of these faults have left-lateral wrench
offset, with a predominant orientation close to E-W. These wrench faults are particularly prominent
in the NW and SE of the island (Fig. 3), with both the wrench fault zones largely dying out in the
region of Teluk Mayalibit. It would appear that the large wavelength folding described above is a
response to the transfer of left-lateral motion from the SE wrench faults to the NW fault zone, with
Waigeo occupying a rightstepping (restraining bend) position on this left-lateral wrench fault
system. The major fold axes on Waigeo trend normal to the primary compression direction
associated with left-lateral shear with an E-W trend.
Selain itu jalur lipatan (thrust-ramp folding) yang dijelaskan di atas, Formasi Waigeo juga
dipotong oleh sesar geser dan sesar normal (Gambar. 3). Umumnya, sesar-sesar ini berupa sesar
geser mengiri, dengan orientasi dominan timur-barat. Sesar geser ini menonjol di pulau Waigeo
berarah barat laut-tenggara, (Gbr. 3), dan kedua zona sesar geser ini sebagian besar tidak aktif di
wilayah Teluk Mayalibit. Lipatan besar yang dijelaskan di atas adalah sebagai respon terhadap
transfer dari gerakan kiri-lateral dari sesar geser tenggara ke zona sesar barat laut, dan menjadikan
posisi Waigeo sebagai rightstepping (restraining bend) pada sistem sesar geser left-lateral. Sumbu
lipatan besar di Waigeo merupakan arah normal terhadap kompresi primer dari sesar geser left-
lateral yang berarah timur-barat.

This final phase of deformation occurred after the deposition of the Waigeo Formation, and
therefore postdates the Miocene. In addition, the absence of raised Quaternary reef around
Waigeo, particularly along the northeast coast where ramp-related uplift should be greatest,
suggests that the thrusting is now inactive, and probably pre-dates the Quaternary. The final phase
of deformation in Waigeo is therefore interpreted as Pliocene in age. The proximity of the island to
the Sorong Fault Zone suggests that wrench faulting may still be active.
Fase akhir deformasi terjadi setelah pengendapan Formasi Waigeo, dan karena itu lewat
bulan Miosen. Selain itu, tidak adanya pertumbuhan terumbu Kuarter di sekitar Waigeo, khususnya
di sepanjang pantai timur laut di jalur pengangkatan, hal ini menunjukkan bahwa dorongan
tersebut tidak aktif, dan kemungkinan terjadi pra-Kuarter. Fase akhir deformasi di Waigeo
diinterpretasikan terjadi pada Pliosen. Dekatnya posisi pulau ke Zona Sesar Sorong menunjukkan
bahwa sesar geser (wrench faulting) masih aktif.

THE GEOLOGICAL EVOLUTION OF WAIGEO

 During the Paleogene and later Mesozoic, Waigeo occupied a position in the forearc of a
non-continental island arc system. Waigeo forms part of the East Halmahera-Waigeo ophiolite
terrane; Ballantyne (1990, 1992, in press a,b) has made a detailed chemical and petrological study
of the East Halmahera Ophiolite which he interpreted as formed in a supra-subduction zone
(forearc) environment. The forearc intepretation is supported by the abundance of calcalkaline
debris in the sedimentary rocks overlying the Ophiolite Complex, and by the predominance of
thrust-related deformation. The absence of quartz from pre-Oligocene rocks (apart from devitrified
silica) suggests that the island arc was located within an intraoceanic setting, isolated from any
continental crustal fragment. This arc system probably extended northwest into Halmahera (Hall et
al. 1988, in press), and southeast into the non-continental arc terranes of northern New Guinea
(e.g. Dow et al. 1986).
Selama Paleogen dan akhir Mesozoikum, Waigeo menempati pada posisi di busur muka
dari sistem busur kepulauan non-kontinen. Waigeo merupakan bagian dari Timur Halmahera-
Waigeo ofiolit terrane (East Halmahera-Waigeo ophiolite terrane); Ballantyne (1990, 1992), yang
melakukan penelitian detail tentang kimia dan petrologi dari ofiolit Halmahera Timur, yang
diinterpretasikan terbentuk dalam lingkungan foreac zona supra-subduksi. Intepretasi forearc ini
didukung oleh kelimpahan longsoran/fragmen berkomposisi kalkalkaline dialam batuan sedimen
yang menutupi kompleks ofiolit, dan oleh akibat deformasi. Ketidak hadiran mineral kuarsa dari
batuan pre Oligosen (bagian dari devitrifikasi silika) menunjukkan bahwa busur kepulauan itu
terletak dalam tatanan intraoceanik, yang terisolasi dari setiap fragmen kerak kontinen. Sistem
busur ini kemungkinan meluas ke arah barat laut Halmahera (Hall et al. 1988), dan ke arah
tenggara terranes busur non-kontinen bagian utara New Guinea (Dow et al. 1986).

The Mid-Oligocene deformation event is interpreted to result from arc-continent collision.

Pigram et al. (1989) and Pigram (1991) have suggested that the main arc--continent collision event
in New Guinea was of Mid- Oligocene age, and it therefore seems likely that Waigeo collided with
the northern margin of the Australia-New Guinea continental block at this time.
Peristiwa deformasi pada Oligosen Tengah diinterpretasikan akibat dari kolisi busur
kontinen. Pigram et al. (1989) dan Pigram (1991) telah menyarankan bahwa peristiwa kolisi busur
kontinen utama di New Guinea adalah pada Oligosen Tengah, dan karena itu nampaknya Waigeo
berkolisi dengan margin utara dari blok kontinen Australia-New Guinea pada saat ini.

After arc-continent collision, Waigeo occupied a quiet tectonic position during deposition of
the Miocene Waigeo Formation. A final phase of deformation occurred during the Pliocene, when
Waigeo occupied a position on a major left-lateral wrench fault system. Two approximately E-W
fault strands in NW and SE Waigeo were separated by a large right-stepping restraining bend.
Thrusting induced on the restraining bend resulted in 20 km of crustal shortening in a NE-SW
direction, manifested as a large pair of thrust-ramp anticlines in East and West Waigeo, and an
intervening syncline corresponding to the large lagoonal bay in the centre of Waigeo. The Pliocene
left-lateral wrench faulting was presumably a splay from the larger Sorong Fault to the south of
Waigeo.
Setelah busur kontinen tabrakan, posisi tektonik Waigeo dalam kondisi stabil dan terjadi
proses pengendapan Fm. Waigeo selama Miosen. Pada fase akhir deformasi selama Pliosen, ketika
posisi Waigeo menempati pada sistem sesar mendatar utama yang mengiri (left-lateral wrench
fault system). Dua sesar berarah sekitar timur-barat di barat laut dan tenggara Waigeo dipisahkan
oleh large right-stepping restraining bend. dorongan diinduksi pada suatu bend untuk menahan
mengakibatkan di 20 km dari kerak shortening dalam arah NE-SW, dimanifestasikan sebagai
sepasang besar anticlines dorong-jalan di Timur dan Barat Waigeo, dan sinklin intervensi sesuai
dengan Teluk lagoonal besar di pusat Waigeo. Pliosen kiri-lateral kunci faulting adalah mungkin
sebuah melebar dari yang lebih besar Sorong Patahan ke selatan dari Waigeo.
Acknowledgements--We thank Gary Nichols, Paul Ballantyne, Sufni Hakim, Kusnama and Lawrence Garvie, who took
part in the 1987 fieldwork on Waigeo, for many useful discussions on the geology. Dr Rab Sukamto (Director) and the staff
of GRDC provided considerable help in arranging the logistics of the fieldwork, We also thank Liam Gallagher (UCL) for
nannofossil identifications, and H. Y. Ling (Chicago University) for identifications of radiolaria. Research in Waigeo and the
surrounding region has been supported by The Royal Society, the University of London Consortium for Geological Research
in SE Asia, NERC grant GR3/7149, Amoco International, British Petroleum, Enterprise Oil, Total Indonesie and Union Texas
(SE Asia).

REFERENCES
Azrma, J. and Blanchet, R. 1981. The Late Jurassic-Early Cretaceous genus Calpionella in reworked pebbles from Deep Sea
Drilling Project Site 460, Mariana transect. Initial Reports DSDP 60. Washington (U.S. Government Printing
Office), pp. 575-576.
Ballantyne, P. D. 1990. The Petrology of the Ophiolitic Rocks of Eastern Halmahera. Unpublished Ph.D. thesis, University of
London, 269pp.
Ballantyne, P. D. 1991. Petrological constraints upon the provenance and genesis of the East Halmahera Ophiolite. J. SE
Asian Earth Sci. 6, 259-269.
Ballantyne, P. D. in press a. Implications of the geochemistry of the ophiolitic volcanic rocks of eastern Halmahera,
Indonesia. Geodynamica.
Ballantyne, P. D. in press b. The petrology of the ophiolitic plutonic rocks of eastern Halmahera, Indonesia, and suggested
oceanic analogues. J. geol. Soc. Lond.
Dow, D. B., Robinson, G. P., Hartono, U. and Ratman, N. 1986. Geologic map of Irian Jaya 1 : 1,000,000. Geological
Research and Development Centre, Bandung, Indonesia and Bureau of Mineral Resources, Australia.
Hall, R., Audley-Charles, M. G., Banner, F. T., Hidayat, S. and Tobing, S. L. 1988. The basement rocks of the Halmahera
region, east Indonesia: a Late Cretaceous-Early Tertiary forearc. J. Geol. Soc. Lond. 145, 65-84.
Hall, R., Ballantyne, P. D., Hakim, A. S. and Nichols, G. J. in press. Basement rocks of Halmahera, eastern Indonesia:
implications for the early history of the Philippine Sea. Proceedings of the 5 th Circum-Pacific Conference,
Hawaii, 1990.
Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. U.S. Geological Survey Professional Paper 1078, 345pp.
Ling, H. Y., Hall, R. and Nichols, G. J. 1991. Early Eocene Radiolaria from Waigeo Island, Eastern Indonesia. J. SE Asian
Earth Sci. 6, 299-305.
Pieters, P. E., Ryburn, R. J. and Trail, D. S. 1979. Geological reconnaissance in Irian Jaya, 1976 and 1977. Unpublished
record 1979/19, Geological Research and Development Centre, Bandung, Indonesia.
Pigram, C. J. and Symonds, P. A. 1991. A review of the timing of the major tectonic events in the New Guinea, Orogen. J.
SE Asian Earth Sci. 6, 307-318.
Pigram, C. J., Davies, P. J., Feary, D. A. and Symonds, P. A. 1989. Tectonic controls on carbonate platform evolution in
southern Papua New Guinea: passive margin to foreland basin. Geology 17, 199-202.
Suppe, J. 1982. Geometry and kinematics of fault-bend folding. Am. J. Sci. 283, 648-721.
Supriatna, S. and Apandi, T. 1982. Geologic map of the Waigeo Quadrangle, Irian Jaya. Geological Research and
Development Centre, Bandung, Indonesia.
Tjia, H. D. 1973. Irian fault zone and Sorong melange. Sains Malaysiana 2, 13-30.
Van der Wegen, G. 1963. De geologie van het eiland Waigeo (onderafdeling Radja Ampat. Netherlands Nieuw Guinea).
Geol. Mijnb. 42, 3-12.
Verstappen, H. T. 1960. Geomorphological observations on the North Molucca-North Vogelkop island arcs. Nova Guinea
3, 13-37.
Visser, W. A. and Hermes, J. J. 1962. Geological results of the exploration for oil in Netherlands New Guinea. Koniklijk
Nederlands Mijnbouwkundig Genootschaft Verhandlingen, Geologische Serie 20, 265pp.
Fig. 3. Geological map of Waigeo from fieldwork and aerial photo-interpretation, partly after Supriatna and Apandi (1982). East-central Waigeo is
inadequately covered by aerial photographs, and is left blank. However, the reconnaissance map by Supriatna and Apandi (1982) indicates that most of
this area is composed of Ophiolite Complex, and the region is unlikely to be critical to an understanding of Waigeo.