Professional Documents
Culture Documents
Psoaris
Psoaris
surface (Fig. 28-1). Lesions can vary in size from pinpoint papules to plaques that cover large areas of
the body. Under the scale, the skin has a glossy homogeneous erythema, and bleeding points appear
when the scale is removed, traumatizing the dilated capillaries below (the Auspitz sign)
PSORIASIS VULGARIS is the most common form of psoriasis, seen in approximately 90% of patients.
Red, scaly, symmetrically distributed plaques are characteristically localized to the extensor aspects
of the extremities; particularly the elbows and knees, along with scalp, lower lumbosacral, buttocks,
and genital involvement Rupioid psoriasis refers to lesions in the shape of a cone or limpet.
Ostraceous psoriasis, an infrequently used term, refers to a ringlike, hyperkeratotic concave lesion,
resembling an oyster shell. Finally, elephantine psoriasis is an uncommon form characterized by
thickly scaling, large plaques, usually on the lower extremities. A hypopigmented ring (Woronoff ring)
surrounding individual psoriatic lesions may occasionally be seen and is usually associated with
treatment, most commonly UV radiation or topical corticosteroids. The pathogenesis of the
Woronoff ring is not well understood but may result from inhibition of prostaglandin synthesis.
GUTTATE PSORIASIS (from the Latin gutta, meaning “a drop”) is characterized by eruption of small
(0.5–1.5 cm in diameter) papules over the upper trunk and proximal extremities. Manifest (early age
and as such is found frequently in young adults. This form of psoriasis has the strongest association
to HLA-Cw6,5 and streptococcal throat infection frequently precedes or is concomitant with the
onset or flare of guttate psoriasis.
SMAL PLAQUE PSORIASIS : Small plaque psoriasis resembles guttate psoriasis clinically but can be
distinguished by its onset in older patients, by its chronicity, and by having somewhat larger lesions
(typically 1–2 cm) that are thicker and scalier than in guttate disease
INVERSE PSORIASIS : Psoriasis lesions may be localized in the major skin folds, such as the axillae, the
genitocrural region, and the neck.
ERITRODERMIC PSORIASIS : Psoriatic erythroderma affects all body sites, including the face, hands,
feet, nails, trunk, and extremities
PUSTULAR PSORIASIS : several clinical variants of pustular psoriasis exist: generalized pustular
psoriasis (von Zumbusch type), annular pustular psoriasis, impetigo herpetiformis, and two variants
of localized pustular psoriasis— pustulosis palmaris et plantaris and acrodermatitis continua of
Hallopeau.
NAPKIN PSORIASIS : Napkin psoriasis usually begins between the ages of 3 and 6 months and
first appears in the diaper (napkin) areas as a confluent red area with appearance a few days later of
small red papules on the trunk that may also involve the limbs
LINEAR PSORIASIS : The psoriatic lesion presents as linear lesion most commonly on the
limbs but may also be limited to a dermatome on the trunk.
NAIL CHANGE : Nail changes are frequent in psoriasis, being found in up to 40% of
patients,14 and are rare in the absence of skin disease elsewhere.
HAIR & SEBASEO GLANDS : alopecia is not a common observation in scalp psoriasis clinically;
however, both scarring and non-scarring forms of scalp alopecia have been reported
NON – KUTAN
GEOGRAPHIC TONGUE : also known as benign migratory glossitis or glossitis areata migrans, is an
idiopathic inflammatory disorder resulting in the local loss of filiform papillae. The condition usually
presents as asymptomatic erythematous patches with serpiginous borders, resembling a map.
KOMPLIKASI :
• Plak eritematosa berbatas tegas dengan skuama berwarna putih keperakan berlapis
(karakteristik).
• Predileksi pada siku, lutut, kulit kepala, lumbosakral, palmar dan plantar, genitalia dan perianal.
2. Psoriasis GUTATA
• Onset akut, umumnya terdapat pencetus berupa infeksi streptokokal pada saluran pernafasan atas
• Plak merah muda berukuran seperti tetesan air dengan skuama tebal diatasnya
Generalisata
• Khas ditandai oleh pustul steril yang mengenai sebagian besar area tubuh dan ekstremitas
• Pada kasus yang berat pustul dapat bergabung dan membentuk kumpulan pus (lake of pustules)
• Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan terhadap infeksi, hilangnya cairan dan nutrient
Lokalisata
4. Psoriasis INVERSA
5. ERITRODERMA psoriatika
• Eritema yang luas dengan skuama yang dapat mengenai sampai 100% luas permukaan tubuh
• Fungsi perlindungan kulit hilang dan pasien rentan terhadap infeksi, temperatur tubuh tak dapat
terkontrol, terjadi hilangnya cairan dan protein
6. Psoriasis ARTRITIS
Biasanya menyerang banyak sendi terutama interfalang distal, proksimal falang, metakarpal
7. Psoriasis Kuku
1. TERAPI TOPIKAL
• Keratolitik: asam salisilat 3-10%. Dapat diberikan terus menerus apabila masih terdapat skuama
yang tebal. Jangan digunakan pada saat terapi sinar karena asam salisilat dapat mengurangi efikasi
UVB.
• Analog Vitamin D: preparat yang tersedia adalah kalsipotriol, dapat digunakan sebagai terapi
rumatan (2x sehari) tanpa batasan waktu.
• Kombinasi kortikotikosteroid dan analog vitamin D: preparat tunggal yang tersedia adalah sediaan
kombinasi kalsipotriol dan betamethasone diproprionat (1x sehari). Lama pemberian selama 52
minggu secara terus menerus.
• Coal Tar: komponen Liquor Carbonis Detergens (LCD) dari Tar 3-10% dengan cara dicampur dalam
vehikulum salep (vaselin album) atau minyak (oleum cocos atau oleum olivarum) sebanyak 1-2 kali
per hari secara terus menerus.
o Tipe kulit Fitzpatrick 1 dosis awal penyinaran sebesar 130 mJ/cm2 dan dosis maksimal 2000
mJ/cm2 o Tipe kulit Fitzpatrick 2 dosis awal penyinaran sebesar 220 mJ/cm2 dan dosis maksimal
2000 mJ/cm2 o Tipe kulit Fitzpatrick 3 dosis awal penyinaran sebesar 260 mJ/cm2 dan dosis
maksimal 3000 mJ/cm2 o Tipe kulit Fitzpatrick 4 dosis awal penyinaran sebesar 330 mJ/cm2 dan
dosis maksimal 3000 mJ/cm2 o Tipe kulit Fitzpatrick 5 dosis awal penyinaran sebesar 350 mJ/cm2
dan dosis maksimal 5000 mJ/cm2 o Tipe kulit Fitzpatrick 6 dosis awal penyinaran sebesar 400
mJ/cm2 dan dosis maksimal 5000 mJ/cm2
• Observasi dan penyesuaian dosis fototerapi setiap kunjungan sesuai dengan panduan berikut:
o Pada setiap kunjungan dilakukan penilaian respons terhadap fototerapi sesuai derajat dan durasi
eritema dan kemungkinan gejala subjektif luka bakar (tersengat atau stinging, nyeri, atau gatal)
- Eritema minimal kurang dari 24 jam setelah fototerapi, dosis ditingkatkan sebesar 20%.
- Eritema menetap lebih dari 24 jam sampai kurang dari 48 jam setelah fototerapi, dosis
dipertahankan pada dosis sebelumnya hingga eritema bertahan kurang dari 24 jam.
- Eritema menetap lebih dari 48 jam, tidak dilakukan fototerapi pada hari tersebut, pada sesi
fototerapi selanjutnya dosis yang diberikan sesuai dosis sebelumnya yang tidak menyebabkan
eritema persisten. o Jika pasien terlewat sesi fototerapi, maka penyesuaian dosis adalah sebagai
berikut (sesuai lamanya hari sejak fototerapi terakhir):
o Terapi rumatan dapat dimulai setelah lesi kulit bersih sesuai panduan berikut:
- Terapi rumatan menggunakan dosis terakhir yang diberikan saat lesi kulit bersih.
- Frekuensi fototerapi (rumatan) adalah 2x/minggu selama 4 minggu, selanjutnya 1x/minggu selama
4 minggu dengan dosis tetap.
- Untuk terapi rumatan jangka panjang, frekuensi fototerapi 1x/1-2 minggu dengan dosis diturunkan
25% dari dosis terakhir, kemudian dosis tetap pada setiap sesi fototerapi
3. TERAPI SISTEMIK
• Metotreksat (MTX)
o Dianjurkan untuk melakukan dosis uji 5 mg/minggu. Pemberian MTX oral dengan dosis 2,5-5 mg
selang 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai menghasilkan repons pengobatan
yang optimal; dosis maksimal 25 mg/minggu. Pemberian asam folat 1 mg perhari atau 5 mg per
minggu secara oral, paling cepat 24 jam setelah pemberian dosis terakhir MTX.
o Toksisitas: peningkatan nilai fungsi hati (bila 2 kali lipat pantau lebih sering; 3 kali lipat turunkan
dosis dan bila lebih dari 5 kali lipat hentikan pemberian). Efek samping yang dapat timbul antara
lain: anemia aplastik, leukopenia, trombositopenia, pneumonitis intersisial, stomatitis ulserativa,
mual, muntah, diare, lemah, cepat lelah, menggigil, demam, pusing, menurunnya ketahanan
terhadap infeksi, ulserasi dan perdarahan lambung, fotosensitif dan alopesia.
o Bila tercapai dosis kumulatif 1,5 gram, konsul penyakit dalam bagian hepatologi untuk kelanjutan
terapi.
o Interaksi obat: obat hepatotoksik misalnya barbiturat, sulfametoksazol, NSAID, penisilin,
trimetoprim.
o Kontraindikasi relatif: abnormalitas fungsi renal, hepar, infeksi aktif, obesitas, diabetes melitus.
o Pemantauan: - Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik pada awal kunjungan dan setiap kontrol. -
Pemeriksaan laboratorium:
DPL dan fungsi hati untuk memantau toksisitas/efek samping obat: baseline, pasca dosis uji, setiap
2 minggu sekali selama 2 bulan, lalu satu bulan sekali selama 2 bulan, lalu setiap 3 bulan, atau dapat
lebih cepat bila ada indikasi
Pemeriksaan kehamilan, uji HIV, PPD, foto toraks bila ada indikasi
SIKLOSPORIN
o Dosis : 2,5-4 mg/kgBB/hari dosis terbagi 2x sehari. Dosis diturunkan menjadi 0,5-1,0
mg/kgBB/hari bila sudah berhasil, atau mengalami efek samping.
o Pengobatan maksimal selama 1 tahun, selama tidak ada efek samping. Pengobatan jangka lama
tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas dan kemungkinan keganasan.
o Kontraindikasi: bersamaan dengan pemberian imunosupresan lain (metotreksat, PUVA, UVB, tar
batubara, radioterapi), fungsi renal terganggu, keganasan, hipersensitif terhadap siklosporin, hindari
vaksin, waspada bila diberikan pada pasien dengan infeksi berat dan diabetes melitus tidak
terkontrol.
o Toksisitas: gangguan fungsi ginjal, hipertensi, keganasan, nyeri kepala, hipertrikosis, hiperplasia
gingiva, akne memburuk, mual, muntah, diare, mialgia, flu like syndrome, letargia,
hipertrigliserida, hipomagnesium, hiperkalemia, hiperbilirubinemia, meningkatnya risiko infeksi
dan keganasan.
o Monitoring :
- Pemeriksaan DPL dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin): baseline, setiap 2 minggu sekali selama 2
bulan, lalu satu bulan sekali selama 2 bulan, lalu setiap 3 bulan.
- Pemeriksaan GDS, fungsi hati, profil lipid, magnesium, asam urat, potasium, dan urinalisis: baseline
dan dapat diulang setiap 1-3 bulan.
- Pemeriksaan laboratorium dapat di lakukan lebih cepat jika terdapat tanda dan gejala efek samping
siklosproin yang serius yaitu hepatotoksik fulminan, hiperkalemia, nefrotoksik, neurotoksik, limfoma,
keganasan, dan mikroangiopati trombosis.
- Pemeriksaan kehamilan, uji HIV, PPD, foto toraks bila ada indikasi.
o Penggunaan siklosporin pada kehamilan adalah kategori C, sehingga harus digunakan dengan hati-
hati. Siklosporin terekskresi pada air susu ibu sehingga harus dihindari penggunaannya pada ibu
menyusui. Berikut merupakan pilihan terapi sistemik apabila terdapat kontraindikasi terhadap
metotreksat maupun siklosporin:
• RETINOID
o Asitretin oral pilihan pada psoriasis dapat digunakan sebagai monoterapi untuk psoriasis pustular
dan psoriasis eritroderma. Efek menguntungkan terjadi jauh lebih lambat jika digunakan untuk
psoriasis tipe plak dan guttata tetapi sangat baik jika dikombinasikan dengan PUVA dan UVB
(diperlukan dalam dosis rendah).
o Dosis: 10-50 mg/hari, untuk mengurangi efek samping lebih baik digunakan dalam dosis rendah
dengan kombinasi misalnya UV dengan radiasi rendah.
o Toksisitas; keilitis, alopesia, xerotic, pruritus, mulut kering, paronikia, parestesia, sakit kepala,
pseudomotor serebri, nausea, nyeri perut, nyeri sendi, mialgia, hipertrigliserida, fungsi hati
abnormal. o Interaksi obat: meningkatkan efek hipoglikemik glibenklamid, mengganggu pil
kontrasepsi: microdosedprogestin, hepatotoksik, reduksi ikatan protein dari fenitoin, dengan
tetrasiklin meningkatkan tekanan intrakranial.
o Monitoring: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, kombinasi dengan turunan vitamin A lainnya.
Retinoid sangat teratogenik dan cenderung untuk menetap pada jaringan tubuh
• MIKOFENOLAT MOFETIL
o Dosis: inisial 500-750 mg, dua kali/hari dan dapat naik dosis hingga 1,0- 1,5 gram dua kali/hari.
o Monitoring: pemeriksaan DPL, GDS, fungsi hati dan ginjal, serta elektrolit. Pemeriksaan lab tiap
minggu selama 6 minggu, dan selanjutnya setiap 2 minggu selama 2 bulan lalu berikutnya setiap
bulan. o Kontraindikasi: pasien dengan infeksi berat dan keganasan. Penggunaan mofetil mikofenolat
pada kehamilan adalah kategori C, sehingga harus digunakan dengan hati-hati.
• SULFASALAZIN
o Toksisitas: sakit kepala, mual dan muntah namun hanya pada satu sampai tiga pasien, ruam,
pruritus, dan anemia hemolitik (berhubungan dengan defisiensi enzim G6PD).
o Monitoring: pemeriksaan DPL, gula darah sewaktu, fungsi hati dan ginjal, serta elektrolit.
Pengulangan setiap 2 minggu selama 2 bulan, setelahnya setiap bulan selama 3 bulan, dan
selanjutnya setiap 3 bulan.
4. BIOLOGIK
Obat biologik merupakan produk protein yang berasal dari makhluk hidup yaitu manusia, tumbuhan,
hewan, atau mikroorganisme. Penamaan obat biologik ditentukan berdasarkan jenis produknya.
Produk yang merupakan antibodi chimeric ditandai dengan akhiran -ximab, antibodi humanized
dengan akhiran - zumab, antibodi human dengan akhiran -umab. Sementara produk protein fusi
ditandai dengan akhiran -cept. Terapi sistemik biologik memiliki beberapa keunggulan misalnya
respons terapi yang sangat baik (mencapai ∆ PASI 90 bahkan 100), relatif lebih aman, serta memiliki
efek samping minimal dibandingkan terapi sistemik non-biologik.
Obat biologik efektif digunakan untuk terapi psoriasis karena bekerja pada target spesifik dalam
patogenesis psoriasis. Berdasarkan target spesifik tersebut, agen biologik diklasifikasikan menjadi
anti sel T (efalizumab, alefacept) dan anti sitokin (etanercept, infliximab, adalimumab, dan lain-lain).
Indikasi obat biologik adalah psoriasis derajat berat disertai dengan salah satu dari 4 kriteria berikut:
• Pasien yang tidak memberikan respon baik dengan minimal 2 terapi sistemik standar seperti:
CsA, etretinat/asitresin, MTX, termasuk fototerapi (PUVA, UVB).
• Pada pasien psoriasis artritis (dengan pertimbangan dari sejawat reumatologi. Di Indonesia saat ini
telah tersedia 6 jenis obat biologik yaitu adalimumab (1A), etarnecept (1A), infliximab (1A),
secukinumab (1A), ustekinumab (1A), dan guselkumab (1A). Pemilihan obat biologik sebaiknya
berdasarkan karakteristik pasien dan faktor yang terkait obat. Beberapa faktor terkait pasien yang
perlu dipertimbangkan antara lain morfologi dan derajat psoriasis, status kesehatan, komorbiditas,
indeks massa tubuh, terapi konkomitan, dan kepatuhan pengobatan. Faktor terkait obat antara lain
efikasi, reaksi simpang, kontraindikasi, cara pemberian, serta pengalaman dokter menggunakan obat
tersebut.4 Jenis, golongan, dosis, cara pemberian, serta interval terapi agen biologik dirangkum
dalam Tabel 3. Sebelum pemberian obat biologik wajib dilakukan penapisan klinis, rontgen, dan
laboratorium untuk menyingkirkan keganasan, infeksi akut (bakteri, virus, jamur) dan kronik
(terutama tuberkulosis, hepatitis, sifilis, dan HIV), adanya autoimun lain, gagal jantung, kehamilan
dan komorbid lainnya yang berhubungan dengan jenis obat biologik yang akan diberikan. Pasca
pemberian obat biologik harus dilakukan pemantauan efek samping segera dan efek samping jangka
panjang secara berkala (klinis dan laboratorium). Pemberian obat dapat dilakukan pada pasiren
rawat inap atau rawat jalan sesuai indikasi beratnya penyakit serta efek samping yang mungkin
timbul