Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 502
Chicken Sou Oil Mukjizat *” di Sekitar Kita | | 4 Mimpi jadi kenyataan Pesan dari surga ° Malaikat penyelarnat Keajaiban = Tman yang kuat 101 Kisah Inspiratif tentang Flarapan dan Doa-Doa yang Terkabul Jack Canfield ¢ Mark Victor Hansen Amy Newmark IM CHICKEN Soup FOR THE SOUL Mukjizat di Sekitar Kita Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta |. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk pengeunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) ta- hun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). . Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa isin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta seba- gaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf ¢, huruf d, huruf f, dan/ atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). . Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/arau canpa isin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun danfatau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). . Setiap orang yang memenuhi unsur scbagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tehun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). CHICKEN SOUP FOR THE SOUL Mukjizat di Sekitar Kita 101 Kisah Inspiratif tentang Harapan dan Doa-Doa yang Terkabul Jack CANFIELD Mark Victor HANSEN Amy NEwMARK Gn Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta G KOMPAS GRAMEDIA Chicken Soup for the Soul: Miracle Happens 101 Inspirational Stories about Hope, Answered Prayers, and Divine Intervention Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark Copyright © 2014 by Chicken Soup for the Soul Publishing, LLC All Rights Reserved Published by arrangement with Chicken Soup for the Soul Publishing, LLC www.chickensoup.com Indonesia Translation Copyright © 2018 by PT Gramedia Pustaka Utama Chicken Soup for the Soul: Mukjizat di Sekitar Kita 101 Kisah Inspiratif tentang Harapan dan Doa-Doa yang Terkabul Jack Canfield, Mark Victor Hansen, Amy Newmark GM 618221063 Alih bahasa: Tanti Lesmana Desain sampul: Suprianto Layout: Sukoco Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok Lt. 5 Jl. Palmerah Barat 29-37, Jakarta 10270 Anggota IKAPI, Jakarta, 2018 Cetakan pertama: September 2018 Cetakan kedua: Juni 2019 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit. ISBN: 978-602-03-3928-3 ISBN: 978-602-06-4380-9 (PDF) Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan SLMONANARWHN 11. 12. 13. 14. 15. Daftar Isi Pertemuan yang Membawa Mukjizat +» Mukjizat di Acara Musik Maple Street, Gloria Jean Hansen . _Kehadiran Ibu, Jennifer Knickerbocker . Pertemuan di Rumah Sakit, Suzie Farthing - Pohon Malaikat, Annette M. Eckart . Pemberian yang Tulus, Lisa Benkert . Musim Panas yang Tragis Namun Ajaib, Jay Fox . Pertemuan yang Tak Disangka-Sangka, Gary Stein . Rambut Palsu, Brenda Warneka . Kuda Betina Pembawa Keajaiban, Christianna Capra . Berganti Haluan, Karen Goltz 8 Kekuatan Doa Pertolongan Dari Tuhan, Logan Eliasen Kekuatan Doa, Jody Fuller Lepas Dari Kecanduan, Tina Wagner Mattern Mukjizat Dalam Perjalanan, Shirley M. Oakes Terang untuk Ayah, Linda Newton i 15 20 23 28 30 39 46 51 56 60 63 vi 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34, 35. 36. | Cuicken Soup ror THE Sout Takut Api, Linda Nichols Keragu-raguan di Persimpangan Jalan, Connie Hyde Thurber Terkunci, Peggy A. Cloninger Jantung yang Tak Mau Menyerah, Amy Wyatt 8 Dokter Ada Di Tempat Iman yang Baru, Shawnelle Eliasen Senyum Lembut Abbie, Sarah Mitchell Bercahaya, R. Stone Bukan Milikku, Melainkan Milikmu, Heather Davis Mukjizat-Mukjizat di Boston, Jamie White Wyatt Mereka Bukan Milik Kita, Teresa DeLeon-Cook Napas Kehidupan, Susan Lugli Mukjizat Iman, Jean Thompson Kinsey Namun Sekarang Aku Melihat, Jenny Sokol e Mimpi-Mimpi dan Pertanda Mimpi dari Surga, Pam Phree Tangga ke Surga, Marya Morin Tangan Nasib, Arlene Uslander Mimpi Buruk di Perjalanan, Carolyn Bennett Fraiser Pesan Tengah Malam, Joan McClure Beck Tamu Tak Terduga, Yvonne Fogarty Keyakinan Seorang Anak, Janet Sheppard Kelleher Angin Setan dan Sinar Bulan, Susan Traugh 67 72 76 80 86 91 96 102 107 11 117 120 125 130 135 141 144 149 153 157 161 37. 38. 39. 40. Al. 42. 43. 44, 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. Darrar Ist. | 8 Campur Tangan Ilahi Biarkan Aku Masuk, Chrissy Conner Suara, Sally Willard Burbank Butterscotch, Michele Dellapenta Salah Belok Atau Benar? Genie Eide Stoker Malaikat Kanker Payudara-ku, Francine L. Baldwin-Billingslea Para Malaikat di Antara Kita, Jeannette Richter Malam, Anne Merrigan Batu Penenang-ku, Margaret Chandler ® Malaikat-Malaikat Pelindung Suara yang Menenangkan, Christine Henderson Malaikat di Jalan Berdebu, Carol Goodman Heizer Perlindungan di Dunia yang Berbahaya, Vicki Kitchner Mukjizat Untuk Mellanie, Amy McCoy Dee Di Tepi Jurang, Kamia Taylor Pertolongan Tuhan, Gloria Ashby Banteng Misterius, Carmen Goldthwaite Malaikat Pelindung Ricky, W. Jones e Campur Tangan Ilahi Kisah David, Marlene Wallach Keajaiban 65 Kilo, Tammy Ruggles vii 168 172 177 181 184 189 192 195 200 205 209 214 220 225 230 235 242 247 viii 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. | Cuicken Sour For THE Sout Saatnya Mukjizat, Lisa Mackinder Maukah Kau Berhenti Minum Kopi Untuk-Ku? Lynn Dove Tak Akan Kubiarkan, Jess Forte Bisikan Terakhirku, Jill Burns Peringatan yang Lembut, Jeanne Getz Pallos Keajaiban Di Kala Fajar, Dayle Allen Shockley Ke Mana Perginya Pohon Itu? Melissa Wootan 8 Pesan-Pesan dari Surga Kehidupan Setelah Mati, Elaine Olelo Masters Mukjizat di Tengah Malam, Thomas Ann Hines Hadiah Dari Ayah, Kacey Morabito-Grean Kidung Para Malaikat, Linda J. Cooper Perpisahan Terakhir Dengan Anakku, Delena Richeson Dua Wanita Anggun, Colleen M. Leftheris Mawar Merah Dari Mark, Theresa Sanders Rumah Masa Depanku, Sharon Knopic ® Malaikat-Malaikat di Antara Kita Malaikat-Malaikat Elena, Kim Winters Sopir Truk yang Dikirim Tuhan, Margaret Hevel Mukjizat Natal dari Tuhan, Jeanie Jacobson Doa yang Dikabulkan, Karena D. Bailey Mukjizat Dalam Hujan, John P Buentello Kesempatan Kedua, Debbie Hagan 250 256 261 264 267 271 276 282 286 291 294 299 303 308 313 318 324 329 335 339 343, 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. Darran Ist | Malaikat Penolong di Jalan Raya, Karen Jacobson Para Penyelamat di Jalan Raya, Mary Z. Whitney @ Cinta yang Tak Pernah Mati Penghiburan Dari Tuhan, DeVonna R. Allison Gaun Merah Muda dan Sebuah Janji, Gail MacMillan Tangan di Pundakku, Charles Earl Harrel Anne dan Bill, Debbie Rouhana Lane Mimpi Dari Surga, Rita Kaye Vetsch Kata Sandi, Louetta Jensen Ciuman Perpisahan, Sallie A. Rodman Dari Surga, Dengan Sepenuh Cinta, Jan Bono Keajaiban-Keajaiban Sehari-Hari Chariots of Fire Bukan Suatu Kebetulan, Sara Lynn Worley Kuntz Sapuan Sayap, Anna M. Lowther Rumah untuk Kami, Teresa Ambord Dia Tidak Melupakan Aku, Zoe Ayrton Pohon Persik, Karla Brown One of Those Days, Monica A. Andermann Keajaiban di Semak-Semak, Jane McBride Choate Melalui Cara-Cara Misterius, Diana Perry 349 354 358 364 368 373 377 380 385 391 396 400 404 409 412 417 421 423 94, 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. | Cuicken Sour For THE Sout ® Menghitung Berkat Jeda yang Sangat Dibutuhkan, Shari Hall Tunggu Dia Lulus, Sally Willard Burbank Hidup Baru, Sara Schafer Ada Cek di Dalam Surat, Edwin E Smith Superman yang Sejati, Christine M. Smith Cincin Ibuku, Nandi Stewart Telepon Dari Tuhan, Alisa Edwards Smith Surga Bisa Menunggu, Christine Miller Para Kontriputor Kami Para Penuuis KaMi Ucapan TERIMA Kasi TENTANG CHICKEN SOUP FOR THE SOUL 428 434 440 445 448 453 457 460 463 483, 485 487 by Perjumpaan- Perjumpaan yang Membawa Mukjizat A © Mukjizat di Acara Musik Maple Street Para malaikat mengantarkan Nasib ke depan pintu kita—dan ke tempat mana pun dibutuhkan. —JESSI LANE ADAMS KU tidak bersemangat menyambut hari Natal. Tahun (fis benar-benar menyedihkan. Tidak kusangka aku akan sangat kehilangan ibuku. Kadang-kadang aku lewat di depan apartemennya saat bertugas sebagai perawat keliling, dan sesekali terpikir untuk mampir sebentar, sekadar minum kopi. Lalu aku teringat—tidak ada lagi acara menyeduh kopi, tidak ada lagi ma- kan biskuit, tidak ada lagi mencicipi kue kopi Swedia, tidak ada lagi Mom. Mom pergi terlalu cepat. Suatu hari, dia masuk rumah sakit karena “Luka kecil di kaki”, begitu katanya. Dua belas hari kemu- dian dia meninggal akibat infeksi yang menyebar dan tak bisa dihentikan. Perempuan tangguh yang kukenal itu tidak sanggup melawan necrotizing fasciitis. Aku sangat merindukannya. Sosoknya selalu terbayang. Ketika Mom meninggal, aku mulai menulis lagu. Itu sudah setahun dan tiga ratus lagu yang lalu. Kenang-kenangan tentang dirinya tersim- pan dalam semua yang kutuliskan. PERJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG MemBawa Muyizar | 3 Di rumah sakit, kami mengiringi kepergiannya dengan Angels Watch O'er Me, lagu yang kutulis sambil menyeka keningnya yang panas oleh demam. Bagaimana mungkin aku membangkitkan semangat Natal-ku tahun ini? Rasanya aku tak sanggup. ”Hai, Gloria! Mau keluar malam ini?” Itu salah satu teman band-ku. Aku lupa. Ini hari Rabu—malam nge-band. Para bluegrasser kota ini akan berkumpul untuk menikmati musik, atau nge-jam, sambil minum kopi dan makan-makan di gedung pusat kegiatan masyarakat di Maple Street. Biasanya aku menikmati acara itu. ”Wah... aku sedang banyak pekerjaan, dan perlu waktu agak lama menyelesaikannya,” kataku. Pekerjaan? Kenapa aku berkata begitu? Aku tidak ada pekerjaan. Sebenarnya, aku ingin menyusun desa Natal kecilku. Aku sudah membeli beberapa tambahan baru, dan cucu perempuanku sudah menunggu-nunggu. ”Ah, ayolah. Ini yang terakhir sebelum Natal.” Hmm, kadang-kadang temanku agak memaksa. Apa dia tidak mengerti, malam ini aku hanya ingin bersedih-sedih dan menga- sihani diri sendirian? Lagi pula, malam ini giliranmu menjemput Isabelle,” kata teman nge-band-ku. Isabelle. Aku tidak boleh mengecewakannya. Aku sayang se- kali pada Isabelle. Dia perempuan berumur dan buta yang kami kenal di sebuah konser beberapa tahun lalu. Dia hadir di setiap pertunjukan kami. Dia duta terbaik kami—dan kue-kue hermit buatannya lezat sekali. Setahu kami, Isabelle tidak mempunyai keluarga, dan tidak bisa menyetir, jadi dia bergantung kepada para anggota The Bluegrass Guild untuk mengantarnya ke acara-acara pertunjukan. Dia bisa menyanyi dan bermain gitar juga. 4 | Chicken Soup For THE Sout ”Aku akan menelepon dan menjemputnya,” kataku. Mungkin acara ini dapat membantu mengusir rasa depresiku. Kuambil mandolin dan autoharp-ku, lalu keluar. Desa Natal itu terpaksa ditunda dahulu. Aroma kopi menyambutku, dan lagi-lagi membuatku merasa kehilangan ibuku. Beberapa orang bangkit untuk membantu Isabelle ke tempat duduknya. ”Mau kopi, Isabelle?” seseorang menawarkan. Tidak, nanti saja,” sahutnya. "Mari kita menyanyi. Kunci G, Blue Ridge Mountain Blues.” Sejenak kemudian, dia sudah siap ber- aksi. Ketika tiba saatnya rehat kopi, aku enggan berhenti. Ini salah satu malam yang langka; semua orang terasa klop. Musiknya luar biasa, semua menunjukkan permainan terbaik mereka. Ketika kami bersiap-siap memulai kembali, seorang asing datang membawa gitar. Dia tampak agak bingung, jadi kuhampiri dia untuk menyambutnya. Aku ingat, dulu waktu pertama kali datang ke sini, aku juga merasa agak bingung. ”Ayo masuk—aku Gloria. Silakan duduk. Kopinya masih ba- nyak.” ”Terima kasih. Aku datang ke kota ini untuk ikut konferensi besok, di rumah sakit di sini. Aku melihat iklan acara ini di koran. Boleh aku bergabung? Omong-omong, namaku Violet.” ”Tentu boleh. Kami baru saja akan mulai lagi. Ayo tunjukkan permainanmu, Violet.” Wajah pucatnya tampak kusut dan letih, kedua matanya sedih. Perempuan ini menyimpan suatu cerita. Aku bekerja di rumah sakit. Aku tahu konferensi itu berkaitan dengan pengembangan balai pengobatan yang baru. Mungkin Violet seorang pembicara. ”Oh, permainanku tidak bagus-bagus amat. Aku cuma senang mengiringi saja,” kata Violet. "Mmm. Kopinya enak.” PERJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG MemBawa Muxyizar | 5 Kemudian dia duduk berhadap-hadapan dengan Isabelle dan aku, persis ketika banjo mulai memainkan nada-nada awal Katy Daley. Violet mahir sekali bermain gitar, namun perhatiannya tertuju pada Isabelle. Wajar saja. Orang-orang suka memandangi Isabelle saat pertama melihatnya. Kedua mata Isabelle sering bergerak-gerak ke atas. Kadang-kadang dia mengenakan kacamata hitam, tetapi malam ini dia tidak mau. Aku selesai memainkan Dream of a Miners Child dengan harmoni dan backup dari rekan-rekan band-ku. Isabelle bangkit berdiri. Dengan suara lembut dia mulai menyanyikan Silent Night. Kami mengiringinya dengan musik di latar belakang, tapi kuperhatikan Violet telah meletakkan gitarnya dan mencari-cari sesuatu. Mungkin dia mencari tisu, sebab wajahnya bersimbah air mata. Dia pasti sangat tersentuh mendengar lagu Natal kuno itu, sama seperti aku, apalagi Isabelle menyanyikannya dengan sangat indah. Kadang-kadang musik dapat begitu menggugah orang- orang tertentu. Setelah lagu berakhir, Violet bangkit dan mendekati Isabelle, lalu meraih tangannya. Ruangan seketika sunyi-senyap. Orang- orang terperangah, termasuk diriku. ”Mom?” Violet? Kaukah itu? Anakku?” Keduanya lantas berpelukan sambil terisak-isak tanpa ditahan-tahan. Menjelang penghujung malam, kami mendengarkan duet yang dibawakan Violet dan Isabelle, berikut sebuah kisah menyayat hati tentang mengapa dan kapan hubungan mereka menjadi renggang. Violet banyak bepergian, menjadi pembicara di berbagai organi- sasi tentang kehidupannya sebagai mantan pencandu obat-obat terlarang. 6 | Chicken Soup For THE Sout Isabelle tidak terlalu banyak bicara. Tetapi dia mengatakan pada kami bahwa dia selalu mendoakan supaya Violet baik-baik saja. Acara itu menjadi yang paling membahagiakan, dan aku se- nang tidak melewatkannya. Ibuku masih tetap terbayang-bayang, namun peristiwa malam itu telah banyak mengurangi kesedihanku sebelumnya. Musiknya indah, kue-kue buatan Isabelle sangat lezat, dan kami menjadi saksi suatu pertemuan kembali yang ajaib di Maple Street. Sampai sekarang pun aku menganggap ada campur tangan para malaikat dalam kejadian tersebut. Gloria Jean Hansen © Kehadiran Ibu Jalinan kasih sayang antara ibu dan anak sedemikian kuat dan teguh, dan takkan pernah tergoyahkan. —WASHINGTON IRVING UARA tangisan malam-malam. Mula-mula isakan tersendat, un menjadi jeritan-jeritan nyaring. Aku mendengar, tapi tidak benar-benar ingin mendengar. Saat itu gelap dan dingin, sementara tempat tidurku begitu empuk dan hangat. Kuturunkan kedua kakiku ke lantai, sambil meraih ponsel dan mengetuknya supaya menyala, untuk menerangi jalanku di koridor. Jeritan itu membuat panik. Berbagai bayangan seram melintas di benakku. Apakah ada tangan atau kaki yang patah? Reaksi anafilaksis? Dengan jantung berdebar aku menghambur ke pintu dan membukanya. Dia mengenali bayanganku di ambang pintu, dan jeritan itu serta-merta berhenti. Kembali kutimang kepala anakku di dada, pada jam-jam subuh itu. Kubuai dengan lembut, agar anak tersayangku yang bersimbah air mata bisa tidur kembali. Kakiku yang telanjang menyentuh lantai kayu keras yang dingin, dan bergerak dengan irama teratur. Punggungku mulai sakit dan kedua lenganku gemetar oleh beban berat itu, namun aku terus bergerak sampai aku yakin sudah aman 8 | Chicken Soup For THE Sout untuk membaringkannya kembali, sehingga dia tidak menyadari bahwa dia tidak lagi kugendong dan kupeluk. Aku lelah. Sambil berjalan ke kamarku untuk ketiga kalinya malam ini, aku teringat ibuku sendiri. Dia juga selalu ada ketika aku menangis malam-malam. Suatu ketika, waktu berumur enam belas tahun, aku marah pada ibuku. Dia dan aku sudah beberapa lama tidak saling berbicara, walaupun dia tidak menyadarinya. Dia menelantarkan aku. Dia tidak datang ke acara-acara sekolahku, dia tidak tahu nama teman- temanku, dan dia tidak peduli kalau aku pulang ke rumah pada jam dua pagi. Dia mempunyai bayi baru yang membuatnya terbangun malam-malam, dan suami baru juga. Aku hanya bisa menangis sen- dirian. Jadi, aku berbohong padanya malam itu. ”Aku mau pergi ke bioskop, Mom.” Padahal aku naik ke mobil Peugeot kuning 1978 bersama sejumlah gadis remaja dan minuman Olde English 800. Mobil meluncur di jalur pengangkut kayu yang sudah tidak terpakai dan berbatasan dengan jurang, jauh tinggi di atas Sungai Ular. Perja- lanan empat puluh menit mendaki bukit dengan tujuan berpesta mabuk-mabukan di puncak sana. Sopir kami berumur enam belas tahun, gadis bernama Dorothy. Dia baru saja mendapatkan SIM. Wajahnya berseri-seri setiap kali mobil berbelok di jalan berkelok-kelok, seolah-olah dia sedang beraksi dengan permainan Atari terbaru. Tetapi dia sama sekali tidak mahir membawa mobil di jalanan licin berbatu kerikil. Ka- dang-kadang ban-ban belakang kami tidak bergerak lurus semen- tara ban-ban depan berbelok tajam. Mobil kami jatuh dari tebing. Tersangkut di satu-satunya pohon cedar yang masih ada di jalanan yang sudah bersih dari pohon, enam meter di bawah. PERJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG MemBawa Muxyizar | 9 Kecelakaan itu membuat temanku, Jana, terlempar dari mobil, satu lengannya terjepit di bawah ban kiri depan, patah, tetapi justru itu yang membuat dia tidak jatuh dan tewas. Anak-anak yang masih berada di mobil bersamaku hanya terluka ringan, tetapi mereka bersimbah darahku. Wajah dan batang tubuhku menghantam kaca depan sampai tembus. Kaca itu hancur berkeping-keping ketika mengenai tulang pipi dan rusukku. Malam itu kami menjerit-jerit memanggil ibu masing-masing. Dering telepon membangunkan ibuku dari tidur nyenyak, dalam gelap. Dia terjaga, kaget, kedua kakinya menginjak lantai dingin untuk ketiga kalinya malam itu; tetapi kali ini bukan tangisan si bayi yang membangunkannya. Suara di ujung telepon itu berkata, Anak perempuan Anda, Jennifer, masuk UGD. Cepatlah, kami tidak tahu apakah dia bisa bertahan.” Ibuku langsung berangkat, melupakan detail-detail telepon itu. Berbagai bayangan mengerikan berkelebat di benaknya sewaktu dia mengemudi. Berhubung aku berbohong pada ibuku dan mengatakan akan pergi ke bioskop, dia mencari di UGD yang keliru, menuntut ingin melihat anak perempuannya yang tidak ada di situ. Dengan bingung dia pergi ke UGD lain, lalu UGD lain lagi, sampai mene- mukan aku. Dia terlambat. Aku sudah meninggalkan ragaku yang rusak dan terbang menuju cahaya itu. Dikelilingi sinar hangat dan pelukan penuh cinta yang menghiburku, aku tidak merasakan sakit, aku hanya merasakan kasih sayang. Aku melihat tubuh telanjangku di bawah sana, tergeletak di brankar. Aku memandangi seorang dokter UGD dan tiga perawat yang panik memompakan kantong udara di wajahku dan menekan- nekan dadaku, sementara mesin EKG yang berbunyi nyaring men- jadi statis. 10 | Chicken Soup For THE SouL Pada saat itu ibuku menghambur masuk dari pintu ganda ruang UGD, kelelahan, sambil berteriak-teriak, ”Anakku, anakku!” Serta- merta aku bernapas kembali dalam satu sentakan menyakitkan, dan aku berseru memanggil ibuku. Mom berjaga di sampingku hingga berhari-hari, mencabuti kaca di wajahku dengan penjepit, selama berjam-jam, menyuapkan potongan-potongan es padaku, dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Dia baru menyelinap keluar kalau aku tidak menya- dari bahwa aku tidak lagi berada dalam pelukannya. Malam tiba. Para ibu bangun dan menemui anak-anak mereka. Anak-anakku berseru mencariku, dan aku berseru mencari ibuku. Hal ini selalu penting. Tetapi bukan sekadar itu. Kadang-kadang rasanya scolah kehidupan, kematian, dan para ibu membantu kita untuk memilih kehidupan. Jennifer Knickerbocker © Pertemuan yang Tak Disangka-Sangka Sebagai perawat, kita tahu bahwa setiap hari kita akan menyentuh kehidupan seseorang, atau kehidupan seseorang akan menyentuh kehidupan kita. —PENULIS TIDAK DIKETAHU! KU melongok ke jendela penumpang dan melihat seorang (t perempuan terkulai ke depan, tidak bergerak. Tidak berna- pas. Bunga-bunga api meletup dari bawah kap mesin. Kupanggil orang terdekat di situ untuk membantuku. Berdua kami menarik perempuan itu keluar dari mobil yang terbakar. Kami membaring- kannya di aspal, pada jarak aman dari letupan bunga api tersebut. Dia belum juga merespons, tetapi untunglah setelah tubuhnya dipindahkan, jalur pernapasannya jadi terbuka, dan sekarang dia bernapas. Aku baru masuk sekolah perawat minggu itu, dan mulai ce- mas karena menyadari betapa aku sangat tidak berpengalaman dalam menghadapi krisis semacam ini. Maka dengan sangat lega kuserahkan pasien pertamaku itu kepada kru emergensi ketika helikopter mereka mendarat. Perempuan itu segera diterbangkan ke rumah sakit. Seorang polisi datang meminta keterangan tentang kejadian tersebut. Kukatakan padanya, Saya baru mulai masuk 12) | Chicken Sour For tHE Sout sekolah perawat minggu ini, tapi saya tidak siap menghadapi peristiwa ini.” Setelah keteganganku reda, semangatku mulai berkobar. Aku tahu aku ingin membantu sesama yang sedang sangat membutuh- kan pertolongan. Setelah menjalani pelatihan, aku benar-benar mencintai pro- fesiku sebagai perawat, dan tetap bersungguh hati menjalaninya hingga bertahun-tahun kemudian. Tetapi, seiring waktu, tingginya tuntutan pekerjaan dan sedikitnya imbalan mulai memengaruhi antusiasmeku. Semua kebutuhan pasien-pasienku kuanggap se- mata-mata tugas yang harus diselesaikan pada akhir giliran kerjaku. Rasa cintaku terhadap profesi perawat sepertinya mulai luntur. Ketika menjadi asisten manajer di unit medis rumah sakit, aku mendapatkan jeda yang sangat kubutuhkan dari beban kerja pera- wat yang berat secara fisik maupun mental. Tugas-tugasku yang baru adalah memeriksa keadaan para pasien. Aku sering hadir untuk memberikan laporan giliran jaga perawat setiap pagi, dan memilih pasien-pasien mana yang mungkin membutuhkan lebih banyak perhatian. Tetapi, pada dasarnya, aku bisa memutuskan sendiri, siapa yang akan kukunjungi. Suatu pagi, perawat jaga malam memberikan laporan mempri- hatinkan tentang seorang pasien, Ms. Brandon. Dia masuk melalui bagian emergensi pada jam-jam subuh. Dia korban kecelakaan, mengalami luka parah yang tak bisa dipulihkan di lengan kanannya, sehingga harus diamputasi. Yang menyedihkan, kedua kaki pasien ini sudah tidak berfungsi akibat kecelakaan yang dialaminya lama berselang. Sekarang dia harus hidup hanya dengan mengandalkan satu lengannya. Walaupun sudah mendengar kisah sedihnya, aku berniat menghindari kamar Ms. Brandon selama menjalankan tugas keliling pagi. Tetapi kemudian aku mendengar bunyi bip-bip mesin PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memsawa Muxjizar | 13 infus yang tidak dijaga. Perawat mana pun pasti tahu bahwa mesin yang berbunyi mesti ditunggui. Aku menangkap suara isakan pelan ketika memasuki kamar 403. Pasien yang terbaring di situ adalah Ms. Brandon, perempuan berumur awal lima puluhan. Lengannya yang rusak parah disangga bantal di sebelah kanannya. Aku mampir sebentar dan bertanya apakah dia baik-baik saja. Seraya menyeka air mata dengan tangan- nya yang sehat, dia menjawab, "Saya tidak apa-apa. Saya tidak perlu cemas kehilangan lengan saya, sebab saya tahu Tuhan pasti menjaga saya.” Sambil menatapku lekat-lekat dia berkata, ”"Tahukah Anda, dulu seorang perawat pernah menyelamatkan nyawa saya?” Lalu dia cepat-cepat menjelaskan lebih lanjut. "Maksud saya, setelah kecelakaan pertama lima belas tahun yang lalu, seorang perawat menarik saya dari mobil yang terbakar. Dia menolong saya sampai helikopter datang dan membawa saya ke rumah sakit. Keluarga saya sudah lama sekali berusaha menemukan perawat itu, tapi tidak berhasil.” Jantungku berdesir. "Apakah waktu itu Anda mengendarai mobil Monte Carlo hitam?” tanyaku. Dengan lugu dia menjawab, ”Bukan, warnanya merah tua.” Lalu atmosfer di dalam kamar temaram itu menjadi surealis, dan kusadari bahwa mobil berwarna merah tua bisa saja tampak hitam di mataku. ”Maukah Anda bertemu dengan perawat itu?” tanyaku. Ya! Saya sudah lama ingin bertemu perawat itu!” sahutnya penuh semangat. ”Ms. Brandon, sayalah perawat itu,” kataku sambil mengulurkan tangan. Sebelum aku dapat berbicara lagi, dia kembali terisak-isak. Tetapi kali ini air mata bahagia. Aku menjelaskan bahwa aku 14 | Chicken Sour For tHe Sout sudah berusaha menemukannya selama berminggu-minggu setelah kecelakaan itu, dan khawatir dia sudah meninggal. Pertemuan dengan Ms. Brandon hari ini merupakan keajaiban bagi kami berdua. Dia merasa sangat bersyukur karena Tuhan masih menyertainya dalam kecelakaan baru-baru ini, dan masih melindunginya. Sementara aku merasakan keheranan serta sema- ngat baru dalam menjalani profesi yang kucintai ini. Sejak saat iru, aku tahu akan banyak mengalami kebetulan-kebetulan yang luar biasa dalam karier keperawatanku, dan keajaiban dapat terjadi pada saat-saat yang paling tak terduga. Suzie Farthing, RN © Pohon Malaikat Di lvar jendela yang terbuka Udara pagi penuh dengan malaikat. —RICHARD PURDY WILBUR - KU ingin kau membangun sebuah balai pusat penyem- 6 buhan.” Kata-kata itu bergema di dalam jiwaku ketika aku terbaring di tempat tidur, setelah mengalami kecelakaan mobil yang parah dan memengaruhi tulang-tulangku, organ-organ tubuhku, serta fungsi otakku—diagnosisku sampai berlembar-lembar. Kamar tidurku berbau obat gosok dan botol-botol obat berserakan di nakasku. Jadwal-jadwal rapat dengan para pemimpin perusahaan dan pemilik usaha yang membutuhkan nasihat keuangan dariku digantikan dengan jadwal-jadwal ke dokter. Aku baru tiga puluh enam tahun, dan mendapat prognosis yang mematahkan semangat—tidak bisa dioperasi, kondisi semakin memburuk. Dokter ortopedi merobek lembar resep dari bukunya dan menyerahkannya padaku sambil berkata, ”Belajarlah hidup dengan rasa sakit itu.” Dokter keluarga mewanti-wantiku tentang penggunaan kodein yang diresepkan. ”Kau bisa ketagihan.” Maka kubuang jauh-jauh obat penghilang rasa sakit itu. Malam hari, ketika Edward, suamiku selama enam belas tahun ini, tidur, aku menghela diriku ke lantai dan berguling-guling 16 | Chicken Sour For THE Sout menahan rasa sakit yang menusuk. Aku tahu Tuhan sanggup mem- buat mukjizat. Kucari penghiburan dalam janji-janji kesembuhan dari Tuhan di Alkitab. Setelah tiga bulan menjadi orang tak berdaya, aku mendengar, ”...bangunlah sebuah pusat penyembuhan, dan orang-orang akan datang dari seluruh penjuru dunia. Tanpa perlu iklan, mereka akan datang padamu.” Aku merespons tanpa ragu, ”Baiklah, Tuhan.” Tak pernah berpikir bahwa ini mustahil. Ketika Edward pulang, kusam- paikan apa yang kudengar. Sebagai orang beriman, Edward percaya, tapi di mana kami akan membangun pusat penyembuhan itu? Kami khawatir jangan-jangan tempatnya jauh, misalnya di China. Kami tanyakan pada Tuhan dalam doa. Tuhan berkata, "Jangan khawatir.” Tanah itu sudah disisihkan untuk pusat penyembuhan semenjak dulu, dan kami tidak akan keliru. Tuhan menyuruh kami bertanya lagi kepada-Nya kalau kami sudah siap mengetahui lokasinya. Sementara itu, Tuhan meyakinkan kami bahwa di sana banyak malaikat yang menjaga tanah itu. Ketika aku dan Edward berdoa bersama tiap malam, Tuhan berkata tanah itu telah menjadi semakin indah, begitu pula hati kami telah tumbuh semakin indah. Minggu-minggu berlalu dan kami sudah siap untuk tahu. Aku membuka Alkitab dan membaca, ’Seberangi sungai... seberangi sungai... suatu sungai yang tidak dapat diseberangi lagi... Sudahkah engkau lihat, hai anak manusia?” (Yehezkiel 47). Aku paham sepenuhnya. ”Ya, Tuhan,” kataku. ”Tempat itu ada- lah Wading River.” Pemukiman Wading River terletak kurang-lebih dua puluh empat kilometer jauhnya, namun terasa seperti di belah- an dunia lain. Tidak banyak yang kami ketahui tentang tempat itu. Setelah mendapat persetujuan Edward, aku menelepon Carol, seorang wanita pengusaha yang sangat hebat. Setelah kecelakaan yang kualami, Carol menyatakan bersedia membantuku untuk PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memsawa Muxjizat | 17 apa pun. Tanpa mengungkapkan hal-hal yang kami alami atau menyebut-nyebut tentang pusat penyembuhan itu, kuminta Carol mencari tahu sedikit tentang tanah di Wading River. Annette, apa kau tahu aku dibesarkan di Wading River?” sahutnya. "Apa kau tahu bertahun-tahun yang lalu aku pernah melakukan jual-beli tanah di Wading River?” Aku sama sekali tidak tahu. Carol berjanji akan mencari infor- masi. Dia menelepon dua minggu kemudian, setelah melihat-lihat properti di sana. ”Ada satu di seberang pemakaman, tidak bagus. Satunya lagi di jalan utama, akan sulit memindahkan salju. Ada satu properti yang ingin kurekomendasikan.” Aku dan Edward berangkat melihatnya. Cericip burung ter- dengar di udara. Sebatang pohon wadnut hitam merentangkan cabang-cabangnya di atas rerumputan hijau dan semak-semak raspberry. Sulur-sulur anggur dan wisteria merambati pohon-pohon ek dan mapel di sekitarnya. Di sebelah kiri tegak sebuah bangunan Cape Cod bersejarah, beratap genting, dengan jendela-jendela ber- pinggiran putih. Begitu melangkah ke properti itu, telapak kakiku bagai tergelitik. Aku meremas lengan Edward, dan dari senyum- annya aku tahu dia juga merasakan hal yang sama. Robin, si agen real estate, memberikan petunjuk arah. Edward memapahku, dan kami bergabung dengan Robin di bawah seba- tang pohon raksasa berdiameter hampir dua meter, dengan mah- kota cabang-cabang yang terentang tiga puluh meter dari tanah, menjulang ke langit biru. Pohon itu berselimut pola-pola kelabu dan hijau pucat yang indah dipandang. Kulit batangnya yang ber- warna telah terkelupas di banyak tempat, memperlihatkan lapisan bawah yang putih pucat. Serpih-serpih kulit bertebaran di tanah, dan beberapa potongan besar yang terkelupas melingkar-lingkar seperti tabung. 18 | Chicken Soup For THE Sout ”Rumah ini dibangun pada tahun 1700-an, untuk pasangan yang akan menikah,” kata Robin. ”Teman-teman berdatangan dari Inggris untuk menghadiri pernikahan itu, dan membawa bibit-bibit pohon ini. Konon kota-kota di Inggris pada tahun 1700-an sangat jelek.” Aku mengangguk-angguk sependapat. Perusahaan Edward berbasis di Inggris dan teman-teman Inggris kami suka bersulang satu sama lain dengan mengutip kalimat dari puisi tahun 1700 karya Robert Burns, ”Long may your chimney smoke—Semoga ceto- bong asapmu tak berhenti mengepul.” Puisi itu ditulis pada masa Revolusi Industri, dan mengacu pada asap hitam batu bara yang jelek dan mengotori semua bangunan. Robin semakin bersemangat menceritakan kisahnya. ”Para malaikat bertanya pada Tuhan, apakah mereka boleh memperindah kota itu. Tuhan bertanya apakah mereka sudah mempunyai ren- cana. Mereka berkata, ’Ya! Kami ingin menanam banyak pohon di sepenjuru London.’ Tuhan memberikan persetujuan. Dan sebagai rasa syukur mereka, para malaikat menyirami pohon-pohon itu setiap hari. Itu sebabnya pohon ini melepaskan kulitnya.” Robin merentangkan kedua lengannya dengan dramatis, sambil berkata, Para malaikat ada di sini, menjaga tanah ini!” Kami terbelalak. Melihat reaksi anch kami, Robin berkata, "Aku tidak gila! Aku baru mendengar cerita itu malam ini.” Apa! Dia sama sekali tidak tahu kami sudah lama mencari-cari tanah ini. Dia mendengar cerita itu pada waktu yang tepat, sehingga dapat menceritakannya pada kami, dan kami menjadi tahu bahwa inilah tempat untuk rumah penyembuhan kami. Sesudahnya, aku berbicara pada Carol. ”Annette, mari kita ingat-ingat kembali malam ketika aku pergi ke kantor agen real estate itu,” katanya. "Robin mengatakan tidak banyak pilihan properti di sana. Seorang agen lain datang. Dia memegang peta tanah yang baru saja dimasukkannya ke daftar.” PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memsawa Muxjizar | 19 Kami membeli properti di Wading River itu. Setiap minggu Edward mengantar kami ke sana untuk berdoa. Kadang-kadang Edward mendirikan kemah dan orang-orang pun berkumpul. Dari tahun ke tahun orang-orang berdatangan dari Nigeria, Argentina, Australia, Pakistan, Swiss, dari seluruh penjuru dunia untuk berdoa di tanah itu. Kondisiku, yang menurut dokter-dokter akan terus memburuk, mulai membaik. Aku sudah bisa bangun dari tempat tidur, tidak mengalami kejang-kejang lagi. Kemajuanku bukan sesuatu yang natural, melainkan supranatural. Aku dan Edward berdoa, ”Allah kami senantiasa memberikan semua yang kami butuhkan.” Aku mulai menyetir mobil lagi, lalu belajar konseling. Setelah dua puluh tahun berdoa, kami membangun rumah itu sebagai basis internasional kami untuk proses penyembuhan. Hari ini aku mendengar bunyi kecipak di kolam air terjun, sirip- sirip keemasan ikan yang berkilau-kilau dalam cahaya matahari. Lonceng-lonceng gereja memperdengarkan lagu Amazing Grace di sudut sana. Angin sepoi-sepoi membawa aroma garam dari laut dan menyelinap di antara pohon-pohon di Wading River. Pohon-pohon itu membungkuk dan memperdengarkan suara seperti bertepuk tangan. Tiap-tiap jendela memperlihatkan pemandangan indah, namun jendela kesayanganku menghadap ke barat. Bermandikan cahaya matahari terbenam adalah Pohon Malaikat itu. Lingkar- lingkar kulit kayu segar bertumpuk di halaman rumput setiap hari. Sebab para malaikat ada di sini, menjaga tanah ini. Annette M. Eckart © Pemberian yang Tulus Kehidupan manusia bukan divkur dari lamanya, melainkan dari apa yang diberikannyo. —CORRIE TEN BOOM pes adalah hari raya kesukaanku. Cuaca mulai hangat, «J bunga-bunga bermekaran, dan acara si Kelinci Paskah sangat menyenangkan. Tetapi, yang paling penting, Paskah adalah hari untuk merayakan kebangkitan Kristus. Setiap tahun aku mengisi keranjang-keranjang Paskah anak- anak kami dengan hadiah-hadiah istimewa—permen, seperti biasa, serta benda-benda lain yang menyenangkan. Bahkan ketika mereka sudah dewasa aku masih tetap mengisi keranjang-keranjang mereka, seperti waktu mereka masih kecil. Kalau ditanya sampai kapan aku akan melakukan hal ini, jawabku, ”Sampai aku tidak ada di sini lagi untuk mengisi keranjang-keranjang kalian.” Tiga tahun yang lalu, hari Minggu Paskah dimulai dengan mem- berikan keranjang Paskah kepada putraku yang berumur tujuh belas tahun. Wajahnya berseri-seri ketika memeriksa isi keranjangnya. Setelah itu kami berangkat ke gereja dan makan malam Paskah ber- sama-sama. Teulah saat-saat normal terakhir dalam hidupku. Sebab hari itu juga aku kehilangan putraku yang meninggal akibat kecelakaan tragis. PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memeawa Mukjizar | 21 Dia dibawa ke rumah sakit terdekat. Dokter-dokter sudah berusaha, namun tidak ada tanda-tanda aktivitas apa pun di otak putraku, dan aku diberitahu dia tidak akan sanggup bertahan. Mereka bertanya apakah kami mau mempertimbangkan untuk menyumbangkan organ-organ tubuhnya kepada Gift of Life. Aku tidak akan ragu menyumbangkan organ tubuhku sendiri. Tetapi ketika diminta menyumbangkan organ-organ tubuh putraku yang berumur tujuh belas tahun itu, emosiku seketika kacau. Kalau organ-organnya diambil, berarti kematiannya sudah betul-betul nyata, padahal aku tidak ingin menghadapinya. Akhirnya aku ber- hasil menenangkan diri dan setuju untuk menyumbangkan organ- organnya. Gift of Life harus bekerja keras mencari penerima yang tepat untuk organ-organ putraku. Tetapi tak lama kemudian mereka mengabarkan sudah menemukan penerima yang cocok untuk jan- tungnya—gadis enam belas tahun yang tinggal di negara bagian lain. Biasanya wilayah cakupan Gift of Life hanya di sekitar daerah kami, tetapi kali ini tingkat kecocokannya begitu langka, sehingga mereka tidak mau melewatkannya, walaupun si penerima berada di luar negara bagian. Selama dua puluh empat jam berikutnya, Gift of Life terus memberikan informasi kepada kami, tentang ke mana organ-organ lain putra kami dibawa. Beberapa kali selama proses tersebut mereka memberitahukan bahwa hati atau organ lainnya kemungkinan besar akan dibawa untuk si anu, tapi kemudian berubah lagi sehubungan dengan uji jaringan lebih lanjut. Namun sejak awal, jantungnya akan dibawa untuk gadis enam belas tahun di negara bagian lain itu, dan ini tidak berubah. Esok siangnya, seorang sahabat dekat keluarga memberitahu saudara perempuanku bahwa rasanya dia tahu siapa yang akan menerima jantung putraku dan di mana lokasinya. Permohonan 22) | Chicken Sour For THE Sout doa sahabatnya telah beredar di sebuah kota tak jauh dari situ. Doa untuk keponakan perempuannya yang berumur enam belas tahun, yang sebentar lagi akan menerima jantung yang sudah lama ditunggu-tunggunya. Telepon ke bibi anak ini kurang-lebih menegaskan bahwa memang keponakan perempuannya yang akan menerima jantung putraku. Aku merasa informasi rahasia ini dibawakan oleh malaikat pelindungku, atau mungkin kedua orangtuaku yang telah tiada. Hal ini sangat membantuku memahami bahwa meskipun aku kehilangan putraku, namun dia menyelamatkan seorang gadis yang sakit sejak berumur delapan tahun. Setelah itu, aku tidak ragu lagi bahwa keputusanku untuk menyumbangkan organ-organ putraku sudah tepat. Gift of Life tidak pernah melanggar perjanjian kerahasiaan mereka, tetapi berhubung kami sudah dapat mengira-ngira sendiri, akhirnya aku dapat bertemu dengan gadis ini, berikut keluarganya, setahun setelah kematian putraku. Sejak saat itu kami semua men- jadi begitu dekat. Sungguh menakjubkan, betapa banyak kesamaan dj antara keluarga kami. Dan berhubung kami sudah mengetahui seluruh kisahnya, dan sudah sepakat untuk melepaskan kerahasiaan itu, Gift of Life akhirnya mengonfirmasikan bahwa memang gadis itulah yang telah menerima jantung putraku. Lisa Benkert © Musim Panas yang Tragis, Namun Ajaib Melihat, mendengar, merasa, adalah keajaiban, dan setiap bagian serta komponen diriku adalah keajaiban. —WAIT WHITMAN KU sedang melakukan pekerjaan tukang kayu pada musim (te: empat tahun silam itu. Ketika tengah memeriksa tumpukan kayu sisa di ladang, aku tak sengaja menyenggol sarang tawon, Karena memakai jeans, aku tidak menyadari seekor tawon menyengatku persis di atas lutut kanan. Aku tidak alergi sengatan tawon, jadi aku meneruskan pekerjaan tanpa memikirkan peristiwa itu lebih lanjut. Dua jam kemudian, ketika berada di gudang, aku mulai merasa mual dan kakiku sakit bukan main. Aku keluar dari gudang dan pergi ke rumah utama, untuk memberitahu si pemilik bahwa aku harus pulang. Rasa sakit akibat sengatan tawon itu tak kunjung reda, jadi aku pulang untuk berbaring sejenak. Setelah dua jam beristirahat, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi, maka istriku Catherine membawaku ke rumah sakit. Di UGD, dokter mengamati sengatan tawon itu dan berkata dia sudah sering melihat sengatan seperti yang kualami selama musim panas. Bukan masalah besar. Dia memberikan Benadryl untuk reaksi akibat sengatan, dan Demerol untuk rasa sakitnya. Katanya rasa sakit itu 24 | Chicken Soup For THE Sout nanti akan hilang, dan aku diperbolehkan pulang. Satu-satunya tanda mengkhawatirkan yang dilihat sang dokter adalah lebam ungu yang mulai menyebar di dekat bekas sengatan. Dan lebam ini ternyata jauh lebih berbahaya daripada yang kami kira. Sepanjang malam aku merasakan sakit tak terkira, dan semakin parah menjelang subuh. Anak lelakiku, Cameron, cepat-cepat membawaku ke rumah sakit lagi. Setibanya di rumah sakit, aku mengalami septic shock. Di rumah, Catherine menelepon rumah sakit untuk mencari tahu keadaanku. Waktu itu mereka berkata aku tidak apa-apa, tetapi harus tetap di rumah sakit untuk diperiksa kenapa aku mengalami septic shock. Beberapa jam kemudian, seorang perawat menelepon Catherine dan mengabarkan bahwa organ-organ tubuhku mulai tidak ber- fungsi. Aku dimasukkan ke ICU. Sebuah lubang seukuran tombol pintu telah membuka di sisi kanan kakiku, persis di atas lutut. Mereka bertanya pada Catherine, apakah kakiku sudah dalam kondisi seperti itu ketika tiba di UGD. Catherine menjawab, Dia dibawa lagi ke UGD karena rasa sakit akibat sengatan tawon itu tidak kunjung hilang. Waktu berangkat dari rumah, lubang itu hanya berupa bintik kecil ungu. Dia sudah ke UGD dan dokter pertama yang memeriksanya meresepkan Benadryl dan Demerol. Dokter itu tidak memeriksa secara lengkap, apa lagi kemungkinan penyebab rasa sakit yang luar biasa itu.” Apa yang mereka periksa? Tidakkah tanda-tanda vitalku me- nunjukkan ada sesuatu yang sangat tidak beres? Kenapa mereka tidak membuka pakaianku dan memeriksa seluruh tubuhku? Mereka baru menyadari kondisi kakiku yang memburuk setelah aku dipindahkan ke ICU. Dengan cepat kondisi kakiku semakin parah, begitu pula sekujur tubuhku. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak terjawab. PeRJUMPAAN-PERIUMPAAN YANG Memsawa Muxjizat | 25 Richard G. Martin Jr., M.D., EA.C.S. Bedah Umum/Bedah Kanker Payudara, baru saja selesai melakukan operasi. Mengingat keahlian serta pengalamannya, salah satu dokter yang memeriksa diriku meminta pendapatnya atas situasi tersebut. Dia sudah me- nyaksikan beberapa kasus yang mirip dengan kasusku, dan serta- merta berkata, ”Orang ini sakit parah; dia harus diserahkan ke dokter spesialis sekarang juga.” Dia menghubungi tiga rumah sakit: Vanderbilt di Nashville, Erlanger di Chattanooga, dan Saint Thomas, juga di Nashville. Sekarang aku dalam kondisi kritis. Setelah para dokter menstabilkan kondisiku, aku diterbangkan ke Rumah Sakit Saint Thomas oleh Life Force, tim transportasi medis udara. Di Saint Thomas, aku segera dibawa ke ruang operasi. Di rumah sakit ini, akhirnya aku didiagnosis mengalami sindrom streptococcal toxic shock grup A. Aku terkena beberapa infeksi serius. Aku juga terjangkit bakteri langka pemakan daging di kaki kanan- ku, yang sekarang mulai menyebar ke bagian atas tubuhku. Lambat laun bakteri ini menginfeksi beberapa bagian tubuhku yang lain. Aku mengalami gagal pernapasan, gagal ginjal akut, penggumpalan darah, pembusukan jaringan, dan gagal pencernaan. Begitu banyak bagian tubuhku yang gagal sehingga hanya seorang ahli yang dapat memahaminya. Keadaanku benar-benar buruk. Dokter-dokter mengatakan pada istri dan keempat anakku bahwa kemungkinanku untuk selamat sangat kecil. Keluarga kami berkumpul di rumah sakit, menunggu kabar paling buruk. Dokter datang lagi untuk berjuang menyelamatkan nyawaku. Setelahnya, aku diberitahu bahwa saat- saat itu sangat menegangkan. Sebagian besar tim medis mengatakan barangkali aku tidak akan bisa bertahan. Dokter bedah datang untuk memberitahu istriku. Catherine bertanya, apakah masih ada yang bisa dilakukan. Kata Dokter, kalau kakiku diamputasi di pinggul 26 | Chicken Sour For THE SouL dan sebagian bakteri yang sudah masuk di atas pinggul dibuang, penyebarannya akan berhenti. Catherine menjawab, "Lakukan apa yang harus dilakukan.” Aku belum pernah sakit separah itu seumur hidupku. Sean- dainya dokter yang pertama kali memeriksaku memberikan diag- nosis yang benar sejak awal, mungkin kakiku bisa diselamatkan. Dokter-dokter yang menginvestigasi kasusku menyimpulkan tak seorang pun tahu, apa penyebab penyakit yang luar biasa ini. Se- perti dikatakan salah seorang dokter, "Dia beruntung masih hidup.” Dokter lainnya berkata, ’Suatu mukjizat dari Tuhan sehingga dia bisa bertahan.” Sekitar satu setengah tahun kemudian, aku berjumpa secara pribadi dengan Dr. Martin di Fairfield Glade. Mulanya aku tidak tahu siapa dia, sampai dia memperkenalkan diri. Dia sedang duduk di bangku, menonton anak lelakinya bermain basket. Aku juga da- tang untuk menonton anak lelakiku bermain basket. Bangku itu luas, jadi aku bertanya apakah aku boleh bergabung dengannya. Dia memandangku takjub dan berkata, "Anda tidak mengenali saya, rupanya?” ”Maaf, Sir, tapi siapa Anda?” tanyaku. ”Saya Dr. Richard Martin. Saya tahu siapa Anda, dan saya tahu segalanya tentang kasus Anda.” Lalu dia menceritakan keterlibat- annya dalam situasiku dulu itu. Setelah kami bercakap-cakap serius, istrinya datang menghampiri dari arah kolam renang. Dr. Martin hendak memperkenalkan kami, tetapi istrinya sudah mengenali diriku. ”Apakah dia memberitahumu apa yang dilakukannya?” tanya istrinya padaku. Ya.” Dia bersikeras Anda dipindahkan ke ahlinya. Mungkin itu yang menyelamatkan nyawa Anda,” ujarnya. PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memsawa Muxjizat | 27 Kemudian dia pergi menuju ruang ganti. Aku dan Dr. Martin masih duduk mengobrol beberapa saat, sambil menonton anak-anak kami bermain. Kami juga berbincang tentang banyak hal lain. Ketika dia akan pergi, aku meminta kartu namanya. Aku tidak ingin melupakan orang ini sampai kapan pun. Jay Fox © Pertemuan yang Tak Disangka-Sangka "Kebetulan” adalah cara Tuhan untuk tetap merahasiakan identitasnya. —ALBERT EINSTEIN Cpe musim panas yang lalu, aku duduk di sebelah seorang «J janda ramah berumur delapan puluhan, dalam perjalanan naik kereta ke rumah ibuku di Brooklyn. Obrolan kami sangat menyenangkan. Lalu aku menanyakan namanya. Beverly, katanya. Kebetulan nama ibu mertuaku juga Beverly, begitu pula nama ibu mertua saudara lelakiku. Kutanya dia, di Brooklyn sebelah mana dia tinggal. "Di dekat Kebun Raya,” sahutnya. Ternyata Beverly tinggal satu blok jauhnya dari rumah masa kecilku! Dia bertanya, sekarang ibuku tinggal di mana. ”Trump Village,” kataku. Itu tempat dia tinggal selama tiga puluh tahun! Kukatakan bahwa ibuku menghabiskan lima bulan setiap tahun di Florida. ’Florida bagian mana?” tanya Beverly. "Pembroke Pines,” jawabku. Beverly juga menghabiskan setiap musim dingin di Pembroke Pines! Di mana di Pembroke Pines?” tanyanya. Ternyata ibuku dan PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memsawa Muxjizar | 29 Beverly sama-sama tinggal di komunitas pensiunan yang luas itu selama musim dingin—di Century Village! Nah, hari ini, ibuku dan perawatnya, June, duduk di tepi ko- lam, di tempatnya di Florida. Seorang perempuan menghampiri mereka, mengira ibuku adalah seseorang yang dikenalnya. "Oh, maaf sekali,” katanya, agak tersipu. ”Saya belum pernah melihat Anda di sekitar sini. Apakah Anda orang baru?” June menjelaskan bahwa ibuku sudah sering menghabiskan musim dingin di sini, tetapi tinggal di Brooklyn pada bulan-bulan selebihnya. ”Di mana di Brooklyn?” tanya perempuan itu. Ketika diberitahu, ”Trump Village,” dia terbelalak. ”Apakah dia kebetulan mempunyai anak lelaki bernama Gary?” June terheran-heran. ”Ya, dari mana Anda tahu?” tanyanya. Perempuan itu tak bisa berhenti tertawa. Saya duduk di sebelahnya, dalam perjalanan naik kereta di New York City, musim panas yang lalu!” June ternganga, lalu berseru, Oh, wah! Apakah kebetulan Anda bernama Beverly?” Perempuan itu mengangguk. June terperangah. ”Gary sudah menceritakan pada saya tentang obrolan kalian di kereta waktu itu! Katanya dia yakin suatu ketika kita akan berpa- pasan! Oh, ya Tuhan!” Yep. Hanya itu yang bisa kukatakan ketika June menceritakan apa yang terjadi. Oh, ya Tuhan. Gary Stein Rambut Palsu Keajaiban bisa datang setiap saat. Bersiap-siaplah. —WAYNE DYER ~ ELOMPOK lintas alam kami bertemu di Starbucks pada °K hari Minggu pukul delapan pagi di Scottsdale. Kami akan menuju Tonto National Forest di Salome Creek Wilderness, sebelah timur laut Theodore Roosevelt Lake. Pemimpin rombongan kami, Richard Allen, memperkirakan akan makan waktu dua jam untuk sampai ke titik awal. Ada dua puluh anggota rombongan dan enam sepeda. Suamiku, Dick, dan aku, membawa mobil sendiri, supaya kami dapat pergi kapan saja tanpa menyusahkan orang lain. Perjalanan bermobil terasa indah, melintasi padang pasir Arizona pada pagi bulan Maret. Hujan yang turun baru-baru ini memun- culkan warna hijau di semak-semak serta rerumputan. Bunga-bunga liar ungu dan keemasan bertebaran, mulai dari jalan sampai ke lereng- lereng pegunungan. Kami berkendara melewati kota Punkin Center, tempat mantan guru pianoku pindah sekitar dua belas tahun lalu karena ingin tinggal di dekat anak perempuannya. Kukatakan pada Dick bahwa dalam perjalanan pulang nanti aku ingin mampir dan mencarinya, kalau belum terlalu malam. Dick bertanya, ’Bagaimana kau akan menemukannya?” PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memeawa Mukjizar | 31 Aku tidak ingat nama guru pianoku, tetapi aku yakin sekali bisa menemukannya. Dia sudah agak berumur, dan aku ingat dia memakai rambut palsu cokelat besar yang mirip sarang lebah. Aku berkata, Oh, gampang, sebab Punkin Center sangat kecil, dan anak perempuannya punya toko di sana.” Punkin Center mula-mula dibangun pada tahun 1945 sebagai stasiun cuaca, dan merupakan bagian dari area Tonto Basin. Aku ingat merasa sedih sekali ketika guruku mengabarkan akan pindah. Aku sudah beberapa tahun belajar piano padanya. Aku sangat menyukainya, dan aku juga akan sangat kesulitan menemu- kan guru piano lain yang dapat mengajar sesuai jam-jam yang kuinginkan, berhubung aku sangat sibuk sebagai pengacara. Benar saja. Setelah dia pindah, bisa dikatakan itulah akhir dari kursus pianoku. Kami keluar dari Route 85, beberapa kilometer sebelum Roo- sevelt Lake, mengambil jalan pintas dari tanah yang akan membawa kami memutari ujung utara danau menuju titik awal biking. Begitu keluar dari jalan raya utama, kami sampai di sebuah penghalang jalan besar bertuliskan “Jalan Ditutup”. Kami memutarinya dengan hati-hati. Tidak jauh di depan, kami baru mengetahui masalahnya—jalan itu melintasi kubangan air sedalam setengah meter lebih. Richard Allen khawatir di depan sana ada kubangan yang lebih dalam lagi akibat hujan baru-baru ini. Dia mengusulkan untuk membatalkan rencana lintas alam di area Salome Creek Wilderness, dan sebagai gantinya pergi ke Four Peaks yang berada di dekat sana. Sesampainya kami di Four Peaks, pegunungannya masih ber- selimut salju di bagian-bagian yang agak tinggi. Kami sepakai untuk bermobil ke titik awal Aiking, tetapi apabila terhalang salju, kami akan makan siang, lalu langsung pulang. 32) | Chicken Sour For THE Sout Jalan tanah menuju titik awal di Four Peaks hanya satu jalur, berkelok-kelok dan menanjak terjal. Sementara Dick mengemudi, aku memandang lewat tebing karang curam di sebelah kananku, ke hamparan padang pasir berbukit-bukit di kaki gunung. Perubahan ketinggian yang drastis itu membuatku pening. Setelah satu belok- an tajam yang mendirikan bulu roma, kukatakan aku tidak tahan lagi. Dick memutar mobil dan kami mengarah turun gunung lagi. Kami berhenti di tempat tinggi untuk menikmati pemandangan, makan roti, dan meneruskan perjalanan pulang, mampir membeli bensin di jalan raya. Ketika sampai di Punkin Center, aku berkata, ’Ayo kita mampir ke rumah guruku.” Dick keluar dari jalan raya dan mengambil jalan pintas di te- ngah kota, sambil berkata bingung, "Aku tidak tahu mesti mencari di mana.” Berhubung itu hari Minggu, kantor pos dan sebagian besar toko tutup. Tetapi ketika kami meluncur di jalan, melewati bermacam-macam gedung, aku melihat toko kelontong di tempat yang agak tinggi, kurang-lebih lima puluh meter dari jalan, tepat sebelum pandanganku terhalang oleh sebuah tanggul besar. Aku berkata acuh tak acuh, ”Oh, tadi itu pasti toko anak perem- puan guruku. Aku melihat rambut palsunya.” Dick berkata, ”Hah?” dengan suara keras, tapi lalu memundur- kan mobil ke tanjakan di depan toko itu. Aku melompat turun. Itu dia guru pianoku. Dia baru saja me- nutup toko dan hendak pulang berjalan kaki ke rumahnya, sekitar enam puluh meter dari situ. Dia langsung mengenali kami dan mengundang kami ke rumah- nya yang sangat nyaman. Dia menyajikan jus mangga dan kue-kue, lalu kami asyik mengobrolkan apa saja yang terjadi sejak dia pindah PeRJUMPAAN-PERIUMPAAN YANG Memsawa Muxjizat | 33 dari Phoenix. Dulu dia juga mengajar salah satu putraku main piano, dan kukatakan padanya bahwa sekarang putraku sudah menikah dan mempunyai dua anak perempuan yang masih kecil. Sementara mengobrol, akhirnya aku ingat namanya: Helene Todd. Sungguh suatu misteri, bagaimana aku tahu akan menemu- kan Helene kalau kami pergi ke Punkin Center untuk mencarinya hari itu. Akhir yang membahagiakan ini merupakan hasil dari serangkaian peristiwa yang bersinkronisasi. Aku melihat Helen karena dia keluar dari toko persis pada waktu itu. Seandainya kami tiba beberapa menit lebih awal, karena tidak mampir membeli bensin, Helen tentunya masih berada di dalam toko ketika kami lewat. Seandainya kami baru lewat beberapa detik kemudian, aku tidak akan melihat Helen, sebab dia tentunya sudah berada di be- lakang tanggul yang menutupi pemandangan dari jalan. Aku sama sekali tidak tahu bahwa toko itu milik anak perem- puannya, sampai aku melihat Helene keluar dari situ. Kalau dilihat dari depan, toko itu tidak kelihatan buka, sebab tidak ada mobil- mobil diparkir di depan. Berhubung aku tidak ingat nama guruku, aku tidak mungkin bertanya pada orang-orang yang lewat, apakah mereka mengenalnya. Dan aku tidak akan menyadari bahwa perempuan yang kulihat dari jalan, sesaat sebelum pandanganku terhalang, adalah mantan guruku—kalau bukan karena rambut palsunya! Aku tak mungkin lupa rambut palsu itu! Helene mengatakan pada kami bahwa seka- rang dia berusia sembilan puluh satu tahun dan pendengarannya agak kurang, tetapi diluar itu dia sehat-sehat saja. Ketika kami sampai di rumah, Dick mengirim e-mail pada Richard, menceritakan apa yang terjadi. Richard membalas keesok- an paginya: 34) | Chicken Soup For tHE Sout Dear Dick dan Brenda: Aku senang kalian baik-baik saja. Sebetulnya, belokan itu bagian jalan yang paling parah. Setelahnya, kondisinya lebih bagus. Dari puncak, kalian dapat melihat Phoenix di kejauhan. Aku mendapat pesan bahwa kalian berputar balik. Terima kasih telah menerima semua perubahan rencana dil dengan lapang dada. Ikut senang kalian bertemu dengan guru itu—mungkin sudah takdir! Richard Ya, mungkin memang sudah takdir. Aku bisa ikut lintas alam lain kali, tetapi mungkin aku tidak akan pernah bertemu lagi dengan guruku seandainya kami meneruskan perjalanan ke titik awal di Four Peaks. Helene meninggal dua tahun kemudian, dan pertemuan kami hari itu merupakan pengalaman yang me- nyenangkan dan penuh nostalgia. Sementara kita meluncur di jalan raya kehidupan, dengan ber- bagai peristiwa yang seolah terjadi secara kebetulan, berbagai ke- ajaiban kecil berlangsung dalam cara yang tidak dapat kita jelaskan. Brenda Warneka © Kuda Betina Pembawa Keajaiban ‘Ada sesvatu dalam sosok dan bangun seekor kuda yang membawa kebaikan bagi hati manusia. —WINSTON CHURCHILL ADA suatu siang musim gugur yang sejuk, tahun 2010, aku «J mendapat kesempatan mengenal seekor kuda betina yang sudah berumur; kelak kuda ini mengubah hidupku dan hidup banyak orang lain secara luar biasa. Kami memindahkan lokasi perusahaan kami, Spring Reins of Hope, ke sebuah pertanian di pusat New Jersey, di jantungnya Hunterdon County. Tak lama kemudian, kami memulai grup perusahaan baru, Spring Reins of Life, perusahaan waralaba yang membantu mencari dana untuk EAP (Equine Assisted Psychotherapy—Psikoterapi Berbantu de- ngan Kuda). Kami menawarkan EAP kepada kaum muda berisiko, para veteran yang mengidap PTSD, serta anak-anak yang kehilang- an anggota keluarga. Ketika bertemu Straw—kuda berumur dua puluh dua tahun yang memiliki sejumlah cacat dan kekurangan fisik, aku, seperti kebanyakan orang, merasa iba padanya, dan bertanya-tanya bagai- mana kuda itu bisa berjalan dan menjalani kehidupan yang pro- duktif. Sekitar tahun 2008, Straw mengalami kecelakaan parah 36 | Chicken Soup For THE Sout (dugaan kami, kecelakaan sewaktu diangkut dengan srailer). Kedua kaki depannya patah, lehernya juga patah di dua tempat, hasil Rontgen menunjukkan fusion pada pergelangan kaki kanan Straw, fusion pada vertebrae C4—C6, dan lutut kanan hancur, setelah sem- buh menjadi bengkok dan pengkor. Kalau Straw berbaring untuk berguling atau bertumpu pada sisi kanannya, ia dapat bangkit sendiri. Tetapi apabila ia kehilangan keseimbangan atau tergelincir pada sisi kirinya, ia terkapar (tidak sanggup bangun sendiri). Pertama kali melihatnya, kebanyakan pencinta kuda terkesiap dan bertanya-tanya kenapa kuda ini tidak ditidurkan saja setelah mengalami kecelakaan sedemikian parah. Aku juga bertanya-tanya seperti itu. Dulu Straw merupakan indukan penghasil kuda-kuda juara. Bahkan ia ternyata semacam "ratu” di antara kuda-kuda sejenisnya. Tetapi setelah mengalami kecelakaan, jelas sekali bahwa ia tidak akan melahirkan anak-anak lagi. Seiring waktu, aku menyadari bahwa Straw benar-benar me- nikmati menjadi guru dan penyembuh di arena EAP. Kami menda- tangkan seorang ahli sepatu kuda dan ahli gigi kuda untuk memas- tikan stabilitas dan keseimbangannya, schingga ia bisa dilepaskan dengan aman di arena bersama para klien. EAGALA Model EAP tidak memperbolehkan program menunggang/berkendara, tetapi para klien banyak berinteraksi dengan kuda-kuda tanpa menung- gang. Ketika kami mulai mengintegrasikan Straw dalam program ka- mi serta kawanan ahli terapi kuda, jelas kelihatan bahwa Straw-lah yang banyak mengajari kami, bukan sebaliknya! Aku sendiri telah belajar begitu banyak dan telah bertumbuh pesat di dalam hatiku sendiri, setelah mengenal kuda ini. Dan ini tak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan apa yang telah kusaksikan—bagai- mana Straw menolong para klien yang datang ke Spring Reins of PeRJUMPAAN-PERJUMPAAN YANG Memsawa Muxjizat | 37 Life, menangani begitu banyak trauma serta luka-luka berat dari kehidupan mereka. Dalam beberapa menit saja, dan tanpa sepatah kata pun, Straw mengajari anak-anak muda bermasalah serta anggota geng remaja tentang makna kasih sayang serta empati. Ia menunjukkan kepada para veteran yang mengalami PTSD bahwa walaupun mereka mungkin merasa hancur, tampak hancur, atau benar-benar hancur, tetapi mereka tidak perlu terus hidup dalam kehancuran. Straw memberi jalan bagi anak-anak yang kehilangan anggota keluarga untuk merasa damai. Ia melakukan semua itu dengan mudah, cu- kup dengan menjadi dirinya sendiri. Straw tidak membuat alasan ini-itu, dan karenanya juga tidak menerima alasan apa pun. Kami semua, para staf dan klien, dengan cepat belajar bahwa rasa iba tidak berarti apa pun baginya. Entah sudah berapa kali seseorang datang untuk menuntunnya dan ber- kata atau berpikir, ”Tenanglah, hati-hati,” tetapi tahu-tahu mereka merasa ditarik ketika Straw menambah kecepatan, seakan-akan ingin berkata, ’Pikirkan dirimu sendiri, aku baik-baik saja dan mau ke sana.” Straw tidak kenal menyerah; baginya, itu bukan pilihan—jalan berputar, jalan kemari, jalan ke seberang, jalan di bawah, istirahat sebentar, tetapi JANGAN menyerah. Beberapa veteran yang datang ke pertanian kami untuk EAP pernah dimasukkan ke rumah sakit karena mengidap PTSD ke- tika mereka pertama kali datang, dan sedihnya kami diberitahu bahwa beberapa di antaranya “harus diawasi karena memiliki ke- cenderungan bunuh diri”. Di salah satu kelompok ada tentara yang sudah beberapa kali bertugas di Irak. Aku melihat penderitaan yang sangat besar di kedua mata biru pemuda itu. Dia pendiam dan suka menyendiri. Hari itu Straw tampaknya memilih anak muda ini dari antara kelompoknya. Setelahnya, anak muda itu mulai 38 | Chicken Soup For THE SouL berbicara. Dan terus bicara. Tentang kehidupannya di pertanian ketika beranjak dewasa, kudanya, keledainya, perceraiannya, warna rumput, dan lain-lain. Kelak kami baru mengetahui bahwa dia nyaris tak pernah bicara selama hampir enam bulan. Melihat apa yang berhasil diatasi Straw bisa diibaratkan memutar kunci untuk menyalakan mesin; dia menjadi pulih. Seorang veteran perang Irak lain mengalami gemetar hebat aki- bat rasa cemas, dan kami melatihnya untuk menuntun, supaya dia mendapatkan pengalaman memegang kendali atas sesuatu, bahkan apabila ada yang berubah ketika dia sedang memegang kendali. Ketika kami meminta anak muda ini mengubah kecepatannya se- waktu sedang menuntun Straw, dia menjadi gelisah dan cemas. Dia tidak mau menyuruh Straw berjalan lebih cepat, lalu dia berhenti dengan mendadak. Straw langsung ikut berhenti di sampingnya. Wajah anak muda itu tampak begitu lega ketika dia membelai- belai Straw, dan menyadari bahwa berhenti merupakan perubahan dan Straw berdiri di situ, mendukung pilihannya. Setelahnya, dia melihat Straw berlari-lari kecil bersama seorang veteran lain, dan bertanya padaku, "Kuda betina dengan kaki-kaki itu, ia benar- benar oke, ya?” Kubiarkan dia menjawab pertanyaannya sendiri, untuk Straw dan untuk dirinya. Sekarang, kalau melihat Straw, aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya. Kini di mataku Straw tampak sangat berbeda. Aku melihat kekuatan sejati. Ketangguhan untuk bertahan. Kebi- jaksanaan dan kasih sayang. Cinta dan keindahan. Straw adalah keajaiban yang hidup dan memberi jalan bagi orang-orang lain untuk menemukan keajaiban-keajaiban mereka sendiri. Christianna Capra Berganti Haluan Kita harus berani mengambil risiko. Kita baru bisa memahani keajaiban hidup sepenuhnya apabila kita membiarkan hal tak terduga terjadi. —PAULO COELHO. Qe aku berpikir sambil mengemudikan mobilku di tengah kepadatan lalu lintas menjelang siang. Tak percaya rasanya bahwa aku baru saja dipecat. Aku sadar, konflik yang terjadi semakin meningkat, dan aku sudah memperkirakan tidak akan lama bertahan di kantor itu, tetapi aku benar-benar kaget ketika datang bekerja pada hari Kamis pagi dan diberitahu bahwa jasa-jasaku tidak dibutuhkan lagi. Tidak kusangka politik di kantor sudah seburuk itu, tetapi waktu itu aku yakin akan mendapatkan pekerjaan lain dan bisa berhenti lebih dulu. Ternyata aku keliru. Sekarang aku harus membayar cicilan rumah, cicilan mobil, utang-utang kartu kredit, dan macam-macam pengeluaran lain, dan aku tidak punya pekerjaan. Rumahku terasa asing ketika aku pulang dan menjumpai suasana lengang hari kerja. Kuletakkan dompetku dan berpikir: sekarang bagaimana? Aku sudah beberapa bulan melihat-lihat lowongan pekerjaan

You might also like