MANIFES KEBUDAYAAN
Pernyataan sikap sejumlah seniman dan
budayawan (16 orang penulis, 3 orang
pelukis, dan seorang komponis) menanda-
tangani dan mengumumkan sebuah Ma-
nifes Kebudayaan yang dimuat pertama
kali dalam lembaran budaya Berita Repub-
lik, 19 Oktober 1963 dan dalam majalah
Sastra, September/Oktober 1963. Lengkap-
nya berbunyi:
MANIFES KEBUDAYAAN
Kami para seniman dan cendekiawan Indo-
nesia dengan ini mengumumkan sebuah Mani-
fes Kebudayaan, yang menyatakan pendirian,
cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan
untuk menyempumakan kondisi hidup manu-
sia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor
kebudayaan di atas sektor kebudayaan yang lain.
Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk ke-
budayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional,
kami berusaha menciptakan dengan kesunggu-
han dan sejujur-jujumya sebagai perjuangan
untuk mempertahankan dan mengembangkan
martabat diri kami sebagai Bangsa Indonesia di
tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963Manifes Kebudayaan
Drs. HB, Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo
Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mo-
hamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok
Djin, DS. Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andang-
djaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul,
Drs. Taufiq A.G. Ismail, Gerson Pyok, M. Saribi
Afn., Pemawan Tjondronagaro, Drs. Boen S. Oe-
marjati
PENJELASAN MANIFES KEBUDAYAAN
I Pancasila sebagai Falsafah Kebudayaan
Dalam pengertian kami yang bersumber
dalam hikmah Pancasila, kebudayaan bukanlah
kondisi obyektif, apalagi hasil sebagian barang
mati.
Dalam pengertian kami kebudayaan adalah
perjuangan manusia sebagai totalitas dalam
menyempumakan kondisi-kondisi hidupnya.
Kebudayaan nasional bukanlah semata-mata
ditandai oleh "“watak nasional”, melainkan me-
rupakan perjuangan Nasional dari suatu bang-
sa sebagai totalitas dalam menyempumakan
kondisi-kondisi hidup nasionalnya. Predikat ke-
budayaan adalah perjuangan dengan memba-
wa konsekwensi-konsekwensi yang mutlak dari
sektor-sektomya.
‘Sepenuhnya pengertian kami tentang kebu-
dayaan sirama dengan Pancasila karena Pancasi-
laadalah sumbernya, sebagaimana Bung Kamo
mengatakan:
“Maka dari itu jikalau bangsa Indonesia
ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu
menjadi suatu realiteit, yakni jika kami ingin
hidup menjadi satu bangsa, satu nasionaliteit
yang merdeka, yang penuh dengan perikemanu-
siaan, ingin hidup di atas dasar permusyawara-
tan, ingin hidup sempuma dengan spciale re-
chtvaardigheit, ingin hidup sejahtera dan aman,
denan ketuhanan yang luas dan sempuma, jan-
ganlah lupa akan syarat untuk menyelenggara-
kanya, jalah perjuangan, perjuangan dan seka-
i Jagi perjuangan”.
‘Maka pengertian Kebudayaan Nasional ada-
lah perjuangan untuk memperkembangkan dan
482
mempertahankan martabat martabat kami se,
agai bangsa Indonesia di tengah masyarakay
pangsa-bangsa. Jika kepribadian Nasional yang
merupakan implikasi dari Kebudayan Nasiona)
kita adalah apa yang oleh Presiden Sukamo diy.
muskan sebagai "freedom to be free”, maka Ke.
budayaan Nasional kita digerakkan oleh suaty
Kepribadian Nasional yang membebaskan diri
dari penguasaan (campur tangan) asing, tetapj
pbukan untuk mengasingkan diri dari masyara.
kat bangsa-bangsa, melainkan justru untuk me.
nyatakan dir dengan masyarakat bangsa-bang.
sa itu secara bebas dan dinamis sebagai per.
syaratan yang tidak ditawar bagi perkembangan
yang pesat dari Kepribadian dan Kebudayaan
Nasional kita yang pandangan dunianya ber.
sumber pada Pancasila.
‘Kami ingin membuktikan, bahwa falsafah
demokrasi Pancasila menolak semboyan “The
End justifies the Means” (Tujuan menghalalkan
cara), sehingga sebagai falsafah demokrasi Pan-
casila adalah humanisme kultural yang penge-
jawantahannya harus kami perjuangkan dalam
setiap sektor kehidupan manusia. Semboyan
akultural “The End justifies the Means” terse-
but yang tidak mengakui perbedaan antara tu-
juan denan cara, mengakibatkan orang menuju
tujuan dengan menyisihkan pentingnya cara
mencapai tujuan itu.
Demikian umpamanya di bidang penciptaan
karya-karya kesenian di mana orang lebih me-
mentingkan aspek propagandanya daripada
aspek keseniannya adalah contoh dari pelaksan-
aan semboyan “The End justifies the Means”
sebagai semboyan yang bertentangan dengan
Pancasila. “The End justifies the Means" - apa
bila orang mengemukakan apa yang bukan ke-
Susasteraan sebagai kesusasteraan, apa yal
bukan kesenian sebagai kesenian, apa yangbt-
Kan ilmu pengetahuan sebagai ilmu pengetahu-
an, dan sebagainya.
Perkosaan seperti bukanlah cara insaniah.
melainkan cara alamiah, Perkosaan adalah men
tah, sedang penciptaan karya mengalahkan ke
mentahan dengan cara manusia untuk menciP-
takan dunia yang damai. Kesenian sebagai peo"
‘siptaan karya manusia akan abadi hanya apa>*Ja bukan saja tujuannya adalah kemanusiaan,
tetapi juga caranya kemanusiaan dan itulah im-
plikasi yang paling hakiki dari Pancasila sebagai
falsafah demokrasi yang kami perjuangkan se-
cara prinsipal.
Adapun bahaya bagi kebudayaan yang pa-
ling mengancam datangnya dari wilayahnya
sendii, tetapi yang terang ialah bahwa sumber
pokok dari bahaya tersebut terletak dalam ke-
cenderungan-kecenderungan fetisy sebagai
kecenderungan nonkreatif, Adapun kecende-
rungan tersebut manifestasinya tidak hanya
dalam pendewaan, melainkan terdapat juga da-
lam persetanan sebagai umpamanya kami ke-
nal dalam wilayah kesenian. Sebagaimana feti-
sy-fetisy itu bermacam-macam, demikian pula-
lsh kesenian fetisy. Sebagaimana terdapat feti-
syisme dari juwa pelindung di samping fetisyis-
me dari jiwa pendendam, demikianlah terdapat
kesenian yang mengabdi kepada jiwa pelind-
ung dengan memberikan sanjungan-sanjungan
secara berlebih-lebihan pula. Tidak jarang terja-
dibahwa kedua macam kesenian fetisy itumem-
punyai pretensi "kesenian revolusioner", tetapi
dalam hal demikian, maka kesenian fetsy itu kita
namakan kesenian dengan pengabdian palsu.
‘Kesenian kreatif, berlawanan dengan keseni-
an fetisy, tidak mencari sumbernya dalam fetisy,
melainkan dalam dirinya sendiri, sehingga de-
ngan ini kami menolak fatalisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya. Kesenian kreatif
yang kami perjuangkan dengan menyokong
Revolusi tidaklah bersumber dalam fetisyisme
dari jiwa pelindung, sebaliknya mengiritik
penyelewengan-penyelwengan dari Revolusi
tidakiah pula bersumber dalam fetisyisme jiwa
pendendam. Kami tidak memperdewakan Revo-
Jusi, karena kami tidak mempunyai pengabdian
alsu, sebaliknya kami pun tidak mempersetan-
kan Revolusi, karena kami tidak pula mempu-
nyai pengabdian palsu. Tetapi kami adalah rev-
olusioner.
Kami tidak lebih daripada manusia lainnya,
direncanakan namun merencanakan, diciptakan
namun menciptakan. Itu saja dan tidakmempu-
sa takut kepada kegagaln-kegagalan kami sendi-
Manifes Kebudayaan
1i, Karena kegagalan-kegagalan itu bukanlah
akhir perjuangan hidup kami.
I Kepribadian dan kebudayaan Nasional
Dalam dunia kesenian Indodesia dikenal
“humanisme universal”. Tafsiran kami tentang
istilah tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila dengan “humanisme universal” di-
maksudkan pengaburan kontradiksi antagonis,
kontradiksi antara kawan dengan lawan, maka
kami akan menolak “humanisme universal” itu.
Misalnya sebagaiamana yang dilakukan oleh
NICA dahulu, di mana diulurkan kerjasama ke-
budayaan di satu pihak, tetapi dilakukan aksi
militer di lain pihak.
‘Sebaliknya kami menerima “humanisme uni-
versal” apabila dimaksudkan, bahwa kebudaya-
an dan kesenian itu bukanlah semata-mata na-
sional, tetapi juga menghayatinilai-nilai univer-
sal, bukan semata-mata temporal, tetapi juga
menghayati nilai-nilai etemal.
Apabila dengan kebudayaan universal itu
dimaksudkan bukan kondisi obyektif, melainkan
perjuangan manusia sebagai manusia sebagai
totalitasdalam usahanya mengakhiri perten-
tangan antara manusiadan kemanusiaan, maka
kami menyertujui ajakan untuk meneruskan ke-
budayaan universal itu, karena dengan demiki-
an kebudayaan universal itu merupakan “ke-
kuatan yang menggerakkan sejarah”, dan itu
sepenuh-penuhnya sama dengan pikiran kami,
bahwaw kebudayaan uniersal itu adalah per-
juanan dari budi nurani universal dalam memer-
dekaan setiap manusia dari rantai-rantai beleng-
gunya, perjuangannya yang memperjuangken
tuntutan-tuntutan Rakyat Indonesia, karena
rakyat di mana-mana di bawah kolong langit itu
tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain.
Tidak mau dieksploitasi oleh golongan-golong-
anapa pun, meskipun golongan itu adlaah bang-
sanya sendiri, Mereka menuntut kebebasan dari
kemiskingn dan kebebasan dari rasa takut, baik
yang karena ancaman di dalam negeri, maupun
yang kerena ancaman dari luar negeri. Mereka
menuntut kebebasan untuk menggerakkan se-
cara konstruktif aktivitas sosialnya, untuk mem-
pertinggi kebahagiaan individu dan keba-
483Manifes Kebudayaan
hagiaan masyarakat. Mereka menuntut kebe-
basan untuk mengeluarkan pendapat, yaitu
menuntut hak-hak yang lazimnya dinamakan
demokrasi.
Jadi “humanisme universal” janganlah
menyebabkan orang bersikap indefferent (acuh
tak acuh) terhadap semua aliran (politik), sehing-
ga dengan “humanisme universal” orang harus
toleran pada imperialisme dan kolonialisme.
Kami tetap mencari garis pemisah secara tegas
antara musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revo-
jusi, musuh-musuh dan sekutu-sekutu Kebu-
dayaan, tetapi ini tidak berarti bahwa kami mem-
punyai sifat sektaris dan chauvinis, karena sikap
yang demikian ituadalah justru mengaburkan
garis pemisah tetsebut.
Musuh kami bukanlah manusia, karena kami
adalah ank manusia. Masuh kami adalah unsur-
unsur yang membelenggu manusia, dan
karenanya kami ingin membebaskan manusia
itu dari rantai-rantai belenggunya. Dalam perla-
wan kami terhadap musuh-musuh kami itu kami
tetap berpegang teguh pada pendirian dan
Pengertian, bahwa sejahat-jahatnya manusia
namun ia masih tetap memancarkan sinar ca-
haya Dahi, sehingga konsekuensi kami ialah,
bahwa kami harus menyelamatkan sinar cahaya
Mahi tersebut.
‘Maka kepercayaan yang kami kumandang-
kan ialah, bahwa manusia adalah makhluk yang
baik, dan karena itulah maka kami bercita-cita
membangun suatu masyarakat manusia yang
baik itu, sesuai dengan garis-garis sosialisme
Indonesia.
Dengan begitu teranglah sudah posisi ter-
hhadap masalah “humanisme universal". Kami
menampilkan aspirasi-aspirasi nasional, yaitu
pengarahan-pengarahan kepada pembedaan
diri di tengah-tengah masyarakat bangsa-bang-
sa, bagi merealisasikan kehormatan, martabat
(dignitas), prestise dan pengaruh, tetapi kami
ingin menjaga agar pengarahan-pengarahan
tersebut tidak menuju ke arah kesombongan
nasional dan chauvinisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.
Adapun implikasi dari aspirasi-aspirasi na-
sional ini ialah, bahwa bangsa Indonesia sebagai
atu bangsa mempunyai kebebasan untuk
shengembangikan kepribadiannya, artinya bang.
ta Indonesia dapat terus menerus menyusuaj.
kan diri dengan perkembanan sekitamya, teta-
pi caranya adalah unik dan dinamis. Untuk da-
pat mempunyai sifat dinamis inilah, maka bang-
sa Indonesia harus mempunyai kesenian sebagai
sektor kehidupan kebudayaan, yaitu kesenian
yang sepenuhnya merupakan pancaran kebe-
asan, kesungguh-sungguhan yang sejujur-ju-
jumya.
II Politisi dan Estetisi
Dalam dunia kesenian Indonesia juga di-
kenal istilah “realisme sosialis". Menurut se-
jarahnya, penafsiran realisme sosialis ituadadua
macam:
‘Yang pertama: Realisme sosialis langsung
merupakan kelanjutan dari konsepsi kultural
Josef Stalin. Dalam tahun-tahun 30-an dengan
berkembangnya fetisy, barang pujaan yang sea-
kan-akan mengundang suatu kekuatan gaib,
maka kebudayaan Rusia terancam dengan amat
mengerikan. Dengan Stalin maka metode laitik.
seni adalah dedultif, artinya konsepsinya telah
ditetapkan lebih dahulu untuk “menertibakan"
kehidupan kesenian dan kebudayaan. Ciri pokok
dari kesenian yang telah “ditertibkan’ itu ialah
adanya konsepsi yang sama dan sektaris ten-
tang lcitik seni. Itulah sebabnya, maka jiwa obyek-
tif yang berpangkal pada budi nurani universal
tidak selaras dengan realisme sosialis, sehingga
kami menolak realisme sosialis dalam perngar-
tian itu, dimana dasamya ialah paham politik di
atas estetik.
‘Yang kedua: Realisme sosialis menurut ke-
simpulan kami dari jalan pikiran Maxim Gorki,
yang dipandang sebagai otak dari realisme sos-
ialis itu, yakni bahwa sejarah yang sesungguh-
nya dari rakyat pekerja tak dipelajari tanpa suatu
Pengetahuan tentang dongengan kerakyatan
yang secara terus menerus danpasti mencipta-
kan karya sastra yang bermutu tinggi seperti
484
—_. ecManifes Kebudayaan
hagiaan masyarakat. Mereka menuntut kebe-
basan untuk mengeluarkan pendapat, yaitu
menuntut hak-hak yang lazimnya dinamakan
demokrasi.
Jadi “humanisme universal" janganlah
menyebabkan orang bersikap indefferent (acuh
tak acuh) terhadap semua aliran (politik), sehing-
ga dengan “humanisme universal” orang harus
toleran pada imperialisme dan kolonialisme.
Kami tetap mencari garis pemisah secara tegas
antara musuh-musuh dan sekutu-sekutu Revo-
jusi, musuh-musuh dan sekutu-sekutu Kebu-
dayaan, tetapi ini tidak berarti bahwa kami mem-
punyai sifat sektaris dan chauvinis, karena sikap
yang demikian ituadalah justra mengaburkan
garis pemisah tetsebut.
‘Musuh kami bukanlah manusia, karena kami
adalah ank manusia. Masuh kami adalah unsur-
unsur yang membelenggu manusia, dan
karenanya kami ingin membebaskan manusia
itu dari rantai-rantai belenggunya. Dalam perla-
wan kami terhadap musuh-musuh kami itu kami
tetap berpegang teguh pada pendirian dan
pengertian, bahwa sejahat-jahatnya manusia
namun ja masih tetap memancarkan sinar ca-
haya ahi, sehingga konsekuensi kami ialah,
bahwa kami harus menyelamatkan sinarcahaya
ahi tersebut.
‘Maka kepercayaan yang kami kumandang-
kan ialah, bahwa manusia adalah makhluk yang
baik, dan karena itulah maka kami bercita-cita
membangun suatu masyarakat manusia yang
baik itu, sesuai dengan garis-garis sosialisme
Indonesia.
Dengan begitu teranglah sudah posisi ter-
hhadap masalah “humanisme universal". Kami
menampilkan aspirasi-aspirasi nasional, yaitu
pengarahan-pengarahan kepada pembedaan
diri di tengah-tengah masyarakat bangsa-bang-
sa, bagi merealisasikan kehormatan, martabat
(dignitas), prestise dan pengaruh, tetapi kami
ingin menjaga agar pengarahan-pengarahan
tersebut tidak menuju ke arah kesombongan
nasional dan chauvinisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.
‘Adapun implikasi dari aspirasi-aspirasi na-
sional ini ialah, bahwa bangsa Indonesia sebagai
484
tu bangsa mempunyai kebebasan untuk
rengembanakan ‘kepribadiannya, artinya bang-
ta Indonesia dapat terus menerus menyusuai-
:mbanan sekitamya, teta-
picaranya adalah unik dan dinamis. Untuk da-
pat mempunyai sifat dinamis inilah, maka bang-
a Indonesia harus mempunyai kesenian sebagai
soktor kehidupan kebudayaan, yaitu kesenian
yang sepenuhnya merupakan pancaran kebe-
hasan, kesungguh-sungguhan yang sejujur-ju-
jumya.
III Politisi dan Estetisi
Dalam dunia kesenian Indonesia juga di-
kenal istilah “realise sosialis". Menurut se-
jarahnya, penafsiran realisme sosialis itu adadua
Yang pertama: Realisme sosialis langsung
merupakan kelanjutan dari konsepsi kultural
Josef Stalin. Dalam tahun-tahun 30-an dengan
berkembangnya fetisy, barang pujaan yang sea-
kan-akan mengundang suatu kekuatan gaib,
maka kebudayaan Rusia terancam dengan amat
mengerikan. Dengan Stalin maka metode Ieritik
seni adalah dedultif, artinya konsepsinya telah
Gitetapkan lebih dahulu untuk “menertibakan”
kehidupan kesenian dan kebudayaan. Ciri pokok
dari kesenian yang telah “ditertibkan" itu ialah
adanya konsepsi yang sama dan sektaris ten-
tang/kritik seni. Itulah sebabnya, maka jiwa obyek-
tif yang berpangkal pada budi nurani universal
tidak selaras dengan realisme sosialis, sehingga
kami menolak realisme sosialis dalam pemgar-
tian itu, dimana dasamya ialah paham politik di
atas estetik.
‘Yang kedua: Realisme sosialis menurut ke-
simpulan kami dari jalan pikiran Maxim Gorki,
yang dipandang sebagai otak dari realisme sos-
ialis itu, yakni bahwa sejarah yang sesungguh-
nya dari rakyat pekerja tak dipelajari tanpa suatu
Pengetahuan tentang dongengan kerakyatan
yang secara terus menerus danpasti mencipte-
kan karya sastra yang bermutu tinggi seperti
Faust, Petualangan Baron von Munchaussen,
Sart en Fail yey
dan Prometheus Disiksa karya Shelley,
karena dongengan kerakyatan kuno ;
purbakalaitu menyertai sejarah dengan tak lapuk-lapukn-
ya dan dengan cara yang khas.
Di situ sebenamya Gorki telah menggarisk-
an politik sastra yang berbeda dengan realisme
sosialis ala Stalin, karena pada hakikatnya Gorki
telah menempuh politik sastra universal. Se-
sungguhnya politik sastranya itu bersumber
dalam kebudayaan tidak sebagai suatu sektor
politik yang searah dengan garis Manifes ini.
Berdasarkan fenomena-fenomena sejarah,
maka seorang abli sejarah mengatakan, bahwa
kebudayaan dari suatu periode senantiasa ke-
budayaan dari kelas yang berkuasa. Akan tetapi
sejarah juga mengatakan, bahwa justru karena
tidak termasuk dalam kelas yang berkuasa, maka
orang berhasil membentuk keuatan baru yang
terbentuk di tengah-tengah penindasan keluat-
an lama, merupakan faktor positif yang menen-
tukan perkembangan kebudayaan dan keseni-
an.
Sebagaimana terjadi di Perancis, sejarah
mengajarkan, bahwa kekuatan yang dibentuk
oleh borjuasi revolusioner, adalah keuatan yang
menentukan dalam melawan penindasan monar-
kimutlak. Tetapi sayang, bahwa elan kreativitas
yang menyala-nyala bersama-sama kekuatan
baru itu menjadi padam setelah kekuatan bor-
juasi revolusioner itu menjadi sempura. Bah-
kan keluatan politik yang sempuma itu merin-
tangi kebudayaan dan kesenian. Penindasan
baru yang dilakukan oleh kelas baru itu di bi-
dang kesenian dan kesusasteraan khususnya
telah menyebabkan timbulnya suatu kekuatan
baru dengan lahimya Angkatan 1830 ayng mula-
mula dipelopori oleh Victor Hugo dan kemudian
dilanjutkan oleh Theophile Gautier.
Maka dapatlah kami mengambil kesimpul-
an, bahwa paham politik di atas estetik yang
merumuskan politik adalah primer dan estetik
adalah sekunder, dilihat dari sudut kebudayaan
dan kesenian adalah suatu utopia. Sebab paham
{tuikalau dilaksanakan dengan jujurhanya akan
memupuk dan menghasilkan perasaan-perasa-
an kekecewaan, dan jikalau dilaksanakan de-
ngan tidak jujur akan dapat merupakan tipu
‘muslihat kaum politisi yang ambisius.
‘Sebagai realis kemi tidak mungkin meneri-
Manifes Kebudayaan
ma setiap bentuk utopia karena menyadari, bah-
wa dunia ini bukan surga. Karena berpikir se-
cara dialektik, maka kami mengakui kenyataan-
kenyataan lingkungan sosial kami senantiasa
mengandung masalah-masalah, dan setiap rin-
‘tangan yang kamijawab akan menimbulkan tan-
tangan-tantangan baru. Oleh karena itu kami
tidak pernah berpikir tentang suatu zaman, di
mana tak ada masalah lagi karena setiap pikiran
yang demikian itu adalah terlalu “idelais” dan
karenanya tidak ilmiah.
Pekerjaan seorang seniman senantiasa harus
dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh
dengan masalah-masalah, analaog dengan pe-
kerjaan seorang dokter yang senantiasa harus
dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh
dengan penyakit-penyakit. Apabila dunia ini
sudah sempura, tidak perlu lagi adanya seni-
man. Oleh karena itu paham yang sudah diru-
muskan, bahwa politik adalah primer dan este-
tik adalah sekunder tidak memahami realisme,
karena apabila kekuatan politik telah menjadi
‘sempuma, maka tidak perlu lagi kesusasteraan
dan kesenian, tidak perlu lagi estetika. Seandain-
ya pada suatu ketika kekuatan politik yang
dibentuk itu telah menjadi sempurna, maka ma-
salah apakah yang akan dibahas oleh kesenian
revolusioner yang sebagai estetik mumi baru
‘mulai sesudah itu? Tidak lebih dan tidak kurang
dari masalah ayng dibahas oleh kaum estet, yatu
mereka yang mempunyai paham estetik di atas
Politik, sehingga bersifat borjuis.
Tidaklah berlebih-lebihan kiranya apabila
kamimengambil kesimpulan, bahwa paham poli-
tile di atas estetik itu tidak memberikan tempat
kepada estetik sebelum pembentukan kekuat-
an politik menjadi sempuma, sehingga selama
jangka waktu pembentukan kekuatan politik itu.
tidak ada persoalan tentang estetik, sedangkan
paham estetik di atas politik hanya dapat dilak-
ssanakan apabila mendapat sandaran kekuatan
politik yang sempuma pula.
Maka kami dapat menarik kesimpulan selan-
jutnya, bahwa kedua paham kesenian tersebut
mengandung kontradiksi-kontradiksi. Berbeda
dengan itu adalah paham kami, yaitu paham.
yang tidak emngorbankkan politik bagi estetik,
485Manifestasi
tetapi sebaliknya, tidak pula mengorbankan es-
tetik bagi politik. Karena pengorbanan tersebut
tidak menunjukkan adanya dinamika, dan di
dalam hal tidak adanya dinamika, maka fusngsi
estetik mumi adalah suatu imperialisme esteti-
ka, Dalam kondisi ini, maka transformasi revolu-
sioner dari negara kapitalisme ke arah negara
sosialis tidak akan mengubah secara revolusion-
er kondisi-kondisi kulturainya. Berlawanan den-
gagn itu kami menghendaki perubahan kondi-
si-kondisi kultural itu secara revolusioner menuju
ke arah masyarakat sosialis-Pancasilais.
Menurut keyakinan kami, maka masyarakat
sosialis-Pancasilais yang kami perjuangkan se-
cara kultural-revolusioner itu adalah suatu ke-
hharusan sejarah yang tidak dapat dihindarkan
oleh siapapun, tetapi terutama oleh kami sendi-
ni.
Demikianlah Penjelasan Manifes ini diumum-
kan.
Jakarta, 17 Agustus 1963
Literatur Pancasila terdiri dari
BungKamo: “Nasionalisme, Islamisme dan Marx-
isme”
Bung Kamo: Pidato “Lahimya Pancasila”
Dr. H. Roelan Abdulgani: “Manipol-Usdek, Pida-
‘to Radio”
Wiratmo Soekito: “Peranan Institusi-institusi
dalam Memperkembangkan SosialismeKrea-
tif".
Harian Semesta: “Rivalitas Kelas Persoalan So-
sial”.
suber: tad: Srino
“Av NERY Pra Kaboeaan ena 850-08"
‘se SF Doar Jars 2)
Tanggal 8 Mei 1964 Bung Karno
melarang Manifes Kebudayaan dengan
alasan yang tertera dalam surat pelarang-
annya sebagai berikut: “karena Manifesto
Politik Republik Indonesia sebagai pancar-
an Pancasila telah menjadi garis besar
haluan Negara dan tidak mungkin didam-
pingi dengan Manifesto lain, apalagi kalau
Manifesto lain itu menunjukkan sikep ragu-
486
ragu terhadap Revolusi dan memberi ke-
san berdiri di sampingnya”,
‘Atas nama pendukung Manifes Kebu-
dayaan, tanggal 10 Mei 1964 Wiratmo Soe-
kito, HB. Jassin, dan Trisno Sumardjo,
mengirim surat kawat ke Presiden Soekar-
no yang menyatakan “mematuhi larangan
tersebut”. selanjutnya, atas nama para pen-
dukung Manifes Kebudayaan di seluruh In-
donesia, tanggal 19 Mei 1964 Wiratmo Soe-
kito, H.B. Jassin, dan Trisno Sumardjo
mengirim surat ke Presiden Soekamo yang
isinya “memohon maaf
Mengenai permintaan maaf ini, Wirat-
mo Soekito memberi penjelasan demikian:
kami minta'maaf, karena telah terlam-
bat memenuhi keinginan Pemimpin Besar
Revolusi untuk mengubah Manifes, untuk
membuat Manifesto yang baru. Jadi,
jelaslah, bahwa tujuan permintaan maafitu
bukannya untuk mengakhiri larangan
Manifes".
Untuk pengetahuan lebih lanjut, lihat
majalah Horison (Mei 1967), Arief Budiman,
“Kekuatan Politik dalam Kesusastraan In-
donesia” dalam Keyakinan dan Perjuang-
an (1972), Yahaya Ismail, Pertumbuhan,
Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di In-
donesia (Kuala Lumpur, 1972), dan Wirat-
mo Soekito, Kesusastraan dan Kekuasaan
(1984).
MANIFESTASI
Perwujudan sebagai pernyataan atau pen-
dapat umum (suatu golongan) dalam rang-
ka memproklamasikan suatu sikap. Per-
nyataan itu dapat disampaikan melalui su-
rat kabar, atau pertemuan di stuatu tem-
Pat.
MANIFESTO
Maklumat yang menjelaskan dan membe-LECTIO DIFFICILIOR
Dari bahasa Prancis, menjadi istilah filolo-
gi yang berarti ‘prinsip kata-kata sulit’;
pemilihan teks yang sulit sebagai teks yang
benar atau asli. Anggapan bahwa yang
lebih sulit dibaca adalah yang benar atau
yang asli, timbul karena adanya kecende-
rungan sebagian penyalin kemudian un-
tuk mempermudah atau menyederhana-
kan salinan mereka.
LEGENDA
Dari istilah Inggris, legend dan istilah Pran-
cis, legende. 1) Cerita rakyat yang berisi-
kan tentang tokoh, peristiwa, atau tempat
tertentu yang mencampurkan fakta historis
dengan mitos. Contoh: Legenda Malin Kun-
dang dan Legenda Sangkuriang; 2) Cerita
tradisional yang diwariskan generasi ke
generasi. Legenda termasuk salah satu
bentuk folklore yang disebut cerita rakyat.
Cerita biasanya dihubungkan dengan
peristiwa dan benda yang berasal dari
masa lalu, seperti peristiwa penyebaran
agama Islam atau peristiwa lain yang ter-
jadi pada masa lalu. Para pelaku digam-
barkan sebagai pelaku yang benar-benar
pemah hidup di masa lalu. Mereka meru-
pakan orang terkemuka, yaitu tokoh yang
membangun kesejahteraan masyarakat-
nya. Latar cerita legenda berupa tempat
yang dapat diidentifikasi secara geografis.
Dalam kajian folklore (Danandjaja, 1984)
mengemukakan bahwa legenda sebagai
prosa cerita rakyat yang dianggap benar-
benar terjadi dengan tokoh-tokoh orang
yang luar biasa (keramat) yang terjadi di
masa lampau.
LEGENDARIS
‘Tokoh legendaris, ajektif dari kata legenda
yang lebih luas lingkupnya. Karena tradisi
Lekra
lisan atau tertulis maka sekitar seorang
tokoh historis dapat disusun sejumlah ce-
rita yang mengagungkan kepahlawanan-
nya dan yang sifat historis sukar dicek (mi-
salnya : Hang Tuah, Gadjah Mada, Raja
Arthur, Faust).
LEILA S$. CHUDORI
Penulis ini lahir di Jakarta, tanggal 12
Desember 1962. Menyelesaikan pendidik-
an di Universitas Trent, Ontario, Kanada
(1988). Pernah menjadi wartawan majalah
Jakarta Jakarta dan majalah D & R. Kini
menjadi wartawan Tempo (1998). Karya-
nya: Hadiah (1976), Seputih Hati Adra
(1981), Sebuah Kejutan (1983), Malam Ter-
akhir (cumpulan cerpen, 1989), dan Die
Letzte Nacht (Bad Hannof, Jerman, 1993;
buku ini merupakan edisi Jerman buku
Malam Terakhir).
LEITMOTIF
Dari istilah Inggtis Jeitmotive. Tema yang
paling digemari oleh seorang pengarang.
Contoh: percintaan seorang remaja, ke-
sengsaraan hidup, kebaikan melawan ke-
benaran, dan lain-lain.
LEJOG
Drama tradisional yang berasal dari daerah
Pasundan:
LEKRA
Singkatan Lembaga Kebudayaan Rakyat,
didirikan tanggal 17 Agustus 1950 di Ja-
Karta, Yang ditandai dengan diluncurkan-
nya Mukadimah Lekra sebagai naskah
Proklamasi pendirian sebuah organisasi
kebudayaan. Lekra didirikan oleh sekitar
15 orang yang menyebut dirinya peminat
dan pekerja kebudayaan di Jakarta. Pe-
ngurus awal yang kemudian menjadi ang-
459Lekra
gota sekretariat Lekra adalah A.S. Dharta,
MS. Ashar, dan Herman Arjuna sebagai
sekretaris I, I, dan III. Anggota adalah
Henk Ngantung, Njoto, dan Joebar Ajoeb.
Lekra bertujuan mengembangkan kebu-
dayaan nasional yang bersifat kerakyatan
dalam rangka perjuangan pembebasan
nasional melawan imperialisme.
Lekra meyakini bahwa “Revolusi Agus-
tus 1945" untuk mencapai kemerdekaan
dari penjajahan secara politis, ekonomi,
dan kultural telah gagal. Perjuangan rakyat
dalam mencapai tujuan kemerdekaan itu
dihambat dengan perjuangan diplomasi
yang dianggap meniadakan perjuangan
dan pengorbanan rakyat selama revolusi
1945. Joebaar Ayoeb dalam Kongres Per-
tama Lekra di Solo menyatakan, “Lekra
didirikan 5 tahun sesudah revolusi Agus-
tus, di saat revolusi tertahan oleh rintang-
an hebat yang berujud persetujuan KMB,
jadi, di saat garis revolusi sedang menu-
run. Lekra didirikan untuk turut mencegah
kemerosotan lebih lanjut garis revolusi,
karena kita sadar, karena tugas ini bukan
hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pe-
kerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan
untuk menghimpun kekuatan yang taat
dan teguh mendukung revolusi.
Dalam mempertahankan dan memba-
ngun kebudayaan rakyat, Lekra merumus-
kan “konsepsi Kebudayaan Rakyat:, se-
bagai landasan gerak organisasi:
1. penjelasan tentang dasar kebudayaan
yaitu kesenian, ilmu, dan industri. Ke-
tiganya harus dikembalikan kepada
rakyat agar bisa merata dinikmati ber-
sama.
2. demokratisasi seni, ilmu, dan industri
yang dicapai dengan revolusi demokrasi
rakyat. Demokzasi itu membawa rakyat
kepada kebebasan secara individual
dan nasional untuk berkembang.
460
3, penegasan bahwa rakyat adalah kelas
puruh dan tani, sebagai keluatan uta-
ma dari perjuangan rakyat dan golong.
an mayoritas rakyat Indonesia.
4. faktor-faktor yang merugikan perkem-
pangan kebudayaan rakyat, karena itu
narus ditolak: tidak adanya kesadaran
kesatuan antara perjuangan buruh tani
dan perjuangan kebudayaan, penganih
kebudayaan borjuis, sampai kurang ter.
libatnya golongan intelektual dan pemu.
da dalam gerakan buruh dan tani.
5, sikap terhadap kebudayaan asing dan
kebudayaan kuno yang harus tetap kri-
tis, dan “tidak menjiplak secara mem-
pbudak" mengambil unsur-unsur yang
progresif dan meneruskan tradisi yang
dapat meninggikan tingkat kebudaya-
an Indonesia.
6. Langkah-langkah strategis organisasi
dalam mewujudkan cita-citanya.
Sebagai organisasi kebudayaan, Lekra
berkembang pesat dan menjadi wadah
pertemuan para intelektual dan seniman
dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Di Organisasi ini berkumpul seniman lukis,
seniman tradisional, sastrawan dan se-
bagainya. Walaupun tidak ada pendataan
anggota ada yang meyakini bahwa ang-
gota Lekra sampai puluhan bahkan ratus
tibu orang. Kalau ditelusuri ke belakang,
yang sangat berpengaruh pada konsep
kebudayaan Lekra adalah pemikiran Ki
Hadjar Dewantara tentang pentingnya
mengakarkan dirinya ke berbagai bentuk
dan kekuatan kebudayaan rakyat (Jawa,
Bali, Melayu, Dayak dll.) Indonesia sendiri.
Usaha Lekra mengangkat kebudayaan
daerah bukannya tak menghadapi tan-
tangan dari dalam tubuh organisasi itv
sendiri. Sejumlah seniman yang berlatat
belakang pendidikan modem beranggaP-