Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

Epidemiology, Etiology, and Risk

Factor of Iron Deficiency Anemia


a. Epidemiology
Iron deficiency anemia is the most common type
of anemia, especially in developing countries
related to the socioeconomic level of society. In
Indonesia, iron deficiency anemia occurs in 16-
50% of men and 25-48% of women; 49-92% of
pregnant women and 55.5% of children under
five.
Etiology
1. Increased iron requirements: children in growth, pregnancy, and
lactation;
2. Iron loss due to bleeding
– Gastrointestinal tract: use of NSAIDs, peptic ulcers, gastric cancer,
colon cancer, diverticulosis, hemorrhoid, hookworm infection (often in
Indonesia),
– Urinary tract: haematuria,
– Respiratory tract: hemoptoe,
– Female genital organs: menorrhagia, metroragia;
3. Lack of iron consumption (nutritional factors), namely the lack of
iron consumption in the daily diet. The need for iron obtained
from food is about 20 mg / day. Of these, approximately 2 mg is
absorbed;
4. Iron absorption disorder: post gastrectomy. Crohn's disease.
Tropical sprue.
Risk Factor

Bad Nutrition
Teenage girl Status

Chronic Infections

Food Economic
Consumption Factors
Epidemiologi, Etiologi, dan Faktor
Resiko Anemia Defisiensi Besi.
Epidemiologi
Anemia defesiensi besi merupakan jenis anemia
yang paling sering dijumpai, terutama di negara
berkembang berhubungan dengan tingkat sosial
ekonomi masyarakat. Di Indonesia, anemia
defesiensi besi terjadi pada 16-50% laki-laki dan
25-48% perempuan; 49-92% ibu hamil dan
55,5% balita.
Etiologi
1. Kebutuhan zat besi meningkat: anak dalam masa pertumbuhan,
kehamilan, dan laktasi;
2. Kehilangan zat besi karena perdarahan
– Traktus gastrointestinal: pemakaian OAINS, tukak peptik, kanker
lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemorroid, infeksi cacing
tambang (sering di Indonesia),
– Traktus urinaria: hematuria,
– Traktus respiratorius: hemoptoe,
– Organ genitalia perempuan: menorragia, metroragia;
3. Konsumsi zat besi yang kurang (faktor nutrisi), yaitu kurangnya
jumlah konsumsi zat besi dalam makanan sehari-hari. Kebutuhan
zat besi yang diperoleh dari makanan ialah sekitar 20 mg/hari.
Dari jumlah tersebut, kurang lebih hanya 2 mg yang diserap;
4. Gangguan absorpsi zat besi: pasca gastrektomi. Penyakit Crohn.
Tropical sprue.
Faktor Resiko
1. Remaja Putri

• Wanita cenderung mempunyai simpanan zat besi yang lebih rendah dibandingkan pria,
membuat wanita lebih rentan mengalami defisiensi zat besi saat asupan zat besi kurang
atau kebutuhan meningkat. Jika zat besi yang dikonsumsi terlalu sedikit atau
bioavailabilitasnya rendah atau makanan berinteraksi dengan membatasi absorpsi yang
dibutuhkan tubuh untuk memenuhi kebutuhan zat besi, cadangan zat besi dalam tubuh akan
digunakan dan hal tersebut dalam menimbulkan defisiensi zat besi.

• Pada masa remaja, wanita mengalami menstruasi. Menstruasi menyebabkan wanita


kehilangan besi hingga dua kali jumlah kehilangan besi laki-laki. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa jumlah darah yang hilang selama satu periode menstruasi berkisar
antara 20-25 cc dan dianggap abnormal jika kehilangan darah menstruasi lebih dari 80 ml.
Jumlah 20-25 cc menyiratkan kehilangan zat besi sebesar 12.5-15 mg/bulan atau kira-kira
sama dengan 0.4-0.5 mg sehari. Jika jumlah tersebut ditambah dengan kehilangan basal maka
jumlah total zat besi yang hilang sebesar 1.25 mg per hari. Kebanyakan wanita dengan
tingkat menstruasi yang berat sangat mungkin terkena anemia ringan.
1. Status Gizi yang Kurang Baik
Status gizi menggambarkan ketercukupan nutrisi
baik makronutrien maupun mikronutrien. Pada
orang dengan status gizi yang kurang baik, bisa
ditemukan bahwa beberapa dari zat gizinya
tidak terpenuhi. Dalam hal ini, orang yang
kekurangan zat besi karena tidak terpenuhinya
kecukupan zat gizi, cenderung beresiko untuk
mengalami anemia defisiensi besi.
3. Infeksi Kronik

• Telah diketahui secara luas bahwa infeksi merupakan faktor yang penting
dalam menimbulkan kejadian anemia, dan anemia merupakan
konsekuensi dari peradangan dan asupan makanan yang tidak memenuhi
kebutuhan zat besi.

• Infeksi cacing merupakan kontributor utama terjadinya anemia dan


defisiensi besi. Cacing tambang dapat menyebabkan pendarahan usus
yang memicu kehilangan darah akibat beban cacing dalam usus. Adanya
infeksi cacing tambang menyebabkan pendarahan pada dinding usus,
meskipun sedikit tetapi terjadi terus menerus sehingga dapat
mengakibatkan hilangnya darah atau zat besi. Intensitas infeksi cacing
tambang yang menyebabkan anemia defisiensi zat besi bervariasi menurut
spesies dan status zat besi populasi. Cacing tambang yang menyebabkan
kehilangan darah terbesar adalah A. Duodenale.
4. Konsumsi Pangan

• Pangan sebagai sumber berbagai zat gizi merupakan kebutuhan yang harus
dipenuhi setiap hari. Pangan sumber zat besi terutama zat besi heme, yang
bioavailabilitasnya tinggi, sangat jarang dikonsumsi oleh masyarakat di negara
berkembang, yang kebanyakan memenuhi kebutuhan besi mereka dari produk
nabati.
• Di Indonesia, ketidakcukupan jumlah Fe dalam makanan terjadi karena pola
konsumsi makan masyarakat Indonesia masih didominasi sayuran sebagai sumber
zat besi yang sulit diserap. Sementara itu, daging dan bahan pangan hewani
sebagai sumber zat besi yang baik (heme iron) jarang dikonsumsi terutama oleh
masyarakat pedesaan.
• Menurut Almatsier (2001) diperkirakan hanya 5-15% besi makanan diabsorpsi oleh
seseorang yang berada dalam status besi baik dan jika dalam keadaan defisiensi
besi, absorpsi dapat mencapai 50 persen. Faktor bentuk besi berpengaruh
terhadap absorpsi besi. Besi heme yang terdapat dalam pangan hewani dapat
diserap dua kali lipat daripada besi nonheme. Besi dalam makanan terdapat
dalam bentuk besi heme (dalam hemoglobin dan mioglobin makanan hewani) dan
besi nonheme (dalam makanan nabati). Sumber besi nonheme yang baik
diantaranya adalah kacang-kacangan.
5. Faktor Ekonomi

• Faktor penentu anemia defisiensi besi lainnya termasuk pendapatan yang


rendah dan kemiskinan yang berakibat pada asupan makanan yang rendah
dan pola makan yang rendah zat gizi mikro.
• Menurut WHO (2001) anemia sering terjadi diantara masyarakat yang
memiliki status sosial ekonomi yang rendah. Penelitian di Indonesia yang
dilakukan oleh Survival for Women and Children (SWACH) Foundation
menemukan bahwa bahwa status sosial ekonomi juga menjadi faktor yang
mempengaruhi timbulnya kejadian anemia pada remaja (Bartley et al
2005).
• Keadaan tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman tentang pola
makan beragam dan pentingnya pangan sumber zat gizi mikro yang
dapat mendorong atau menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh
(Thompson 2007). Hal ini menggambarkan asupan pangan sumber zat besi
yang rendah terutama pangan hewani (Bartley et al 2005).

You might also like