Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 8

ARCHITECTURAL AND CRITICAL

IMAGINATION
by Wayne Attoe
Fattah Jamaluddin
167020016
Kritik dalam Arsitektur
Bentuk kritik arsitektur paling lazim adalah ulasan surat kabar, majalah dan jurnal profesional.
Ada Louise Huxtable, seorang kritikus arsitektur Amerika menulis kritik di The New York Times.
Ada 5 tulisannya yang paling signifikan, yaitu :
1. “Farewell to Penn Station”, New York Times, 30 Oktober 1963
“Any city gets what it admires, will pay for, and ultimately, deserves. Even when we had Penn
Station, we couldn’t afford to keep it clean. We want and deserve tin-can architecture in a tin-
horn culture. And we will probably be judged not by the monuments we build but by those we
have destroyed.”
2. “Sometimes We Do It Right”, New York Times, 31 Maret 1968
“When it is good, this is a city of fantastic strength, sophistication and beauty. It is like no
other city in time or place. Visitors and even natives rarely use the words urban character
or environmental style, but that is what they are reacting to with awe in the presence of
massed, concentrated steel, stone, power and life. It is a quality of urban greatness that may
not solve racial or social tensions of the human or economic crises to which a city is prone,
but it survives them.”
3. “The tall building artistically reconsidered”, The New Criterion, November 1982
“Today’s tall building is a puzzling and paradoxical package. Its standardized, characterless,
impersonal space creates the recognizable, charismatic monuments and the enduring image
of twentieth-century cities. For better or for worse, it is measure, parameter, or apotheosis of
our consumer and corporate culture. No other building type incorporates so many of the
forces of the modern world, or has been so expressive of changing belief systems and so
responsive to changing tastes and practices. It romanticizes power and the urban condition
and celebrates leverage and cash flow. Its less romantic side effects are greed and chaos writ
monstrously large. The tall building probes our collective psyche as it probes the sky.
4. “The Empire State Building’s Luster Returns”, Wall Street Journal, 10 November 2011
“An iconic image is about much more than the brutal breaking of scale. Architecture
transforms and fixes a city’s identity; symbolic architecture is more than a conspicuous
addition.”
5. “Undertaking Its Destruction”, Wall Street Journal, 3 Desember 2012
“This is a plan devised out of a profound ignorance of or willful disregard for not only the
library’s original concept and design, but also the folly of altering its meaning and mission
and compromising its historical and architectural integrity. You don’t update a masterpiece.
Modernization may be the most dangerously misused word in the English language.”

Montgomery Schuyler, Mumford dan J.M. Richards adalah kritikus yang menulis pada jurnal-
jurnal profesional. Kritikus cenderung memberitahukan kejadian yang sebenarnya atau untuk
menunjukkan kejadian yang layak untuk mendapat perhatian khusus diantara banyak kejadian.
Kritikus menjadi interpreter dari suatu fakta dokumenter.
• Kritik dalam akademi arsitektur
Kritik terjadi pada saat mahasiswa mendesain dan guru/mahasiswa lain mengkritik.
Diharapkan mahasiswa yang menerima kritik dapat mengingat kritik guru tentang kebijakan,
sensitifitas, antusias, atau moral untuk dijadikan sebagai titik referensi.
• Kritik dalam dunia arsitektur
Kritik ditemukan pada proses diskusi dengan klien, dimana dilakukan penilaian atas ide,
berupa usulan solusi desain. Penilaian serupa terjadi antara desainer dan penanggung jawab
kantornya, antara klien dengan arsitek, antara arsitek dengan kontraktor, antara desainer kota
dengan pemerintah kota, antara pengguna bangunan dan bangunan, dan antara pembuat
peraturan dan profesional.

Kritik dilakukan secara deskriptif sehingga relatif bersifat objektif, memiliki tujuan jelas yang
berkaitan dengan pertahanan. Dimana terlampau sering alasan timbul bersamaan ketika sebuah
kritik dimulai, dimana mekanisme mempertahankan diri digunakan. Kritik dapat dipergunakan
sebagai alat untuk meningkatkan kualitas karya, dan mempergunakan kritik bukan sebagai
ancaman (dengan menempatkan kritik sebagai sebuah tingkah laku bukan penilaian).
Pada tahap pre-canonic, perbedaan, kontradiksi dan interpretasi tentaive ditawarkan. Penyesuaian
pendapat baru dapat dicapai pada tahap canonic.
Interpretasi pre-canonic : hasil akumulasi interpretasi yang timbul sebelumnya, yang didistilasi berulang-ulang, dan bukan
pengalaman langsung yang diperoleh dari bangunan.
Interpretasi canonic : kristalisasi hal-hal yang pada sebelumnya telah diformat melalui observasi yang dilakukan pada tahap pre-
canonic.

Interpretasi resmi (official interpretation) didasarkan atau bersumber dari otoritas tunggal, bukan
diperoleh dari konsensus, kelihatannya berada pada posisi tengah antara pre-canonic dan canonic:
dibentuk secara individual seperti halnya pre-canonic, namun diterima oleh publik seperti halnya
canonic. Tahap ini disebut identifikasi class, tahap yang berikutnya adalah disseminasi, yang
memiliki interpretasi canonic dan telah diterima publik secara luas. Selanjutnya tahap
grammatikalisasi dan oblivion adalah saat bangunan diabaikan eksistensinya.

Saat kritikus melakukan penyaringan dan pembedaan yang dilakukannya dengan peralatan yang
terbatas oleh bias yang dikandungnya (inherent biases) dan terbatas oleh konsepsinya sendiri
tentang peran kritikus. Bias yang terdapat pada seorang kritikus akan lebih mudah terlihat pada
keterbatasan yang dimikinya seperti disebut terakhir yaitu konsepsi tentang perannya. Kata sifat
seperti ’safe’, ’conservative’, ’retardataire’, ’fresh’ jelas memberi indikasi bias yang ditunjukkan
oleh Ada Louise Huxtable pada kritik yang dilakukannya terhadap gedung pertunjukan kesenian
Lincoln Center di New York. Dari sudut pandangnya, harusnya kompleks gedung pertunjukan ini
dibuat dengan konsep dan juga ’fabric'yang baru (possibilities). Bias yang timbul karena
kecenderungan dan kegemaran membuat experimentasi, eksplorasi, dan innovasi bukan hal nyang
jarang terjadi dikalangan kritikus jurnalisme.
Bias yang dibuat oleh John Ruskin (Kritikus arsitektur dari Inggris) dalam mengevaluasi
arsitektur, tumbuh dari keyakinannya bahwa ornamen merupakan bagian utama (the principal part
of) arsitektur. Dengan kata lain, keagungan tertinggi dari sebuah bangunan tidak karena dibangun
dengan baik, tetapi karena cat dan skulptur yang dimilikinya akan membuat bangunan tersebut
indah dan agung.
Bagi Bruno Zevi (1957), dalam arsitektur, yang pertama dan terutama adalah ruang (space),
bukan ’form’ dan bukan pula ’function’: menggenggam ruang, serta mengetahui cara melihatnya
adalah kunci untuk memahami bangunan. Geoffrey Scott (1965), menginterpretasikan arsitektur
Renaissance sebagai produk yang timbul akibat keperluan praktis (practical needs), tetapi harus
dikaji sebgai impulsi estetika, ditentukan oleh hukum-hukum estetika, dan hanya dengan
kritisisme estetika dapat dikutuk atau dipuja. Kenyataannya harus dikaji sebagai seni (art). Sedang
bagi yang lain objek yang di-disain adalah produk dari kekuatan-kekuatan yang bebenturan
(impinge) karena sebuah situasi tertentu dalam lingkungan.
Namun bias yang dimiliki oleh para kritikus inilah yang membuat dialog berjalan dan
berketerusan, menyediakan sumber argumen yang terus menerus tidak habis-habisnya. Persis saat
kesepakatan tentang interpretasi arsitektur Kuil Yunani tercapai (misalnya dngan menyimpulkan
kuil Yunani sebagai non-spasial, yang menyebabkan kuil non-architectural, sederhana dan
canonical, sehingga dengan demikian non-ekpressif).
Mendeteksi bias dari konsep seorang kritikus tentang perannya sebagai kritikus tidak mudah
dilakukan, jauh lebih mudah menengarai bias yang dilakukannya saat melakukan kritik tertulis.
Karena pada posisi tersebut, jarang seorang kritikus mengemukakan langsung konsep yang
diyakininya. Namun beberapa kritik tertulis melakukan hal yang sama, dan melihat perbedaan
konsepsi mereka meiliki daya tarik tersendiri. Masing-masing kritikus memiliki sebuah metafora
utama atau serangkaian metafor-metafor, melalui metafor ini, mereka melihat fungsinya yang
kritis, kemudian metafor ini membentuk, memberi informasi dan ada kalanya memberikan batasan
(limitasi) terhadap kritik yang dilakukannya.
Charles Marowitz (1973), seorang kritikus drama, menandai sebuah set “master metaphor” dalam
menganalisa peran kritikus di lingkungan theatre :
- Kritikus sebagai penulis buku harian, komit menulis pikiran dan perasaannya yang paling
dalam
- Harus intelektual
- Turis, memberikan respon melalui refleks terhadap subjek yang asing dengan harapan akan
muncul yang lebih baik
- Sekarang atau tidak sama sekali, berterima kasih terhadap hal-hal yang tidak terlihat atau
dipahami, terima kasih atas kesempatan yang tersedia untuk mereview drama, dalam review
ini menyorong semua kecerdasan kritis yang dimilikinya.
- Novelis yang frustasi, menikmati mood yang berkembang dan membangun atmosfir
- Badut yang sedang duduk, bagianya drama eksis hanya sebagai makanan untuk
menyampaikan tag-line
- Penulis yang lembut (gentle), mampu membuat panoply dari kata-kata, sampai memuakkan
musuh-musuhnya.
- Penembak tercepat di Barat, menembak dulu bekalakangan baru bertanya
- Direktur manque, membanggakan diri sendiri karena pengetahuan praktis yang dimilikinya
tentang theatre, dan melihat setiap produksi sebagai sebuah tantangan yang mengerikan
- Sukar dibunuh, sesudah tiga puluh tahun menulis baru menyadari bahwa dunianya telah lama
hilang dan menempatkan semua yang ada didepannya sebagai sebuah penghinaan terukur bagi
generasinya.
metode fundamental yang dapat digunakan dalam kritik arsitektur, yang dapat dikelompokkan
menjadi tiga kelompok dasar yaitu :
1. Kritik normatif : berdasarkan pada sebuah doktrin, sistem, tipe atau pengukuran. Tergantung
pada keyakinan atau kepercayaan terhadap suatu norma yang terdapat diluar aspek yang
sedang dibahas untuk membentuk sebuah lingkungan yang memiliki standard yang terkait
dengan keyakinan yang dianut secara implisit.
2. Kritik interpretatif : karakternya dapat berupa impresionistis, evocative atau advocatory. Isu
kritik interpretatif bukan pelaksanaan desain sebuah lingkungan baik atau buruk menurut
norma atau standard eksternal tertentu, tetapi mencoba membuat pengamat meihat lingkungan
dengan cara khusus tertentu.
3. Kritik deskriptif : gambaran dari fenomena alam, menceritakan hal yang berhubungan dengan
kehidupan seorang desainer, menjelaskan konteks historis proses desain dan konstruksi yang
sejauh ini mempengaruhi keputusan desain, atau detail-detail dari desain proses itu sendiri.

You might also like