Dr. Ucok Martin, SPP

You might also like

Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 56

dr.

Ucok martin, SpP


Pendahuluan
PPOK adalah penyakit kronis dengan
progresifitasnya lambat yang ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel
WHO memperkirakan 210 juta orang
menderita PPOK diseluruh dunia. Lebih dari
3 juta orang meninggal pada tahun 2005,
ini sama dengan 5% dari seluruh kematian
pada tahun itu WHO memperkirakan 210
juta orang menderita PPOK diseluruh dunia.
Lebih dari 3 juta orang meninggal pada
tahun 2005, ini sama dengan 5% dari
seluruh kematian pada tahun itu
 Systematic review dan meta-analysis
peneltian yang dilakukan di 28 negara
dari tahun 1990 sampai tahun 2004 dan
penelitian tambahan dari Jepang,
memberikan bukti bahwa prevalensi
PPOK lebih tinggi pada perokok dan
eks-perokok dibanding bukan perokok,
umur diatas 40 tahun dibanding
dibawah 40 tahun dan laki-laki
dibanding perempuan.
DEFENISI
 PenyakitParuObstruksi Kronik
(PPOK)penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh
hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersifat progresif
dan berhubungan dengan respon inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya, dsiertai efek
ekstraparu yang berkontribusi terhadap
derajat berat penyakit.
(PDPI, 2011).
Bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan defenisi PPOK karena:
 Emfisema merupakan diagnosis patologi
 Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
selain itu keduanya tidak selalu
mencerminkan hambatan aliran udara
dalam saluran napas.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar
mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi,
hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat
fibrosis.

Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal


bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.
Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
 Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori
dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian
atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
 Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh
alveoli secara merata dan terbanyak pada paru
bagian bawah
 Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak
mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus
alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
FAKTOR RISIKO
1.Faktor lingkungan / Environmental factors :
1.1Merokok (Smoking)
 Merokok merupakan faktor risiko yang paling
penting, riwayat merokok lebih dari 20 bungkus
pertahun merupakan indikasi yang kuat untuk
terjadinya PPOK. Paparan asap rokok terhadap
perokok pasif sama berbahayanya dengan
perokok aktif.
1.2 Polusi Udara (Environmental pollution)
 Podusi udara (ourdoor dan indoor polution) juga
paparan asap rokok dan debu meningkatkan risiko
PPOK. Pemakaian bahan bakar biomass pada negara
berkembang, untuk pemanas dan memasak
menyebabkan pencemaran udara yang bermakna
dan hal ini mendorong terjadinya PPOK terutama pada
wanita.
1.3 Paparan lingkungan kerja
 Paparan debu batubara, silika dan emas, asap, uap
las dan bahan kimia dalam pekerjaan meningkatkan
risiko PPOK.
1,4 Infeksi
 Infeksi bronkopulmonal berulang semasa anak – anak
menghambat berkembangnya fungsi paru secara
maksimal pada dewasa muda yang membuat
seseorang rentan terhadap PPOK dimasa datang.
2. Faktor Pejamu / Host factors
2.1. Faktor Genetik
 Penyakit herediter defisiensi α1 antitrypsin berat,
suatu penghambatan sirkulasi sebagian besar
serum protease yang mengakibatkan emfisema.
Pasien dengan riwayat keluarga menderita
penyakit paru – paru dengan adanya hambatan
aliran udara dan usia relatif muda (kurang dari 40
tahun) harus di evaluasi adanya penyakit
defisiensi α1 antitrypsin. Kondisi seperti ini jarang
terjadi.
2.2. Hiperreaktifitas Saluran Napas (Airway hyper-
reactivity)
 Hiper-responsif saluran napas adalah faktor risiko
PPOK, tetapi mekanismenya belum jelas.
2.3. Kegagalan perkembangan paru (Impaired
lung growth)
 Pada orang – orang yang kekurangan
protein dan antioxidan seperti vitamin A, C
dan E. Bayi yang lahir prematur juga rentan
terjadi.
2.4. Jenis Kelamin (Gender)
 Laki - laki lebih banyak menderita PPOK
karena prevalensi merokok yang lebih tinggi
pada laki – laki dari pada wanita
PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
 Merokok menyebabkan respon inflamsi pada
paru – paru perokok, hal ini merupakan respon
alamiah dari tubuh saat menghirup zat irritan.
 Pada 15% - 20% perokok terjadi respon yang
sangat hebat tanpa diketahui sebabnya.
Inflamasi pada akhirnya menyebabkan
destruksi jaringan, kerusakan mekanisme
pertahanan yang secara normal mencegah
atau mengurangi destruksi dan gangguan
pada repair mechanisms (mekanisme
perbaikan).
PATOGENESIS
INHALASI BAHAN
BERBAHAYA

INFLAMASI
MEKANISME
MEKANISME
PERLINDUNG
KERUSAKAN PERBAIKAN
AN
JARINGAN
PARU
PENYEMPITAN
SALURAN
NAPAS DAN DESTRUKSI HIPESEKRESI
FIBROSIS PARENKIM MUKUS`
 Ada dua mekanisme lainnya yang
berkontribusi pada patogenesis PPOK
yaitu ketidakseimbangan proteinases dan
antiproteinases di paru-paru dan stres
oksidatif.
KETIDAKSEIMBANGAN
PROTEINASE-ANTIPROTEINASE
 Normalnya semua enzim proteolitik berinteraksi
dengan antiproteinase,proteinase yang jadi
perhatian utama: neutrofil elastase (NE) dan
poteinase3
 Inhibitor utama proteinase: α1-At (seum prot yang
menghambat berbagai enzim proteolitik). anti
proteinase lain SLPI dam TIMP.
 Emfisemapeningkatan MMP1 dan MMP2 pada
parenkim paru. Matriks metaloproteinase akan
meningkatnkan peptida kemotaktik yang
merangsang migrasi makrofag menuju paenkim
dan sal napas.
 Merokokmenginduksi inflamasi dan
meningkatkan keluarnya proteinase yang
akan dihambat oleh antiproteinase untuk
mencegah cedera parenkim.
 Pada PPOK prod antiproteinase tidak kuat
menetralisasi efek prot tsb.
STRES OKSIDATIF
peningkatan pajanan oksidan disertai
menurunnya kapsiti antioksidan sehingga
ketidakseimbangan antioksidan.
 Normalnya sel parenkim paru dilindungi oleh
antioksidan intraselule dan memban penyapu
radikal (radical scavenger), pelapis permukaan
epitel yang mengandung antioksidan.
 Stres oksidatifeksaserbasi akut PPOK denagn
berbagaimekanisme seperti aktivasi faktor
transkripsi NF-Κb, yang mengendalikan gen inflm:
TNF-α, IL-8dan prot infl lain.
 Stresoksidatif akan merusak antiprotease
α1-At dan SLPI serta meningkatkan
pajanan jumlah oksidan terhadap
antioksidan.
Berbagai kondisi sebagai pencetus PPOK :
1. Bronkitis kronik: keadaan infl dengan limfosit CD8,
netrofl, CD68 monosit/makrofag dominanklinis:
batuk kronik, peningkatan sekesi bronkus,
pembesaran kelenjar yang mensekresi mukus dan
hiperplasia sel goblet.
2. Bronkiolitis kronik dewasa: keadaan infl bronkus
kecil, bronkiolus dengan dominan CD8 dan
,makrofag berpigmen. Terdapat metaplasia
mukus, pembesaran masa otot polos bronkus dan
hilangnya ikatan antar alveolar.
3. Emfisema : keadaan infl pada alveoli
dengan terdapat Limfosit T, netrofil dan
makrofag alveolar bepigmenkelainan
anatomi permanen disertai kerusakan
rongga alveoli distal bronkus teminal.
DIAGNOSIS
Gejala PPOK meliputi :
Batuk
 Terjadi batuk kronis
 Awalnya intermiten (biasanya pagi hari) tetapi
kemudian setiap hari
 Memburuk secara progresif
 Batuk kronik pada PPOK bisa tidak produktif
Sputum
 Awalnya produksi sputum pagi hari
 Kemudian produksi sputum bisa datang sepanjang
hari
 Sputum biasanya lengket, mukoid dan jumlahnya
sedikit
 Perubahan warna sputum (purulen) dan
pertambahan volume mengindikasikan infeksi
eksaserbasi.
Sesak Napas
 Biasanya progresif dan cenderung
menjadi persisten
 Awalnya sesak napas terjadi selama
beraktivitas (naik tangga)
 Seiring dengan progresivitas penyakit,
aktivitas ringan memicu sesak napas dan
pada akhirnya pada keadaan istirahat
pasien juga mengalami sesak napas.
Diagnosis PPOK di tegakkan
berdasarkan :

A. Gambaran klinis
 a. Anamnesis
 b. Pemeriksaan fisis

B. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan rutin
 Pemeriksaan khusus
a. Anamnesis
 Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau
tanpa gejala pernapasan
 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di
tempat kerja
 Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak,
mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
 saluran napas berulang, lingkungan asap rokok
dan polusi udara
 Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
 Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu)
 Barrel chest (diameter antero - posterior dan
transversal sebanding)
 Penggunaan otot bantu napas
 Hipertropi otot bantu napas
 Pelebaran sela iga
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat
denyut vena jugularis i leher dan edema
tungkai
 Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
 Pada emfisema fremitus melemah, sela iga
melebar

Perkusi
 Pada emfisema hipersonor dan batas jantung
mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah

Auskultasi
 suara napas vesikuler normal, atau melemah
 terdapat ronki dan atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
 ekspirasi memanjang
 bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
 Gambaran yang khas pada emfisema, penderita
kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed –
lips Breathing
Blue bloater
 Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita
gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed - lips breathing
 Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan
mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2
yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan rutin
Faal paru

Spirometri (VEP1, KVP, VEP1/KVP


 Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan
atau VEP1/KVP ( % ).
 Obstruksi : % VEP1 < 80% , VEP1/KVP < 70 %
 VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
 memantau perjalanan penyakit.
 Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Spirometri sangat penting karena :
 Menegakkan diagnosis PPOK
 Memeriksa derajat beratnya PPOK
 Pemeriksaan efek berhenti merokok
 Memeriksa respon terapi
 Memonitor progresifiti penyakit

 Spirometri
diperlukan untuk menegakkan diagnosis
dalam hal ini jika hasil spirometri VEP1 / KVP < 70%
setelah pemberian bronkodilator menyatakan
adanya hambatan aliran udara yang persisten
(PPOK)
Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
Faal paru
•Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti
Paru Total (KPT), VR/KRF,
•VR/KPT meningkat
•DLCO menurun pada emfisema
•Raw meningkat pada bronkitis kronik
•Sgaw meningkat
•Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

Uji latih kardiopulmoner


•Sepeda statis (ergocycle)
•Jentera (treadmill)
•Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
Uji bronkodilator
 Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
 Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15
- 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
 Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

Radiologi
 Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
 Pada emfisema terlihat gambaran :
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Uji coba kortikosteroid
 Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg
per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid

Analisis gas darah


 Terutama untuk menilai :
 Gagal napas kronik stabil
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik

Radiologi
 CT - Scan resolusi tinggi
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat
emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks
polos
 Scan ventilasi perfusi
 Mengetahui fungsi respirasi paru
Elektrokardiografi
 Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

Ekokardiografi
 Menilai fungsi jantung kanan

Bakteriologi
 Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan
kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman
dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.

Kadar alfa-1 antitripsin


 Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1
jarang ditemukan di Indonesia.
GOLD 2009

Derajat Klinis Faal Paru

Gejala klinis Normal


(batuk, produksi sputum)

Derajat I Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat VEP1 / KVP < 70%
PPOK Ringan ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai menurun VEP1 ≥ 80% prediksi

Derajat II Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala VEP1 / KVP < 70%
PPOK Sedang batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai 50% < VEP1 <80% prediksi
memeriksakan kesehatannya

Derajat III Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan VEP1 / KVP < 70%
PPOK berat eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien 30% < VEP1 <50% prediksi

Derajat IV Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan VEP1 / KVP < 70%
PPOK dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup pasien VEP1 < 30% prediksi atau
Sangat Berat memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa. VEP1 < 50% prediksi
Disertai gagal napas kronik
•DIAGNOSIS BANDING
Tabel 3.
Diagnosis Gambaran Klinis
PPOK 1. Onset usia pertengahan
2. Gejala progresif lambat
3. Riwayat merokok (lama & jumlah)
4. Sesak saat aktivitas
5. Hambatan aliran udara umumnya ireversibel

Asma 1. Onset dsia dini


2. Gejala bervariasi dari – hari ke hari
3. Gejala pada waktu malam / dini hari lebih menonjol
4. Dapat ditemukan alergi, rinitis dan atau eksim
5. Riwayat asma dalam keluarga
6. Hambatan aliran udara umumnya reversibel

Gagal jantung 1. Riwayat hipertensi


Kongestif 2. Ronki basah halus di basal paru
3. Gambaran foto toraks pembesaran jantung dan edema paru
4. Pemeriksaan faal paru restriksi, bukan obstruksi

Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah banyak


2. Sering berhubungan denagn infeksi bakteri
3. Ronki basah kasar dan jari tabuh
4. Gambaran foto toraks tampak honeycomb appearence
Dan penebalan dinding bronkus.

Tuberkulosis 1. Onset semua usia


2. Gambaran foto toreks infiltrat
3. Konfirmasi mikrobiologi (Basil Tahan Asam/BTA)

Sindroma Obstruksi 1. Riwayat pengobatan anti tuberkulosis adekuat


Pasca TB (SOPT) 2. Gambaran foto toraks bekas TB ; fibrotik dan kalsifikasi minimal
3. Pemeriksaan faal paru menunjukkan obstruksi yang tidak reversibel

Bronkiolitis 1. Usia muda


Obliterasi 2. Tidak merokok
3. Mungkin ada riwayat artritis rematoid
4. CT Paru ekspirasi terlihat gambaran hipodens

Diffuse 1. Sering pada perempuan tidak merokok


Panbronchiolitis 2. Seringkali berhubungan dengan sinusitis
3. Ronsen dan CT Paru Resolusi Tinggi memperlihatkan bayangan diffusse nodul opak
sentrilobular dan hiperinflasi,
•PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK :
•Mengurangi gejala
•Mencegah progresivitas penyakit
•Meningkatkan toleransi latihan
•Meningkatkan kualitas hidup penderita
•Mencegah dan mengobati komplikasi
•Mencegah dan mengobati eksaserbasi
berulang.
•Menurunkan angka kematian
Program berhenti merokok sebaiknya
dimasukkan sebagai salah satu
tujuan selama tatalaksana PPOK
Tujuan tersebut dapat dicapai
melalui 4 komponen program
tatalaksana :
1. Evaluasi dan monitor penyakit
2. Tatalaksana PPOK stabil
3. Tatalaksana PPOK eksaserbasi
4. Evaluasi dan monitor penyakit
. PENATALAKSANAAN MENURUT DERAJAT PPOK
Penanganan PPOK yang stabil secara menyeluruh harus bersifat individu terutama pada perbaikan gejala dan kualitas hidup.
Tabel 4.

Derajat I Derajat II”” DerajaT III Derajat IV


VEP1 /KVP < 70% VEP1 /KVP < 70% VEP1 /KVP < 70% VEP1 /KVP < 70%
VEP1 ≥ 80% 50%<VEP1 <80% 30%<VEP1 <50% VEP1 <30%
Prediksi Prediksi prediksi prediksi

- Hindari faktor risiko : BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA


- Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza
- Tambahkan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)
- Berikan Pengobatan rutin dengan satu atau lebih bronkodilator kerja lama
- Tambahkan rehabilitasi fisis

Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid jika terjadi


eksaserbasi berulang-ulang
-Tambahkan pemberian
oksigen jangka panjang
kalau terjadi gagal napas
kronik
- Lakukan Tindakan
operasi bila diperluikan.
IX.2. KARAKTERISTIK DAN REKOMENDASI PENGOBATAN BERDASARKAN DERAJAT PPOK
Tabel 5.

Derajat Karakteristik Rekomendasi pengobatan


Semua derajat - Edukasi (hindari faktor pencetus)
- Bronkodilator kerja singkat (SABA Antikolinergtk kerja cepat, xantin) bila perlu
- Vaksinasi influenza

Derajat I VEP1 / KVP < 70% - Bronkodilator kerja singkat (SABA Antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu
PPOK Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala

Derajat II VEP1 / KVP < 70% 1. Pengobatan reguler dengan bronkodilator :


PPOK Sedang 50% < VEP1 <80% prediksi a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
Dengan atau tanpa gejala b. LABA
c. Simptomatik
1. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat III VEP1 / KVP < 70% 1. Pengobatan reguler dengan bronkodilator :
PPOK berat 30% < VEP1 <50% prediksi a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
Dengan atau tanpa gejala b. LABA
c. Simptomatik
d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang
1. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)

Derajat IV VEP1 / KVP < 70% 1. Pengobatan reguler dengan bronkodilator :


PPOK VEP1 < 30% prediksi atau gagal napas kronik atau gagal a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
Sangat Berat jantung kanan b. LABA
c. Simptomatik
d. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang
1. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
2. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas
3. Ventilasi mekanis non invasif
4. Pertimbangkan terapi pembedahan
Terapi PPOK lainya
Terapi Oksigen
 Pemberian terapi oksigen jangka panjang lebih
dari 15 jam perhari pada pasien dengan gagal
napas dapat meningkatkan harapan hidup
(bukti A) serta memberikan keuntungan pada
hemodinamik, karakteristik hematologi,
kapasitas latihan, ventilasi dan status mental.
 Indikasi pemberian terapi oksigen jangka
panjang pada PPOK derajat IV.
Ventilasi mekanis non invasif
 Tidak digunakan secara rutin pada PPOK dengan gagal
napas kronik, kombinasi bersamaan dengan terapi
oksigen jangka panjang. Dapat dianjurkan jika terjadi
gagal napas acute on chronic (bukti A)
Pembedahan (bukti A)
 Bulektomi dapat menurunkan sesak dan memperbaiki
fungsi paru.
Lung volume reduction surgery (LVRS)
 LVRS bukan merupakan pilihan untuk semua kasus
emfisema berat, tetapi LVRS memberikan alternatif
terhadap pasien yang terseleksi untuk tranplantasi paru
atau LVRS memberikan pilihan pengobatan awal sambil
menunggu dilakukan tranplantasi paru.
 Syarat dilakukan LVRS adalah pasien dengan hambatan
aliran udara yang berat (VEP1 < 30%) ditandai dengan
hiperinflasi dan disabiliti berat meskipun dengan
pengobatan optimal.
Transplantasi paru
 Tranplantasi paru merupakan pilihan yang dapat
dipertimbangkan pada pasien stadium akhir PPOK
dan yang menunjukkan perburukkan yang progresif
pada kualitas hidup dan toleransi latihan (Corris,
1999).
 Kriteria dilakukan transplantasi paru menurut
National Coliaborating Centre for Chronic
Condition, 2004 :
 VEP1 < 25% prediksi tanpa reversibel
 Dan atau PaCO2 < 7,3 kPa dan atau tekanan arteri
pulmonal dengan Cor Pulmonal progresif
 Diutamakan pasien dengan peningkatan PaCO2
dengan perburukan yang progresif yang
memerlukan terapi oksigen jangka panjang, yang
mempunyai prognosis yang jelek
Nutrisi
 Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus
respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapnia menyebabkan hipermetabolisme.
 Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak
rendah karbohidrat. Protein dapat meningkatkan ventilasi
semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap
hipoksia dan hiperkapni, tetapi pada PPOK dengan gagal
napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan
kelelahan.
 Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK
karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai
akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan
elektrolit yang terjadi adalah :
 - Hipofosfatemi
 - Hiperkalemi
 - Hipokalsemi
 - Hipomagnesemi
 Terapi non-farmakologi
Berhenti merokok
 Berhenti merokok merupakan satu – satunya intervensi yang
paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya
PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit (Bukti A)
Aktivitas fisik
 Aktivitas fisik (olah raga) dianjurkan pada semua pasien
PPOK, walaupun hanya sedikit bukti penelitian dari berbagai
jenis aktivitas fisik yang memberikan manfaat terhadap
rehabilitasi pulmonal.
Rehabilitasi
 Menurunkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup (bukti A)
 Disarankan mulai dari derajat II
Vaksinasi
 Vaksinasi influenza (bukti A) dan pneumonia (bukti B)
dipertimbangkan diberikan pada :
 - Pasien diatas 60 tahun
 - Pasien PPOK sedang, berat dan sangat berat
Terapi farmakologi
Bronkodilator
 Kombinasi agonis β2 antikolinergik dan atau teofilin
memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup (bukti A)
 Pengobatan dini dengan bronkodilator antikolinergik kerja
lama pada PPOK derajat II / sedang dapat memperlambat laju
penurunan fungsi paru.
Glukokortikosteroid
 Glukokortikosteroid inhalasi tidak mencegah laju penurunan
fungsi paru (bukti A). Glukokortikosteroid dapat menurunkan
frekuensi eksaserbasi pada derajat III dan IV (bukti A)
 Inhalasi kombinasi Glukokortikosteroid dengan LABA lebih
efektif menurunkan eksaserbasi dan memperbaiki fungsi paru
dan kualitas hidup (bukti A)
Mukolitik (ambroksol, erdostein, karbostein)
 Pada eksaserbasi memberikan perbaikan, sedang
penggunaan jangka panjang masih diperdebatkan (bukti D)
Antioksidan
 Antioksidan dapat mengurangi frekuensi eksaserbasi bila
digunakan bersama kortikosteroid inhalasi (bukti B)
Gejala eksaserbasi :
 Batuk makin sering / hebat
 Produksi sputum bertambah banyak
 Sputum berubah warna
 Sesak napas bertambah
 Keterbatasan aktivitas bertambah
 Terdapat gagal napas akut pada gagal napas
kronik
 Kesadaran menurun
Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat
dilakukan di :
 Poliklinik rawat jalan
 Unit gawat darurat
 Ruang rawat
 Ruang ICU
Prinsip Penatalaksanaan eksaserbasi PPOK
 Optimalisasi penggunaan obat – obatan
Bronkodilator
 Agonis β2 kerja singkat kombinasi dengan antikolinergik
melalui inhalasi (nebuliser) (bukti A)
 Xantin intravena (bolus dan drip) (bukti B)
Kortikosteroid sistemik (bukti A)
Antibiotik
 Golongan makrolid baru (azitromisin, Roksitromisin,
Klaritromisin)
 Golongan kuinolon respirasi
 Sefalosporin generasi III/IV
Mukolitik
Ekspektoran
Terapi oksigen
Terapi Nutrisi
Rehabilitasi fisis dan respirasi
Evaluasi progresifiti penyakit
edukasi
Indikasi rawat :
 Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak
beraktivitas
 PPOK dengan derajat berat
 Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema
 Disertai penyakit komorbid lain
 Sering eksaserbasi
 Didapatkan aritmia
 Diagnostik yang belum jelas
 Usia lanjut
 Infeksi saluran napas berat
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Indikasi rawat ICU :
 Sesak berat setelah penanganan adekuat di
ruang gawat darurat atau ruang rawat
 Kesadaran menurun, letargi atau kelemahan
otot – otot respirasi
 Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi
hipoksemia atau perburukan PaO2 < 50 mmHg
atau PaCO2 > 50 mmHg, memerlukan ventilasi
mekanis (invasif atau noninvasif)
 Memerlukan penggunaan ventilasi mekanis
invasif
 Ketidakstabilan hemodinamik
Indikasi rawat :
 Peningkatan gejala (sesak, batuk) saat tidak
beraktivitas
 PPOK dengan derajat berat
 Terdapat tanda-tanda sianosis dan atau edema
 Disertai penyakit komorbid lain
 Sering eksaserbasi
 Didapatkan aritmia
 Diagnostik yang belum jelas
 Usia lanjut
 Infeksi saluran napas berat
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik
PROGNOSIS PPOK
 Segera setelah gejala klinis PPOK tampak median
survival diperkirakan 10 tahun.
 Prognosis dapat bervariasi, ada beberapa faktor
telah diketahui yang diprediksi memperburuk
survival yaitu : rendahnya FEV1, perokok aktif,
hipoksemia, nutrisi yang buruk, adanya cor
pulmonal, takikardi saat istirahat, rendahnya
kapasitas latihan, sesak napas berat,kesehatan
yang buruk yang dihubungkan dengan kualitas
hidup, anemia, seringnya eksaserbasi, penyakit-
penyakit co-morbi, dan rendahnya kapasitas difusi
karbon monoksida.
 Pasien dengan FEV1 kurang dari 35% prediksi,
angka mortalitas pertahun berkisar 10 persen. Jika
seorang pasien melaporkan bahwa dia tidak
dapat berjalan sejauh 100 meter tanpa berhenti
karena sesak napas maka 5-year survival rate-nya
hanya 35 persen.
TERIMA KASIH

You might also like