Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 37

REFERAT

NEUROLOGI
BELL’S PALSY
DISUSUN OLEH :

PEMBIMBING
Pendahuluan
Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis
fasial paling sering di dunia.

Insidensi di AS
23 kasus/100.000 orang.
Insiden tertinggi usia 15-45tahun

Kelumpuhan yang tidak sembuh meninggalkan


permasalahan fungsional, kosmetika, dan psikologis.
BELL’S PALSY
Definisi:
Isolasi unilateral lower motor neuron, dan kelemahan wajah tanpa sebab
yang jelas. Penyebab paling umum adalah karena kelumpuhan mendadak
nervus facialis (N VII).
STRUKTUR ANATOMI
• Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.
levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa
faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula
submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di
dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan
rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh
nervus trigeminus.
NERVUS FACIALIS (VII)
• Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik
wajah.
• Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan
rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior
kanalis auditorius eksterna.
• Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan
serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian
ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus
kortikospinal.
• Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus
lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga
dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena
sangat dekat dengan genu.
• Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum
untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus
superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius
yang dihubungkan oleh korda timpani.
• Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian
melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot
wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.
EPIDEMIOLOGI
• Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari
paralisis fasial akut.
• Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan
insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997
• Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus
per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
• Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi.
• Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes.
• Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama.
• Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi
pada umur 15-50 tahun.
ETIOLOGI
• Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis.
• Paparan suasana/suhu dingin (misalnya hawa dingin, AC, atau menyetir
mobil dengan jendela yang terbuka) dianggap sebagai pemicu Bell’s palsy.
• Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy,
karena telah diidentifikasi HSV pada ganglion geniculata pada beberapa
penelitian otopsi.
• Murakami et all juga melakukan tes PCR (Polymerase-Chain Reaction)
pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani
pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural.
• Virus ini diperkirakan dapat berpindah secara axonal dari saraf sensori
dan menempati sel ganglion, pada saat adanya stress, akan terjadi
reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan lokal pada myelin.(2)
PATOFISIOLOGI
• Pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
• Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
• Terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf
tersebut pada saat melalui tulang temporal.
• Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis
yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental.
• Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.
• Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear.
• Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer
atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan
dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.
PATOFISIOLOGI
• Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca
jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy.
• Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus
dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
• Pada lesi LMN biasa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis.
• Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis.
• Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus
rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
• Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis.
• Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit.
Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.(1)
PATOFISIOLOGI
• Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari
otot wajah seluruhnya lumpuh.
• Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan
pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik
ke atas.
• Sudut mulut tidak bisa diangkat.
• Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.
• Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar
sehingga tertimbun.
• Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum
sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut yang
mensyarafi muskulus stapedius.
GEJALA KLINIS
• Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi.
• Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak. Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit akan
mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer
ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.(3)
• E. Seperti (d) ditambah dengan gangguan pada
N.VIII.

• D. Seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi


kelenjar hidung dan gangguan kelenjar air mata
(lakrimasi).

• C. Seperti (b) ditambah dengan gangguan


pendengaran yaitu hiperakusis.

• B. Seperti (a) ditambah dengan gangguan


pengecapan 2/3 depan lidah dan gangguan
salivasi.

• A.Kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah


lesi.
• Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat
diangkat
• Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada
sebelah lesi
• Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan
kening pada sisi lesi
• Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN.
Pengecapan dan sekresi air liur masih baik.
GEJALA KLINIS
• Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi
foramen stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum.
• Adapun penyebab yang sering pada kerusakan setinggi genikulatum
adalah : Herpes Zoster, otitis media perforata dan mastoiditis.
BLINK REFLEX
• Sama dengan refleks cornea.
• Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut
motorik.
• Stimulasi saraf supraorbital2 respon :
• Respon 1(R1)respon unilateral dengan latensi 10msec pada
perangsangan m.obicularis oculi ipsilateral. R1 dikonduksi melewati pons
melalui jalur oligosinaptik yang terdiri dari interneuron 1 atau 2.
• R2  latensi 30 sec. Impuls afferen dikonduksi melalui traktus spinal
descenden dari N.V di pons dan MO sebelum mencapai cauda nukleus
trigeminus
• Kemudian impuls kembalijalur medullaascending bilateralnukleus
fasial di pons.
• Jalur uncrossed trigeminofascial ascending menghasilkan R2 ipsilateral
dimana R2 kontralateral dihasilkan dari jalur ascending yang menyilang di
midline dari 1/3 bawah MO.
• Refleks Blink berpengaruh pada struktur suprasegmental  korteks
motorik, korteks area postcentral, dan ganglia basalis.
LESI TRIGEMINAL
UNILATERAL
• Adanya keterlambatan atau tidak adanya R1 dan R2 ipsilateral dan R2
kontralateral pada stimulasi daerah sakit.
• Stimulasi pada daerah yang tidak sakit menghasilkan R1 dan R2
ipsilateral dan R2 kontralateral normal potensial.
LESI FASIAL UNILATERAL
• Stimulasi daerah yang sakit keterlambatan atau tidak adanya R1 dan R2
ipsilateral tetapi R2 kontralateral normal.
• Lesi pontine unilateral  mempengaruhi nukleus sensori V dan/ atau lesi
interneuron pontine ke nukleus fasialis ipsilateral.
• Stimulasi daerah sakit delay atau absen R1 tapi ipsilateral dan contralateral
R2 intak.
• Stimulasi daerah yang normal  normal R1 dan ipsilateral dan kontralateral
R2.
• Lesi di medulla traktus spinaldan nukleus V dan lesi interneuron medulla.
• Stimulasi  normal R1 dan kontralateral R2 tapi delay atau absen R2
ipsilateral.
• Stimulasi daerah Normal  normal R1 ipsilateral dan R2 tapi delay atau
absen R2 kontralateral.
• Interneuron sampai nukleus fasialis kontralateral.
• Stimulasi  Normal R1 dan absen atau delay R2 ipsi dan kontralateral.
• Stimulasi daerah Normal hasilnya sama.
PENEGAKKAN DIAGNOSIS

• Anamnesis
• Pemeriksaan Fisik
ANAMNESIS
• Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa
mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan
yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
• Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.
Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis
muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
• Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam
mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga
saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak
dipercepat.
• Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,
empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat
hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
• Mata kering.
• Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
PEMERIKSAAN FISIK
• Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus
fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan
adanya rasa nyeri pada telinga.
• Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN
dan LMN.
• Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.
• Keterlibatan mononeuron dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga
dapat terlibat.
• Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang menunjukkan gambaran
gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah
bagian lateral.
• Kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang diserang.
Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang diserang.
• Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas nucleus
facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan dan dua per tiga
bagian bawahnya mengalami paralisis. Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator
diinervasi secara bilateral, sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
• Pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya normal.
• Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak
meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami komplikasi.
PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
• Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy.
• Pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c dapat dipertimbangkan
untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes atau
tidak.
• Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan namun ini biasanya
tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut berasal.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
• Pemeriksaan radiologi tidak diperlukan bila sudah tegak dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
• Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan dalam 8-10 minggu.
• Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami perburukan, pencitraan
mungkin akan membantu.
• MRI mungkin dapat menunjukkan adanya tumor (misalnya
Schwannoma, hemangioma, meningioma).
• Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-Scan harus
dilakukan.
DIAGNOSA BANDING
• Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis
diantaranya
• Tumor
• Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt
syndrom),
• Penyakit Lyme,
• AIDS,
• Infeksi Tuberculosa pada mastoid ataupun telinga tengah,
• Guillen Barre syndrome.
PENATALAKSANAAN
• Istirahat terutama pada keadaan akut
• Agen antiviral.
• Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat digunakan dalam
penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada
3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.(
Nama obat Acyclovir (Zovirax) – menunjukkan aktivitas
hambatan langsung melawan HSV-1 dan
HSV-2, dan sel yang terinfeksi secara
selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.

Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.

> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis


selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.

Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau


zidovudine dapat memperpanjang waktu
paruh dan meningkatkan toksisitas acyclovir
terhadap SSP.
Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan
belum pernah dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau bila
menggunakan obat yang bersifat nefrotoksik.
PENATALAKSANAAN
• Kortikosteroid
• Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari
selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian,
dimana pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit,
gunanya untuk meningkatkan peluang kesembuhan pasien.
Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek farmakologis yang
berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan kompresi nervus
facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.


Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur, jaringan
konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak lambung; disfungsi
hepatik; penyakit gastrointestinal.

Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens


prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas
digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat
meningkatkan metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis pemeliharaan);
monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan obat diuretik.

Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat memperberat resiko.

Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat menyebabkan


krisis adrenal; hiperglikemia, edema, osteonekrosis, miopati, penyakit tukak
lambung, hipokalemia, osteoporosis, euforia, psikosis, myasthenia gravis,
penurunan pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan
bersama glukokortikoid.
PENATALAKSANAAN
• Perawatan Mata
• Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.
Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan
terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.
• Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk
mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.
• Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat
terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah
satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
• Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan
mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang
mengalami kontak langsung dengan kornea.
PENATALAKSANAAN
Konsultasi
• Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan
yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan
penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya rujukan
ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut:
• Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik
dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
• Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran
yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk untuk
pemeriksaan lanjutan.
• Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan
otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.
• Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang
dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang
buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten cukup baik
untuk dilakukan pembedahan.
KOMPLIKASI
• Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami
deformitas kosmetik, tetapi sekitar 5% mengalami gejala sisa cukup
berat yang tidak dapat diterima oleh pasien.
• Regenerasi motorik yang tidak sempurna. : (1) inkompetensi oral, (2)
epifora (produksi air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.

• Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.: Dysgeusia (gangguan rasa),


Ageusia (hilang rasa), Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang
tidak sesuai dengan stimulus normal).

• Reinervasi aberan dari nervus facialis.


PROGNOSIS
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.
Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
• Usia di atas 60 tahun.
• Paralisis komplit.
• Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh.
• Nyeri pada bagian belakang telinga.
• Berkurangnya air mata.
PROGNOSIS
• Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan.
• Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40%
sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
• Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya memiliki perbedaan
peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa.
• Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung
meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme
hemifasial.(6)
• Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding
yang non DM
• Hanya 23% kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy
kambuh pada 10-15 % penderita.
• Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII
atau tumor kelenjar parotis.
KESIMPULAN
• Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau
kelumpuhan yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis
perifer.
• Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan
(kompresi) pada nervus fasialis.
• Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat
didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat
bergerak. Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh
muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat.
Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.
• Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat-
obatan antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang
berkesinambungan. Prognosis pasien dengan Bell’s palsy relative baik
meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa dan rekurensi dapat
terjadi.

You might also like