Professional Documents
Culture Documents
One Way Slab
One Way Slab
1. Perkerasan Lentur
2. Perkerasan kaku/rigid pavemcnt, memerlukan bahan-bahan:
• Agregat, sebagai tulangan
• Semen (portland cement), sebagai bahan pengikat
• Bahan-bahan perkerasan jalan, baik yang digunakan sebagai
perkerasan lentur maupun perkerasan kaku, sebelum
digunakan harus melalui berbagai pemeriksaan terlebih
dahulu di laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang
dimaksud meliputi beberapa hal antara lan:
o Jenis bahan
o Keadaan fisik bahan
o Kualitas bahan
Residu Aspal
• Blowing adalah proses tambahan, dimana residu dan
penyulingan hampa udara dicampur dengan udara pada
suhu 400° - 550° F. Biasanya proses blowing dilakukan
apabila dibutuhkan bitumen dengan penetrasi yang lebih
rendah dari pada straight run bitumen.
• Dengan blowing tidak hanya penetrasi dan bitumen
diturunkan akan tetapi juga kadar asphaltene
ditingkatkan.
• Beberapa sifat dari bitumen diperbaiki dengan blowing
ialah sifat kelekatan, sifat kepekaan terhadap perubahan
suhu. Pada proses blowing juga terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, misalnya seperti terjadi cracking yaitu suatu
proses kimia dimana molekul-molekul yang besar dan
panjang dipecahkan menjadi molekul-molekul yang
lebih kecil bahkan juga dapat terjadi pengarbonan
(karbon = arang).
• Kejadian ini perlu dihindarkan atau dikurangi,
oleh karena dengan adanya cracking hasil
bitumen bukan hanya menurun mutunya
namun kemungkinan juga dapat menjadi tidak
homogen. Sehingga butir-butir koloid arang
yang seharusnya berukuran kecil menjadi lebih
besar dan karenanya tidak dapat larut secara
baik dalam malten bahkan mengendap dan
pelarutnya dan membentuk endapan yang
terdiri dan butir-butir arang yang lebih besar,
yang tidak terdispersi dalam pelarutnya.
• Endapan ini berakibat mengurangi pembentukan lapisan
tipis sekali diatas batuan sehingga pelekatan butir-butir
batuan menjadi kurang baik. Selain dan ini pengendapan
tersebut mengurangi homogenitas dan benang aspal
yang terbentuk dalam pengetesan dengan
menggunakan alat daktilitas sehingga nilai daktilitas
menjadi rendah.
• Selagi kinerja bitumen menjadi kurang baik, blowing
adalah proses yang lebih mahal, karena efisiensi
produksi Bagian Perkerasan Jalan berkurang dan
menimbulkan polusi udara. Proses blowing untuk
pembuatan aspal untuk konstruksi jalan, biasanya
dilakukan dengan sangat hati-hati dan teliti dan aspal
yang dihasilkan dinamakan semi blown asphalt.
• Bitumen yang telah dibuat dengan proses tersebut di
atas disimpan menurut jenis penetrasi dalam berbagai
tangki sebagai penyimpan aspal keras.
• Aspal sejenis kemudian dapat langsung
diangkut dalam bentuk bulk dengan kapal-
kapal tangki atau ditampung dalam drum-
drum.
• Untuk pembuatan aspal cair, aspal keras di
atas dicampur dengan pelarut-pelarut dalam
tangki pencampur (blender). Misalnya untuk
aspal cair jenis RC, aspal keras dicampur
dengan bensin. Untuk aspal cair jenis MC,
aspal keras dengan penetrasi lebih tinggi
dicampur dengan kerosene. Llntuk aspal
cairjenis SC, aspal keras dicampur dengan
minyak diesel.
• Aspal cair adalah aspal keras yang diencerkan
dengan 10 sampai 20% kerosin, white spirit, gas
oil dll. untuk mencapai viskositas tertentu dan
memenuhi fraksi-fraksi destilasi tertentu.
• Viskositas tetentu ini dibutuhkan agar aspal cair
tersebut dapat membasahkan agregat dalam
waktu yang singkat, kemudian setelah beberapa
waktu meningkat hingga pekerjaan pemadatan
dapat dilaksanakan. Viskositas untuk pekerjaan
penyampuran adalah kira-kira 200 CSt dan untuk
pekerjaan pemadatan 20.000 CSt. Fraksi destilasi
ditentukan tmtuk aspal cair jenis RC antara 140 -
200° C dan untuk jenis MC antara 210 - 260° C.
3. Aspal Emulsi
• Untuk beberapa jenis pekerjaan permintan jalan
dibutuhkan aspal cair bahkan lebih cair dari pada
aspal cair. Aspal emulsi adalah aspal yang lebih
cair daripada aspal cair dan mempunyai sifat
dapat menembus pori-pori halus dalam batuan
yang tidak dapat dilalui oleh aspal cair biasa
oleh karena sifat pelarut yang membawa aspal
dalam emulsi mempunyai daya tarik terhadap
batuan yang lebih baik daripada pelarut dalam
aspal cair, terutama apabila batuan tersebut agak
lembab.
• Aspal emulsi terdiri dan butir-butir aspal halus, dalam air
umumnya butir-butir yang sama mempunyai daya tarik
yang besar pula terhadap sesamanya dan daya tarik
tersebut menjadi lebih besar jika makin dekat jaraknya.
• Untuk menghindarkan butir-butir tersebut tertarik
menjadi satu butir yang besar, maka pada butir-butir
tersebut diberikan suatu muatan listrik tertentu dan sama
sehingga jarak antara butir-butir aspal tidak menjadi
terlalu kecil.
• Untuk maksud tersebut diberikan di dalam pelarut (air)
suatu emulgator sehingga butir-butir kecil tersebut selalu
melayang-layang dalarn pelarutnya dan dihindarkan
menggumpal. Tergantung dari muatan listrik induksi
tersebut, maka aspal emulsi dibagi dalam aspal emulsi
kationik bila muatan listrik butir-butir aspal adalah positif
dan anionik bila muatan listrik dan butir-butir aspal
tersebut adalah negatif.
• Secara visual tidak nampak perbedaannya, dan kedua
aspal emulsi dapat digunakan untuk pekerjaan yang sama
pula.
• Pada umumnya batuan netral dan asam dapat dilapisi
dengan aspal emulsi kationik sedangkan batuan yang basa
dan netral dapat dilapisi dengan aspal emulsi anionik.
• Batuan yang biasa digunakan seperti andesit, basal, pada
umumnya batuan berwarana hitam keabu-abuan dilapis
dengan aspal emulsi dengan muatan listrik neggatif
Sehingga mudah mengikat aspal dengan muatan listrik
positif seperti dalam aspal emulsi kationik. Sifat lekat dari
aspal emulsi anionik pada batuan ini tidak berdasarkan
muatan listrik akan tetapi selain pengelompokan menurut
apa yang disebut di atas, aspal emulsi dibagi juga menurut
viskositasnya. Berdasarkan sifat geologi ini maka
pembagian aspal emulsi akan menyangkut kadar bitumen
atau kadar air yang dikandungnya karena kadar air
mempengaruhi viskositas.
• Cara penggunaan aspal emulsi berbeda dengan
cara penggunaan aspal biasa oleh karena aspal
emulsi mengandung air.
• Cara melekatkan butir-butir aspal dalam aspal
emulsi juga berbeda dengan aspal biasa karena
butir-butir aspal dalam emulsi bermuatan listrik
dan karenanya bergantung dari muatan listrik
permukaan agregat yang akan dilapis.
• Sebelum aspal dalam aspal emulsi menempel
pada permukaan agregat terjadi hal-hal sebagai
berikut:
a. Proses ini dipengaruhi oleh suhu udara, kelembaban,
angin dan cara pencampuran.
Proses ini dipercepat oleh suhu udara dan menjadi lebih
cepat pada suhu yang lebih tinggi, kelembaban yang
rendah dan banyak angin. Pekerjaan dengan sprayer
mempercepat proses penguapan ini apabila kadar aspal
mecapai lebih dan 80, terbentuklah lapisan aspal yang tipis
diatas permukaan agregat, dan setelah ini tercapai
keadaan menjadi stabil untuk pekerjaan pemadatan.
Apabila keadaan ini belum tercapai, maka proses dispersi
aspal-aspal daiam air masih dapat membaik. Dan apabila
pada saat ini turun hujan, maka butir-butir aspal yang
telah bersatu dapat memisah kembali dan menjadi aspal
emulsi yang dibawa oleh air hujan. Apabila lebih dan 80%
aspal telah mengendap dan cairan emulsi semula maka
keadaan sudah stabil dan apabila turun hujan, tidak akan
terjadi dispersi kembali dan butir-butir aspal.
b. Pelapisan permukaan agregat dan pemindahan air
dari permukaan agregat oleh gaya tarik kapiler.
Setelah kadar aspal dalam aspal emulsi naik hingga
lebih dan 80%, maka butir-butir aspal kecil ditarik
oleh agregat dengan kekuatan elektromotoris oleh
karena jenis muatan listrik dan butir-butir aspal dan
agregat bertentangan. Emulsifier yang tadinya
memberikan muatan listrik pada butir-butir aspal,
sekarang tidak bermuatan listrik lagi dan oleh
karenanya butir-butir aspal dapat bergabung dan
mengendap diatas permukaan agregat. Oleh karena
itu maka air diantara agregat dan butir-butir aspal
didesak dan ikatan kedua ialah tekanan permukaan
menambah sifat lekat aspal tersebut terhadap
agregat. Sebagian air juga dihisap oleh gaya kapiler
dan pori-pori agregat.
c. Pelekatan yang Bergantung dan Sifat Kimia dan
Fisik Agregat
Sifat melekat pertama disebabkan karena gaya
tarik muatan bertentangan, dan makin tinggi,
potensial ini makin tinggi pula daya tank
tersebut.
jenuh = paraffinis 1
rantai hydrocarbon alifatis
tidak jenuh = olefinis
jenuh = naphtenis
lingkaran hydrocarbon cycloparafin
tidakjenuh = aromatis
• Parafin mempunyai sifat tidak bereaksi dengan
gugusan yang sama atau dengan gugusan lain oleh
karena itu maka gugusan ini tidak mempunyai sifat
lekat yang baik. Gugusan olefinis biasanya tidak
terdapat dalam aspal yang diproduksi secara disuling
biasa, akan tetapi dari hasil cracking.
• Gugusan aromatis mempunyai bau yang khas sifat
lekat dari aspal emulsi tersebut berdasarkan
penguapan air. Jadi berdasarkan sifat tekanan
permukaan dari batuan ini terhadap aspalnya sendiri
setelah air menguap.
• Aspal emulsi digolongkan menurut muatan listriknya.
Dalam aspal emulsi kationik dan anionik, kedua
golongan tersebut masih dipecahkan lagi menurut sifat
labil sebagai berikut :
Anionik
• (MC) Labil :
Memisah dengan cepat, tidak dapat dipergunakan
untuk dicampur dengan batuan sebelum dihampar.
• (MS) Agak stabil :
Mempunyai kestabilan sehingga dapat dipergunakan
untuk dicampur dengan jenis-jenis batuan dan gradasi
tertentu sebelum dihampar.
• (ML) Stabil :
Dapat dicampur dengan semua jenis batuan yang biasa
digunakan dan dengan segala macam gradasi termasuk
gradasi filler seperti semen portland.
Kationik
• (MCK) Bekerja cepat
Cepat bereaksi dengan batuan pada saat teijadi kontak
dengan permukaan jalan maupun batuan, sehingga
tidak dapat digunakan untuk pekerjaan mencampur
dengan batuan sebelum diampar.
• (MSK) Bekerja Kurang Cepat
Reaksi kurang cepat dengan batuan, menyebabkan
jenis ini dapat digunakan untuk pekerjaan mencampur
dengan batuan bergradasi kasar dan bersih.
• (MLK) Bekerja Lamban
Karena reaksi yang lamban sekali maka jenis ini dapat
dipergunakan untuk mencampur dengan batuan
bergradasi halus misalnya slurry seal dan tidak bersih.
• Gugusan-gugusan tersebut di atas merupakjn
campuran dari bitumen baik dalam asphalten maupun
juga dalam malten.
• Seperti telah dijelaskan, bitumen adalah suatu
campuran koloid dimana terdapat fasa yang pekat larut
dalam fasa cairan, dan fasa yang pekat ini adalah
asphalten sedangkan fasa yang cair adalah malten.
Keadaan koloid ini dapat menjadi stabil karena adanya
zat-zat resin yang berfungsi sebagai stabilisator.
Tergantung dari susunan asphalten maka sistem koloid
ini dapat disebut gel atau sol.
• Di dalam jenis gel molekul-molekul asphalten saling
mengikat, sedangkan dalam jenis sol molekul-molekul
asphalten bergerak bebas. Jenis sol ini dihasilkan
dengan proses destilasi, sedangkan jenis gel dihasilkan
dengan proses blowing.
• Jenis gel mempunyai bentuk sedangkan jenis sol tidak
mempunyai bentuk tertentu karena bitumen dengan
bentuk yang tertentu terdiri dari molekul-molekul yang
tidak dapat bergerak dan pada suhu tertentu, karena
ikatan menjadi lemah, sehingga baru dapat bergerak.
• Maka bitumen dengan jenis ini tidak peka terhadap
perubahan suhu, sedangkan bitumen yang terdiri dan
molekul-molekul yang mudah bergerak, sudah mulai
bergerak pada suhu jauh di bawah titik lembeknya,
sehingga bitumen jenis ini lebih peka terhadap
perubahan suhu.
• Ter yang dimaksud adalah yang diperoleh dari batu bara. Secara
umum ter mempunyai bau tertentu yang disebabkan karena adanya
gugusan aromat dan banyaknya jenis gugusan aromat ini
tergantung dari cara pembuatannya. Pemanasan pada suhu tinggi
seperti terjadi pada destilasi ter dalam tungku horizontal
menghasilkan banyak jenis aromat dengan gugusan OH seperti
phenol, aerosol. Umumnya dalam ter tidak terdapat gugusan
parafin.
Sifat Kimiawi
Karbon dalam keadaan koloid selalu terdapat dalam asphalten dan malten akan tetapi karbon bebas tidak dikehendaki. Bila kadar karbon bebas m