Oleh: Hutri Agustino., S.Sos. M.Si.

 Structural Functionalism: Max Weber, Emile

Durkheim, Talcott Parsons, Robert K. Merton, Jeffrey
Alexander.
 Conflict Theory: Karl Marx, Ralf Dahrendorf, C.
Wright Mills, John Stuart Mill, Lewis Coser.
 Symbolic Interactionism: John Dewey, CH.
Cooley, Herbert Blumer and George Herbert Mead (The
Chicago School), Erving Goffman, Harold Garfinkel,
Peter L. Berger.
 Critical Theory: Max Horkheimer, Theodor
Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Jürgen
Hubermas.
 Structural-Functionalism (“order perspective”).
Focus on functional societal elements—how components of society
contribute to the reproduction of society.
 Conflict Social Science (“radical sociology”).
Focus on conflict and coercion, issues of exploitation, alienation,
domination, and power.
 Interpretationist Social Science (“hermeneutical”
schools). Includes symbolic interactionism and social
constructionism.
Focus on how human beings interact and how they create meaning
in their lives.
 Critical Theory
Focus on how to know the real of reality, the real of social structure,
etc
 Macroscopic

II. Macro-subjective
I. Macro-objective
Focus—culture, norms,
Focus—society, law, values, language

Subjective
bureaucracy, technology Max Weber, Protestant Ethic and
Karl Marx, Capital the Spirit of Capitalism

III. Micro-objective IV. Micro-subjective

Focus—individual behavior,
action/ interaction
George C. Homans, Elementary
Forms of Social Behavior (1974)
Focus—construction of
everyday life interaction
Peter L. Berger and Luckmann,
The Social Construction of Reality
(1966)

Microscopic
• Pandangan berakar kuat pada tradisi keteraturan
(Menekankan pentingnya cara-cara memelihara
keteraturan sosial, keseimbangan, keselarasan
(harmony)-> Positivistic (Plato, Auguste Comte);
• Pusat perhatian pada kemapanan dan stabilitas
(pro status quo), ketertiban sosial (social order),
kesepakatan (konsensus), keseimbangan sosial
(equilibrium), kesetiakawanan sosial, pemuasan
kebutuhan dan realitas (empirik);
• Mengutamakan rasionalitas dalam menjelaskan
peristiwa sosial, berorientasi pragmatis (berusaha
melahirkan pengetahuan terapan untuk pemecahan
masalah.
 Functionalism
Talcott Parsons

Robert Merton

Emile Durkheim
Generally regarded as the
founder of functionalist theory
Karl Marx (1818-1883) was
a socialist theoretician and
organizer, a major figure in
the history of economic and
philosophical thought, and a
great social prophet. Marx is
the father of conflict theory.
Conflict Social Science
Major Intellectual Contributions:

1. Elaboration of the conflict model of

society, specifically the theory of social
change based upon antagonisms
between social classes;
2. The insight that power originates
primarily in economic production; and
3. His concern with the social origins of
alienation.
 Marx’s theory of History is called Dialectical
Materialism. It is derived from Hegel’s idea that
history follows a pattern of progress through
(ideological) conflict—“thesis, antithesis,
synthesis”—called the dialectic and
 “Religion ... is the opium of the people.”
 Marx believed that religion, the government,
educational systems, and even sports are used by
the powerful to maintain the status quo.
 All societies are divided into two groups:
Owners (Today, this would include major
stockholders in corporations) and Workers.
 Our society is capitalist: Owners are
bourgeoisie and Workers are proletarians.
 Dalam perspektif Teori-teori Konflik (modern), konflik
tidak hanya terjadi akibat determinasi kapital, namun
karena pada hakikatnya di tengah kehidupan sosial ada
sebuah ‘”nilai” bersama yang berharga. Misalnya: Uang,
Tanah, Kekuasaan Politik, Jabatan, Prestise (‘harga diri’
atau ‘gengsi’), dan seterusnya.
 Konflik tidak hanya dipandang sebagai sebuah hal yang
hanya menimbulkan ‘dis-order’ dan ‘dis-integrasi’, namun
juga turut berkontribusi dalam menciptakan ‘social order’
dan stabilitas.
 Negara Indonesia yang memiliki kekayaan budaya (Bahasa,
Suku, Ras, Agama, Adat dan Nilai atau Norma Lokal, dst)
sangat berpotensi terjadi konflik sosial yang tidak cukup
hanya dijelaskan dalam perspektif Teori Konflik (Klasik).
Menurut Herbert Blumer dalam Symbolic
Interactionism: Perspectives and Method (1966),
teori Interaksionisme Simbolik berpijak pada
premis bahwa :
(1) Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan
makna yang ada pada “sesuatu” (realitas sosial);
(2) Makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi
sosial seseorang dengan orang lain”, dan
(3) Makna tersebut disempurnakan melalui proses
penafsiran pada saat “proses interaksi sosial”
berlangsung.
 Erving Goffman
1922-1982
The Presentation of Self in Everyday Life
(1959)
 Peter Berger

Symbolic
Interactionism

Herbert Blumer George

Herbert
Mead
 Ideas developed by Max Horkheimer,
Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Erich
Fromm, Walter Berjamin, etc.
 Two main ideas:
1. All ideas influenced by the current
times and by prevailing thought
patterns.
2. Cannot separate facts and values –
need to be self-reflexive and self-
critical and develop a critical stance
toward society.
1. Pikiran orang adalah produk masyarakat
dimana ia hidup, sehingga pikiran orang
adalah produk sosial, maka tidak mungkin
orang mencapai pengetahuan dan
kesimpulan objektif.
2. Ilmuwan tidak bisa bersikap objektif dan
mencoba bersikap bebas nilai dengan
membangun perspektif pemikirannya.
1. Kritis terhadap masyarakat
ia mengkritik struktur masyarakat
yang rapuh akibat penyelewengan-
penyelewengan yang dilakukan, maka
struktur tersebut harus diubah.
2. Berfikir secara historis
Merujuk pada filfasat Hegelian dan
Marxian
3. Tidak memisahkan antara teori dan
praktik, antara pengetahuan dengan
tindakan dan antara rasio teoritis
dengan rasio praktis (bukan rasio
instrumental).
1. Teori Tradisional
Di dasari oleh asumsi-asumsi dasar positivisme,
dimana menurut asumsi tersebut menilai bahwa
regulasi ideal berasal dari pengetahuan alam.
a) Melakukan pemisahan antara fakta dari nilai dan
hanya menganalisis fakta dengan hukum-hukum
dan metode-metodenya. Ia bersifat netral terhadap
fakta diluar dirinya, karena ia bersifat ideologis.
b) Bersifat a historis dengan memutlakkan ilmu
pengetahuan yang universal, teori tersebut
melupakan masyarakat dalam proses historisnya.
c) Memisahkan antara teori dan praksis, sebab tidak
berada pada domain penerapan praksis sistem dan
tidak memikirkan implikasi sosial sebuah teori.
2. Teori Kritis
Berawal dari kata kritik, artinya
mengkritik ajaran-ajaran bidang sosial
yang lebih mengarah pada pencapaian
irrasionalisme. Langkah tersebut
bertujuan untuk dapat membuat ajaran
tersebut lebih emansipatoris dan egaliter
terhadap budaya dan masyarakat
modern dan memunculkan self
consciousness.
 Theodor W. Adorno => The Dialectic of the
Enlightenment (1972)
Jürgen Hubermas =>Legitimation Crisis (1976)