Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 66

MASALAH AURAT DAN BUSANA PEREMPUAN

Tafsir Perspektif Gender

M.Fahrurozi (933807918)
Qur’ani Parang Wilwadikta (933806618)
Risma Yuki Pramudia (933805418)
Siti Iswatun Hasanah (933808818)
PRAWACARA
• Budaya manusia tidak selalu sama antara satu tempat dengan
tempat lainnya, bahkan kebudayaan itu senantiasa berubah
dari generasi ke generasi secara turun temurun.Kalau ajaran
islam benar-benar diyakini keuniversalannya, tentu
keberlakuannya tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu dari
generasi ke generasi. Hanya saja, nabi saw yang diutus untuk
membawa ajaran islam ituharus dilihat posisinya yang
multidimensi. Dalam kehidupan muamalah sehari-hari, aspek
perbedaan yang paling menonjol dari sejumlah budaya dan
tradisi masyarakat yang bersifat simbolis antara lain adalah
busana.
• Syariat islam mewajibkan kaum muslimin memakai busana yang
menutup aurat dan sopan, baik laki-laki maupun perempuan. Aurat
laki-laki cukup sederhana, berdasarkan ijma ulama, auratnya sebatas
antara lutut dan di atas pusat (bayn al-surrat wa al-ruqbatayn).
Sedang aurat wanita adalah segenap tubuhnya kecuali muka, telapak
tangan dan telapak kakinya. Bahkan ada pendapat yang mengatakan
bahwa seluruh tubuh wanita tanpa kecuali adalah aurat.
• Walaupun demikian, tampak di kalangan ulama masih berbeda- beda
dalam menginterpretasikan budaya berpakaian secara islami,
khususnya kaidah-kaidah tentang batas aurat itu sendiri. Berdasar
pada latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka
sangat menarik apabila persoalan budaya berbusana khususnya
busana wanita tersebut dikaji lebih dalam makalah ini.
Pengertian Umum Tentang Aurat dan Busana
• Pengertian aurat aurat secara bahasa berasal dari kata ‫ عار‬dari kata tersebut muncul
derivasi kata bentukan baru dan makna baru pula. Bentuk ‘awira (menjadikan buta
sebelah mata), ‘awwara (menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan), a’wara
(tampak lahir atau auratnya), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah, penakut),
al-‘aura’ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor), sedangkan al-‘aurat adalah
segala perkara yang dirasa malu. Pendapat senada juga dinyatakan bahwa aurat adalah
sesuatu yang terbuka, tidak tertutup, kemaluan, telanjang, aib dan cacat. Artinya aurat
dipahami sebagai sesuatu yang oleh seseorang ditutupi karena merasa malu atau
rendah diri jika sesuatu itu kelihatan atau diketahui orang lain.
• Pengertian terakhir ini sering dijadikan sebagai pengertian literer
dari aurat, sehingga aurat dapat dipahami sebagai sesuatu yang dapat
menjadikan malu, aib atau cacat bagi seseorang baik dari perkataan
atau perbuatannya. Terbukanya aurat dapat juga membuat orang jauh
martabatnya dimata masyarakat umum. Secara maknawi kata aurat
adalah yang berarti segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang
malu atau mendapatkan aib (cacat), entah perkataan, sikap ataupun
tindakan, aurat sebagai bentuk dari suatu kekurangan maka sudah
seharusnya ditutupi dan tidak untuk dibuka atau dipertontonkan di
muka umum.
‫‪Ayat-ayat terkait aurat dan busana‬‬
‫‪• Qs. Al-ahzab ayat 53:‬‬

‫ُوت ٱلنَّبِ ِّى ِإٓاَّل َأن يُْؤ َذ َن لَ ُك ْم ِإلَ ٰى طَ َع ٍام َغ ْي َر‬ ‫وا اَل تَ ْد ُخلُ ۟‬ ‫ين َءامنُ ۟‬ ‫َّ‬ ‫َأ‬ ‫ٓ‬
‫وا بُي َ‬ ‫• ٰيَ َ ِ َ َ‬ ‫ذ‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ُّ‬ ‫ي‬
‫ين‬ ‫س‬ ‫ن‬
‫َ ُ ِ ِ َ‬ ‫ْٔ‬
‫ـ‬ ‫َ‬ ‫ت‬ ‫ْ‬
‫س‬ ‫م‬ ‫اَل‬ ‫و‬ ‫۟‬
‫ُوا‬ ‫ر‬ ‫ش‬ ‫َ‬ ‫ت‬ ‫ٱن‬‫َ‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ُ‬ ‫ت‬ ‫م‬‫ع‬ ‫َ‬ ‫ط‬ ‫ا‬ ‫َ‬
‫ذ‬ ‫َ‬ ‫ف‬ ‫۟‬
‫وا‬ ‫ُ‬ ‫ل‬‫خ‬ ‫ُ‬ ‫ْ‬
‫د‬ ‫ٱ‬‫َ‬ ‫ف‬ ‫م‬ ‫ُ‬ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫ع‬ ‫ُ‬
‫د‬ ‫ا‬ ‫َ‬
‫ذ‬ ‫ن‬‫ْ‬ ‫ك‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬
‫ل‬ ‫و‬ ‫ُ‬ ‫ه‬‫ى‬‫ٰ‬ ‫َ‬ ‫ن‬ ‫ين‬ ‫ر‬ ‫ظ‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬
‫ن‬
‫ِ‬ ‫ِْ ْ‬ ‫ِإ‬ ‫ِ ْ‬ ‫ِ ِ َ ِإ َ ِ ِإ‬
‫اَل‬ ‫هَّلل‬
‫ى فيَ ْستَحْ ِىۦ ِمنك ْم ۖ َوٱ ُ يَ ْستَحْ ِىۦ ِم َن‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬
‫ان يُ ِذى ٱلنبِ َّ‬ ‫ْؤ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬
‫ث ۚ ِإ َّن ذلِك ْم ك َ‬
‫َ‬ ‫ٰ‬ ‫لِ َح ِدي ٍ‬
‫ْ‬ ‫َأ‬
‫ب ۚ ذلِك ْم طهَ ُر‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬ ‫ق ۚ َوِإ َذا َسَأ ْلتُ ُموهُ َّن َم ٰتَ ًعا فَ ْسـَٔلُوهُ َّن ِمن َو َرٓا ِء ِح َجا ٍ‬ ‫ْٱل َح ِّ‬
‫وا َرسُو َل ٱهَّلل ِ َوٓاَل َأن تَن ِكح ُٓو ۟ا‬ ‫ان لَ ُك ْم َأن تُْؤ ُذ ۟‬ ‫لِقُلُوبِ ُك ْم َوقُلُوبِ ِه َّن ۚ َو َما َك َ‬
‫ان ِعن َد ٱهَّلل ِ َع ِظي ًما‬ ‫َأ ْز ٰ َو َجهۥُ ِم ۢن بَ ْع ِد ِٓهۦ َأبَ ًدا ۚ ِإ َّن ٰ َذلِ ُك ْم َك َ‬
• Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali
bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan,
keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian
itu akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan
allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (isteri-isteri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti
(hati) rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia
wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi allah.” (Qs. Al-
ahzab: 53)
• Tafsirannya:

Tafsir Ibnu Katsir: Ini adalah ayat hijab yang di dalamnya mengandung
beberapa hukum dan adab syar’i, dimana sebab turunnya adalah
menyetujui perkataan ‘Umar ra. Sebagaimana yang tercantum di
dalam shahihain, bahwa ‘Umar ra. berkata: “Rabb-ku menyetujui aku
dalam tiga masalah; aku berkata: ‘Ya Rasulullah, seandainya engkau
menjadikan sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat, lalu Allah
menurunkan: (“Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat
shalat.”) (al-Baqarah: 12)
• Dan aku berkata: ‘‘Ya Rasulallah, sesungguhnya orang yang baik
dan orang yang buruk terkadang masuk kepada istri-istrimu, maka
kiranya engkau memberikan hijab, lalu Allah menurunkan ayat hijab.
Dan aku berkata kepada istri-istri Nabi saw. tatkala dipenuhi rasa
cemburu terhadap beliau: (“Jika Nabi menceraikanmu, boleh jadi
Rabb-nya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih
baik daripadamu.”) (at-Tahriim:5) maka turunlah ayat ini. Sedangkan
di dalam riwayat Muslim mengandung cerita tentang tawanan perang
Badar dalam hal tersebut sebagai masalah keempat. wallaahu a’lam.
• Al-Bukhari meriwayatkan, bahwa Anas bin Malik ra. berkata: “Ketika Rasulullah
saw. menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang shahabatnya makan-
makan. Setelah selesai makan, mereka pun duduk berbincang-bincang, sehingga
Rasulullah saw. siap akan berdiri, tetapi mereka tidak juga ikut berdiri.

• Tatkala beliau melihat seperti itu, Rasulullah pun berdiri, dan diikuti oleh sebagian
yang hadir, tetapi tiga orang lainnya masih bercakap-cakap. Lalu Nabi
berkehendak untuk masuk [kamar] sedangkan orang-orang itu masih tetap
duduk, lalu merekapun berdiri dan pergi. Maka aku mengabarkan kepada Nabi
bahwa mereka telah pergi [pulang]. Maka datanglah Nabi sampai beliau masuk
kembali. Aku pun masuk, dan Rasulullah memasang hijab antara aku dan beliau.
• Berkenaan dengan peristiwa itu maka turunlah ayat ini: “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila
kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak
(makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.

• Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu
kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (isteri- isteri Nabi), Maka mintalah dari belakang tabir. cara
yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
• Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula)
mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah Amat besar (dosanya) di sisi Allah.”
Beliau meriwayatkan pula di tempat yang lain. Demikian pula Muslim dan
an-Nasa’i meriwayatkan dari beberapa jalan dari Mu’amir bin Sulaiman.

• Imam Ahmad, al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Hisyam bin
‘Urwah dari ayahnya, bahwa ‘Aisyah ra. berkata: “Saudah keluar rumah
untuk suatu keperluan setelah turunnya ayat hijab. Ia seorang wanita yang
badannya tinggi sehingga mudah dikenal orang. Pada waktu itu, ‘Umar
melihatnya dan ia berkata:
• Hai Saudah, demi Allah, bagaimanapun kami akan dapat
mengenalmu. Karenanya cobalah pikir, mengapa engkau keluar?”
dengan tergesa-gesa ia pulang dan di saat itu Rasulullah saw. berada
di rumahku sedang makan malam. Ketika masuk ia berkata: “Ya
Rasulallah, aku keluar untuk suatu keperluan dan ‘Umar menegurku
begini dan begitu.” ‘Aisyah berkata: “Lalu Allah menurunkan wahyu
kepada beliau di saat susu masih berada di tangannya. Maka
bersabdalah Rasulullah saw.: “Sesungguhnya Allah telah mengizinkan
engkau keluar rumah untuk suatu keperluan.” (lafadz al-Bukhari)
• Firman Allah: ‫ُوتٱ لنَّبِ ِّى‬ ْ ُ‫“( اَل تَ ۡد ُخل‬Janganlah kamu memasuki rumah-
َ ‫وا بُ ي‬
rumah Nabi.”) mengharamkan kaum Mukminin untuk masuk ke
rumah Rasulullah saw. tanpa izin, sebagaimana yang dahulu mereka
lakukan di masa jahiliyyah dan di saat permulaan Islam. Sehingga
Allah swt. merasa cemburu dengan umat ini dengan memerintahkan
mereka untuk melakukan hal tersebut. Masalah ini merupakan
pemuliaan Allah Ta’ala kepada umat ini. Untuk itu Rasulullah saw.
bersabda: “Jauhkanlah [perbuatan] memasuki tempat kaum wanita.”
• QS. Al-Ahzab ayat 59 :

َ ِ‫ين َعلَي ِْه َّن ِمن َج ٰلَبِيبِ ِه َّن ۚ ٰ َذل‬


‫ك َأ ْدنَ ٰ ٓى َأن‬ َ ِ‫ك َونِ َسٓا ِء ْٱل ُمْؤ ِمن‬
َ ِ‫ين يُ ْدن‬ َ ‫• ٰيََٓأيُّهَا ٱلنَّبِ ُّى قُل َأِّل ْز ٰ َو ِج‬
َ ِ‫ك َوبَنَات‬
ِ ‫ان ٱهَّلل ُ َغفُو ًرا ر‬
‫َّحي ًما‬ َ ‫يُع َْر ْف َن فَاَل يُْؤ َذي َْن ۗ َو َك‬
• Artinya:

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan


isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab : 59)
• Asbabun nuzul:

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah, ia mengatakan, “Pada


suatu hari, Saudah pergi keluar untuk suatu keperluan. Hal itu
terjadi setelah turunnya perintah hijab. Saudah adalah perempuan
yang cukup gemuk yang mudah dikenali siapa saja yang sudah
mengenalnya. Ketika Umar melihatnya, ia berkata, “Wahai
Saudah, ketahuilah bahwa sesungguhnya engkau tidak asing bagi
kami dan mudah kami kenali. Karena itu, perhatikanlah bagaimana
engkau pergi keluar.”
• Lalu Saudah pun langsung berputar arah dan kembali, sementara
waktu itu Rasulullah sedang di rumahku makan malam. Tangan beliau
sedang memegang ‘arq (tulang setelah dagingnya tinggal sedikit).
Kemudian Saudah masuk dan berkata, “Ya Rasulullah, saya pergi
keluar untuk suatu keperluan, lalu di tengah jalan Umar bin Khattab
berkata kepadaku begini dan begitu.” Lalu Allah SWT pun
menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW. Hingga proses turunnya
wahyu selesai, sedang Rasulullah masih memegang ‘arq tersebut.
Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian pergi
keluar untuk suatu keperluan.”
• Ada pula riwayat lain mengenai asbabun nuzul Surat Al Ahzab ayat
59 ini. Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqat meriwayatkan dari Abu Malik,
ia berkata, “Para istri Rasulullah SAW pergi pada malam hari untuk
suatu keperluan. Ada sejumlah orang munafik yang suka
mengganggu mereka sehingga mereka merasa terganggu dan
tersakiti. Mereka kemudian mengadu kepada Rasulullah SAW. Lalu
orang-orang munafik itu ditanya. “Sesungguhnya kami melakukan
hal semacam itu hanya terhadap para budak perempuan,” demikian
kilah mereka. Maka Allah menurunkan Surat Al Ahzab ayat 59 ini.
• Tafsirannya:

Tafsir as-Sa'di / Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di, pakar tafsir abad 14 H 59. Ayat
ini disebut ayat hijab. Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memerintah kaum wanita
secara umum, dan dimulai dari istri-istrinya dan putri-putrinya, karena mereka lebih
ditekankan (menjalankan perintah) daripada selain mereka, dan karena pemberi perintah
untuk orang lain semestinya memulainya dari keluarganya sebab Allah memerintahkan
Nabi-Nya untuk memerintah kaum wanita secara umum, dan dimulai dari istri-istrinya dan
putri-putrinya, karena mereka lebih ditekankan (menjalankan perintah) daripada selain
mereka, dan karena pemberi perintah untuk orang lain semestinya memulainya dari
keluarganya sebelum memerintah orang lain, sebagaimana Firman Allah, "Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" (At-Tahrim:6)
• “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Jilbab ini
kain yang melapisi pakaian, berupa selimut, khimar (kerudung), kain sorban
atau yang serupa dengannya. Maksudnya, hendaklah mereka menutup
wajahnya dan dadanya dengannya. Kemudian Allah menyebutkan hikmahnya,
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu
mereka tidak diganggu.” Ini menunjukkan adanya gangguan apabila mereka
kaum wanita beriman) tidak mengenakan jilbab, maka mereka akan mudah
diduga bukan wanita-wanita suci (terhormat), sehingga mudah didatangi oleh
orang yang hatinya sakit lalu mengganggu mereka, dan bisa saja mereka
dilecehkan, dan mereka diduga sebagai perempuan-perempuan budah sahaya.
• Dan akibatnya orang-orang yang menginginkan keburukan
meremehkan mereka. Jadi, hijab itu memutus hasrat busuk
orang-orang yang berhasrat buruk terhadap mereka. “Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” di mana Dia
mengampuni kesalahan-kesalahan kalian yang telah lalu dan
bebelas kasih kepada kalian dengan menjelaskan hukum-
hukumNya kepada kalian dan menjelaskan sesuatu yang halal
dan haram. Ini adalah menutup pintu dari arah mereka.
• Tafsir jalalin :

(Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak


perempuanmu dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka") lafal Jalaabiib
adalah bentuk jamak dari lafal Jilbaab, yaitu kain yang dipakai oleh
seorang wanita untuk menutupi seluruh tubuhnya. Maksudnya
hendaknya mereka mengulurkan sebagian daripada kain jilbabnya
itu untuk menutupi muka mereka, jika mereka hendak keluar karena
suatu keperluan, kecuali hanya bagian yang cukup untuk satu mata.
• (Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah) lebih gampang (untuk
dikenal) bahwasanya mereka adalah wanita-wanita yang merdeka
(karena itu mereka tidak diganggu) maksudnya tidak ada orang yang
berani mengganggunya, berbeda halnya dengan hamba sahaya
wanita, mereka tidak diperintahkan untuk menutupi mukanya, sehingga
orang-orang munafik selalu mengganggu mereka. (Dan adalah Allah
Maha Pengampun) terhadap hal-hal yang telah lalu pada kaum wanita
Mukmin yang merdeka, yaitu tidak menutupi wajah mereka (lagi Maha
Penyayang) kepada mereka jika mereka mau menutupinya.
‫‪• QS. An-Nur ayat 31:‬‬

‫ين ِزينَتَه َُّن ِإاَّل َما •‬ ‫ظ َن فُرُو َجه َُّن َواَل يُ ْب ِد َ‬ ‫ص ِر ِه َّن َويَحْ فَ ْ‬
‫ضضْ َن ِم ْن َأ ْب َٰ‬ ‫ت يَ ْغ ُ‬ ‫َ‬ ‫ٰ‬
‫َوقُل لِّ ْل ُمْؤ ِم ِ‬
‫ن‬
‫ين ِزينَتَه َُّن ِإاَّل لِبُعُولَتِ ِه َّن َأ ْو‬ ‫ظَهَ َر ِم ْنهَا ۖ َو ْليَ ْ‬
‫ض ِر ْب َن بِ ُخ ُم ِر ِه َّن َعلَ ٰى ُجيُوبِ ِه َّن ۖ َواَل يُ ْب ِد َ‬
‫َءابَٓاِئ ِه َّن َأ ْو َءابَٓا ِء بُعُولَتِ ِه َّن َأ ْو َأ ْبنَٓاِئ ِه َّن َأ ْو َأ ْبنَٓا ِء بُعُولَتِ ِه َّن َأ ْو ِإ ْخ ٰ َونِ ِه َّن َأ ْو بَنِ ٓى ِإ ْخ ٰ َونِ ِه َّن َأ ْو‬
‫ال َأ ِو‬ ‫ُأ‬ ‫ت َأ ْي ٰمنُه َُّن َأو ٱل ٰ‬
‫َ ِ‬ ‫ج‬ ‫ر‬ ‫ِّ‬ ‫ٱل‬ ‫ن‬ ‫َ‬ ‫م‬ ‫ة‬‫ب‬ ‫ر‬‫ْ‬
‫ِ ِ ِإْل َ ِ ِ‬‫ٱ‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫و‬‫۟‬ ‫ر‬ ‫ْ‬
‫ي‬ ‫َ‬
‫غ‬ ‫ين‬
‫َ‬ ‫ع‬ ‫ب‬
‫ِ ِِ‬‫َّ‬ ‫ت‬ ‫بَنِ ٓى َأ َخ ٰ َوتِ ِه َّن َأ ْو نِ َسٓاِئ ِه َّن َأ ْو َما َملَ َك ْ َ‬
‫ين ِمن‬ ‫ض ِر ْب َن بَِأ ْر ُجلِ ِه َّن لِيُ ْعلَ َم َما ي ُْخفِ َ‬ ‫ت ٱلنِّ َسٓا ِء ۖ َواَل يَ ْ‬ ‫ُوا َعلَ ٰى َع ْو ٰ َر ِ‬ ‫ظهَر ۟‬ ‫ين لَ ْم يَ ْ‬‫ط ْف ِل ٱلَّ ِذ َ‬
‫ٱل ِّ‬

‫ِزينَتِ ِه َّن ۚ َوتُوب ُٓو ۟ا ِإلَى ٱهَّلل ِ َج ِمي ًعا َأيُّهَ ْٱل ُمْؤ ِمنُ َ‬
‫ون لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِح َ‬
‫ُون‬
• “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)
• Tafsir (Ibnu Katsir)

• Katakanlah kepada wanita yang beriman,”Hendaklah mereka menahan pandangannya,

dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,

kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung

ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,

atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra

suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka,

atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-

budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai

keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita
• Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang

mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai

orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung. Ini adalah perintah

dari Allah Swt., ditujukan kepada kaum wanita mukmin, sebagai

pembelaan Allah buat suami-suami mereka yang terdiri dari hamba-

hamba-Nya yang beriman, serta untuk membedakan wanita-wanita yang

beriman dari ciri khas wanita Jahiliah dan perbuatan wanita-wanita

musyrik.
• Disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ini seperti yang

disebutkan oleh Muqatil ibnu Hayyan, telah sampai kepada kami

bahwa Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari pernah menceritakan bahwa

Asma binti Marsad mempunyai warung di perkampungan Bani

Harisah, maka kaum wanita mondar-mandir memasuki

warungnya tanpa memakai kain sarung sehingga perhiasan

gelang kaki mereka kelihatan dan dada mereka serta rambut

depan mereka kelihatan.


• Maka berkatalah Asma, “Alangkah buruknya pakaian ini.” Maka Allah
menurunkan firman-Nya: Katakanlah kepada wanita yang beriman,
“Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (An-Nur: 31), hingga
akhir ayat. Adapun firman Allah Swt.: Katakanlah kepada wanita yang
beriman, ”Hendaklah mereka menahan pandangannya”. (An-Nur: 31)
Yakni dari apa yang diharamkan oleh Allah bagi mereka, yaitu
memandang kepada selain suami mereka. Karena itulah kebanyakan
ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki lain
yang bukan mahramnya, baik dengan pandangan berahi ataupun
tidak, secara prinsip.
• Sebagian besar dari mereka berdalilkan kepada sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Imam Turmuzi melalui hadis Az-
Zuhri dari Nabhan maula Ummu Salamah yang menceritakan
kepadanya bahwa Ummu Salamah pernah bercerita kepadanya
bahwa pada suatu hari dia dan Maimunah berada di hadapan
Rasulullah Saw. Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, ”Ketika kami
dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah Ibnu Ummi Maktum.
Ibnu Ummi Maktum masuk menemui Rasulullah. Kejadian ini
sesudah Rasulullah Saw. memerintahkan kepada kami agar berhijab.
• Maka Rasulullah Saw. bersabda: ‘Berhijablah kamu berdua
darinya!’ Maka saya (Ummu Salamah) bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, bukankah dia buta tidak dapat melihat kami dan
tidak pula mengetahui kami?’ maka Rasulullah Saw. bersabda:
‘Apakah kamu berdua juga buta? Bukankah kamu berdua dapat
melihatnya?’. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa
hadis ini hasan sahih
• Ulama lainnya berpendapat bahwa kaum wanita diperbolehkan
memandang lelaki lain tanpa berahi. Seperti yang disebutkan di dalam
kitab sahih, bahwa Rasulullah Saw. menyaksikan orang-orang Habsyah
sedang memainkan atraksi dengan tombak mereka di hari raya di dalam
masjid, sedangkan Aisyah Ummul Muminin menyaksikan pertunjukan
mereka dari balik tubuh Nabi Saw., dan Nabi Saw. menutupinya dari
pandangan mereka hingga Aisyah bosan, lalu pulang. Firman Allah Swt.:
dan memelihara kemaluannya. (An-Nur: 31) Sa’id ibnu Jubair mengatakan,
maksudnya yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan keji. Menurut
Qatadah dan Sufyan, dari perbuatan yang tidak dihalalkan baginya.
• Sedangkan menurut Muqatil, dari perbuatan zina. Abul Aliyah
mengatakan bahwa semua ayat Al-Qur’an yang menyebutkan perintah
memelihara kemaluan maksudnya adalah memeliharanya dari perbuatan
zina, kecuali ayat ini yang mengatakan: dan memelihara kemaluannya.
(An-Nur: 31) Yang dimaksud ialah agar jangan sampai kelihatan oleh
seorang pun. Firman Allah Swt.: dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (An-Nur: 31) Yaitu
janganlah mereka menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada
lelaki lain, kecuali apa yang tidak bisa disembunyikan.
• Menurut Ibnu Mas’ud, hal yang dimaksud adalah seperti kain
selendang dan pakaiannya; yakni sesuai dengan pakaian tradisi
kaum wanita Arab yang menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan
bagian bawah pakaian yang kelihatan tidaklah berdosa baginya
bila menampakkannya, sebab bagian ini tidak dapat
disembunyikan. Hal yang sama berlaku pula pada pakaian wanita
lainnya yang bagian bawah kainnya kelihatan karena tidak dapat
ditutupi.
• Pendapat yang sama dikatakan oleh Al-Hasan, Ibnu Sirin, Abul
Jauza, Ibrahim An-Nakha’i dan lain-lainnya. Al-A’masy telah
meriwayatkan dari Sa’id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan
dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya, (An-Nur: 31)
Yakni wajahnya, kedua telapak tangannya, dan cincinnya. Hal
yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ata, Ikrimah, Sa’id
ibnu Jubair, Abusy Sya’sa, Ad-Dahhak, dan Ibrahim An-Nakha’i
serta lain-lainnya.
• Pendapat ini dapat dijadikan tafsir terhadap pengertian perhiasan
yang dilarang bagi kaum wanita menampakkannya, seperti apa yang
dikatakan oleh Abu Ishaq As-Subai’i, dari Abul Ahwas, dari Abdullah
sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya. (An-Nur: 31) Yaitu anting-anting,
kalung, gelang tangan, dan gelang kaki. Menurut riwayat lain yang
bersumber dari Ibnu Mas’ud dalam sanad yang sama, perhiasan itu
ada dua macam, yaitu perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan
kecuali hanya kepada suami, seperti cincin dan gelang.
• Dan perhiasan yang boleh terlihat oleh lelaki lain, yaitu bagian luar dari
pakaiannya. Az-Zuhri mengatakan bahwa tidak boleh ditampakkan kepada
mereka yang disebutkan nama-namanya oleh Allah Swt. selain gelang,
kerudung dan anting-anting tanpa membukanya. Adapun bagi orang lain
secara umum, maka tidak boleh ada yang tampak dari perhiasannya kecuali
hanya cincin. Malik telah meriwayatkan dari Az-Zuhri sehubungan dengan
makna firman-Nya: kecuali yang (biasa) tampak darinya. (An-Nur: 31) Yakni
cincin dan gelang kaki. Dapat pula dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan para
pengikutnya bermaksud dengan tafsir firman-Nya yang mengatakan “Kecuali
apa yang biasa tampak darinya,” adalah wajah dan kedua telapak tangan.
• Pendapat inilah yang terkenal di kalangan jumhur ulama. Hal ini diperkuat
oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud di dalam kitab
sunannya, bahwa telah menceritakan kepada kami Ya’qub ibnu Ka’b Al-Intaki
dan Muammal ibnul Fadl Al-Harrani; keduanya mengatakan bahwa telah
menceritakan kepada kami Al-Walid, dari Sa’id ibnu Basyir, dari Qatadah,
dari Khalid ibnu Duraik, dari Aisyah r.a., bahwa Asma binti Abu Bakar masuk
ke dalam rumah Nabi Saw. dengan memakai pakaian yang tipis (cekak)
Maka Nabi Saw. memalingkan muka darinya seraya bersabda: Hai Asma,
sesungguhnya wanita itu apabila telah berusia balig, tidak boleh ada yang
terlihat dari tubuhnya kecuali hanya ini.
• Nabi Saw. bersabda demikian seraya mengisyaratkan ke arah wajah dan
kedua telapak tangannya. Akan tetapi, Abu Daud dan Abu Hatim Ar-Razi
mengatakan bahwa hadis ini mursal karena Khalid ibnu Duraik belum
pernah mendengar dari Siti Aisyah r.a. Firman Allah Swt.: Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (An-Nur: 31) Yakni kain
kerudung yang panjang agar dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya,
agar berbeda dengan pakaian wanita Jahiliah. Karena sesungguhnya
wanita Jahiliah tidak berpakaian seperti ini, bahkan seseorang dari
mereka lewat di hadapan laki-laki dengan membusungkan dadanya tanpa
ditutupi oleh sehelai kain pun.
• Adakalanya pula menampakkan lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya
serta anting-antingnya. Maka Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman
agar menutupi seluruh tubuhnya, seperti yang disebutkan oleh Allah Swt. dalam
ayat yang lain melalui firman-Nya: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-
anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin,”Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (Al-Ahzab: 59) Dan dalam ayat
berikut ini Allah Swt. berfirman: Dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudungnya ke dadanya. (An-Nur: 31) Al-khumur adalah bentuk jamak dari
khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk menutupi kepala; dikenal pula
dengan sebutan muqani’.
• Sa’id ibnu Jubair telah mengatakan sehubungan dengan makna
firmannya: Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya
ke dadanya. (An-Nur: 31) Maksudnya, menutupi bagian leher dan
dadanya; maka tidak boleh ada sesuatu pun dari bagian tersebut
yang tampak. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ahmad ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami
ayahku, dari Yunus, dari ibnu Syihab, dari Urwah, dari Aisysah r.a.
yang mengatakan, “Semoga Allah merahmati kaum wanita
Muhajirin pertama.
• Ketika Allah menurunkan firman-Nya: ‘Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kerudungnya ke dadanya.’ (An-Nur: 31) maka mereka membelah kain
sarinya, lalu mereka jadikan sebagai kerudung.”” Imam Bukhari
mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Na’im, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nafi’, dari Al-Hasan ibnu Muslim,
dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa Aisyah r.a. pernah mengatakan bahwa
ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kerudungnya ke dadanya. (Ah-Nur: 31) Maka mereka
melepaskan kain sarungnya, lalu mereka robek dari pinggirnya, kemudian
robekan itu mereka jadikan kain kerudung (pada saat itu juga).
• Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdullah ibnu Yunus, telah menceritakan
kepadaku Az-Zunji ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu
Usman ibnu Khaisam, dari Safiyyah binti Syaibah yang menceritakan, “”Ketika
kami sedang berada di rumah Aisyah, dan kami memperbincangkan tentang
wanita Quraisy serta keutamaan mereka; maka Siti Aisyah berkata,
“”Sesungguhnya kaum wanita Quraisy memang mempunyai suatu keutamaan,
dan sesungguhnya demi Allah, aku belum pernah melihat wanita yang lebih
utama daripada wanita Ansar dalam hal keimanan dan kepercayaannya kepada
kitabullah dan wahyu yang diturunkan.
Pandangan Ulama Klasik Tentang Aurat dan Busana
• Secara normatif aturan hukum baku berkenaan dengan perintah berpakaian dan menutup
aurat beserta batasan-batasannya diungkapkan secara eskplisit dalam al-Qur’an. Beberapa
ayat yang terkait dengan hal tersebut memberikan rambu-rambu bagi para wanita mukallaf
untuk memenuhi batasan yang diberikan oleh kitab yang diturunkan pada Nabi akhir zaman.4
Islam mengajarkan bahwa pakaian adalah penutup aurat, bukan sekedar perhiasan. Islam
mewajibkan setiap wanita dan pria untuk menutupi anggota tubuhnya yang menarik perhatian
lawan jenisnya. Bertelanjang adalah suatu perbuatan yang tidak beradab dan tidak senonoh.
Langkah pertama yang diambil Islam dalam usaha mengokohkan bangunan masyarakatnya,
adalah melarang bertelanjang dan menentukan aurat laki-laki dan perempuan. Inilah
mengapa fiqh mengartikan bahwa aurat adalah bagian tubuh seseorang yang wajib ditutup
atau dilindungi dari pandangan.
• Menurut syariat Islam menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap
orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan terutama yang
telah dewasa dan dilarang memperlihatkannya kepada orang lain
dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat,
demikian juga syariat Islam pada dasarnya memerintahkan
kepada setiap mukmin, khususnya yang sudah memiliki nafsu
birahi untuk tidak melihat dan tidak memperlihatkan auratnya
kepada orang lain terutama yang berlainan jenis
• Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menentukan batas-
batas aurat itu sendiri, baik aurat laki-laki maupun perempuan. Akan
tetapi, di dalam buku al-Fiqh al Islami wa Adillatuhu karya Dr. Wahbah al
Zuhaily, seperti yang dikutip oleh Prof. Quraish Shihab, bahwa persoalan
aurat disimpulkan sebagai berikut: “Ulama sepakat menyatakan bahwa
kemaluan dan dubur adalah aurat, sedang pusar laki-laki bukan aurat.
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lututnya sedangkan aurat
perempuan dalam shalat adalah selain wajah dan kedua telapak
tangannya (ditambah kedua kakinya dalam Mazhab Hanafi).
• Selanjutnya aurat wanita muslimah di hadapan kerabat yang
mahram dan wanita muslimah adalah antara pusar dan
lututnya. Ini menurut mazhab Syafi’I dan Hanafi. Sedangkan
menurut mazhab Malik adalah seluruh badannya selain wajah,
kepala, leher, dan kedua tangan serta kakinya. Menurut
pandangan mazhab Hanbali seluruhh badannya kecuali wajah,
leher, kepala, kedua tangan dan kaki seta betis.
• Adapun aurat perempuan terhadap pria yang bukan mahramnya
menurut sementara ulama adalah seluruh baadannya, termasuk
wajah dan telapak tangannya, banyak juga ulama yang
memperlonggar sehingga berpendapat bahwa wajah dan kedua
telapak tangan bukanlah termasuk aurat. Bahkan, ada juga yang
lebih melonggarkan dengan mengatakan bahwa setengah tangan
bukanlah aurat. Adapun auratnya terhadap mahramnya – kecuali
suami- maka seluruh badannya kecuali wajah, leher, kedua tangan,
lutut, dan kaki.
• Masalah aurat sangat erat dengan soal pakaian, karena aurat wajib
ditutup dan alat penutupnya adalah pakaian. Pakaian setiap muslim
adalah harus menutup batas-batas aurat seperti yang dikemukakan
di atas. Namun karena para ulama’ berbeda pendapat mengenai
batas-batas aurat terutama aurat bagi wanita, maka perbedaan
pendapat-pun muncul pula dalam masalah pakaian kaum wanita.
Sebagian mengharuskan menutup seluruh anggota badan selain
mata, sedangkan sebagian yang lain menambahkan selain muka,
yaitu kedua telapak tangan dan kaki
• Muhammad Ibnu Muhammad Ali menyimpulkan bahwa seorang
wanita yang akan keluar dari rumahnya dan berinteraksi dengan
pria bukan mahram, maka ia harus memperhatikan sopan
santun dan tata cara busana yang dikenakan haruslah
memenuhi beberapa syarat :

1. Meliputi seluruh badan kecuali yang diperbolehkan yaitu


wajah dan kedua telapak tangan.

2. Bukan berfungsi sebagai perhiasan.


3. Tebal tidak tipis

4. Longgar tidak ketat

5. Tidak diberi parfum atau minyak wangi

6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki

7. Tidak menyerupai pakaian wanita kafir h. Bukanlah pakaian


untuk mencari popularitas
Pandangan Ulama Kontemporer tentang Aurat dan
Busana

• Sebelumnya telah dipaparkan pokok-pokok pendapat para ulama


terdahulu dan yang diikuti oleh banya ulama masa kini menyangkut
aurat/ pakaian wanita. Pendapat – pendapat tersebut bertitik tolak
pada penafsiran dari ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw
yang menjadi pegangan masing-masing disertai dengan sikap kehati-
hatian. Selanjutnya penulis akan membahas beberapa pendapat
kontemporer yang berbeda dengan pendapat para imam mazhab.
Menurut Prof. Quraish Shihab, pada garis besarnya para cendekiawan
dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar :

• Kelompok pertama, berkaitan masalah aurat dan busana antara lain


ada yang berpendapat bahwa, “pakaian tertutup merupakan salah
satu bentuk perbudakan dan lahir ketika laki-laki menguasai dan
memperbudak wanita.” Ada juga yang berkata,”Hijab yang bersifat
material (pakaian tertutup) atau yang bersifat immaterial (atau
keduanya bersama-sama) telah menutup keterlibatan perempuan
dalam kehidupan, politik, agama, akhlak, dan lain-lain”
• Ada lagi yang dengan tegas berkata,”Saya menolak hijab (pakaian
tertutup), karena menutup atau telanjang, keduanya menjadikan
wanita sebagai jasad semata. Saya, ketika menutup badan saya,
maka itu mengandung arti bahwa saya adalah fitnah (penggoda/
perayu) dan akan merayu lelaki bila membuka pakaian. Ini keliru,
karena saya adalah akal dan bukan jasad yang mengundang
syahwat atau rayuan.” Namun, menurut Quraish pendapat-pendapat
tersebut mereka kemukakan tanpa dalil melainkan hanya
subjektifitas mereka
• Kelompok kedua, dari cendekiawan yang bahkan ulama
kontemporer mengemukakan pendapat – pendapat mereka atas
dasar kaidah-kaidah yang juga diakui oleh ulama terdahulu, tetapi
ketika mereka sampai pada penerapannya dalam memahami pesan-
pesan ayat atau hadis, mereka mendapat sorotan dan bantahan dari
ulama-ulama yang menganut paham ulama terdahulu. Adapun
prinsip yng digunakan oleh para cendekiawan ini sebagai dasar
pertimbangan dalam mengemukakan pandangan mereka termasuk
dalam hal aurat wanita ialah sebagai berikut :
1. Al–Qur’an dan sunnah Nabi saw sama sekali tidak menghendaki adanya masyaqqah,
karena itu lahirlah kaidah yang menyatakan, ‫ إذاضاقاتسع ا لشيء‬,yang berarti “jika sesuatu
telah menyempit yakni sulit, maka lahirlah kelapangan/ kemudahan”. Prinsip ini diakui
oleh semua ulama, hanya saja dalam penetapannya seringkali timbul perbedaan
apakah satu kondisi tertentu sudah dapat dinilai sebagai masyaqqah atau belum,
seperti pembahasan tentang kaki perempuan, apakah itu aurat atau bukan, yang
menilai ketertuutupan kaki mengakibatkan kesulitan dalam melakukan aktifitas, maka
mereka mentolerir terbukanya. Sementara ulama dan cendekiawan konteporer
memperluas bagian – bagian tubuh wanita yang tidak lagi dinilai sebagai aurat antara
lain karena lahirna profesi- profesi baru yang mereka nilai menyulitkan untuk
melakukannya jika pelakunya menutup bagian – bagian tubuh yang dimaksud.
2. Hadis-hadis Nabi saw adalah sumber hukum kedua, tetapi ia baru dapat menjadi
dasarpenetapan hukum jika hadis tersebut dinilai shahih oleh yang bersangkutan.
Syekh Muhammad ‘Abduh, seorang ulama kontemporer sangat selektif dalam
menerima hadis-hadis Nabi dan riwayat–riwayat dari para sahabat. Bahkan walaupun
yang telah dinilai oleh mayoritas ulama sebagai hadis yang shahih atau mutawatir. Itu
sebabnya ulama yang tidak menilai shahih hadis tentang bolehnya membuka wajah
dan telapak tangan, tetap bertahan dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa
seluruh tubuh wanita adalah aurat. Sebaliknya, ulama yang tidak menilai shahih hadis
yang membolehkan wanita membuka setengah tangannya tetap mempertahankan
pendapat yang sejalan dengan hadis yang dinilainya shahih yakni mengecualikan
wajah dan telapak tangan saja.
3. Penetapan hukum berkisar pada ‘illatnya. Yang dimaksud dengan ‘illat
oleh para pakar hukum ialah suatu sifat/ substansi yang melekat pada
sesuatu, hingga atas dasarnya hukum ditetapkan.

4. Perintah atau larangan Allah dan Rasul-Nya tidak selalu harus diartikan
wajib atau haram, tetapi bisa juga perintah itu dalam arti anjuran, sedang
larangan-Nya dapat berarti sebaiknya ditinggalkan. Sebagai contoh, salah
seorang ulama kontemporer, Muhammad Fuad al-Barazi yang sangat
kukuh menegaskan tentang kewajiban menutup seluruh tubuh wanita –
termasuk wajah dan telapak tangan- menilai bahwa perintah Allah dalam
surah al-Ahzab bukanlah perintah wajib’’.
5. Adat mempunyai peranan yang sangat besar dalam ketetapan hukum.
Karena itu dinyatakan bahwa, “Adat dapat berfungsi sebagai syarat, dan
apa yang ditetapkan oleh adat kebiasaan, dapat dinilai telah ditetapkan
oleh agama”. Perbedaan adat kebiasaan, sebagaimana perbedaan
tempat dan waktu, dapat melahirkan perbedaan fatwa/ ketetapan
hukum. Ini telah berlaku sejak zaman Rasul SAW dan sahabat-sahabat
beliau. Dari sini lahirlah pandangan sementara ulama dan cendekiawan
tentang adanya ketentuan-ketentuan agama yang sifatnya universal dan
ada juga yang local serta kontemporer
• Demikianlah beberapa prinsip yang seringkali dikemukakan oleh
cendekiawan dan ulama kontemporer, dan yang memang diakui
juga oleh para ulama masa lampau, namun sebagian mereka
baru meberapkannya jika memenuhi beberapa syarat, sedang
sebagian dari pendapat-pendapat baru yang muncul, tidak jarang
dinilai oleh ulama lainnya tidak memenuhi persyaratan yang
semestinya
• Berikut beberapa contoh ulama dan cendekiawan kontemporer
dengan pendapatnya mengenai aurat dan busana wanita, antara
lain: Syekh Muhammad ‘Ali as Sais, salah seorang Dosen Fakultas
Syariah danHukum Universitasal-Azhar, menulis bahwa,” Dalam
satu riwayat dari Imam abu Hanifah dinyatakan bahwa kedua kaki
pun bukan aurat.” Alasannya yaitu karena kaki lebih menyulitkan-
bila harus ditutup- dibandingkan tangan, khususnya bagi wanita-
wanita miskin di pedesaan yang ketika iitu seringkali berjalan
tanpa alas kaki untuk memenuhi kebutuhan mereka.
• Syekh Muhammad Suad Jalal, salah seorang ulama al-Azhar berpendapat bahwa
yang menjadi dasar dalam menetapkan apa yang boleh dinampakkan dari hiasan
wanita, adalah apa yang berlaku dalam adat kebiasaan satu masyarakat,
sehingga dalam masyarakat yang tidak membolehkan penampakan lebih dari
wajah dan kedua telapak tangan, maka itulah yang berlaku untuk mereka,
sementara dalam masyarakat yang membolehkan membuka setengah dari betis
atau tangan dan mereka menilai hal tersebut tidak mengandung fitnah atau
rangsangan, maka bagian–bagian badan itu termasuk dari hiasan lahiriah yang
dapat dinampakkan. Seperti wanita-wanita yang bekerja di perkebunan yang
terpaksa menyingsingkan lengan bajunya atau mengangkat pakaiannya hingga
mencapai betisnya
KESIMPULAN
• Aurat adalah yang berarti segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang malu atau
mendapatkan aib (cacat), dan aurat sebagai bentuk dari suatu kekurangan maka
sudah seharusnya ditutupi dan tidak untuk dibuka atau dipertontonkan di muka umum.

• Jumhur Ulama berpendapat bahwa hukum menutup aurat adalah wajib. Namun
mereka berebda tentang batasan aurat. Salah seorang ulama menyimpulkan ulama
sepakat bahwa kemaluan dan dubur adalah aurat, sedang pusar laki-laki bukan aurat.
Aurat laki-laki adalah antara pusar dan lututnya sedangkan aurat perempuan dalam
shalat adalah selain wajah dan kedua telapak tangannya (ditambah kedua kakinya
dalam Mazhab Hanafi)
• Mengenai pandangan ulama dan cendekiawan kontemporer
mengenai aurat dan busana, Prof Quraish Shihab mengklasifikan
ke dalam dua golongan; mereka yang berpendapat sampai
menolak hijab, namun golongan ini hanya menggunakan
subjektifitas mereka, dan golongan dari cendekiawan yang bahkan
ulama kontemporer mengemukakan pendapat – pendapat mereka
atas dasar kaidah- kaidah yang juga diakui oleh ulama terdahulu,
tetapi ketika mereka sampai pada penerapannya mereka mendapat
sorotan dari ulama- ulama yang menganut paham ulama terdahulu.
‘’ Sometimes people are beautiful,

Not in looks, Not in what they say. Just in what they are.”

“Terkadang seseorang itu indah,

tidak pada penampilannya, tidak pada apa yang mereka katakana,

hanya pada diri mereka yang apa adanya’’

You might also like