Penambangan Yang Merusak Lingkungan

You might also like

Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

PENAMBANGAN YANG MERUSAK

LINGKUNGAN DI SEKITAR, DAN DI


TINGKAT NASIONAL

Oleh :
Ari Tri Prasetiyo (6101421139)
Rio Bagus Ferryansyah Hanuli (6101421141)
Surya Lintang Jatidarma (6101421151)
Fitria Sri Rahayu (6101421154)
Latar Belakang Masalah
Pertambangan minyak bumi salah satunya terletak di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan,
Kabupaten Bojonegoro, Jawa Tengah. Sumur-sumur di Wonocolo bisa dikatakan dangkal
dengan kedalaman sumur galian minyak hanya 200-400 meter, penambangan minyak
tradisional yang di Wonocolo banyak menggunakan pekerja penduduk lokal yang akhirnya
rakyat setempat menguasai cara-cara penambangan bahkan sampai kegiatan penyulingan
sehingga berdampak terhadap udara di sekitar lingkungan akibat aktivitas pengolahan dan
penambangan minyak yang tidak memenuhi standart operasional procedure (Naumi &
Trilaksana, 2015). Kegiatan pertambangan Wonocolo diperkirakan mampu menghasilkan
minyak bumi, berkisar 50.000 liter atau sekitar 314 barel per hari yang tentunya akan
mengeluarkan limbah berupa asap dan gas (Naumi & Trilaksana, 2015). Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa masuknya polutan ke dalam udara dapat menyebabkan kualitas
udaradidaerah tersebut menurun (Siregar, 2006).
Menurut Kepala Bidang Pengkajian dan Laboratorium Badan Lingkungan Hidup Bojonegoro
tahun 2016, akibat adanya penambang minyak tradisional yang kurang memperhatikan dampak
lingkungan, suhudi area tambang dan sekitarnya pada musim kemarau mencapai 40 sampai 42
C. Ditambahkan kasus kebocoran gas H2S hasil minyak gas bumi di Bojonegoro yang
menyebabkan pencemaran udara setempat sebesar 2 ppm. Menurut Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 2015, tentang Usaha Minyak dan Gas Bumi, ambang batas
kandungan H2S dalam udara semestinya tak lebih dari 1 ppm
Produksi minyak bumi yang dilakukan secara tradisional tanpa adanya
pengelolaan sesuai standart operasional procedure akan menimbulkan dampak di
lingkungan sekitar. Menurut Pertamina (2012), eksploitasi produksi minyak bumi
melibatkan aspek kegiatan yang beresiko terjadi pencemaran. Eksploitasi dalam
membongkar permukaan bebatuan atau tanah dengan kegiatan proses
pengambilan bijih dan peleburan serta penyulingan minyak dapat menyebabkan
hamburan dan penimbunan sejumlah besar logam seperti HG, Cd, Pb dan As ke
saluran pembuangan disekitarnya (Nur, 2013). Dalam tingkatan nasional
penambangan batubara merupakan salah satu tambang yang berpotensi untuk
dimanfaatkan lebih lanjut oleh pemerintah selain minyak dan gas bumi.
Berdasarkan perhitungan cadangan batubara Indonesia diperkirakan sebesar 42,6
milyar ton dan masih berpotensi untuk diproduksi 80 tahun mendatang. Produksi
batubara di Indonesia mulai meningkat sejak tahun 1993 dan diperkirakan akan
semakin meningkat seiring dengan semakin berkurangnya produksi minyak bumi
di Indonesia. Batubara pada saat ini lebih banyak digunakan sebagai bahan bakar
pembangkit listrik walaupun sebenarnya batubara bermanfaat juga bagi sektor
rumah tangga, industri, dan transportasi.
Untuk sektor rumah tangga manfaat batubara sebagai bahan bakar dibentuk briket batubara.
Dalam dunia industri dan transportasi batubara diubah dalam bentuk cair atau berupa
batubara yang bermanfaat sebagai pengganti bahan bakar minyak. Usaha pemanfaatan
sumber daya alam batubara di Kalimantan Selatan, saat ini, secara resmi (legal), dilakukan
oleh beberapa perusahaan besar, menengah, dan skala kecil (koperasi) serta perorangan.
Pengusahaan pertambangan batubara tersebut, terdiri dari perusahaan pemegang izin PKP2B
(Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dan perusahaan atau koperasi
pemegang izin KP (Kuasa Pertambangan), pengelola pelabuhan, para pedagang (trader), dan
eksportir. Selain yang legal, juga banyak terdapat pertambangan batubara ilegal, yang
aktivitasnya, sampai saat ini, semakin marak dan semakin menambah carutmarutnya
pengelolaan sumberdaya alam tambang batubara di Kalimantan Selatan. Dan semua aktivitas
pertambangan batubara tersebut, dilakukan dengan menggunakan metode penambangan
secara terbuka (open pit), sehingga tidak memerlukan teknologi yang rumit dan biaya
investasi lebih rendah jika dibandingkan dengan pertambangan bawah tanah (underground).
Hal ini dimungkinkan, karena umumnya keberadaan batubara berada pada lapisan tanah
permukaan. Potensisumber daya alam, berupa tambang batubara, yang terdapat di
Kalimantan Selatan cukup besar dengan kualitas yang baik, serta keberadaannya hampir
menyebardi seluruh kabupaten (Banjar, Tanah Laut, Kotabaru, Tanah Bumbu, HST, HSU, HSS,
Tapin, dan Tabalong). Berdasarkan data dari Indonesian Coal Mining Association pada tahun
2001, stock cadangan batubara Kalimantan Selatan yang terukur (pasti) ad alah 2,428 milyar
ton, dan yang terindikasi sekitar 4,101 milyar ton. Sehingga paling tidak, sampai saat ini,
terdapat cadangan batubara yang sudah ditemukan sebesar 6,529 milyar ton.
PEMBAHASAN
Minyak bumi serta turunannya merupakan salah satu contoh dari hidrokarbon yang banyak digunakan
oleh manusia dan berpotensi mencemari lingkungan (Notodarmojo 2005). Menurut Hadi (2004), minyak
bumi mengandung senyawa belerang 0-6%, nitrogen 0-0.5%, dan oksigen 0-3.5%, dimana senyawa
belerang yang ada dapat menyebabkan korosi dan pencemaran udara. Pencemaran berupa logam berat
yang diemisikan ke udara berbentuk partikel-partikel kecil yang disebabkan oleh pemuaian dengan suhu
tinggi. Sifat logam serta perpindahannya ke udara bergantung pada sifat fisik dan kimia yang dimiliki
oleh masing-masing logam, ukuran partikel, perubahan angin dan kecepatan angin serta kondisi cuaca.
Logam berat yang berbentuk partikel sebagian akan menempel pada tanaman, salah satunya pada
bagian daun, partikel tersebut akan terserap ke dalam ruang stomata. Pencemaran logam berat oleh gas
yang dihasilkan kegiatan pertambangan selain dapat berpengaruh terhadap kehidupan hewan dan
manusia juga dapat mempengaruhi fisiologis tanaman secara langsung. Kemampuan masing- masing
tanaman dalam menyesuaikan lingkungannya terhadap pencemaran yaitu berbeda-beda sehingga dapat
menyebabkan perbedaan tingkat kepekaan.
Salah satu cara pemantauan pencemaran udara adalah dengan menggunakan tanaman bioindikator yang
umumnya adalah tanaman yang dalam suatu ekosistem berinteraksi dengan lingkungan dengan
menunjukkan perubahan pada morfologi, anatomi, biokimia maupun fisiologi. Perubahan yang terlihat
dapat berupa nekrosis, klorosis, perubahan bentuk daun, atau yang dapat secara cepat terlihat dan
terukur mendeteksi keberadaan polutan di dalam jaringan tanaman. Pengaruh paparan emisi bahan
pencemar terhadap daun, secara mikroskopis daun tanaman akan mengalami penuruan jumlah stomata
dan menyebabkan rendahnya klorofil. Area pertambangan minyak bumi Wonocolo banyak dijumpai
tanaman Kersen. Kersen adalah salah satu tanaman yang mampu menyerap bahan pencemar.
Klorosis adalah degenerasi klorofil (tidak terbentuk atau kurang berkembangnya klorofil) sehingga
daun menjadi kuning atau terjadi mosaik dengan warna campuran hijau, kuning dan
hitam,sedangkan nekrosis adalah kematian sel atau jaringan pada organ hidup sehingga timbul
bercak dan warna kecoklatan pada tepi dan ujung daun. Pada beberapa kasus, daun dapat
diidentifikasi dengan gejala kerusakan yang ditimbulkan, seperti SO2 yang menyebabkan klorosis di
dalam urat daun, NOx menimbulkan spot hitam/cokelat tak teratur pada urat daun/tepi daun
(Waryanti, Sugoro, I, & Dasumiati, 2015). Di tambahkan Yunasfi (2002), hampir semua polutan
udara yang menyebabkan kerusakan pada tumbuhan berbentuk gas, Klorin (Cl2) yang berasal dari
kilang minyak, juga menyebabkan terjadinya nekrosis antar tulang daun, tepi daun nampak seperti
hangus. Banyaknya pencemar yang masuk ke dalam jaringan daun tanaman sesuai dengan jenis,
konsentrasi pencemar di udara, dan lamanya selang waktu pembukaan stomata akan menentukan
tingkat kerusakan tanaman.
Gas buangan yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan berupa SO2, NO2, H2, Pb serta
hidrokarbon, biasanya akan bergabung dengan partikel debu yang kemudian masuk ke dalam daun
melalui proses difusi dan akan menutup mulut stomata sehingga akan terjadi perubahan dalam
memberikan respon secara fisiologis. Emisi polutan yang terserap oleh daun melalui stomata secara
bertahap akan menyebabkan kerusakan seperti berkurangnya jumlah stomata, peningkatan jumlah
stomata yang tertutup, kerusakan pada kondisi helaian daun, laju fotosintesis terhambat, luas
daun menyusut, penurunan kadar klorofil dan kematian pada daun. Klorofil sebagai pigmen hijau
daun yang berfungsi sebagai penyerap cahaya dalam kegiatan fotosintesis dan berlangsung dalam
jaringan mesofil daun akan menurun kadarnya sejalan dengan peningkatan pencemaran. Tanaman
mampu mengabsorbsi beberapa jenis polutan dengan efektif sehingga dapat berperan dalam
membersihkan udara dari polusi.
Dalam lima tahun terakhir akibat terbukanya pasar batubara yang lebih luas baik
pasar domestik maupun pasar luar negeri, aktivitas ekploitasi batubara di
Kalimantan Selatan samakin terus meningkat. Bukan saja ekploitasi yang
dilakukan oleh para penambang resmi yang memiliki izin PKP2B maupun izin KP
tetapi juga banyak dilakukan oleh para penambang tidak resmi alias penambang
liar atau yang biasa disebut sebagai PETI batubara.
Dalam rangka optimalisasi pengelolaan pertambangan agar berhasil guna dan
berdaya guna, dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Peningkatan PAD.
2. Pembuatan pra Raperda Pertambangan dan Energi.
3. Penanggulangan Pertambangan Tanpa Ijin, penyalahgunaan BBM.
4. Pengawasan produksi dan penjualan pertambangan umum.
5. Pengawasan teknis pertambangan umum.
6. Pengawasan K3 dan lingkungan pertambangan umum.
7. Pengawasan perizinan pertambangan umum.
Untuk mendukung kegiatan pembangunan sektor pertambangan dan energi
Pemerintah Kabupaten Tapin telah dibentuk Dinas Pertambangan yang
mempunyai tugas dan fungsi dalam pengelolaan bahan tambang di Kabupaten
Tapin. Dari kegiatan tim lapangan diperoleh data bahwa pada beberapa
penambangan batubara masalah konservasi bahan galian yang dijumpai antara
lain:
1. Sebagian lapisan batubara yang telah ditetapkan tidakditambang
2. Kriteria penetapan lapisan tipis berkalori tinggi yang harus ditambang t idak
sesuai dengan aspek konservasi
3. Batubara berkalori rendah yang belum menjadi permintaan pasar dibuang
atau tidak dimanfaatkan.
4. Fine coal hasil pencucian yang berjumlah besar dibuang/tidak dimanfaatkan.
KESIMPULAN
Klorosis adalah degenerasi klorofil (tidak terbentuk atau kurang berkembangnya
klorofil) sehingga daun menjadi kuning atau terjadi mosaik dengan warna
campuran hijau, kuning dan hitam, sedangkan nekrosis adalah kematian sel atau
jaringan pada organ hidup sehingga timbul bercak dan warna kecoklatan pada
tepi dan ujung daun. Pada beberapa kasus, daun dapat diidentifikasi dengan
gejala kerusakan yang ditimbulkan, seperti SO2 yang menyebabkan klorosis di
dalam urat daun, NOx menimbulkan spot hitam/cokelat tak teratur pada urat
daun/tepi daun (Waryanti, Sugoro, I, & Dasumiati, 2015). Gas buangan yang
dihasilkan oleh kegiatan pertambangan berupa SO2, NO2, H2, Pb serta
hidrokarbon, biasanya akan bergabung dengan partikel debu yang kemudian
masuk dalam daun melalui proses difusi dan akan menutup mulut stomata
sehingga akan terjadi perubahan dalam memberikan respon secara fisiologis.
Emisi polutan yang terserap oleh daun melalui stomata secara bertahap akan
menyebabkan kerusakan seperti berkurangnya jumlah stomata, peningkatan
jumlah stomata yang tertutup, kerusakan pada kondisi helaian daun, laju
fotosintesis terhambat.
DAFTAR PUSTAKA

Kompasiana. (2020). Kerusakan Lingkungan Akibat Penyalahgunaan Tambang.


Kompasiana. (2021). Kerusakan Lingkungan akibat Kegiatan Pertambangan
Batubara Jadi Sorotan dalam UU Minerba.
Lestari, I. (2019). 5 Dampak Negatif Pertambangan Terhadap Lingkungan.
Online, N. (2011). Dampak Penambangan Batubara pada Lingkungan.
Setyo, Y. (2021). Industri Pertambangan Indonesia Hanya Merusak Lingkungan
Hidup. indonesia

You might also like