Professional Documents
Culture Documents
Bisnis & Sistem Ekonomi Indonesia
Bisnis & Sistem Ekonomi Indonesia
Bisnis & Sistem Ekonomi Indonesia
DAN
SISTEM EKONOMI
INDONESIA
Pengertian bisnis menurut para ahli
Hughes dan Kapoor > Definisi bisnis adalah
suatu kegiatan individu yang terorganisasi untuk
menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna
mendapatkan keuntungan dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Brown dan Pretello > Pengertian bisnis adalah
lembaga yang menghasilkan barang dan jasa yang
dibutuhkan oleh masyarakat serta semua hal yang
mencakup berbagai usaha yang dilakukan
pemerintah maupun swasta tidak peduli mengejar
laba atau tidak.
JeffMadura > Pengertian bisnis adalah
perusahaan yang menyediakan produk atau layanan
yang diinginkan oleh pelanggan
L. R. Dicksee > Definisi bisnis adalah suatu
bentuk aktivitas yang utamanya bertujuan untuk
memperoleh keuntungan bagi yang yang
mengusahakan atau yang berkepentingan dalam
terjadinya aktivitas tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) >
Bisnis adalah usaha komersial dalam dunia
perdagangan; bidang usaha; usaha dagang.
SISTEM
EKONOMI
INDONESIA
LATAR
BELAKANG
TIMBULNYA
SISTEM EKONOMI
LATAR
BELAKANG
TIMBULNYA
SISTEM EKONOMI
LATAR
BELAKANG
TIMBULNYA
SISTEM EKONOMI
Definisi sistem :
- Sistem tersusun dari seperangkat komponen yang bekerja secara
bersama-sama untuk mencapai semua tujuan dari keseluruhan
sistem tersebut.
- Sebuah sistem dapat digambarkan sebagai sebuah kumpulan dari
komponen-komonen dimana beberapa dari komponen tersebut
saling berhubungan secara tetap dalam jangka waktu tertentu.
Kelemahan-kelemahan Kapitalisme
Tidak ada persaingan sempurna. Yang ada persaingan tidak
sempurna dan persaingan monopolistik.
Sistem harga gagal mengalokasikan sumber-sumber secara
efisien, karena adanya faktor-faktor eksternalitas (tidak
memperhitungkan yang menekan upah buruh dan lain-lain).
2. Sistem Ekonomi Sosialis (Sosialisme)
Masyarakat dianggap sebagai satu-satunya kenyataan sosial, sedang
individu-individu fiksi belaka.
Tidak ada pengakuan atas hak-hak pribadi (individu) dalam sistem
sosialis.
Pemerintah bertindak aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga
tahap pengawasan.
Alat-alat produksi dan kebijaksanaan ekonomi semuanya diatur oleh
negara.
Pola produksi (aset dikuasai masyarakat) melahirkan kesadaran
kolektivisme (masyarakat sosialis)
Kelemahan-kelemahan Sosialisme
Teori pertentangan kelas tidak berlaku umum
Tidak ada kebebasan memilih pekerjaan (Maka kreativitas
masyarakat tehambat, produktivitas menurun, produksi dan
perekonomian akan mandeg).
Tidak ada insentive untuk kerja keras (Maka tidak ada dorongan
untuk bekerja lebih baik, prestasi dan produksi menurun, ekonomi
mundur).
Tidak menjelaskan bagaimana mekanisme ekonomi ( Karl Marx
hanya mengkritik keburukan kapitalisme, tapi tidak menjelaskann
mekanisme yang mengalokasikan sumber daya di bawah sosialisme.
Sosialisme tidak sama dengan komunisme
Sosialisme merupakan tahap persiapan ke komunisme.
Komunisme merupakan tahap akhir perkembangan masyarakat
(The Six Major Historical Stages): primitive communism slavery
feudalism, capitalism, sosialism dan full communism
3. Sistem Ekonomi Campuran (Mixed Economy)
Repelita IV (1983-1988)
Titik berat pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju
swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan
mesin-mesin industri (ringan maupun berat) yang akan terus dikembangkan
dalam repelita-repelita selanjutnya.
Repelita V (1988-1993)
Titik berat pada sektor pertanian untuk memanfaatkan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya, serta pada sektor industri
khususnya industri yang menghasilkan barang-barang untuk diekspor, industri
yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolah hasil pertanian serta
industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri dalam rangka
mewujudkan struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian baik
dari segi value added maupun segi penyerapan tenaga kerja.
Repelita VI (1993-1998)
Titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya, yang mendukung sektor industri
dalam bentuk pertumbuhan dan meningkatkan kuantitas serta kualitas semua
bidang dan sub bidang yang semakin tinggi dan merata (khususnya SDM).
SUMBER-SUMBER PERTUMBUHAN EKONOMI
INDONESIA SELAMA 1969-1996
Untuk memulihkan kembali perekonomian Indonesia yang sempat tergelincir pada paruh
pertama 1960-an, pemerintah Orde Baru yang baru saja memegang tampuk kekuasaan
mencanangkan berbagai program rehabilitasi dan stabilisasi per-ekonomian. Ketika itu
pemerintah menempuh kebijakan orientasi ke luar secara moderat (moderately outward
oriented) yang antara lain ditandai dengan peningkatan utang luar negeri, kebijakan
substitusi impor di bidang perdagangan dan industri, liberalisasi investasi asing dan
domestik, penyesuaian nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tanggal 21 Agustus 1971, dan
kebijakan rasionalisasi beberapa BUMN (Pangestu, 1996).
Dalam waktu relatif singkat, berbagai kebijakan di atas mampu membuat perekonomian
Indonesia bangkit kembali. Hal ini terlihat dari pertumbuhan utang luar negeri sekitar
20,52%, PMA 7,13%, dan ekspor neto 30,44% per tahun selama 1968-1972. Pada gilirannya,
kemajuan yang diraih berbagai sektor ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang
relatif tinggi, bahkan sempat mencetak angka pertumbuhan dua digit. Selama periode
stabilisasi dan rehabilitasi, per-tumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7,23% setahun, dengan
angka pertumbuhan terendah tercatat tahun 1967 (2,29%) dan tertinggi tahun 1969 (11,11%).
II. Era oil boom (1973-1982)
Era oil boom 1973-1982, tetap ditandai dengan tingginya tingkat pertumbuhan, yakni rata-
rata 7,37% setahun. Gejolak eksternal berupa kenaikan harga minyak yang sangat tajam di
pasaran internasional dapat dinyatakan sebagai titik awal terciptanya angka pertumbuhan
yang relatif tinggi. Ketika dunia mengalami krisis energi tahun 1973, harga minyak
melambung secara luar biasa, sehingga peristiwa ini dikenal dengan istilah oil boom
pertama. Selama 1973 minyak mentah Indonesia mengalami empat kali kenaikan harga,
yakni dari US$ 3,73 (April) menjadi US$ 4,75 (Oktober), US$ 6,00 (November) dan US$
10,80 per barel (Desember) (Alkadri, 1990). Rezeki nomplok dari minyak ini mendatangkan
dampak positif kepada pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 1973 ekonomi tumbuh sebesar
11,31%, yang merupakan angka tertinggi yang pernah diraih bangsa Indonesia selama
pemerintahan Orde Baru.
Pada tahun 1979-1980 kembali terjadi gejolak harga minyak (oil boom kedua) akibat dunia
kekurangan pasokan minyak (Alkadri, 1990). Pada bulan April 1978 harga minyak mentah
Indonesia masih sekitar US$ 15,65, namun setahun kemudian melonjak hampir dua kali
lipat menjadi US$ 29,5 per barel.
Peningkatan harga terus berlanjut mencapai US$ 35 setiap barel pada tahun 1981 dan terus
bertahan hingga Oktober 1982.
III. Fase Gejolak Eksternal (1983-1986)
Setelah mengenyam pertumbuhan yang meyakinkan selama dua periode sebelumnya, maka pada
periode ketiga, yakni fase gejolak eksternal (1983-1986), Indonesia dihadapkan pada sebuah
kenyataan pahit: pertumbuhan ekonomi merosot drastis menjadi hanya 4,88% per tahun.
Penurunan tingkat pertumbuhan selama periode ketiga di atas masih berkaitan dengan
perkembangan harga minyak. Setelah mencapai angka US$ 35 tahun 1982, harga minyak
Indonesia mulai menciut menjadi US$ 29,53 (1983 dan 1984), lalu US$ 28,53 (1985), dan secara
berturut-turut anjlok hingga US$ 21,00 (Januari 1986), US$ 14,45 (Maret 1986), dan akhirnya
mencapai angka terendah sebesar US$ 9,83 per barel pada bulan Agustus 1986.
Kemerosotan ini tak pelak lagi menyebabkan pendapatan pemerintah menciut. Hal yang sama
diperlihatkan pula oleh investasi dan impor. PMA yang disetujui menyusut dari US$ 2.471 juta
(1983) menjadi US$ 848 juta (1986), sehingga mengalami pertumbuhan negatif 19,06% per
tahun. Sedangkan PMDN pada mulanya anjlok dari Rp6.476 miliar (1983) menjadi Rp2.109
miliar (1984), untuk kemudian kembali merangkak naik menjadi Rp4.412 miliar (1986). Pada
saat yang sama, impor menurun dari US$ 17.726 juta menjadi US$ 11.938 juta, atau tumbuh
negatif sebesar 9,36% per tahun. Meskipun pemerintah masih sanggup menda-patkan utang luar
negeri sebesar US$ 16.592 juta dan didukung pula oleh utang luar negeri swasta sekitar US$
3.393 juta (masing-masing merupakan jumlah kumulatif utang yang bisa dicairkan selama 1983-
1986), suntikan dana ini tak mampu menyelamatkan kemerosotan pertumbuhan ekonomi.
IV. Era kebangkitan ekspor nonmigas (1987-1996)
Sejak tahun 1987 Indonesia terus menempuh kebijakan reformasi, meskipun masih terkesan
"setengah serius". Hal ini terlihat dari pengguliran serangkaian kebijakan deregulasi di berbagai
bidang, walaupun masih didominasi oleh sektor moneter. Berawal dari pengguliran paket
deregulasi Juli 1987 hingga paket deregulasi Juni 1996, sektor investasi (PMA dan PMDN) dan
perdagangan luar negeri (ekspor nonmigas) mampu tumbuh sekitar 51,35% dan 19,79% per
tahun. Di sisi lain, utang luar negeri (pemerintah dan swasta) tumbuh cukup besar, sekitar
11,70%.
Alhasil, pertumbuhan ekonomi kembali meningkat dari 4,93% (1987) menjadi 8,21% (1995) dan
7,82% (1996). Menurut para pengamat ekonomi, relatif tingginya tingkat pertumbuhan tahun
1995 dan 1996 terutama didorong oleh kenaikan yang cukup besar dalam konsumsi dan investasi.
Secara rata-rata, selama 1987-1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia pulih hingga 6,90% per
tahun.