Download as pptx, pdf, or txt
Download as pptx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

PENDIDIKAN KESEHATAN

DALAM KEFARMASIAN
PENDIDIKAN KEFARMASIAN
 Pendidikan Farmasi, khususnya pendidikan tinggi
sering berubah dengan perubahan tuntutan zaman.
 Pendidikan tinggi secara umum dituntut untuk
menghasilkan lulusan yang lebih berkualitas dan
lebih relevan terhadap kebutuhan masyarakat.
 Pada pendidikan program profesional di bidang
kesehatan, semakin dituntut mutu lulusan yang
tinggi, sehingga Sekolah Perawat, Sekolah
Menengah Farmasi, dan lain-lain ditingkatkan
menjadi setingkat Akademi(Program D-3 atau D-4).
Sejarah Perkembangan Pendidikan
Farmasi di Indonesia

 Perkembangan pendidikan tinggi kefarmasian di


Indonesia dapat dibagi dalam era pra Perang Dunia II,
Zaman Pendudukan Jepang dan pasca Proklamasi
Kemerdekaan R.I.
 Sebelum Perang Dunia II, selama penjajahan Belanda
hanya terdapat beberapa Apoteker yang berasal dari
Denmark, Austria, Jerman dan Belanda.
 Tenaga kefarmasian yang dididik di Indonesia hanya
setingkat Asisten Apoteker (AA), yang mulai dihasilkan
tahun 1906. Pelaksanaan pendidikan A.A. ini dilakukan
secara magang di Apotik yang ada Apotekernya dan
setelah periode tertentu calon menjalani ujian negara.
 Pada tahun 1918 dibuka sekolah Asisten
Apoteker yang pertama dengan penerimaan
murid lulusan setingkat SMP.
 Pada tahun 1937 jumlah Apotik di seluruh
Indonesia hanya 37.
 Pada awal Perang Dunia ke-2 (1941) banyak
Apoteker warga negara asing meninggalkan
Indonesia sehingga terdapat kekosongan Apotik.
 Untuk mengisi kekosongan itu diberi izin
kepada dokter untuk mengisi jabatan di Apotik,
juga diberi izin kepada dokter untuk membuka
Apotik-Dokter (Dokters-Apotheek) di daerah
yang belum ada Apotiknya.
 Pada zaman pendudukan Jepang mulai dirintis
pendidikan tinggi Farmasi dengan nama Yukagaku.
 Pada tahun 1946 dibuka Perguruan Tinggi Ahli Obat di
Klaten yang kemudian pindah dan berubah menjadi
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di
Yogyakarta.
 Tahun 1947 diresmikan Jurusan Farmasi di Fakultas
Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Alam (FIPIA), Bandung
sebagai bagian dari Universitas Indonesia, Jakarta,
yang kemudian berubah menjadi Jurusan Farmasi,
Institut Teknologi Bandung pada tanggal 2 Mei 1959.
 Lulusan Apoteker pertama di UGM sebanyak 2 orang
dihasilkan pada tahun 1953. Saat ini di Indonesia
terdapat 8 perguruan tinggi farmasi negeri dan belasan
perguruan tinggi swasta (Ketut Patra, dkk., 1988).
Sekolah Menengah Farmasi
 Pada tahun 1980, masih dimungkinkan adanya
”Apotik Darurat” yaitu Apotik yang dikelola oleh
Asisten Apoteker yang sudah berpengalaman kerja.
 Tenaga menengah farmasi ini masih sangat
diperlukan khususnya pada Farmasi Komunitas, baik
di Apotik maupun di Rumah Sakit.
 Dengan bertambahnya tenaga farmasi berpendidikan
tinggi, peranan ini akan semakin kecil, sehingga perlu
dipikirkan untuk meningkatkan pendidikan AA ini
setingkat akademi (lulusan SMA).
 Mulai tahun 2000, pendidikan menengah ini mulai
ditingkatkan menjadi Akademi Farmasi.
Program Diploma Farmasi
 Sejak 1991 telah dirintis pembukaan pendidikan tenaga
farmasi ahli madya dalam bentuk Program Diploma
(D-III) oleh Departemen Kesehatan.
 Kebutuhan ini merupakan konsekuensi perkembangan
di bidang kesehatan yang semakin memerlukan tenaga
ahli, baik dalam jumlah maupun kualitas.
 Hal ini diciptakan karena Kemungkinan besar Sekolah
Menengah Farmasi di masa yang akan datang dapat
ditingkatkan menjadi Program Diploma.
 Sekarang ini sudah menjadi kenyataan melalui
ketentuan yang mengharuskan pendidikan menengah
ditingkatkan menjadi Akademi.
Pendidikan Tinggi Farmasi
 Tantangan pembangunan di bidang kesehatan,
khususnya dalam bidang yang merupakan
tantangan bagi Pendidikan Tinggi Farmasi di
Indonesia ialah menghasilkan produk
pendidikan tinggi yang memenui Standar
Profesi Apoteker (Standard Operating
Procedure = SOP)
Standar Profesi Apoteker
 Turut mengupayakan obat yang bekerja spesifik, relatif aman yang
dapat meringankan penderitaan akibat penyakit, memulihkan
kesehatan; mencegah penyakit.
 Mengupayakan untuk dapat membantu keberhasilan intervensi
dengan cara lain (bukan obat) dalam upaya kesehatan.
 Menciptakan metode untuk mendeteksi sedini mungkin kelainan
fungsional pada manusia.
 Menggali dan mengembangkan sumber alam Indonesia yang dapat
diperbaharui atau pun tidak dapat diperbaharui untuk tujuan
kefarmasian.
 Menciptakan cara baru untuk penyampaian obat ke sasaran yang
harus dipengaruhinya dalam organisme.
 mengembangkan metode untuk menguji, menciptakan norma dan
kriteria untuk meningkatkan secara menyeluruh daya guna dan
keamanan obat dan komoditi farmasi, maupun keamanan
lingkungan dan bahan lain yang digunakan manusia untuk
kepentingan kehidupannya.
Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi

 Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,


maupun perubahan orientasi Farmasi sebagai ilmu
dan profesi juga berkembang mengikuti zaman.
 Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi mulai
berubah secara drastis pada awal tahun 80-an.
 Perubahan ini ditandai oleh penerapan Sistem
Kredit Semester, penerapan Kurikulum Inti dalam
rangka penyeragaman pendidikan tinggi Farmasi
di seluruh Indonesia, dan terbitnya Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang
dikembalikannya fungsi Apotik sebagai tempat
pengabdian profesi Apoteker.
 Perkembangan terakhir ialah diterbitkannya PP
60/ Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, yang
merupakan penyempurnaan PP No.30/Tahun
1990 Tentang Pendidikan Tinggi, dan PP No.61/
Tahun 1999, tentang Penetapan Perguruan Tinggi
sebagai Badan Hukum.
 Peraturan Pemerintah yang terakhir ini pada
dasarnya memberikan otonomi kepada perguruan
tinggi untuk penyelenggaraan pendidikan
akademik dan profesional, yang disertai
akuntabilitas (pertanggungjawaban), melalui
akreditasi, yang dilakukan melalui evaluasi, untuk
meningkatkan kualitas secara berkelanjutan.
(Paradigma Baru Pendidikan Tinggi)
Sistem Kredit Semester
 Sistem Kredit Semester ialah sistem
pengadministrasian pendidikan yang
memberikan bobot SKS pada hasil upaya
peserta didik maupun pendidik.
 Untuk Sarjana Farmasi ditetapkan jumlah
bobot 114-160 SKS sebagai suatu kebulatan
studi yang dapat diselesaikan dalam 9
Semester, dan 2 Semester untuk program
profesi Apoteker.
Kurikulum Pendidikan Tinggi Farmasi
Tahun 2000
 Melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
(MenDikNas) No.232/2000, tentang Pedoman
Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan
Evaluasi hasil Belajar, dan No.045/2002, tentang
Kurikulum Pendidikan, telah terjadi perubahan
mendasar pada penyusunan kurikulum.
 Saat ini ditekankan pada kompetensi lulusan
(Competency-Based Curriculum).
 Kompetensi juga diintegrasikan ke dalam
kurikulum pendidikan Apoteker.
 Adanya Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan, yang menegaskan bahwa tenaga
kesehatan untuk dapat menjalankan praktik di
seluruh Indonesia harus memiliki sertifikat
kompetensi yang diperoleh setelah lulus dalam
uji kompetensi.
 Apoteker merupakan salah satu tenaga
kesehatan dibidang farmasi yang telah
menyelesaikan pendidikan sarjana farmasi dan
program profesi apoteker. Oleh karena itu
apoteker harus memiliki sertifikat kompetensi
yang diperoleh setelah uji kompetensi.
 Uji kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI)
menuntut adanya sistem pendidikan farmasi dan
profesi apoteker yang saling terintegrasi.
 Selain itu juga menuntut pemerataan implementasi
kurikulum dan standar kurikulum farmasi secara
nasional yang mengacu pada blue print UKAI.
 Pendidikan sarjana farmasi yang dilaksanakan
selama minimal 7 semester dengan minimal 144
SKS tentu saja menjadi dasar untuk menenutukan
kelulusan calon-calon Apoteker ini.
 Penyelenggaraan UKAI dilaksanakan dengan
sistem Computer Based Test (CBT) dengan jumlah
soal 200 butir dengan waktu pengerjaan 200 menit.
 Sejak tahun 2011 semua apoteker yang akan melakukan
praktek kefarmasian diwajibkan memiliki Surat Tanda
Registrasi Apoteker STRA dan sertifikat kompetensi
profesi apoteker.
 Namun, saat ini masih ada apoteker yang telah lama
lulus tetapi belum memiliki sertifikat kompetensi profesi
apoteker dan STRA, sehingga perlu dipikirkan cara agar
apoteker tersebut dapat tetap melakukan praktek
kefarmasian.
 Apoteker yang lulus sebelum tahun 2011 dan belum
pernah memiliki Sertifikat Kompetensi Profesi, maka
Apoteker tersebut harus mengikuti Uji Kompetensi
Profesi Apoteker apabila Apoteker tetap akan
menjalankan Praktek Kefarmasian.
 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Pengurus
Pusat lkatan Apoteker Indonesia menyelenggarakan
ujian kompetensi yang disebut dengan “Objective
SELESAI

You might also like